Surah Al-Muthaffifin (Orang-Orang yang Curang dalam Timbangan), merupakan surah ke-83 dalam mushaf Al-Qur’an, terdiri dari 36 ayat. Penempatan dan kandungan surah ini menjadikannya salah satu peringatan paling keras yang ditujukan Allah SWT kepada komunitas yang mementingkan keuntungan material di atas integritas etika dan moral.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai klasifikasi surah ini, apakah ia termasuk surah Makkiyyah atau Madaniyyah. Mayoritas cenderung berpendapat bahwa surah ini tergolong Makkiyyah, karena fokus utamanya adalah menegaskan kembali kebenaran Hari Pembalasan (*Yaumul Qiyamah*)—sebuah tema sentral dalam dakwah periode Makkah. Namun, sebagian ulama, termasuk Ibn Abbas (dalam salah satu riwayat), menganggapnya Madaniyyah karena secara spesifik merespons praktik kecurangan dalam timbangan yang meluas di Madinah setelah hijrah.
Pendapat yang kuat menyatakan bahwa ayat 1 hingga 6 diturunkan di Madinah sebagai respons langsung terhadap praktik penipuan yang marak, sementara sisa ayatnya yang membahas tentang *Sijjin*, *Illiyyin*, dan Hari Pembalasan, memiliki nuansa dan fokus utama seperti surah-surah Makkiyyah. Terlepas dari lokasinya, inti surah ini adalah pesan universal tentang akuntabilitas mutlak dan keharusan menjaga kejujuran dalam setiap transaksi dan interaksi.
Surah Al-Muthaffifin dapat dibagi menjadi tiga segmen tematik yang saling terkait:
Terjemah: Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!
Ayat pertama diawali dengan kata وَيْلٌ (Wailun), yang merupakan ancaman keras. Dalam bahasa Arab, "Wail" sering diartikan sebagai "Celaka", "Kerugian besar", atau bahkan diinterpretasikan sebagai sebuah lembah di neraka Jahannam yang penuh penderitaan. Penggunaan kata ini menandakan bahwa dosa yang dilakukan oleh *Al-Muthaffifin* bukanlah dosa ringan, melainkan pelanggaran serius yang mengancam keselamatan spiritual.
Kata الْمُطَفِّفِينَ (Al-Muthaffifin) berasal dari akar kata طَفَفَ (Thafafa), yang secara harfiah berarti sesuatu yang remeh atau sedikit. *Muthaffifin* adalah orang-orang yang hanya mengambil sedikit kekurangan atau kelebihan ketika berinteraksi dalam perdagangan. Mereka curang dengan mengambil hak yang bukan milik mereka, bahkan jika kekurangan yang diambil itu hanya sepele atau sedikit—seolah-olah mereka meremehkan dosa kecil tersebut.
Terjemah: (Yaitu) orang-orang yang apabila mereka menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.
Ayat 2 dan 3 menjelaskan mekanisme kecurangan mereka. Mereka adalah kaum egois yang menerapkan standar ganda (double standard). Ketika mereka membeli (*iktaaluu*), mereka menuntut hak penuh, bahkan lebih. Mereka memeriksa timbangan dengan cermat agar tidak ada kerugian sekecil apa pun menimpa diri mereka.
Namun, ketika mereka menjual (*kaaluuhum aw wazanuuhum*), mereka sengaja mengurangi hak pembeli. Kecurangan ini bukan hanya tentang timbangan fisik, tetapi juga etika pelayanan, kejujuran kontrak, dan integritas dalam pekerjaan. Inti dari *tatfif* adalah mengambil keuntungan secara tidak sah dari ketidakmampuan atau ketidaktahuan orang lain.
Visualisasi Timbangan yang Curang (Tatfif)
Pada masa penurunan wahyu, kecurangan timbangan adalah dosa yang sangat nyata dan terlihat. Namun, para ulama tafsir kontemporer menegaskan bahwa makna *tatfif* jauh lebih luas:
Kecurangan adalah penyakit internal yang lahir dari ketidakpedulian terhadap hak orang lain dan ketamakan diri.
