Surah Al-Lail adalah salah satu surah pendek yang terdapat dalam juz Amma (juz ke-30 Al-Qur'an). Surah ini menempati urutan ke-92 dalam mushaf dan terdiri dari 21 ayat. Diturunkan di Makkah (Makkiyah), surah ini merupakan salah satu dari rangkaian surah-surah yang menggunakan sumpah alam (bersumpah dengan waktu, malam, dan siang) untuk menegaskan kebenaran dan inti sari ajaran tauhid serta balasan amal.
Inti utama Surah Al-Lail adalah penegasan mengenai dualitas fundamental dalam kehidupan manusia dan konsekuensi abadi dari setiap pilihan yang diambil. Surah ini secara tegas memisahkan manusia menjadi dua kelompok yang berlawanan, masing-masing menuju takdir yang berbeda: orang yang dermawan dan bertakwa yang akan dimudahkan menuju kebahagiaan (Al-Yusra), dan orang yang bakhil dan sombong yang akan dimudahkan menuju kesulitan (Al-'Usra). Pembahasan ini memicu refleksi mendalam tentang motif dan kualitas amal.
Surah Al-Lail diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah, di mana penekanan utama ajaran adalah penguatan akidah, keimanan terhadap hari akhir, dan pentingnya akhlak mulia, khususnya kedermawanan dan penolakan terhadap sikap bakhil.
Secara urutan nuzul (penurunan), Surah Al-Lail diperkirakan turun setelah Surah Al-A’la dan sebelum Surah Al-Fajr. Surah ini memiliki hubungan tematik yang erat dengan surah-surah sebelumnya, seperti Al-Syams dan Ad-Dhuha, karena ketiganya menggunakan fenomena alam sebagai sumpah untuk menggarisbawahi kebenaran yang akan disampaikan.
Meskipun Surah Al-Lail berbicara dalam konteks umum, banyak ulama tafsir mengaitkan beberapa ayatnya (khususnya ayat 5 hingga 7, dan 17 hingga 21) dengan kisah spesifik yang memperkuat kontras antara kedermawanan dan kebakhilan. Riwayat yang paling masyhur mengaitkan ayat 17-21 dengan sosok Abu Bakar Ash-Shiddiq رضي الله عنه.
Dikisahkan bahwa ayat-ayat tersebut turun berkenaan dengan tindakan Abu Bakar yang sering membebaskan budak-budak lemah yang disiksa oleh majikan mereka di Makkah, bukan karena budak tersebut memiliki utang budi atau karena motif duniawi, melainkan murni karena mencari keridaan Allah. Riwayat dari Ibn Abi Hatim dan Al-Hakim menyebutkan bahwa Abu Bakar memerdekakan Bilal bin Rabah dan beberapa budak lainnya, dan beliau tidak pernah melakukannya kecuali karena mengharap Wajah Allah Yang Maha Tinggi. Ini menjadi antitesis terhadap kisah lain yang sering dikaitkan dengan Umayyah bin Khalaf atau salah satu pemimpin Quraisy yang terkenal bakhil.
Untuk memahami Surah Al-Lail secara mendalam, kita harus menelaah setiap ayatnya, karena surah ini dibangun melalui struktur dikotomis yang sangat ketat.
Surah Al-Lail dimulai dengan tiga sumpah agung, sebuah metode retorika khas Al-Qur'an untuk menarik perhatian dan menggarisbawahi pentingnya pernyataan yang akan menyusul. Sumpah ini membentuk landasan filosofis bagi dikotomi amal yang menjadi fokus utama surah.
Allah bersumpah dengan malam ketika ia menutupi (yaghsha) dan siang ketika ia terang benderang (tajalla). Malam dan siang adalah dua sisi dari satu realitas yang tidak dapat dipisahkan. Kehadiran yang satu menandakan ketiadaan yang lain, menciptakan kontras sempurna:
Sumpah ini menegaskan hukum alam tentang kontras dan dualitas. Sebagaimana ada malam dan siang, ada pula kebaikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bergerak dalam pasangan yang berlawanan, yang mana hal ini mempersiapkan pendengar untuk menerima pasangan kontras dalam amal manusia (dermawan vs bakhil).
