Visualisasi Malam Kemuliaan (Lailatul Qadr)
Surah Al-Qadr (سورة القدر), yang merupakan surah ke-97 dalam urutan mushaf Al-Qur'an, adalah salah satu surah yang paling agung dan memiliki kedudukan istimewa di kalangan umat Islam. Surah yang terdiri dari lima ayat yang ringkas namun padat makna ini secara eksplisit membahas tentang peristiwa monumental, yakni turunnya permulaan Al-Qur'an, yang dikenal sebagai Lailatul Qadr, atau Malam Kemuliaan.
Pertanyaan mendasar yang sering dikaji oleh para ulama adalah mengenai konteks pewahyuannya, yang mengarah pada klasifikasi surah ini. Mayoritas mutlak ulama tafsir dan ilmu Al-Qur'an sepakat bahwa Surah Al-Qadr tergolong sebagai **Surah Makkiyah**. Klasifikasi ini bukan hanya penanda geografis atau kronologis, melainkan kunci untuk memahami tema sentral, gaya bahasa, dan tujuan utama surah tersebut di tengah perjuangan awal dakwah Islam.
Penentuan apakah sebuah surah tergolong Makkiyah (diturunkan sebelum hijrah ke Madinah) atau Madaniyah (diturunkan setelah hijrah) didasarkan pada serangkaian kriteria yang ketat, yang mencakup panjang ayat, gaya retorika, dan isu-isu teologis yang diangkat. Dalam kasus Surah Al-Qadr, konsensus ulama didukung oleh fakta bahwa fokus surah ini adalah fundamental keimanan dan konsep wahyu ilahi, yang merupakan ciri khas periode Makkiyah.
Untuk memahami secara mendalam mengapa Surah Al-Qadr diklasifikasikan sebagai Makkiyah, kita harus meninjau kriteria yang ditetapkan oleh para ahli 'Ulumul Qur'an, seperti Imam As-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan fi 'Ulumil Qur'an. Periode Makkiyah adalah periode pembentukan akidah dan penanaman dasar-dasar keimanan di tengah masyarakat Mekkah yang didominasi oleh paganisme.
Surah Makkiyah dikenal karena ayat-ayatnya yang umumnya pendek dan ringkas (qisar al-ayat), namun memiliki kekuatan retorika yang luar biasa, berirama cepat, dan penuh janji serta ancaman. Surah Al-Qadr, dengan lima ayatnya yang pendek (misalnya, “إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ”), sangat sesuai dengan pola ini. Gaya bahasanya langsung, dramatis, dan sangat menyentuh hati, bertujuan untuk menarik perhatian audiens yang awalnya skeptis.
Kontrasnya, Surah Madaniyah cenderung memiliki ayat yang lebih panjang, berfokus pada hukum-hukum (syariat), muamalah (interaksi sosial), dan pengaturan masyarakat, seperti hukum warisan atau peperangan, yang belum relevan di Mekkah.
Fokus utama Surah Al-Qadr adalah memuliakan Al-Qur'an itu sendiri dan malam turunnya, yaitu Lailatul Qadr. Ini adalah tema inti dari dakwah di Mekkah. Di Mekkah, fokus Nabi Muhammad SAW adalah membuktikan keesaan Allah (Tauhid) dan membela keabsahan wahyu yang diterimanya dari Jibril. Surah ini secara tegas menyatakan: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada Lailatul Qadr.” Ini adalah pernyataan fundamental tentang sumber dan nilai kitab suci, yang sangat dibutuhkan pada fase awal Islam.
Banyak surah Makkiyah yang dibuka dengan panggilan umum seperti “يا أيها الناس” (Wahai sekalian manusia), meskipun Surah Al-Qadr tidak menggunakan panggilan tersebut, nadanya bersifat universal dan mendasar, tidak merujuk pada undang-undang atau pengaturan komunitas spesifik di Madinah.
Secara struktural dan tematik, Surah Al-Qadr memiliki kemiripan kuat dengan surah-surah Makkiyah pendek lainnya seperti Surah Al-'Alaq (tentang permulaan wahyu) atau Surah Al-Kautsar (tentang kemuliaan yang diberikan Allah). Struktur ini menunjukkan bahwa ia berasal dari fase di mana pesan-pesan utama sedang dikonsolidasikan.
