Kajian Komprehensif Mengenai As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang)
Surat Al-Fatihah, yang secara harfiah berarti 'Pembukaan', adalah permata pertama dalam rangkaian 114 surat suci Al-Qur'an. Kedudukannya yang unik dan esensial menjadikannya induk dari Kitab (Ummul Kitab) dan Rukun terpenting dalam shalat. Seluruh pesan pokok Al-Qur'an—mulai dari Tauhid (keesaan Allah), janji dan ancaman, hingga hukum-hukum—terangkum padat dalam ayat-ayatnya yang ringkas. Namun, di balik konsensus universal mengenai keagungannya, terdapat perdebatan klasik yang sangat penting dalam ilmu tafsir dan Fiqh, yaitu mengenai persoalan mendasar: Berapakah sebenarnya jumlah ayat Surat Al-Fatihah?
Jawaban yang paling ringkas dan disepakati oleh mayoritas ulama adalah tujuh ayat. Penetapan ini bukan hanya berdasarkan hitungan matematis semata, melainkan didukung oleh nash (teks) Al-Qur'an itu sendiri dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Allah SWT secara eksplisit menyebutkan dalam Surat Al-Hijr (15:87) bahwa Dia telah memberikan kepada Nabi-Nya "tujuh ayat yang diulang-ulang" (اَلسَّبۡعَ الۡمَثَانِىۡ), yang oleh para mufassir dikonfirmasi sebagai Surat Al-Fatihah.
Meskipun jumlahnya tujuh ayat adalah konsensus, polemik muncul ketika menentukan batas awal dan akhir dari setiap ayat, khususnya terkait dengan kehadiran بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (Basmalah) sebagai ayat pertama. Memahami kontroversi ini memerlukan penyelaman mendalam ke dalam metodologi para ulama salaf, perbedaan Mushaf (teks Al-Qur'an) di berbagai wilayah, dan implikasinya terhadap pelaksanaan ibadah, terutama shalat.
Gelar As-Sab'ul Matsani (Tujuh yang Diulang-ulang) yang dilekatkan pada Al-Fatihah adalah bukti tekstual yang tak terbantahkan mengenai jumlah ayatnya. Penamaan ini memiliki dua makna utama, keduanya memperkuat konsep tujuh:
Makna yang paling jelas adalah bahwa tujuh ayat ini wajib diulang dalam setiap rakaat shalat. Seorang Muslim yang melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam, minimal akan mengulang surat ini sebanyak 17 kali dalam shalat fardhu. Pengulangan ini menjamin kesegaran makna dan pengakuan Tauhid dalam hati setiap waktu.
Sebagian ulama tafsir, seperti Al-Qurtubi, menjelaskan bahwa Al-Fatihah disebut 'diulang-ulang' karena surat ini mengandung dua pembagian besar yang saling berulang: tiga ayat pertama (memuji Allah) dan tiga ayat terakhir (permohonan hamba). Ayat keempat (Maliki Yawm Ad-Din) atau ayat kelima (Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in) berfungsi sebagai penghubung (transisi), membagi surat ini menjadi dua bagian sempurna yang saling melengkapi antara hak Allah dan hak hamba.
Meskipun seluruh umat Muslim sepakat bahwa jumlah ayatnya tujuh, terdapat perbedaan pendapat di antara para qari dan fuqaha (ahli fikih) mengenai cara penghitungan tersebut. Perbedaan ini bergantung pada status بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (Basmalah): Apakah ia dihitung sebagai ayat pertama dari Al-Fatihah, ataukah ia hanyalah pemisah dan permulaan (pembuka) surat?
Mayoritas ulama dari Makkah (termasuk Ibnu Katsir Al-Makki) dan ulama Kuffah (termasuk Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, serta Imam Asy-Syafi'i) berpendapat bahwa Basmalah adalah ayat pertama dari Surat Al-Fatihah.
Pendapat ini dianut oleh para ulama Madinah (termasuk Imam Malik), ulama Syam, dan ulama Bashrah (termasuk Imam Abu Amr). Mereka berpendapat bahwa Basmalah adalah ayat tersendiri yang diturunkan untuk memisahkan antar surat (kecuali Surat At-Taubah), namun bukan merupakan bagian integral dari Surat Al-Fatihah.
Bagi kelompok ini, untuk mencapai hitungan tujuh, mereka harus memecah ayat terakhir menjadi dua. Mereka menghitung ayatnya sebagai berikut:
Untuk memahami kedalaman Al-Fatihah dan mengapa ia disebut Ummul Kitab, kita harus menelusuri makna filosofis dan teologis dari setiap ayat, tanpa mempedulikan perbedaan penomoran yang terjadi di awal. Kita akan mengikuti penomoran yang umum di Mushaf Indonesia/Timur Tengah, yang memasukkan Basmalah sebagai Ayat 1.