Terjemah: Tidakkah mereka itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?
Ayat-ayat ini menyajikan pertanyaan retoris yang mengejutkan. Allah SWT menghubungkan praktik kecurangan ekonomi secara langsung dengan pengingkaran terhadap Hari Kiamat. Mengapa? Karena jika seseorang benar-benar yakin bahwa ia akan berdiri di hadapan Allah SWT, di Hari yang Besarnya melebihi segalanya, mustahil ia berani melakukan kecurangan sekecil apa pun.
Rasa takut akan kebangkitan (*mab’uutsuun*) dan Hari Berdiri di hadapan Tuhan (*Yaumu Yaquumu an-Naasu li Rabbil ‘Aalamiin*) adalah satu-satunya penjamin moralitas absolut. Ketika ketiadaan hukum manusia atau pengawasan dapat menjangkau mereka, keyakinan pada akuntabilitas Ilahi adalah rem terakhir. Kecurangan timbangan adalah manifestasi konkret dari kekosongan iman pada Hari Pembalasan.
Terjemah: Jangan sekali-kali (berbuat curang)! Sesungguhnya catatan orang yang durhaka itu tersimpan dalam Sijjin. Tahukah engkau apakah Sijjin itu? (Yaitu) Kitab yang berisi catatan yang bertulis.
Setelah ancaman, Al-Qur'an beralih ke rincian nasib orang-orang durhaka (*al-Fujjaar*). Ayat ini dimulai dengan kata كَلَّا (Kallaa), yang berfungsi sebagai penolakan tegas terhadap perilaku *Muthaffifin*. Catatan amal mereka, yang berisi semua kecurangan dan kedurhakaan, berada di *Sijjin*.
Kata سِجِّينٌ (Sijjin) berasal dari akar kata yang sama dengan *Sijn* (penjara). Para mufassir berbeda pendapat mengenainya:
Penempatannya di 'tempat terendah' menunjukkan kehinaan dan kerendahan spiritual para *Fujjar*. Catatan yang tercantum di sana adalah bukti tak terbantahkan atas pengkhianatan mereka terhadap kepercayaan dan hak-hak orang lain.
Terjemah: Celakalah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan! (Yaitu) orang-orang yang mendustakan Hari Pembalasan. Dan tidak ada yang mendustakannya kecuali setiap orang yang melampaui batas dan berdosa.
Di sini, Surah Al-Muthaffifin kembali memperjelas akar masalahnya: kedustaan terhadap Hari Pembalasan (*Yaumid Diin*). Kecurangan ekonomi (*tatfif*) adalah buah dari pengingkaran teologis. Seseorang menjadi curang karena ia merasa tidak ada otoritas yang lebih tinggi yang akan menghukumnya.
Orang-orang yang mendustakan Kiamat digambarkan dengan dua sifat utama:
Terjemah: Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berkata, "Itu adalah dongeng-dongeng orang-orang dahulu." Sekali-kali tidak! Bahkan, apa yang telah mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.
Ayat 14 adalah salah satu ayat paling mendalam dalam psikologi spiritual Al-Qur'an. Ini menjelaskan bagaimana pengingkaran itu terjadi. Ketika ayat-ayat Allah dibacakan, mereka menolaknya sebagai "Asaatirul Awwaliin" (dongeng/mitos kuno).
Kata kunci di sini adalah رَانَ (Raan). Raan merujuk pada lapisan kotoran, noda, atau karat yang menutupi hati akibat akumulasi dosa. Dosa-dosa kecil yang terus-menerus dilakukan—seperti curang dalam timbangan—mengeras menjadi karat spiritual.
Ketika hati sudah tertutup *Raan*, ia kehilangan kemampuan untuk membedakan kebenaran. Peringatan Ilahi tidak lagi masuk, tetapi ditolak secara otomatis. Ini adalah proses bertahap:
*Muthaffifin* mencapai titik ini karena mereka meremehkan sedikit kekurangan yang mereka curi, hingga akhirnya hati mereka sepenuhnya dikuasai oleh sifat mementingkan diri sendiri.