Meskipun demikian, ada segelintir ulama, seperti Imam Az-Zuhri dan Mujahid, yang pernah menyebut Surah Al-Qadr sebagai Madaniyah, berdasarkan riwayat yang menghubungkannya dengan peristiwa di Madinah. Namun, pandangan ini sangat minoritas. Argumentasi klasifikasi Makkiyah tetap didominasi oleh kesamaan tematiknya dengan periode awal Islam, di mana penetapan kemuliaan Al-Qur'an adalah prioritas utama.
Surah Al-Qadr, meskipun hanya lima ayat, memuat rahasia alam semesta dan menyingkap kemuliaan waktu yang tidak tertandingi. Nama surah ini sendiri, Al-Qadr, memiliki tiga makna utama yang saling terkait: kekuasaan (qudrah), kemuliaan (syaraf), dan penetapan (taqdir).
Terjemah: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada Lailatul Qadr (Malam Kemuliaan).
Penggunaan kata "Kami" (إِنَّا - Inna) adalah bentuk jamak penghormatan (pluralis majestatis) yang menunjukkan keagungan Allah SWT. Kata "Anzalnahu" (Kami telah menurunkannya) merujuk pada Al-Qur'an. Ini menegaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan secara utuh dari Lauhul Mahfuz (Papan Yang Terpelihara) ke langit dunia (Baitul Izzah) pada malam ini, sebelum kemudian diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW selama 23 tahun.
Pernyataan ini adalah proklamasi ilahi yang menempatkan wahyu pada posisi tertinggi. Lailatul Qadr, sebagai wadah turunnya firman Allah, otomatis menjadi malam yang paling mulia. Para ulama tafsir menekankan bahwa ayat ini memberikan legitimasi dan otoritas mutlak kepada kitab suci, yang sangat penting untuk para pendengar di Mekkah yang meragukan sumber kenabian Muhammad.
Terjemah: Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadr itu?
Ini adalah pertanyaan retoris yang bertujuan untuk membesarkan dan mengagungkan malam tersebut. Gaya retorika ini (istikham ta'zhim) adalah ciri khas Al-Qur'an untuk menarik perhatian dan menunjukkan bahwa hakikat malam tersebut melampaui batas pemahaman manusia biasa. Pertanyaan ini mempersiapkan pendengar untuk menerima jawaban yang menakjubkan di ayat berikutnya, membangun suspense teologis tentang keutamaan Lailatul Qadr.
Menurut banyak ahli balaghah (retorika), pertanyaan ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang keutamaan malam ini hanya bisa diperoleh melalui wahyu, bukan melalui akal atau pengalaman manusiawi semata. Keajaiban dan rahasia yang terkandung di dalamnya bersifat transendental.
Terjemah: Lailatul Qadr itu lebih baik daripada seribu bulan.
Ini adalah jantung dari Surah Al-Qadr. Seribu bulan sama dengan sekitar 83 tahun dan 4 bulan—sebuah rentang waktu yang setara dengan seluruh usia hidup normal seseorang. Keutamaan beribadah dan beramal shaleh pada satu malam ini melampaui ibadah seumur hidup, bahkan ibadah yang dilakukan tanpa adanya malam kemuliaan tersebut.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa "lebih baik dari seribu bulan" tidak berarti nilainya hanya setara dengan seribu bulan, melainkan nilai spiritualnya jauh melampaui hitungan tersebut. Angka seribu digunakan untuk menunjukkan kelipatan yang sangat besar dan tak terhingga (kathrah).
Terjemah: Pada malam itu turunlah para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Ayat ini mendeskripsikan aktivitas di langit pada malam tersebut. Kata "تَنَزَّلُ" (tanazzalu) menggunakan bentuk kata kerja sekarang/masa depan yang menunjukkan keberlanjutan atau pengulangan setiap tahun, mengonfirmasi bahwa Lailatul Qadr terjadi berulang kali, bukan hanya sekali pada saat Al-Qur'an pertama kali turun.