(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Basmalah adalah kunci untuk setiap amal kebaikan. Ia mengandung tiga nama agung Allah: Allah (Nama Dzat yang merangkum semua sifat), Ar-Rahman (Maha Pengasih, rahmat-Nya meliputi seluruh makhluk di dunia), dan Ar-Rahim (Maha Penyayang, rahmat-Nya dikhususkan bagi orang-orang beriman di akhirat). Penempatan Basmalah di awal Al-Fatihah menegaskan bahwa semua yang terkandung dalam Al-Qur'an dan semua permohonan hamba harus dimulai dengan memohon keberkahan dan perlindungan dari Dzat yang memiliki kasih sayang yang tak terhingga.
Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa mengulang sifat rahmat (الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ) setelah nama Allah adalah penekanan penting. Ar-Rahman menunjukkan rahmat yang luas dan tak terbatas, sedangkan Ar-Rahim menunjukkan realisasi dan pelaksanaan rahmat tersebut secara spesifik kepada orang yang taat. Ini adalah janji sekaligus harapan bagi hamba yang memulai segala sesuatu dengan nama-Nya.
(Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam)
Ayat ini secara definitif memindahkan hak segala bentuk pujian dan sanjungan hanya kepada Allah SWT. Kata الْحَمْدُ (Al-Hamd) berbeda dengan الشُّكْرُ (Asy-Syukr). Syukr adalah rasa terima kasih atas kebaikan yang diterima, sementara Hamd adalah pujian yang diberikan kepada Dzat karena keagungan Dzat itu sendiri, terlepas dari apakah hamba menerima manfaatnya atau tidak.
Frasa رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ (Rabbil 'Alamin) memiliki cakupan makna yang sangat luas. Rabb berarti Pengatur, Pemelihara, Pencipta, dan Pemilik. Sedangkan Al-'Alamin (alam semesta) mencakup segala sesuatu selain Allah—manusia, jin, malaikat, tumbuhan, benda mati, dan dimensi yang tak terjangkau akal. Ayat ini menetapkan Tauhid Rububiyyah (Keesaan Allah dalam penciptaan dan pemeliharaan), yang menjadi fondasi untuk Tauhid Uluhiyyah (Keesaan dalam penyembahan).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa para ulama sepakat bahwa alam (Al-'Alamin) adalah setiap yang memiliki akal. Namun, penafsiran yang lebih modern dan komprehensif menyatakan bahwa ia mencakup segala bentuk eksistensi. Oleh karena itu, memulai Al-Fatihah dengan pujian ini adalah pengakuan total atas keagungan dan kekuasaan Allah yang meliputi segala ruang dan waktu.
(Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Pengulangan اَلرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ setelah Ayat 2 memiliki signifikansi retoris (Balaghah) yang luar biasa. Setelah menetapkan Allah sebagai Pemilik dan Pengatur semesta (Rabbil 'Alamin), yang secara implisit mengandung makna keadilan dan hukuman, Allah segera menenangkan hati hamba dengan mengulang sifat Rahmat-Nya. Ini adalah pelajaran bahwa kekuasaan Allah (رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ) didasarkan pada kasih sayang (الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ), bukan tirani atau kehendak semena-mena.
Ulama tafsir, seperti Fakhruddin Ar-Razi, menekankan bahwa pengulangan ini adalah strategi psikologis: Basmalah memperkenalkan Rahmat sebagai awal. Ayat 2 memperkenalkan Kekuasaan Mutlak. Ayat 3 mengingatkan kembali bahwa Kekuasaan Mutlak tersebut adalah kekuasaan yang penuh Rahmat. Hal ini menumbuhkan raja' (harapan) dalam diri hamba, yang merupakan keseimbangan penting dalam agama.
(Pemilik Hari Pembalasan)
Ayat ini memuat penegasan Tauhid Mulkiyyah (Keesaan dalam kepemilikan) yang dikhususkan pada Hari Kiamat (يَوْمِ الدِّيْنِ). Meskipun Allah adalah pemilik segala sesuatu di dunia dan akhirat, pengkhususan penyebutan 'Hari Pembalasan' menunjukkan bahwa pada hari itu, semua bentuk kekuasaan manusia (raja, presiden, hakim, dll.) akan sepenuhnya lenyap dan dikembalikan kepada Allah semata.
