Surat Al-Baqarah Ayat 100-120: Pelajaran Berharga Sepanjang Masa

Surat Al-Baqarah, juz kedua dalam kitab suci Al-Qur'an, adalah surah terpanjang yang mengandung berbagai kisah, hukum, dan petunjuk bagi umat manusia. Di antara ayat-ayatnya yang sarat makna, rentang ayat 100 hingga 120 menyajikan serangkaian pelajaran penting mengenai keimanan, perjanjian Allah, tantangan yang dihadapi orang beriman, serta kritik terhadap kaum Yahudi dan kemunafikan. Memahami dan merenungkan ayat-ayat ini memberikan panduan spiritual dan moral yang sangat relevan bagi kehidupan kita, baik di masa lalu maupun masa kini.

القرآن Al-Qur'an

Kisah Perjanjian dan Pengkhianatan

Ayat-ayat awal dalam rentang ini, khususnya dari ayat 100 hingga 102, menyoroti sejarah Bani Israil. Allah mengingatkan mereka tentang nikmat-nikmat yang telah diberikan, termasuk diturunkannya kitab suci dan kenabian. Namun, mereka seringkali melupakan janji-janji mereka kepada Allah dan bahkan berani mengganti atau menyembunyikan sebagian dari ajaran-Nya. Ayat ini menjadi pengingat kuat bahwa setiap perjanjian dengan Sang Pencipta haruslah dijaga dengan sungguh-sungguh. Pengingkaran terhadap janji atau perubahan terhadap wahyu-Nya adalah bentuk kekufuran yang akan berakibat pada murka-Nya.

Allah berfirman dalam وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ ۖ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ (QS. Al-Baqarah: 102). Ayat ini menunjukkan betapa banyak di antara mereka yang tidak menepati janji dan keluar dari ketaatan. Hal ini juga berlaku bagi umat Muslim di masa kini; menjaga komitmen terhadap ajaran Islam dan tidak melakukan penyimpangan adalah kunci keimanan yang kokoh.

Tantangan Umat Beriman dan Pertanyaan Kepada Rasul

Selanjutnya, ayat 103-113 membahas tentang bagaimana hati yang bersih akan bersinar dengan cahaya kebenaran. Namun, Allah juga menegaskan bahwa tidak semua orang akan menerima kebenaran tersebut. Ada yang tertutup hatinya, seolah-olah mereka dipaksa untuk mempercayai sesuatu yang tidak mereka inginkan. Ayat-ayat ini mengingatkan kita bahwa hidayah adalah anugerah dari Allah, dan usaha untuk mencari kebenaran harus dibarengi dengan keikhlasan hati.

Dalam rentang ayat ini, Allah juga menjelaskan mengenai permintaan kaum Yahudi kepada Nabi Muhammad SAW agar menurunkan kitab dari langit. Hal ini menjadi ujian keimanan bagi mereka. Allah berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (QS. Al-Baqarah: 104). Perubahan cara penyampaian dari "ra'ina" (perhatikan kami) menjadi "unzurna" (lihatlah kami) menunjukkan pentingnya adab dalam berinteraksi dengan Rasulullah SAW, serta menghindari kata-kata yang bisa disalahartikan atau memiliki konotasi negatif.

Penolakan Kebenaran dan Kesombongan

Ayat-ayat selanjutnya menguraikan lebih dalam mengenai sifat-sifat orang yang menolak kebenaran, seperti Yahudi yang merasa diri mereka lebih mulia atau berhak atas agama Allah. Mereka bersikeras pada keyakinan nenek moyang mereka dan menolak kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, meskipun ayat-ayat Al-Qur'an telah jelas menunjukkan kebenarannya.

Ayat 113, misalnya, menjelaskan ketidaksetujuan antara orang Yahudi dan Nasrani mengenai siapa yang berada di jalan yang benar. Allah menegaskan bahwa Dia akan memutuskan perselisihan mereka pada Hari Kiamat. Hal ini menggarisbawahi bahwa kebenaran mutlak hanya ada pada apa yang diturunkan oleh Allah, dan perselisihan manusia, betapapun kerasnya, pada akhirnya akan diselesaikan oleh-Nya.

Keutamaan Al-Qur'an dan Larangan Mengingkari

Ayat 114-120 lebih menekankan keagungan Al-Qur'an dan peringatan keras bagi mereka yang mengingkarinya. Allah mengutuk orang-orang yang berusaha menghalangi orang lain untuk menyebut nama Allah di masjid-masjid-Nya dan berusaha merobohkannya. Usaha seperti ini adalah tanda kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat.

Ayat 116-118 menegaskan kesucian Allah dari memiliki anak, sebuah klaim yang dipegang oleh sebagian kaum. Allah berfirman: وَقَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا ۗ سُبْحَانَهُ ۖ بَلْ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ (QS. Al-Baqarah: 116). Ini adalah penolakan mutlak terhadap paham syirik yang mengaitkan sekutu atau anak bagi Tuhan. Seluruh makhluk tunduk dan patuh kepada-Nya.

Dalam ayat-ayat ini juga, Allah menyebutkan tentang keinginan orang-orang yang tidak berilmu yang ingin berbicara dengan Allah atau menunggu tanda-tanda dari-Nya. Allah mengingatkan bahwa hati mereka serupa. Perbedaan antara orang mukmin dan orang yang memiliki hati yang tertutup adalah bahwa orang mukmin akan merasakan ketenangan ketika ayat-ayat Allah dibacakan kepada mereka, sementara yang lain justru semakin jauh dari kebenaran.

Kutipan ayat 120 adalah penegasan yang kuat: وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (QS. Al-Baqarah: 120). Ayat ini menjadi pedoman bagi umat Islam untuk tidak pernah tunduk pada keinginan orang-orang kafir yang ingin mengubah ajaran agama mereka. Jalan yang benar adalah petunjuk Allah, dan mengikuti hawa nafsu orang lain setelah datangnya ilmu dari Allah akan berakibat pada hilangnya perlindungan-Nya.

Merangkum dari ayat 100 hingga 120 Surat Al-Baqarah, kita diajak untuk senantiasa menjaga perjanjian kita dengan Allah, berpegang teguh pada kebenaran yang murni, menjauhi kesombongan dan penolakan terhadap petunjuk-Nya. Kisah-kisah dalam ayat ini bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan cermin yang merefleksikan tantangan keimanan yang mungkin kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari, serta penegasan bahwa Al-Qur'an adalah panduan abadi yang akan menyelamatkan kita jika kita bersedia mengikuti petunjuk-Nya dengan tulus.

🏠 Homepage