Terjemah: Malam itu (penuh) keselamatan sampai terbit fajar.
Lailatul Qadr adalah malam "Salam" (Kedamaian/Keselamatan). Tafsir mengenai Salam ini mencakup beberapa dimensi:
Keselamatan ini berlangsung sepanjang malam, "sampai terbit fajar." Ini menandai batas waktu kemuliaan malam tersebut, mendorong umat Islam untuk memanfaatkan setiap detik sebelum fajar menyingsing.
Meskipun mayoritas ulama menyatakan Surah Al-Qadr adalah Makkiyah, penting untuk memahami latar belakang di balik penentuan ini dan mengapa penentuan konteks pewahyuan sangat krusial dalam ilmu tafsir.
Seperti disebutkan sebelumnya, pandangan minoritas yang menganggapnya Madaniyah biasanya didasarkan pada riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi SAW menyinggung Lailatul Qadr saat beliau sudah berada di Madinah. Namun, para ahli hadis dan tafsir umumnya menolak penentuan berdasarkan riwayat tunggal pasca-Hijrah. Sebab, pembicaraan tentang suatu surah setelah hijrah tidak berarti surah tersebut diturunkan di Madinah.
Kriteria Makkiyah yang dominan (yaitu gaya bahasa yang singkat dan fokus pada akidah) lebih kuat daripada riwayat kontekstual yang bersifat ambigu. Para ulama berpendapat bahwa Lailatul Qadr adalah peristiwa yang terjadi berulang setiap Ramadan, namun pengungkapannya melalui surah ini terjadi di Mekkah untuk menguatkan hati kaum Muslimin yang sedang menderita penganiayaan.
Surah Al-Qadr secara kronologis memiliki keterkaitan erat dengan Surah Al-'Alaq (ayat 1-5), yang merupakan wahyu pertama yang diterima Nabi SAW. Jika Al-'Alaq menjelaskan *bagaimana* wahyu dimulai ("Bacalah!"), maka Al-Qadr menjelaskan *kapan* peristiwa fundamental tersebut terjadi (pada Lailatul Qadr).
Karena turunnya Al-'Alaq jelas terjadi di Gua Hira, Mekkah, maka Surah Al-Qadr yang berfungsi sebagai penguat dan penjelas konteks waktu penurunan tersebut sangat logis untuk diturunkan pada periode Makkiyah juga, yakni fase awal di mana pengenalan Al-Qur'an sebagai mukjizat tertinggi harus digalakkan.
Meskipun Surah Al-Qadr tidak memiliki asbabun nuzul yang spesifik, beberapa riwayat mengaitkannya dengan kesadaran Nabi SAW akan umur umatnya yang pendek dibandingkan dengan umat terdahulu yang panjang umur. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa Nabi SAW bercerita tentang seorang pejuang Bani Israil yang berjuang di jalan Allah selama seribu bulan tanpa henti. Kaum Muslimin merasa sedih karena mustahil bagi mereka menandingi pahala ibadah sepanjang itu.
Sebagai hiburan dan kemurahan dari Allah SWT, Surah Al-Qadr diturunkan, memberikan umat Islam kesempatan untuk meraih pahala setara atau lebih dari seribu bulan hanya dalam satu malam. Riwayat ini menguatkan nuansa Makkiyah, di mana kaum Muslimin saat itu sangat membutuhkan dorongan moral dan spiritual untuk tetap teguh di tengah penindasan.
Pemahaman yang komprehensif terhadap surah ini menuntut telaah mendalam terhadap kata kunci “Al-Qadr” itu sendiri, yang mengandung tiga dimensi makna yang saling melengkapi dan mengikat surah ini pada konsep takdir dan keagungan ilahi.
Makna ini merujuk pada ayat 4: Malaikat turun untuk mengatur segala urusan. Ini menekankan aspek administrasi kosmik Allah. Pada malam ini, segala ketetapan (rezeki, ajal, bencana, kesehatan) untuk setahun ke depan akan disalin dan diumumkan dari Lauhul Mahfuz kepada malaikat pelaksana. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita berikhtiar, kendali mutlak tetap berada di tangan Allah SWT.
