Gambar 1: Representasi simbolis Kitab dan turunnya Wahyu Ilahi.
Surat Al-Fatihah, yang dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab) atau As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), memiliki kedudukan yang tak tertandingi dalam tradisi Islam. Ia adalah pondasi shalat, ringkasan sempurna dari seluruh ajaran Al-Qur'an, dan pembuka yang menjadi kunci bagi setiap Muslim. Namun, di balik keagungan maknanya, para ulama ilmu Al-Qur'an (Ulumul Qur'an) secara historis telah memperdebatkan satu pertanyaan mendasar terkait kronologi pewahyuannya: Surat Al-Fatihah diturunkan di Makkah atau di Madinah?
Perdebatan mengenai lokasi penurunan ini, meskipun tampak seperti detail sejarah belaka, sesungguhnya membawa implikasi besar terhadap pemahaman kita mengenai tahapan perkembangan syariat, terutama penetapan kewajiban shalat. Mengingat peran vital Al-Fatihah dalam setiap rakaat shalat, penentuan lokasi wahyu ini membantu kita menempatkan surat tersebut dalam konteks dakwah Nabi Muhammad ﷺ, baik pada fase penindasan di Makkah maupun pada fase pembangunan negara di Madinah.
I. Definisi dan Signifikansi Kontroversi Nuzul
Dalam studi Ulumul Qur'an, klasifikasi surah menjadi Makkiyah (diturunkan sebelum Hijrah) dan Madaniyah (diturunkan setelah Hijrah) adalah alat analisis yang esensial. Klasifikasi ini bukan sekadar geografis, tetapi tematik dan kronologis. Surah Makkiyah umumnya berfokus pada Tauhid, hari kiamat, kisah nabi-nabi terdahulu, dan penetapan fondasi akidah. Sementara surah Madaniyah lebih fokus pada hukum (syariat), muamalah, dan organisasi masyarakat.
A. Kedudukan Al-Fatihah dalam Klasifikasi
Mayoritas ulama tafsir dan hadits, termasuk Ibnu Katsir, Al-Wahidi, dan As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulumil Qur'an, cenderung mengklasifikasikannya sebagai surat Makkiyah. Pendapat ini didukung oleh bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa shalat—yang mewajibkan pembacaan Al-Fatihah—telah diwajibkan jauh sebelum Nabi hijrah ke Madinah.
Namun, ada riwayat yang mengindikasikan kemungkinan Madaniyah, atau yang lebih rumit, riwayat yang menyatakan bahwa surat ini diturunkan dua kali (tanzil marratain). Oleh karena itu, memahami lokasi penurunan Al-Fatihah berarti menyelami kedalaman ilmu Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu) dan kaidah Makki wa Madani.
Poin Kunci Kontroversi: Jika Al-Fatihah adalah Makkiyah, maka ajaran inti Tauhid, pujian total kepada Allah, dan permintaan petunjuk (Siratal Mustaqim) adalah fondasi pertama Islam yang diletakkan di Makkah. Jika Madaniyah, maka fondasi shalat sebagai ibadah formal baru ditegaskan sepenuhnya setelah hijrah, yang bertentangan dengan riwayat tentang Mi'raj dan kewajiban shalat.
II. Argumen Utama: Al-Fatihah Diturunkan di Makkah
Pendapat yang paling dominan dan dipegang teguh oleh jumhur ulama adalah bahwa Surat Al-Fatihah sepenuhnya diturunkan di Makkah. Ini bukan hanya keyakinan, tetapi kesimpulan yang ditarik dari sinkronisasi antara nash Al-Qur'an, hadits, dan kronologi sejarah dakwah Nabi Muhammad ﷺ.
A. Bukti dari Kewajiban Shalat
Shalat, ibadah utama umat Islam, diwajibkan dalam bentuknya yang sempurna pada malam Isra' Mi'raj, yang terjadi sebelum Hijrah (sekitar tahun ke-10 kenabian). Telah disepakati bahwa sahnya shalat sangat bergantung pada pembacaan Al-Fatihah. Nabi ﷺ bersabda: "Tidak sempurna shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (pembuka kitab)." (HR. Bukhari dan Muslim).
- Implikasi 1: Jika shalat diwajibkan di Makkah, maka perangkat wajibnya (Al-Fatihah) juga harus sudah ada dan diturunkan di Makkah.