Terjemah: Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka Jahim. Kemudian dikatakan (kepada mereka), "Inilah azab yang dahulu kamu dustakan itu."
Puncak hukuman bagi orang durhaka adalah لَمَحْجُوبُونَ (Lamahjuubuun), yaitu terhalang dari melihat Wajah Allah SWT. Bagi orang beriman, melihat Allah adalah kenikmatan tertinggi di Surga. Bagi orang kafir, dihalangi dari Dzat Yang Maha Pencipta adalah kerugian spiritual terbesar, mendahului hukuman fisik di neraka Jahim.
Ayat ini menetapkan prinsip: Kecurangan dalam hak sesama manusia tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi secara fatal merusak hubungan dengan Allah SWT.
Terjemah: Sekali-kali tidak! Sesungguhnya catatan orang-orang yang berbakti itu benar-benar tersimpan dalam ‘Illiyyin. Tahukah engkau apakah ‘Illiyyin itu? (Yaitu) Kitab yang berisi catatan yang bertulis, yang disaksikan oleh para malaikat yang didekatkan (kepada Allah).
Setelah menggambarkan kedalaman *Sijjin*, Al-Qur'an kini beralih ke kontras yang indah: *Illiyyin*. Orang-orang yang berbakti (*al-Abraar*), yaitu mereka yang jujur, saleh, dan tidak curang, catatan amalnya diangkat ke tempat tertinggi.
Kata عِلِّيِّينَ (Illiyyin) berasal dari akar kata عُلُوّ (Uluw) yang berarti tinggi, mulia, atau agung. Sama seperti *Sijjin*, *Illiyyin* memiliki dua tafsir:
Terjemah: Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam kenikmatan (surga), mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Engkau dapat melihat di wajah mereka cemerlangnya kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kasturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.
Ayat-ayat ini menyajikan gambaran yang menenangkan, kontras sempurna dengan ancaman bagi *Muthaffifin*. Para *Abraar* berada dalam kenikmatan (*Na’iim*), duduk di atas dipan-dipan mewah (*al-Araa’ik*), dan yang terpenting, mereka memandang (*yandzuruun*). Sebagian besar mufassir menafsirkan pandangan ini sebagai kenikmatan melihat Wajah Allah, kebalikan dari penghalang (*mahjuubuun*) yang dialami *Fujjar*.
Mereka disuguhi *Rahiq al-Makhtum*, yaitu minuman murni dan terbaik yang disegel, dan segelnya (lilin penutupnya) terbuat dari kasturi (misik), menunjukkan kemewahan dan kebersihan yang tak tertandingi.
Kemudian datanglah ayat yang memberikan dorongan kuat: وَفِي ذَٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba). Ayat ini mengubah nada dari deskriptif menjadi instruktif, mendorong manusia untuk mengalihkan energi persaingan mereka—yang sering kali disalurkan ke dalam kecurangan material—menuju persaingan untuk mencapai kemuliaan akhirat.
Rahiq al-Makhtum: Minuman Surga yang Dilak dengan Kasturi
Terjemah: Dan campurannya adalah dari Tasnim, (yaitu) mata air yang diminum oleh orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).
Ayat ini memperkenalkan minuman yang lebih istimewa: *Tasnim*. Minuman *Rahiq* dicampur dengan *Tasnim*. Kata تَسْنِيمٍ (Tasnim) berarti ‘tinggi’ atau ‘diangkat ke atas’. Dinamakan demikian karena mata air ini mengalir dari ketinggian di Surga dan hanya orang-orang yang paling dekat dengan Allah (*al-Muqarrabun*) yang meminumnya murni. Sedangkan *al-Abraar* lainnya meminumnya sebagai campuran, menunjukkan tingkatan kenikmatan yang berbeda berdasarkan derajat kedekatan.