Malam penetapan ini adalah momentum refleksi bagi manusia untuk menyadari bahwa takdir dapat diubah melalui doa (du’a) dan ketaatan, karena pada malam ini, pintu-pintu rahmat dibuka lebar untuk menerima permohonan hamba-hamba-Nya.
Karena Al-Qur'an diturunkan padanya, malam tersebut meraih kemuliaan yang tak tertandingi. Kemuliaan ini melekat pada waktu itu sendiri. Malam tersebut mulia karena ia menjadi saksi sejarah terbesar dalam sejarah umat manusia—permulaan wahyu terakhir. Kemuliaan ini juga menular kepada siapa pun yang menghidupkannya dengan ibadah dan kekhusyukan.
Para sufi sering merenungkan bahwa Lailatul Qadr adalah malam di mana nilai manusia diangkat ke derajat tertinggi melalui koneksi langsung dengan sumber kemuliaan, yaitu firman Allah SWT.
Malam ini menunjukkan kekuasaan mutlak Allah SWT. Kekuasaan untuk mengubah takdir, kekuasaan untuk menganugerahkan pahala setara 83 tahun dalam hitungan jam, dan kekuasaan untuk memerintahkan malaikat Jibril dan ribuan malaikat lainnya turun ke bumi. Ini adalah manifestasi nyata dari Rububiyah (Ketuhanan) Allah yang harus diimani oleh kaum musyrikin Mekkah.
Kajian mendalam ini, yang menghubungkan waktu, takdir, dan kekuasaan, adalah ciri khas dari diskusi akidah yang mendominasi periode Makkiyah. Surah Al-Qadr berfungsi sebagai fondasi teologis yang kuat bagi para Muslim awal.
Walaupun Surah Al-Qadr tergolong Makkiyah, pengamalannya dan pencarian Lailatul Qadr adalah ritual tahunan yang terjadi di bulan Ramadan, yang secara penuh diorganisir setelah hijrah ke Madinah. Namun, nilai-nilai spiritual yang ditanamkan dalam surah ini tetap relevan di setiap waktu.
Salah satu hikmah terbesar dari surah ini adalah bahwa Allah SWT menyembunyikan waktu pasti Lailatul Qadr (walaupun sunnah menunjukkan ia ada di sepuluh malam terakhir Ramadan, khususnya malam ganjil). Hikmah di baliknya sangat filosofis:
Konsep penyembunyian ini, yang mendorong upaya maksimal, sangat cocok dengan tuntutan fase Makkiyah yang membutuhkan ketahanan dan kesabaran (sabr) dalam beribadah.
Ayat 4 menekankan peran Ruh (Jibril) dalam proses penurunan ketetapan. Jibril, yang juga bertugas membawa wahyu, berperan sebagai penghubung utama antara kehendak ilahi dan pelaksanaan di bumi. Ini menegaskan bahwa segala urusan duniawi, bahkan yang tampak sepele, berada di bawah pengawasan dan pengelolaan malaikat yang beroperasi sesuai perintah Tuhan.
Kehadiran para malaikat dalam jumlah besar juga merupakan penanda keberkahan. Hadis menyebutkan bahwa malam itu tenang, cerah, tidak terlalu panas atau dingin, dan cahaya ibadah memancar ke langit, menghilangkan kepekatan kegelapan malam duniawi.
Surah Al-Qadr mengubah paradigma umat Islam tentang waktu. Waktu bukan lagi sekadar urutan linier, tetapi wadah spiritual yang dapat dimampatkan. Konsep "lebih baik dari seribu bulan" (83 tahun) mengajarkan bahwa kualitas ibadah jauh melampaui kuantitas. Ini adalah pelajaran yang kuat bagi kaum Makkiyah yang mungkin merasa kecil di hadapan kekuatan musuh; mereka diajarkan bahwa kekuatan rohani dan pahala ilahi bersifat tak terhingga.