Hari Pembalasan (يَوْمِ الدِّيْنِ) adalah hari perhitungan amal. Menyebutkan ayat ini setelah sifat Rahmat berfungsi sebagai pengimbang. Seorang Muslim harus hidup dalam keseimbangan antara Khawf (rasa takut akan azab) dan Raja' (harapan akan Rahmat). Ayat 2 dan 3 membangun harapan; Ayat 4 membangun ketakutan yang sehat.
Terdapat dua qiraat utama pada kata ini: Maliki (Pemilik, dengan alif panjang) dan Maliki (Raja, tanpa alif panjang). Keduanya memiliki makna yang saling menguatkan. Raja adalah pemilik, dan pemilik memiliki otoritas seperti raja. Ini menekankan kedaulatan mutlak Allah di hari di mana setiap jiwa akan diadili.
(Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan)
Ayat ini adalah jantung dari Al-Fatihah, bahkan jantung dari seluruh pesan Islam, yang merupakan penegasan Tauhid Uluhiyyah (Keesaan Allah dalam peribadatan). Setelah memuji Allah (ayat 2 & 3) dan mengakui kekuasaan-Nya (ayat 4), hamba beralih dari narasi pujian kepada ikrar kesetiaan.
Secara tata bahasa Arab, kata ganti objek (اِيَّاكَ - Hanya kepada Engkau) diletakkan di awal, sebelum kata kerja (نَعْبُدُ - kami menyembah), yang dalam kaidah bahasa Arab disebut hasr (pembatasan atau pengkhususan). Ini berarti: Kami menyembah HANYA Engkau; dan kami meminta pertolongan HANYA kepada Engkau, meniadakan penyembahan dan permohonan kepada selain-Nya.
Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menekankan bahwa ayat ini membagi agama menjadi dua: نَعْبُدُ (ibadah) merujuk pada tujuan akhir (ghayah) penciptaan, sedangkan نَسْتَعِيْنُ (memohon pertolongan) merujuk pada sarana (wasilah) untuk mencapai tujuan tersebut. Ibadah tidak dapat sempurna tanpa pertolongan Allah, dan pertolongan Allah tidak akan datang tanpa upaya ibadah yang sungguh-sungguh.
(Tunjukilah kami jalan yang lurus)
Setelah ikrar Tauhid (Ayat 5), hamba menyadari kebutuhannya yang tak terhindarkan akan petunjuk ilahi. Permintaan ini adalah inti dari ibadah: bimbingan menuju الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (Ash-Shirath Al-Mustaqim - Jalan yang Lurus).
Jalan yang Lurus adalah jalan yang tidak bengkok, jalan tengah yang seimbang, yang menghubungkan hamba secara langsung dengan keridhaan Allah. Para mufassir berbeda pendapat sedikit tentang definisi jalan ini, namun semuanya mengarah pada satu kesimpulan:
Penting untuk dipahami bahwa hidayah (huda) memiliki dua tingkatan:
Ketika kita membaca اِهْدِنَا dalam shalat, kita memohon kedua jenis hidayah ini, baik yang bersifat ilmu maupun yang bersifat amal, dan kita memohon agar hidayah ini berkelanjutan, sebab hati manusia dapat berubah sewaktu-waktu.
(Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.)
Ayat terakhir ini berfungsi sebagai penjelas (tafsir) dari 'Jalan yang Lurus' yang dimohonkan dalam ayat sebelumnya. Jalan yang Lurus bukanlah jalan yang ambigu, melainkan jalan yang telah dilalui oleh al-ladzina an'amta 'alayhim (mereka yang diberi nikmat).
Siapakah kelompok yang diberi nikmat ini? Al-Qur'an menjelaskannya dalam Surat An-Nisa (4:69): mereka adalah para Nabi, shiddiqin (orang-orang yang sangat benar), syuhada (para syahid), dan shalihin (orang-orang saleh).
Doa ini ditutup dengan permohonan untuk menjauhi dua kategori manusia yang gagal dalam menempuh jalan lurus:
Permintaan untuk menjauhi kedua jalan ini menunjukkan bahwa keselamatan hanya bisa dicapai melalui ilmu yang benar (menghindari jalan kesesatan) dan amal yang ikhlas (menghindari jalan kemurkaan). Inilah puncak kebijaksanaan dari tujuh ayat Al-Fatihah.