Terjemah: Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, dahulu (di dunia) selalu menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka (orang-orang mukmin) melintas di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan mata (mengolok-olok). Dan apabila mereka kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira ria.
Surah ini diakhiri dengan gambaran relasi sosial yang tidak adil di dunia. Orang-orang yang berbuat dosa (*al-Ajramu*), yang sering kali adalah orang-orang kaya dan berkuasa (seperti *Muthaffifin* yang sukses secara materi karena curang), menggunakan kekayaan dan status mereka untuk merendahkan dan mengolok-olok orang beriman yang miskin dan sederhana.
Ayat-ayat ini mencatat tiga tindakan olok-olok yang mereka lakukan:
Terjemah: Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan, "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat." Padahal, mereka (orang-orang yang berdosa) tidak diutus sebagai penjaga bagi orang-orang mukmin. Maka pada hari ini, orang-orang yang berimanlah yang menertawakan orang-orang kafir, (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Bukankah orang-orang kafir telah diberi balasan terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan?
Ayat-ayat penutup ini adalah pernyataan keadilan kosmik. Di Hari Kiamat, terjadi pembalikan total (reversal). Orang-orang yang beriman, yang dahulu diolok-olok, kini duduk dengan mulia di atas dipan-dipan Surga (*al-Araa’ik*) dan mereka yang menertawakan. Olok-olok yang dahulu dilontarkan kini dibalas setimpal oleh Allah SWT melalui kebahagiaan abadi para *Abraar*.
Ayat 36, yang berbentuk pertanyaan retoris (هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ - Bukankah orang-orang kafir telah diberi balasan terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan?), menegaskan bahwa keadilan telah ditegakkan. Setiap perbuatan curang dan setiap cemoohan telah dibalas secara sempurna.
Para ahli fikih (*fuqaha*) telah memperluas cakupan hukum dari *tatfif* jauh melampaui sekadar menimbang komoditas fisik seperti gandum atau kurma. Pada intinya, *tatfif* adalah penyalahgunaan amanah dan ketidakjujuran dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Dalam kajian fikih, keharusan memenuhi takaran dan timbangan adalah perintah yang tegas (*farḍ 'ain*), dan pelanggarannya digolongkan sebagai dosa besar (*kabirah*).
Ini adalah makna literal surah. Dalam sejarah Islam, kecurangan ini sering kali menjadi perhatian utama pemerintah (*hisbah*), yang menunjuk inspektur pasar (*muhtasib*) untuk memastikan timbangan dikalibrasi dengan benar. Fiqh mendefinisikan bahwa kecurangan terjadi saat salah satu dari dua kondisi terpenuhi:
Prinsip dasarnya adalah الإيفاء (al-iifa'), yaitu memenuhi dan menunaikan secara sempurna. Jika seseorang memiliki timbangan yang kurang akurat, ia wajib berusaha memenuhinya, bahkan dilebihkan sedikit, untuk menghindari keraguan.
Kecurangan modern lebih sering terjadi dalam aspek kualitatif, yang dalam fikih disebut *Ghisy* (penipuan/pemalsuan). Ini meliputi:
Semua bentuk *Ghisy* ini dianggap sebagai perluasan dari *tatfif* karena menghasilkan keuntungan yang diperoleh secara haram melalui pelanggaran hak orang lain.
Penerapan Surah Al-Muthaffifin dalam ranah profesional dan pelayanan adalah krusial:
Surah Al-Muthaffifin adalah fondasi etika akuntabilitas yang melampaui hukum manusia. Ia mengajarkan bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun kekurangan yang diambil (*thafaf*), telah dicatat dalam *Sijjin* atau *Illiyyin*.
Ayat 6, *Yaumu Yaquumu an-Naasu li Rabbil ‘Aalamiin* (Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam), melambangkan ketidakberdayaan dan kepasrahan total. Hari itu, tidak ada timbangan yang bisa dimanipulasi, tidak ada kebohongan yang bisa menutupi, dan tidak ada pengacara yang bisa membela.