Ayat ketiga, Wamaa khalaqadh dhakara wal-unthaa (Dan penciptaan laki-laki dan perempuan), melengkapi sumpah dualitas. Jika ayat 1 dan 2 berbicara tentang dualitas waktu, ayat 3 berbicara tentang dualitas makhluk hidup. Ada perbedaan tafsir mengenai kata 'maa' (وَمَا):
Apapun penafsirannya, fokusnya tetap pada sistem keseimbangan dan kontras yang telah ditetapkan oleh Allah dalam penciptaan. Keseimbangan ini adalah bukti nyata akan kekuasaan-Nya, yang kemudian mengarah pada pernyataan inti:
Pernyataan inti setelah sumpah ini adalah: Inna sa'yakum lashattaa (Sesungguhnya usaha kamu benar-benar beraneka ragam). Kata shattaa (شتى) berarti 'berbeda', 'beraneka ragam', atau 'bertolak belakang'. Ini adalah jawaban atas semua sumpah di atas. Meskipun manusia diciptakan sama-sama memiliki potensi (laki-laki dan perempuan), dan beraktivitas dalam waktu yang sama (siang dan malam), hasil dan motif usaha mereka sangat berbeda dan berlawanan arah.
Ayat 4 adalah jembatan yang menghubungkan fenomena alam yang teratur (siang dan malam) dengan fenomena moral yang kacau (beragamnya amal manusia). Ayat ini menegaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas arah yang dipilihnya, yang kemudian dibahas secara rinci dalam ayat-ayat berikutnya.
Inilah pusat gravitasi Surah Al-Lail, di mana manusia diklasifikasikan menjadi dua jenis berdasarkan tiga kriteria utama: kedermawanan/kebakhilan, ketakwaan/kesombongan, dan pembenaran/pendustaan terhadap kebenaran abadi.
Kelompok ini digambarkan melalui tiga ciri positif yang saling terkait (Ayat 5-7):
Fa ammaa man a'taa (Adapun orang yang memberikan). Kata 'a'taa' (memberi) ditempatkan pertama kali. Ini menunjukkan bahwa kedermawanan adalah manifestasi fisik terpenting dari keimanan sejati dalam konteks surah ini. 'A'taa' tidak hanya berarti memberi harta, tetapi mencakup pemberian waktu, tenaga, ilmu, dan nasihat baik. Kedermawanan adalah bukti bahwa seseorang tidak terikat kuat pada dunia.
Waattaqaa (dan bertakwa). Ketakwaan (Taqwa) adalah menjaga diri dari siksa Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam konteks ayat ini, ketakwaan adalah motif di balik kedermawanan. Seseorang memberi bukan untuk pujian (riya') atau imbalan duniawi, melainkan karena didorong oleh kesadaran akan pengawasan Ilahi dan takut akan neraka.
Wa shaddaqa bil-Husnaa (dan membenarkan balasan yang terbaik). Para mufassir sepakat bahwa Al-Husna (yang terbaik) merujuk pada tiga hal yang mendasar:
Ini adalah dimensi keimanan (aqidah). Kedermawanan (amal) dan ketakwaan (keadaan spiritual) menjadi sempurna hanya jika didasari oleh pembenaran yang kuat terhadap janji dan janji Allah. Orang bertakwa percaya bahwa apa yang mereka keluarkan akan diganti dengan balasan yang jauh lebih baik dan abadi.
Bagi kelompok ini, janji Allah adalah Fasanuyassiruhuu lil-Yusraa (Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah). Jalan yang mudah (Al-Yusra) adalah kemudahan dalam beramal saleh di dunia (Allah membukakan pintu kebaikan) dan kemudahan saat menghadapi sakaratul maut, serta kemudahan dalam perhitungan di Hari Kiamat, yang puncaknya adalah masuk Surga.
Penting untuk dicatat bahwa 'Kami akan siapkan' (Sanuyassiru) mengandung makna bahwa Allah bukan hanya memberikan kemudahan, tetapi memfasilitasi dan mengarahkan hidup orang tersebut ke arah kebaikan, menjauhkan dari kemalasan dan kesulitan spiritual.
Kelompok ini adalah kebalikan mutlak dari kelompok pertama, ditandai dengan kebakhilan, kesombongan, dan pendustaan (Ayat 8-11).
Wa ammaa man bakhila (Dan adapun orang yang kikir). Bakhil adalah penolakan untuk mengeluarkan harta atau manfaat, padahal mampu. Kebakhilan di sini bukan hanya menolak zakat, tetapi menolak semua bentuk pengorbanan yang seharusnya dilakukan demi agama.