Penekanan pada kedamaian (Salam) sampai fajar juga menunjukkan bahwa puncak dari ibadah yang murni adalah ketenangan batin dan harmoni universal—suatu kondisi yang dicari oleh setiap jiwa yang beriman.
***
Untuk mencapai kedalaman yang dibutuhkan dalam analisis ini, kita perlu memperluas wacana tentang bagaimana Surah Al-Qadr ditempatkan dalam keseluruhan tatanan Al-Qur'an, meninjau perdebatan historis dan metodologi ulama tafsir klasik dan kontemporer.
Para ulama seperti Az-Zarkasyi dan As-Suyuti membagi kriteria penentuan Makkiyah dan Madaniyah menjadi tiga metode utama:
Dalam kasus Surah Al-Qadr, meskipun terdapat sedikit keraguan riwayat (Manhaj Samā'ī), kekuatan analisis gaya bahasa dan tematik (Manhaj Qiyāsī dan Ijtihādī) jauh lebih dominan, mengukuhkan statusnya sebagai Surah Makkiyah.
Surah Al-Qadr ditempatkan setelah Surah Al-'Alaq (96) dan sebelum Surah Al-Bayyinah (98). Urutan ini memiliki makna struktural yang mendalam, meskipun urutan mushaf tidak sama dengan urutan kronologis pewahyuan:
Tiga surah pendek ini, yang semuanya diklasifikasikan sebagai Makkiyah, membentuk trilogi yang menjelaskan tiga aspek utama fondasi Islam di Mekkah: isi wahyu, waktu wahyu, dan konsekuensi penerimaan wahyu. Peletakan Surah Al-Qadr di tengah trilogi ini semakin memperkuat fungsi Makkiyah-nya sebagai surah penetapan akidah.
***
Ayat keempat, yang menyebutkan نزول الملائكة والروح (turunnya para malaikat dan Ruh), memerlukan pembahasan yang sangat terperinci karena ini adalah elemen yang paling jelas menyingkap aktivitas transenden pada malam itu. Para ulama tafsir telah menginvestigasi makna Ruh di sini dengan sangat intensif.
Konsensus ulama, termasuk Ibnu Abbas dan Muqatil, menyatakan bahwa Ar-Ruh (الروح) dalam konteks ini merujuk kepada Malaikat Jibril AS. Pemisahan penyebutan Jibril dari malaikat-malaikat lain dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan (atf al-khash ala al-amm), menunjukkan status istimewa Jibril sebagai pemimpin dan penyampai wahyu. Malam itu adalah malamnya Jibril, karena ia adalah malaikat yang pertama kali membawa Al-Qur'an.
Namun, ada pula tafsir minoritas yang menafsirkan Ruh sebagai:
Meskipun demikian, penafsiran Jibril sebagai Ar-Ruh tetap yang paling kuat dan didukung oleh konteks Al-Qur'an secara keseluruhan.
Para malaikat turun dari langit dunia ke bumi. Mereka memenuhi ruang antara langit dan bumi. Mereka tidak turun hanya untuk berdiam diri; mereka memiliki tugas spesifik: Min Kulli Amr (mengatur segala urusan).
Tugas-tugas mereka mencakup:
Fenomena ini menyoroti bahwa Lailatul Qadr adalah malam pertemuan antara dimensi langit dan dimensi bumi. Inilah malam di mana hijab (penghalang) antara alam spiritual dan alam fisik menjadi sangat tipis, memungkinkan koneksi spiritual yang intens bagi manusia.
***
Keindahan Surah Al-Qadr terletak pada penggunaan bahasa Arab yang sangat presisi, suatu ciri khas yang dominan dalam surah-surah Makkiyah yang ditujukan untuk memukau para ahli bahasa dan penyair Quraisy.
Surah ini menggunakan rima yang konsisten pada huruf ra’ (ر) di akhir ayat: القَدْرِ (al-Qadr), شَهْرٍ (syahr), أمْرٍ (amr), dan الفَجْرِ (al-Fajr). Konsistensi rima ini menciptakan irama yang kuat dan tegas, memudahkan penghafalan dan meninggalkan kesan mendalam pada pendengar. Dalam konteks Mekkah, di mana puisi dan retorika sangat dihargai, struktur ritmis seperti ini merupakan bukti bahwa Al-Qur'an memiliki kualitas sastra yang melampaui karya manusia.