Penggunaan kata 'berdiri' (*yaquumu*) menyiratkan penantian yang lama dan mengerikan di padang mahsyar, di mana setiap orang sadar bahwa mereka berada di bawah pengawasan langsung Sang Pencipta. Kesadaran ini harus menjadi pendorong utama bagi seorang Muslim untuk selalu melebihkan hak orang lain daripada mengambil hak mereka.
Struktur Surah Al-Muthaffifin dibangun di atas dialektika dan kontras tajam:
| Aspek | Al-Fujjaar (Orang Durhaka) | Al-Abraar (Orang Berbakti) |
|---|---|---|
| Perbuatan di Dunia | Mengurangi Timbangan (Tatfif), Mengolok-olok | Memenuhi Hak (Iifa'), Berbakti |
| Catatan Amal | Sijjin (Tempat Terendah, Catatan Kegelapan) | Illiyyin (Tempat Tertinggi, Catatan Kemuliaan) |
| Kondisi Hati | Raan (Tertutup Noda Dosa) | Bersih, Menerima Ayat |
| Hukuman/Balasan | Terhalang dari Allah, Neraka Jahim | Melihat Allah, Kenikmatan Abadi |
| Minuman | Api Neraka | Rahiq Makhtum, Tasnim |
Pasangan oposisi ini berfungsi sebagai alat pedagogi yang kuat, memastikan pendengar memahami bahwa setiap pilihan etis dalam perdagangan, sekecil curang dalam satu gram, memiliki konsekuensi abadi yang ekstrem, menarik jiwa menuju kutub kehinaan atau kutub kemuliaan.
Dalam dunia modern yang kompleks, konsep timbangan telah meluas dari skala fisik ke pengukuran data, waktu, kejujuran informasi, dan transparansi finansial. *Tatfif* hari ini muncul dalam bentuk yang lebih canggih dan terselubung.
Di era digital, data adalah komoditas. *Muthaffifin* kontemporer mungkin adalah perusahaan yang:
Integritas data kini setara dengan integritas timbangan. Memperoleh keuntungan dengan memberikan informasi yang kurang tepat atau memanipulasi metrik merupakan bentuk *tatfif* digital yang perlu dihindari.
Waktu adalah timbangan yang paling sering dicurangi. Dalam lingkungan kerja profesional:
Dalam pasar modal dan sistem keuangan, *tatfif* dapat berupa:
Surah Al-Muthaffifin mengajarkan bahwa kesalehan sejati tidak hanya diukur dari ritual ibadah (*ibadah mahdhah*), tetapi secara fundamental diukur dari integritas dalam urusan sosial dan ekonomi (*muamalah*). Sebuah hadis Qudsi menyebutkan bahwa Allah berfirman, "Aku adalah yang ketiga dari dua mitra selama salah satu dari mereka tidak berkhianat terhadap yang lain." Kehadiran Ilahi dalam transaksi menggarisbawahi pentingnya kejujuran.
Jalan menuju *Illiyyin* (kesalehan) adalah kebalikan dari *tatfif*—yaitu *Al-Iifa'* (pemenuhan). *Al-Abraar* adalah mereka yang tidak hanya memenuhi timbangan, tetapi secara sukarela melebihkannya. Ketika mereka membeli, mereka memberi hak penjual dengan penuh. Ketika mereka menjual, mereka memastikan pembeli menerima lebih dari yang seharusnya.
Surah ini mendorong dua proses spiritual:
Surah Al-Muthaffifin berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa kehidupan dunia adalah sebuah timbangan raksasa. Keadilan dalam setiap aspek—dari uang receh, data digital, hingga waktu—adalah prasyarat untuk kebahagiaan abadi. Pilihan untuk menjadi *Muthaffif* akan mengarah ke *Sijjin*, dihukum karena mengabaikan yang kecil. Sebaliknya, pilihan untuk menjadi *Abrar* akan membawa kepada *Illiyyin*, tempat mulia yang disaksikan oleh para malaikat, di mana tawa para pengolok-olok di dunia telah diganti dengan pandangan mulia keagungan Allah SWT.