Waastaghnaa (dan merasa dirinya cukup). Rasa cukup ini (istighna) adalah kesombongan spiritual. Mereka merasa tidak membutuhkan Allah, tidak butuh petunjuk-Nya, dan meyakini bahwa kekayaan atau kemampuan yang mereka miliki murni berasal dari usaha mereka sendiri. Kesombongan ini mencegah mereka dari melakukan amal saleh karena mereka tidak melihat adanya urgensi atau kebutuhan akan pahala akhirat.
Wa kadzdzaba bil-Husnaa (Serta mendustakan balasan yang terbaik). Kelompok ini mendustakan Surga, janji Allah, atau bahkan esensi tauhid. Jika mereka memberi, mereka memberinya dengan motif riya' atau untuk keuntungan dunia semata, karena mereka tidak percaya pada balasan yang abadi. Pendustaan ini menjadi akar dari kebakhilan dan kesombongan mereka.
Untuk kelompok ini, Allah menjanjikan Fasanuyassiruhuu lil-'Usraa (Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar/sulit). Jalan kesulitan (Al-'Usra) adalah kebalikan dari Al-Yusra. Orang tersebut dimudahkan oleh Allah menuju kesulitan dan kesengsaraan, baik di dunia (diberi kemudahan melakukan dosa) maupun di akhirat (masuk neraka).
Secara spiritual, kesulitan ini termanifestasi dalam kekikiran yang semakin menguat, hati yang tertutup, dan ketidakmampuan untuk merasakan manisnya iman. Mereka terperangkap dalam lingkaran setan duniawi, yang pada akhirnya membawa mereka pada kehancuran total:
Wa maa yughnii 'anhu maaluhuu idzaa taraddaa (Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa/jatuh ke dalam neraka). Harta yang dikumpulkan dengan kikir, yang menjadi sumber kesombongan di dunia, tidak akan mampu menolong mereka sedikit pun saat menghadapi kehancuran (taraddaa). 'Taraddaa' sering ditafsirkan sebagai jatuh ke dalam api neraka.
Setelah menggambarkan dua jalur kehidupan, surah ini beralih ke penegasan kekuasaan Allah dan peringatan keras yang tak terhindarkan.
Ayat 12, Inna 'alaynaa lalhudaa (Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk), sering disalahpahami. Petunjuk di sini merujuk pada 'Penjelasan' jalan yang benar. Allah menjelaskan dua jalan (Yusra dan 'Usra) dan menunjukkan mana yang benar. Allah telah menurunkan wahyu dan mengutus Rasul; ini adalah kewajiban-Nya untuk menjelaskan. Namun, menerima petunjuk itu tetap merupakan pilihan hamba.
Ayat 13, Wa inna lanaa lal-aakhirata wal-uulaa (Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia), menegaskan kembali bahwa Allah adalah Pemilik mutlak dari segala sesuatu. Ini adalah pesan yang sangat penting bagi orang yang sombong (istaghnaa) yang merasa kaya di dunia; kekayaan dan kekuasaan duniawi hanya pinjaman, dan kekuasaan absolut berada di tangan Allah.
Peringatan yang diberikan Allah sangat spesifik:
Kata Ladhā (لظى) adalah salah satu nama atau sifat Neraka yang menunjukkan kobaran api yang sangat dahsyat dan membakar hingga habis. Peringatan ini ditujukan kepada semua manusia, namun yang celaka adalah mereka yang mengabaikannya.
Ayat 15-16 secara tegas mendefinisikan siapa yang akan masuk neraka Ladhā:
Karakteristik Al-Asyqa ini paralel dengan karakteristik orang yang kikir, sombong, dan mendustakan Al-Husna pada Ayat 8 dan 9. Mereka adalah satu kelompok yang sama.
Bagian penutup Surah Al-Lail memberikan penghiburan dan gambaran rinci tentang balasan bagi kebalikan dari Al-Asyqa, yaitu Al-Atqa.
Wa sayujanabuhal-Atqaa (Dan kelak akan dijauhkan darinya [neraka] orang yang paling bertakwa). Sama seperti Al-Asyqa adalah bentuk superlatif dari kecelakaan, Al-Atqa (الأتقى) adalah bentuk superlatif dari ketakwaan—orang yang paling takut kepada Allah dan menjauhi maksiat. Mereka dijamin akan diselamatkan dari api neraka.
Ayat 18 hingga 20 merinci kualitas terpenting dari Al-Atqa: menafkahkan harta dengan motivasi yang murni.