Keagungan Al-Fatihah tidak hanya terletak pada isinya, tetapi juga pada banyaknya julukan yang diberikan padanya, yang setiap julukan mengungkapkan satu aspek kesempurnaan surat ini. Para ulama telah mengumpulkan hingga lebih dari dua puluh nama, namun yang paling utama adalah:
Nama ini adalah yang paling sering digunakan dan menunjukkan bahwa seluruh makna dan tujuan Al-Qur'an (Tauhid, hukum, janji, dan kisah) terangkum di dalamnya. Sebagaimana induk adalah sumber kehidupan, Al-Fatihah adalah sumber makna bagi seluruh kitab suci.
Senada dengan Ummul Kitab, menekankan bahwa ia adalah fondasi dan ringkasan dari semua ajaran. Terdapat hadits shahih yang menegaskan penggunaan nama ini.
Sebagaimana telah dibahas, ini adalah nama yang didasarkan pada teks Al-Qur'an (Surat Al-Hijr: 87) dan mengacu pada jumlah ayatnya yang tujuh dan kewajiban mengulanginya dalam shalat.
Dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman: "Aku membagi Shalat (yakni Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian..." Hal ini menunjukkan bahwa membaca Al-Fatihah adalah inti dari komunikasi dan dialog hamba dengan Tuhannya dalam shalat.
Dinamakan demikian karena ia mengandung kekayaan makna yang tidak terhingga, mencakup segala bentuk kebaikan dunia dan akhirat. Seluruh kebutuhan spiritual dan material hamba terangkum dalam permintaan bimbingan (اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ).
Al-Fatihah digunakan sebagai ruqyah (pengobatan). Hadits Abu Sa'id Al-Khudri mengenai sahabat yang menggunakan Al-Fatihah untuk mengobati orang yang tersengat menunjukkan kekuatan spiritualnya. Ia adalah penyembuh penyakit hati (seperti syirik, keraguan) dan penyakit fisik.
Dinamakan sempurna karena tidak boleh dibagi atau dipotong-potong ketika dibaca. Surat lain bisa dibaca sebagian, tetapi Al-Fatihah harus dibaca secara utuh, terutama dalam shalat, untuk mencapai kesempurnaan rukun.
Kepastian jumlah tujuh ayat ini, terlepas dari di mana ayat pertama dimulai, memiliki konsekuensi hukum yang sangat besar dalam ibadah, terutama shalat.
Seluruh mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) sepakat bahwa membaca Al-Fatihah adalah rukun dalam shalat bagi imam dan yang shalat sendirian, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Tidak sempurna shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab."
Namun, perbedaan penomoran Basmalah memengaruhi sahnya shalat:
Perbedaan ini menunjukkan betapa krusialnya penomoran Basmalah dalam kerangka hukum Islam, meskipun pada intinya, surat yang dibaca tetap sama, terdiri dari tujuh unit makna yang tidak terpisahkan.
Struktur Al-Fatihah yang terdiri dari tujuh ayat bukanlah kebetulan, melainkan manifestasi dari kesempurnaan ilahi dalam komunikasi. Tujuh ayat ini dapat dibagi menjadi tiga bagian besar:
Ayat 1, 2, dan 3 (Basmalah, Al-Hamd, Ar-Rahmanir Rahim). Bagian ini berfokus pada sifat-sifat Allah (Tauhid Asma' wa Sifat) dan pengakuan hamba atas Rububiyyah-Nya. Tujuannya adalah membangun kesadaran akan siapa yang disembah.
Ayat 4 (Maliki Yawm Ad-Din) atau Ayat 5 (Iyyaka Na'budu). Ayat ini berfungsi sebagai transisi dari memuji Allah menjadi berinteraksi dengan-Nya. Ia adalah ikrar hamba bahwa ia tidak hanya tahu siapa Tuhannya, tetapi ia juga berjanji untuk menyembah-Nya dan hanya bergantung kepada-Nya (Tauhid Uluhiyyah).
Ayat 5, 6, dan 7 (Ihdina Shiratal Mustaqim, dst.). Setelah memuji dan berikrar, hamba mengajukan permohonan terbesar: bimbingan. Tiga ayat ini menunjukkan bahwa tujuan tertinggi adalah mengikuti jejak orang-orang yang berhasil dan menghindari jalur kegagalan.
Dengan demikian, tujuh ayat ini mencakup dasar-dasar akidah, ibadah, dan manhaj (metode hidup) seorang Muslim. Tujuh ayat mencakup: Tuhan, Alam Semesta, Rahmat, Akhirat, Ibadah, Permohonan, dan Klasifikasi Manusia.
Keunikan Al-Fatihah juga terlihat dari aspek linguistiknya. Meskipun hanya tujuh ayat, ia menunjukkan kekayaan balaghah (retorika) yang luar biasa, yang mustahil untuk ditiru.