- Implikasi 2: Tidak logis jika umat Islam di Makkah sudah diperintahkan shalat lima waktu tanpa mengetahui bacaan wajib yang menjadi rukun utama.
B. Kesaksian Para Sahabat dan Tabi'in
Banyak riwayat dari generasi awal yang menguatkan status Makkiyah. Ibnu Abbas, yang dikenal sebagai penerjemah Al-Qur'an (Tarjumanul Qur'an), dan Qatadah, salah satu Tabi'in terbesar, secara eksplisit menyatakan bahwa Al-Fatihah adalah surat Makkiyah.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Al-Fatihah diturunkan ketika Nabi Muhammad ﷺ berada di Makkah, pada masa-masa awal wahyu. Riwayat ini sangat kuat karena Ibnu Abbas adalah ulama tafsir terkemuka yang hidup sezaman dan memiliki akses langsung kepada informasi kenabian.
C. Kesesuaian Tema (Makkiyah Content)
Ciri-ciri surah Makkiyah adalah penekanan pada fondasi iman, penegasan Tauhid (keesaan Allah), dan penetapan Hari Kiamat. Al-Fatihah, dengan tujuh ayatnya, secara sempurna memenuhi kriteria ini:
- Tauhid Rububiyah: "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam." (Menetapkan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur).
- Tauhid Asma wa Sifat: "Maha Pengasih, Maha Penyayang." (Menetapkan sifat-sifat keagungan Allah).
- Tauhid Uluhiyah dan Hari Kiamat: "Pemilik Hari Pembalasan." (Menghubungkan ibadah dan tanggung jawab akhirat).
- Fokus Ibadah: "Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan." (Inti dari dakwah Makkiyah: ibadah murni).
- Permintaan Hidayah: Permintaan akan jalan yang lurus (yang sangat vital bagi komunitas yang baru terbentuk dan menghadapi tekanan).
Struktur tematik ini menunjukkan bahwa Al-Fatihah dimaksudkan sebagai panduan dasar bagi setiap jiwa yang baru memeluk Islam di Makkah, menanamkan keimanan murni sebelum hukum-hukum syariat yang kompleks (Madaniyah) diturunkan.
III. Analisis Argumen Minoritas: Pandangan Madaniyah
Meskipun mayoritas ulama mengukuhkan status Makkiyah, terdapat pandangan minoritas, yang kadang dipegang oleh Mujahid dan sebagian kecil ulama Kufah, yang menyatakan bahwa Al-Fatihah adalah Madaniyah. Argumen mereka umumnya berakar pada riwayat yang terkait dengan Surat Al-Hijr dan konsep Sab'ul Matsani.
A. Riwayat Sab'ul Matsani
Dasar utama pendapat Madaniyah adalah hadits yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka'b dan lainnya, yang sering dikaitkan dengan ayat 87 dari Surat Al-Hijr:
"Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang (As-Sab'ul Matsani) dan Al-Qur'an yang agung." (QS. Al-Hijr [15]: 87)
Surat Al-Hijr adalah Makkiyah. Namun, beberapa penafsir (terutama yang berpegangan pada riwayat hadits tertentu) menafsirkan bahwa pemberian "Tujuh Ayat yang Diulang-ulang" (yang merujuk pada Al-Fatihah) terjadi pada periode Madinah, atau setidaknya konfirmasi resminya sebagai nama spesifik baru terjadi saat itu. Mereka berargumen bahwa hadits yang menyebutkan keutamaan Al-Fatihah sebagai Sab'ul Matsani dan Al-Qur'anul Azhim baru muncul secara eksplisit setelah Hijrah.
B. Hipotesis Tanzil Marratain (Diturunkan Dua Kali)
Untuk mendamaikan kedua pandangan yang bertentangan, muncul hipotesis tanzil marratain, yaitu bahwa Al-Fatihah diturunkan dua kali. Pendapat ini diutarakan untuk menjelaskan mengapa ada riwayat Makkiyah yang kuat dan riwayat Madaniyah yang juga muncul dalam beberapa jalur hadits.
Penjelasan Hipotesis:
- Penurunan Pertama (Makkah): Al-Fatihah diturunkan pertama kali di Makkah sebagai fondasi dasar shalat dan akidah. Ini menjelaskan mengapa shalat yang wajib di Makkah menggunakan surat ini.