Alladzii yu'tii maalahuu yatazakkaa (Yang menafkahkan hartanya untuk membersihkannya). Kata Yatazakka (membersihkan diri) menunjukkan bahwa tujuan utama infak mereka adalah pemurnian jiwa, bukan mencari nama baik, popularitas, atau keuntungan materi. Infak ini berfungsi membersihkan harta dari hak orang lain dan membersihkan jiwa dari penyakit bakhil, riya', dan cinta dunia yang berlebihan.
Ayat 19 adalah salah satu ayat paling penting tentang keikhlasan dalam Al-Qur'an: Wa maa li'ahadin 'indahuu min ni'matin tujzaa (Dan tiada seorang pun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya).
Ayat ini menyingkirkan motif balasan atau 'membalas budi' dari amal saleh mereka. Al-Atqa berinfak bukan karena ia pernah menerima kebaikan dari orang tersebut di masa lalu, sehingga ia harus membalasnya. Tindakannya murni proaktif, didorong oleh kasih sayang dan ketakwaan, tanpa ada motif 'utang sosial' yang harus dilunasi.
Jika kita menafkahkan harta untuk membalas budi seseorang yang pernah menolong kita, amal itu tetap mulia, namun tingkat keikhlasan yang dicapai oleh Al-Atqa adalah menafkahkan kepada mereka yang tidak memiliki hubungan 'utang piutang' dengannya, memastikan bahwa tindakan itu murni karena Allah.
Illab-tighaa'a wajhi rabbihil-A'laa (Melainkan [dia memberikan itu] semata-mata mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi).
Ini adalah titik puncak keikhlasan (Ikhlas). Seluruh amal mereka, termasuk kedermawanan luar biasa, dilakukan semata-mata untuk mencapai keridaan Allah. Mereka tidak mencari pandangan manusia (riya'), melainkan pandangan Allah (Wajh Rabbih). Kata Al-A'laa (Yang Mahatinggi) semakin menekankan keagungan tujuan ini.
Ayat penutup memberikan janji tertinggi: Wa lasawfa yardhaa (Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan keridaan/kepuasan).
Janji ini memiliki dua dimensi:
Keridaan dan kepuasan ini adalah kenikmatan Surga yang paling utama, melebihi kenikmatan fisik apa pun. Ini adalah balasan bagi hati yang ikhlas, yang membebaskan diri dari belenggu harta duniawi demi mencari keridaan Sang Pencipta.
Surah Al-Lail menawarkan pelajaran abadi yang sangat relevan bagi kehidupan modern, yang sering kali didominasi oleh materialisme dan kebakhilan spiritual.
Surah ini tidak berbicara tentang seberapa banyak harta yang dimiliki seseorang, melainkan bagaimana harta itu diperlakukan. Al-Atqa mungkin orang yang miskin, tetapi ia memberi sesuai kemampuannya dengan ikhlas dan bertakwa. Al-Asyqa mungkin orang yang sangat kaya, tetapi ia menahan hak Allah dan berinfak dengan riya'. Yang membedakan adalah motif (niat) dan pembenaran terhadap janji akhirat (iman).
Ketakwaan (Taqwa) dalam surah ini didefinisikan secara operasional:
Tanpa keyakinan teguh pada Hari Akhir, kedermawanan hanya akan menjadi transaksi duniawi yang rapuh. Tanpa kedermawanan, keyakinan menjadi kering dan tidak terwujud.
Penyakit utama Al-Asyqa adalah Istighnaa (merasa diri cukup). Di dunia yang mengagungkan swadaya dan kemandirian total, Istighnaa adalah racun mematikan. Merasa tidak butuh kepada Allah adalah akar dari pendustaan dan kebakhilan. Surah ini mengingatkan bahwa bahkan kekayaan terbesar pun tidak akan menyelamatkan seseorang dari kehancuran abadi.
Ayat 7 dan 10 menggunakan redaksi yang sama: 'Fasanuyassiruhuu' (Maka Kami akan siapkan baginya). Ini menunjukkan bahwa pilihan yang kita buat hari ini—apakah memberi atau kikir, apakah bertakwa atau sombong—adalah pilihan yang menentukan arah hidup kita selanjutnya. Jika seseorang memilih jalan kebaikan, Allah akan memudahkan jalan itu; jika seseorang memilih jalan kesengsaraan, Allah pun akan memudahkan jalannya menuju kesengsaraan itu, sebagai konsekuensi logis dari kehendak bebasnya.