Kata "Lailatul Qadr" diulang sebanyak tiga kali (Ayat 1, 2, dan 3). Pengulangan ini (takrar) berfungsi sebagai penekanan, mengagungkan subjek yang dibicarakan. Pengulangan ini mengajarkan umat bahwa Lailatul Qadr bukan sekadar malam biasa; ia adalah entitas yang perlu direnungkan dan dicari. Jika hanya disebutkan sekali, dampaknya tidak akan sedramatis ini.
Selain itu, penggunaan Inna (sesungguhnya Kami) pada ayat pertama adalah bentuk penegasan (taukid) yang menghilangkan keraguan sekecil apa pun mengenai kebenaran informasi yang disampaikan.
Para matematikawan dan ahli numerologi Qur'an (meskipun harus hati-hati) sering menyoroti penggunaan angka 1000. Dalam budaya Arab kuno, 1000 sering kali melambangkan bilangan tak terhingga atau jumlah yang sangat besar, bukan batas akhir. Jadi, "lebih baik dari seribu bulan" harus dipahami sebagai "lebih baik dari setiap hitungan waktu yang mungkin."
Ini adalah teknik linguistik untuk menyampaikan konsep keagungan spiritual yang tak terukur, yang sangat efektif dalam dakwah Makkiyah yang mencoba menggantikan nilai-nilai material duniawi dengan nilai-nilai spiritual yang abadi.
***
Meskipun Surah Al-Qadr tergolong Makkiyah (akidah), ia memiliki implikasi Syariat (hukum) yang jelas, yaitu perintah untuk menghidupkan malam tersebut dengan ibadah. Dengan demikian, surah ini menjadi jembatan yang menghubungkan fondasi keimanan dengan tuntutan praktis Islam.
Surah ini mewajibkan akidah pada empat pilar:
Seluruh pilar ini adalah fokus utama dari dakwah Nabi SAW di Mekkah.
Implikasi syariatnya diwujudkan dalam Hadis Nabi SAW:
“Barangsiapa yang menghidupkan Lailatul Qadr karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syariat yang terkandung dalam surah ini adalah syariat ibadah personal (ibadah fardiyah) yang khas pada periode Makkiyah: shalat malam (qiyamul lail), membaca Al-Qur'an, dan berdoa (termasuk doa yang diajarkan Nabi SAW: “Ya Allah, Engkau Maha Pengampun, Engkau mencintai ampunan, maka ampunilah aku”). Syariat ini fokus pada pembersihan diri dan penguatan hubungan vertikal dengan Allah, sebelum syariat muamalah yang kompleks diturunkan di Madinah.
***
Meskipun Surah Al-Qadr tergolong Makkiyah, pemahamannya tidak akan lengkap tanpa mengaitkannya dengan kewajiban puasa Ramadan, yang diturunkan di Madinah (tahun ke-2 Hijriyah).
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah (Madaniyah): “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur'an.” (2:185). Surah Al-Baqarah ini, yang Madaniyah, menetapkan kewajiban puasa, namun mengaitkannya langsung dengan Lailatul Qadr yang dijelaskan dalam Surah Al-Qadr (Makkiyah).
Ini menunjukkan harmoni antara ayat Makkiyah dan Madaniyah. Ayat Makkiyah memberikan landasan keagungan waktu dan wahyu, sedangkan ayat Madaniyah memberikan kerangka hukum dan ibadah (puasa) yang harus dilakukan untuk mencari waktu mulia tersebut. Tanpa Surah Al-Qadr, kita tidak akan tahu mengapa Ramadan menjadi bulan yang sangat istimewa.
Penekanan pada kedamaian ("سَلَامٌ هِيَ") memiliki relevansi spiritual yang dalam. Malam ini menawarkan jeda dari hiruk pikuk kehidupan duniawi dan perselisihan, yang merupakan kebutuhan vital bagi kaum Muslimin Mekkah yang berada di bawah tekanan sosial. Mereka diajak mencari kedamaian batin di bawah naungan wahyu, mengabaikan ancaman luar.
