Surat Al-Baqarah, juz kedua dari Al-Qur'anul Karim, merupakan surat terpanjang yang menyimpan begitu banyak hikmah dan pedoman hidup bagi umat Islam. Di dalamnya, terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum, akidah, dan etika. Khususnya pada rentang ayat 176 hingga 180, Allah SWT menurunkan penjelasan mengenai ketentuan hukum terkait darah dan perjanjian, serta penegasan akan luasnya rahmat dan ampunan-Nya bagi orang yang bertakwa.
Ayat 176, meskipun penomoran di atas tertera sebagai ayat 176, perlu diklarifikasi bahwa konteks ayat 176 dalam Al-Baqarah sebenarnya membahas mengenai hukum terkait orang-orang yang mengakui kitab Allah namun kemudian menjualnya dengan harga yang sedikit, yang secara implisit mengacu pada sikap para ahli kitab yang menyembunyikan kebenaran atau menukarnya dengan keuntungan duniawi. Ayat ini menekankan kerugian besar yang akan mereka alami karena menukar kebenaran ilahi dengan sesuatu yang remeh.
Dalam ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa Dia memiliki kerajaan langit dan bumi serta segala isinya. Segala sesuatu yang tersembunyi maupun yang tampak di dalam diri manusia akan diperhitungkan. Hal ini memberikan peringatan keras sekaligus penentraman bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui segala sesuatu. Pengampunan dan siksaan adalah hak prerogatif-Nya, yang disesuaikan dengan kehendak-Nya yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat 177 ini adalah ayat yang sangat monumental, yang merangkum esensi sejati dari kebajikan dan ketakwaan. Allah SWT mengoreksi pandangan dangkal yang mengira bahwa ibadah hanya sebatas ritual formal menghadap kiblat tertentu. Sebaliknya, kebajikan yang sesungguhnya adalah manifestasi dari keimanan yang mendalam kepada rukun iman, dan kemudian diikuti dengan berbagai amal shaleh yang mencakup kepedulian sosial dan spiritual.
Dalam ayat ini, diuraikan secara rinci bentuk-bentuk kebajikan: pertama, keimanan kepada Allah, Hari Akhir, malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi. Kedua, kedermawanan yang tulus dengan memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan untuk memerdekakan budak. Ketiga, mendirikan salat dan menunaikan zakat. Keempat, menepati janji. Kelima, kesabaran dalam menghadapi kesulitan, penderitaan, dan dalam medan perang. Semua ini adalah ciri-ciri orang yang benar dan bertakwa.
Ayat 178 melanjutkan pembahasan mengenai hukum, kali ini secara spesifik menyoroti pentingnya hukum *qisas*. Kata *qisas* berasal dari akar kata yang berarti mengikuti, menelusuri, atau membalas. Dalam konteks ini, *qisas* adalah sanksi pidana yang berupa pembalasan setimpal atas kejahatan pembunuhan. Ayat ini menegaskan prinsip keadilan bahwa pelaku kejahatan harus mendapatkan balasan yang setara dengan perbuatannya, dengan mempertimbangkan status sosial pelaku dan korban.
Namun, ayat ini juga menunjukkan kemurahan dan rahmat Allah. Diberikan opsi bagi keluarga korban untuk memaafkan pelaku, atau menerima *diat* (tebusan) sebagai pengganti *qisas*. Pemaafan atau penerimaan *diat* harus dilakukan dengan cara yang baik dan sesuai aturan yang telah ditetapkan. Keputusan ini merupakan keringanan dan rahmat dari Allah. Ayat ini juga menjadi peringatan keras bagi siapa saja yang melampaui batas setelah adanya pemaafan atau penerimaan *diat*, mereka akan menerima siksa yang pedih. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara keadilan yang tegas dan pintu maaf yang terbuka.
Ayat 179 memberikan sebuah perspektif yang mendalam mengenai tujuan di balik diberlakukannya hukum *qisas*. Seringkali hukum ini dipandang sebagai tindakan balas dendam yang brutal. Namun, Al-Qur'an menjelaskan bahwa *qisas* sebenarnya adalah sumber kehidupan. Bagaimana mungkin sebuah hukuman mati bisa menjadi sumber kehidupan? Jawabannya terletak pada efek jera yang ditimbulkannya.
Dengan adanya ancaman hukuman *qisas* yang setimpal, calon pelaku kejahatan akan berpikir dua kali sebelum melakukan pembunuhan. Ketakutan akan kehilangan nyawa mereka sendiri akan mencegah terjadinya pembunuhan dan tindakan kekerasan lainnya. Dengan demikian, *qisas* melindungi kehidupan banyak orang dengan menakut-nakuti para calon pembunuh. Inilah yang disebut sebagai "kehidupan bagi orang-orang yang berakal". Ayat ini mengajak umat manusia untuk menggunakan akal sehat mereka dalam memahami hikmah hukum Ilahi, yang pada akhirnya akan menuntun mereka untuk bertakwa kepada Allah SWT.
Terakhir, ayat 180 membahas mengenai kewajiban berwasiat bagi setiap Muslim yang menghadapi ajal. Allah SWT menetapkan bahwa bagi seseorang yang akan meninggal dunia dan memiliki harta, diwajibkan untuk membuat wasiat. Wasiat ini ditujukan kepada kedua orang tua dan kerabatnya, dengan cara yang makruf (baik dan sesuai syariat).
Penting untuk dicatat bahwa kewajiban ini berlaku jika orang tersebut meninggalkan harta. Jika tidak ada harta, maka tidak ada kewajiban wasiat terkait harta. Wasiat ini merupakan bentuk kepedulian terhadap keluarga yang ditinggalkan dan sekaligus bentuk pertanggungjawaban moral. Ia menjadi bukti ketakwaan seseorang, karena dilakukan demi kebaikan ahli waris dan untuk menunaikan hak-hak mereka sesuai dengan tuntunan agama. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan jujur dan adil, tanpa mengurangi hak waris yang telah ditetapkan dalam syariat Islam.
Dengan memahami rangkaian ayat ini, kita dapat melihat betapa komprehensifnya ajaran Islam dalam mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari aqidah, hukum, hingga etika sosial. Ayat-ayat ini menjadi panduan berharga untuk menjalani kehidupan yang lurus, adil, dan penuh kasih.