Ilustrasi: Simbol Al-Qur'an dan Angka Ayat
Surat Al Baqarah, surat terpanjang dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak hikmah dan petunjuk bagi umat manusia. Di antara ayat-ayatnya yang kaya makna, rentang ayat 90 hingga 120 menawarkan sebuah narasi yang mendalam mengenai respons manusia terhadap kebenaran, sifat-sifat orang beriman, serta ujian yang dihadapi dalam perjalanan menegakkan agama Allah.
Ayat-ayat ini turun pada periode awal dakwah Islam di Madinah. Pada masa ini, umat Islam berhadapan dengan berbagai tantangan, baik dari internal maupun eksternal. Salah satu tantangan terbesar adalah sikap sebagian kaum Yahudi yang sebelumnya memiliki kitab suci, namun menolak kenabian Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Penolakan ini bukan sekadar ketidakpercayaan, melainkan juga upaya untuk menghalangi cahaya Islam yang menyebar.
Surat Al Baqarah ayat 90 diawali dengan kecaman terhadap kaum yang membeli diri mereka sendiri dengan kesesatan. Mereka menjual ayat-ayat Allah dan mengikuti hawa nafsu, sehingga mereka dilaknat dan dibalas dengan murka Allah. Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa penolakan terhadap kebenaran yang datang dari Allah, yang diwujudkan melalui para rasul-Nya, akan membawa konsekuensi yang berat.
"Sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan mengingkari apa yang diturunkan Allah, karena kedengkian bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu, mereka mendapat murka demi murka, dan orang-orang kafir akan mendapat azab yang menghinakan."
Ayat 91 dan 92 kemudian menjelaskan lebih lanjut tentang keengganan mereka untuk beriman pada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, padahal mereka mengetahui bahwa itu adalah kebenaran dari Allah. Keingkaran mereka ini didorong oleh sifat dengki, di mana mereka tidak rela jika kebenaran itu datang kepada selain mereka.
Dalam ayat 93, Allah mengingatkan kembali tentang perjanjian yang telah diambil dari Bani Israil (keturunan Nabi Ya'qub). Allah berfirman, "Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan Kami angkat bukit (Thursina) di atas mereka, seraya Kami berfirman: 'Peganglah kitab (Taurat) ini dengan teguh dan amalkan apa yang ada di dalamnya supaya kamu bertakwa'." Hal ini menekankan pentingnya memegang teguh ajaran Allah dan menjalankan perintah-Nya sebagai syarat untuk meraih ketakwaan.
"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan Kami angkat bukit (Thursina) di atas mereka, seraya Kami berfirman: 'Peganglah kitab (Taurat) ini dengan teguh dan amalkan apa yang ada di dalamnya supaya kamu bertakwa'."
Ayat 94-96 memaparkan sebuah paradoks. Allah menantang orang Yahudi untuk mengharapkan kematian jika mereka benar-benar yakin bahwa akhirat (kampung akhirat) adalah milik mereka. Namun, mereka tidak akan pernah menginginkannya karena takut akan apa yang telah mereka perbuat. Hal ini kontras dengan sifat orang beriman yang senantiasa siap menghadapi kematian demi meraih keridaan Allah.
Ayat ini juga menegaskan bahwa Allah Maha Melihat orang-orang yang berbuat zalim. Keinginan untuk selalu menang dan merasa benar sendiri, tanpa mau menerima kebenaran yang datang dari sumber yang hak, adalah ciri dari kesombongan dan ketidakadilan.
Pada ayat-ayat selanjutnya, Allah menjelaskan tentang malaikat Jibril yang tidak menurunkan wahyu kepada siapa pun kecuali atas izin-Nya. Hal ini dimaksudkan untuk membantah klaim sebagian orang yang menyalahkan Jibril atas kelemahan atau kesedihan mereka. Allah menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah petunjuk dan kabar gembira bagi orang-orang beriman.
Ayat-ayat ini juga menyinggung tentang sihir yang dipelajari oleh orang-orang Yahudi di masa itu, di mana mereka menggunakannya untuk memecah belah antara suami istri. Allah mengingatkan bahwa sihir tidak akan membahayakan siapa pun kecuali dengan izin-Nya, dan bahwa mempelajarinya adalah sesuatu yang buruk yang akan membawa pelakunya kepada siksa neraka yang pedih.
Ayat 103-109 membahas tentang bahaya mengikuti kemauan orang-orang kafir dan adanya perbedaan pendapat di antara ahli kitab. Allah menegaskan bahwa Dialah yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Keputusan-Nya tidak dapat diubah, dan Dialah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Allah akan menganugerahkan ilmu dan hikmah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan siapa saja yang diberi ilmu, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak.
Bagian akhir dari rentang ayat ini, khususnya ayat 110-120, berisi perintah-perintah fundamental bagi umat Islam. Ayat 110 memerintahkan untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Ini adalah dua pilar penting dalam ibadah Islam yang menunjukkan hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan sesama manusia).
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa pun yang kamu perbuat untuk dirimu sendiri, kamu akan mendapatinya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Ayat-ayat selanjutnya menekankan bahwa tidak ada yang akan masuk surga kecuali orang yang beragama Yahudi atau Nasrani. Allah menantang mereka untuk mendatangkan bukti kebenaran klaim mereka. Sebaliknya, Allah menyatakan bahwa barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah dan berbuat baik, maka ia akan mendapatkan pahala di sisi Tuhannya, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan mereka tidak akan berduka cita.
Bagian ini juga berdialog dengan keyakinan orang Yahudi dan Nasrani, menunjukkan bahwa kebenaran yang sejati adalah ketundukan kepada Allah (Islam). Allah menegaskan bahwa setiap umat memiliki kiblatnya sendiri yang dituju. Oleh karena itu, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan.
Surat Al Baqarah ayat 90-120 merupakan satu kesatuan narasi yang mengajarkan tentang pentingnya menerima kebenaran, menjauhi kesombongan dan kedengkian, serta senantiasa berpegang teguh pada ajaran Allah. Ayat-ayat ini mengingatkan kita akan konsekuensi dari penolakan terhadap risalah ilahi dan mengajak kita untuk berlomba dalam kebaikan serta menegakkan ibadah shalat dan zakat sebagai fondasi kehidupan seorang mukmin.