Para mufassir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur'an, menekankan bahwa kedamaian di malam itu bukan hanya ketenangan fisik, tetapi juga kedamaian psikologis dan spiritual yang datang dari keyakinan pada janji ilahi, suatu kekuatan yang tak ternilai harganya bagi komunitas minoritas yang teraniaya.
***
Untuk menuntaskan pembahasan mengenai surah Makkiyah yang agung ini, refleksi pada cara memaksimalkan penghayatan terhadap maknanya menjadi penutup yang penting.
Lailatul Qadr adalah malam tafakur (perenungan). Dengan mengetahui bahwa malam tersebut lebih baik dari seribu bulan, seorang Muslim diajak untuk merenungkan sejauh mana ia telah memanfaatkan umurnya. Jika umur kita rata-rata 60-70 tahun, namun kita bisa meraih pahala 83 tahun dalam satu malam, ini adalah anugerah terbesar yang menuntut rasa syukur yang mendalam.
Penghayatan dimulai dari pemahaman bahwa seluruh malaikat, termasuk Jibril, berada di bawah kita di bumi, menyaksikan ibadah kita. Kesadaran akan kehadiran transenden ini harus meningkatkan kualitas shalat dan doa kita.
Karena surah ini diturunkan untuk memuliakan Al-Qur'an, penghayatan terbaik di malam itu adalah dengan berinteraksi secara intensif dengan Al-Qur'an—membaca, menghafal, dan yang paling penting, merenungkan maknanya (tadabbur).
Jika Lailatul Qadr adalah waktu di mana takdir ditetapkan, maka Al-Qur'an adalah petunjuk bagi manusia untuk bagaimana menjalani takdir tersebut. Hubungan antara waktu dan firman Allah adalah inti dari pesan Makkiyah ini.
***
Secara ringkas, Surah Al-Qadr tergolong surah Makkiyah berdasarkan kriteria utama ilmu Al-Qur'an: ringkasnya ayat, irama yang kuat, serta fokus tematik pada keagungan wahyu (Al-Qur'an), kekuasaan Allah (Qudrah), dan penetapan takdir (Taqdir). Surah ini diturunkan pada fase awal Islam di Mekkah untuk menguatkan akidah kaum Muslimin dan memberikan perspektif spiritual tentang nilai waktu dan ibadah.
Dengan lima ayatnya, Surah Al-Qadr telah memberikan umat manusia sebuah hadiah waktu yang tak ternilai harganya, yaitu malam yang lebih berharga dari seluruh usia rata-rata manusia. Ia adalah bukti kasih sayang ilahi yang ditujukan kepada umat Nabi Muhammad SAW, memungkinkan mereka mengejar ketinggalan pahala dari umat-umat terdahulu yang memiliki umur panjang.
Penjelasan yang sangat mendalam dan berulang-ulang mengenai konsep Lailatul Qadr, penetapan takdir tahunan, peran malaikat, dan janji kedamaian abadi dalam teks ini merupakan fondasi yang kukuh bagi setiap Muslim untuk selalu berusaha menghidupkan malam-malam terakhir Ramadan, sebagai pengejaran terhadap kemuliaan dan keridhaan Allah SWT, sebuah tujuan yang universal dan abadi, melampaui batas geografis Mekkah atau Madinah.
Pengulangan analisis tentang kedudukan Makkiyah, penekanan pada aspek linguistik, dan elaborasi filosofis pada setiap kata kunci (Qadr, Ruh, Salam) menegaskan bahwa Surah 97 ini adalah salah satu monumen retorika dan teologi yang paling penting dalam Al-Qur'an. Surah ini secara berkelanjutan mengajak setiap individu Muslim untuk mencari titik balik spiritual, di mana nilai ibadah dan nilai waktu mencapai puncaknya. Keseluruhan pembahasan ini menunjukkan betapa padatnya makna yang terkandung dalam surah yang tergolong pendek ini, yang terus menjadi sumber inspirasi dan kekhusyukan bagi miliaran umat Islam.