Fasilitasi ini merupakan bentuk keadilan Ilahi. Jika seseorang bersungguh-sungguh mencari keridaan Allah, Allah akan membimbingnya lebih lanjut. Jika seseorang bersikeras menolak petunjuk dan mendustakan, Allah akan 'mempermudah' ia tenggelam dalam kesesatannya sebagai hukuman.
Ayat 19 dan 20 adalah penekanan tertinggi pada keikhlasan. Mengapa Abu Bakar disebut Al-Atqa? Karena tindakan kedermawanannya, meskipun sangat besar dan bermanfaat bagi banyak orang, tidak dilandasi oleh motif balas budi atau imbalan duniawi. Kunci keselamatan terletak pada kemurnian niat: Illab-tighaa'a wajhi rabbihil-A'laa.
Bagi setiap muslim, ini berarti setiap tindakan kebaikan harus diverifikasi niatnya: apakah ini dilakukan untuk mengharap pujian atasan, teman, ataukah murni untuk mendapatkan pandangan (Wajh) Allah Yang Mahatinggi.
Surah Al-Lail adalah mahakarya retorika yang menggunakan struktur paralelisme dan kontras yang intens untuk menyampaikan pesannya.
Seluruh surah ini dibangun atas dasar oposisi sempurna (muqabalah):
| Kelompok I (Al-Atqa) | Kelompok II (Al-Asyqa) |
|---|---|
| Memberi (A'taa) | Kikir (Bakhila) |
| Bertakwa (Ittaqaa) | Merasa Cukup/Sombong (Istaghnaa) |
| Membenarkan (Shaddaqa bil-Husnaa) | Mendustakan (Kadzdzaba bil-Husnaa) |
| Jalan Kemudahan (Yusra) | Jalan Kesulitan ('Usraa) |
| Dijauhkan dari Neraka (Sayujanabuhal) | Masuk Neraka (Yaslaahaa) |
Penggunaan kontras yang jelas dan berulang ini membantu pendengar untuk dengan mudah mengidentifikasi di pihak mana mereka berdiri dan apa konsekuensi dari pilihan tersebut.
Penggunaan kata sifat superlatif (paling/ter-) sangat kuat di sini:
Ini bukan hanya tentang orang baik dan orang jahat, tetapi tentang mereka yang mencapai puncak kebaikan (*Al-Atqa*) dan mereka yang mencapai puncak keburukan (*Al-Asyqa*). Surah ini menantang umat untuk tidak sekadar menjadi baik, tetapi menjadi yang terbaik dalam ketakwaan.
Pemilihan kata dalam sumpah pertama sangat puitis: *Yaghsha* (menutupi) memiliki konotasi kegelapan yang meliputi secara perlahan dan menyeluruh, seperti selimut. *Tajalla* (terang benderang) memiliki konotasi cahaya yang muncul dan menyingkap secara eksplosif dan nyata. Kedua kata ini, ketika digunakan sebagai sumpah, menekankan bahwa Allah menguasai transisi halus maupun dramatis dalam eksistensi, dan Dia juga menguasai segala rahasia (malam) dan segala yang nampak (siang) dalam amal manusia.
Surah Al-Lail adalah peringatan keras dan sekaligus berita gembira yang luar biasa. Surah ini memberikan peta jalan yang jelas bagi manusia yang hidup di tengah tarik-menarik antara daya tarik materi dan janji keabadian. Pesan intinya adalah bahwa kualitas dan tujuan di balik amal kita jauh lebih penting daripada kuantitas amal itu sendiri.
Jika seseorang memberikan (A'taa) dengan tujuan membersihkan diri (Yatazakka), didorong oleh keyakinan pada keridaan Allah Yang Mahatinggi (Ibtighaa'a wajhi Rabbihil A'laa), maka janji Ilahi adalah kemudahan abadi dan keridaan yang sempurna (Wa lasawfa yardhaa). Sebaliknya, orang yang memilih jalan kekikiran dan kesombongan spiritual, mendustakan janji Al-Husna, akan menemukan jalannya dipenuhi kesulitan dan kehancuran, di mana hartanya tidak akan berguna sedikit pun saat ia jatuh ke Neraka Ladhā yang menyala-nyala.
Dengan menimbang secara cermat kualitas amal kita, memastikan bahwa setiap pemberian dan setiap tindakan baik berakar pada ketakwaan dan ikhlas lillahi ta'ala, kita memastikan bahwa kita termasuk dalam golongan *Al-Atqa* yang dijanjikan Surga dan kepuasan abadi oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.