Al-Fatihah adalah satu-satunya surat dalam Al-Qur'an yang mengalami perubahan kata ganti (dhamir) secara drastis dalam pembacaannya. Ini disebut Iltifat (peralihan):
Peralihan dari pujian formal (orang ketiga) ke interaksi pribadi yang intim (orang kedua) pada ayat اِيَّاكَ نَعْبُدُ menunjukkan puncak dari khusyu' (kekhusyukan) yang harus dicapai oleh seorang hamba. Setelah merenungkan keagungan Allah melalui sifat-sifat-Nya, hamba merasa pantas untuk berbicara langsung kepada-Nya.
Dalam Ayat 5, 6, dan 7, digunakan kata ganti jamak (kami/kita): نَعْبُدُ (kami menyembah), نَسْتَعِيْنُ (kami memohon pertolongan), اِهْدِنَا (tunjukilah kami). Meskipun shalat dilakukan sendirian, penggunaan kata 'kami' menunjukkan kolektivitas umat. Bahkan dalam momen yang paling pribadi (shalat), seorang Muslim tidak bisa lepas dari komunitasnya. Ia memohon hidayah bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk seluruh umat Muslim.
Tujuh ayat ini juga secara halus memasukkan prinsip hukum universal. Dalam مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ, kata الدِّيْنِ tidak hanya berarti pembalasan, tetapi juga agama, hukum, dan tata krama. Ini menunjukkan bahwa hukum dan keadilan berasal dari Allah, yang akan ditegakkan sepenuhnya di akhirat.
Dengan kerumitan linguistik dan keutuhan makna yang sedalam ini, tidak mengherankan jika Al-Fatihah menjadi rukun terpenting dan tidak dapat digantikan oleh surat lain dalam shalat. Tujuh ayat ini adalah formula sempurna yang mendefinisikan hubungan antara Pencipta dan ciptaan-Nya.
Beberapa ulama dan pemikir kontemporer juga mencoba menghubungkan jumlah tujuh ayat Al-Fatihah dengan keajaiban angka tujuh dalam Islam dan kosmos. Angka tujuh adalah angka yang memiliki nilai signifikan dalam Al-Qur'an dan Sunnah (tujuh lapis langit, tujuh tawaf di Ka'bah, tujuh sai antara Safa dan Marwa, tujuh hari dalam seminggu, dsb.).
Meskipun penafsiran numerologi harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan tidak mengikat, terdapat keselarasan tematik yang menarik antara tujuh ayat Al-Fatihah dengan tujuh hari dalam seminggu atau bahkan tujuh lapisan keberadaan spiritual:
Hubungan-hubungan ini memperkuat pandangan bahwa jumlah tujuh pada Al-Fatihah adalah penetapan ilahi yang sempurna. Setiap ayat dirancang untuk mengisi kekosongan spiritual dan menyempurnakan ibadah hamba dalam rangkaian yang logis dan indah, memastikan bahwa hamba tidak akan pernah lupa akan keagungan Allah (melalui pujian) dan kebutuhannya yang abadi akan bimbingan (melalui permohonan).
Pada akhirnya, kesimpulan mengenai jumlah ayat Surat Al-Fatihah adalah tujuh, sebuah ketetapan yang kokoh berdasarkan nash Al-Qur'an sendiri (As-Sab'ul Matsani). Perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah Basmalah termasuk ayat pertama atau tidak, bukanlah sebuah pertentangan substansial, melainkan keragaman dalam menentukan batas akhir ayat (fawasil) yang disebabkan oleh perbedaan qiraat dan Mushaf awal.
Hikmah dari adanya keragaman ini adalah untuk menunjukkan kekayaan ilmu Islam dan kedalaman Al-Qur'an. Baik bagi mereka yang menghitung Basmalah sebagai Ayat 1, maupun mereka yang memecah ayat terakhir menjadi dua untuk mencapai hitungan tujuh, semua sepakat bahwa keseluruhan teks yang dibaca dalam shalat adalah satu kesatuan tujuh ayat yang sempurna. Tujuh ayat ini adalah dialog paling agung, yang setiap kali kita ucapkan, kita sedang menegaskan kembali kontrak keimanan kita kepada Allah, Rabb seluruh alam.
Surat Al-Fatihah, dalam tujuh baitnya yang ringkas, menampung seluruh cakrawala ilmu: tauhid, nubuwwah (kenabian), ma'ad (akhirat), ibadah, dan jalan hidup. Inilah alasan mengapa ia layak menyandang gelar Ummul Kitab, sebuah permulaan yang sempurna dan sebuah penutup yang tak pernah usai.