- Penurunan Kedua (Madinah): Al-Fatihah diturunkan kembali atau ditegaskan ulang di Madinah dalam konteks penamaan resminya sebagai As-Sab'ul Matsani, atau ketika malaikat Jibril memberitakan keutamaan khusus surat ini secara resmi kepada Nabi ﷺ, merujuk pada peristiwa saat Nabi sedang bersama seorang Sahabat di Madinah.
Meskipun solusi tanzil marratain menarik secara harmonisasi, mayoritas ulama menolaknya. Mereka berpendapat bahwa riwayat-riwayat Madaniyah tidak menunjukkan penurunan wahyu baru, melainkan hanya penegasan keutamaan dan nama agung (Sab'ul Matsani) yang disebutkan dalam Surat Al-Hijr (yang Makkiyah). Dengan kata lain, Al-Fatihah sudah diturunkan di Makkah, dan di Madinah, Rasulullah ﷺ hanya menekankan lagi kedudukan luar biasanya.
IV. Penegasan Lokasi: Makkah sebagai Tempat Kelahiran Fondasi
Setelah menimbang semua argumen, pandangan bahwa Surat Al-Fatihah diturunkan di Makkah (Makkiyah) menjadi yang paling kokoh, selaras dengan kebutuhan dakwah pada masa awal Islam.
Gambar 2: Ka'bah, pusat ibadah dan lokasi turunnya banyak wahyu Makkiyah.
A. Kronologi Keharusan Shalat
Shalat dalam bentuknya yang mendasar sudah ada sejak permulaan kenabian, jauh sebelum Isra' Mi'raj. Bahkan pada masa-masa awal, Nabi dan Khadijah sudah shalat. Al-Fatihah adalah rukun utama shalat. Mustahil Allah mewajibkan ibadah formal tanpa memberikan rukun dasar untuk ibadah tersebut. Karena shalat diwajibkan di Makkah, Al-Fatihah harus sudah diturunkan di sana.
B. Konsensus Ulama Kontemporer
Para mufasir modern dan lembaga-lembaga keislaman besar umumnya mengklasifikasikan Al-Fatihah sebagai Makkiyah berdasarkan bobot dalil yang lebih kuat. Pendapat ini menegaskan bahwa fondasi spiritual dan permintaan hidayah harus datang pertama kali, mendahului detail-detail hukum (Madaniyah).
V. Tafsir Mendalam Al-Fatihah dalam Konteks Makkiyah Awal
Untuk mencapai pemahaman komprehensif mengenai mengapa Al-Fatihah harus diturunkan di Makkah, kita harus menganalisis setiap ayatnya dan melihat bagaimana ayat-ayat tersebut berfungsi sebagai respons langsung terhadap lingkungan politeistik Makkah yang menolak Tauhid.
1. بسم الله الرحمن الرحيم (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Meskipun sering dianggap sebagai ayat terpisah atau bagian dari pembuka, penempatannya di awal surah Makkiyah sangat krusial. Di Makkah, masyarakat menyembah banyak tuhan dengan nama yang berbeda. Pembukaan dengan nama "Allah" (Yang Tunggal) dan dua sifat universal (Ar-Rahman, Ar-Rahim) langsung menegaskan monoteisme dan menyajikan sifat keilahian yang penuh kasih, kontras dengan sifat tuhan berhala yang seringkali digambarkan keras dan pemarah.
Ini adalah pengakuan independen dari semua tuhan lain, sebuah deklarasi Tauhid Uluhiyah, bahwa hanya Allah yang layak disebut pada permulaan setiap perbuatan, apalagi permulaan shalat.
2. الحمد لله رب العالمين (Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam)
Ayat ini adalah fondasi Tauhid Rububiyah (Keesaan Allah dalam penciptaan dan kepengurusan). Di Makkah, kaum Quraisy mengakui Allah sebagai pencipta tertinggi, tetapi mereka percaya bahwa tuhan-tuhan kecil lain memiliki peran mediasi. Ayat ini menghancurkan konsep mediasi itu dengan menyatakan bahwa semua pujian (Al-Hamd) dan kekuasaan mutlak (Rabbul 'Alamin) hanya milik Allah semata. 'Alamin (seluruh alam) mencakup alam jin, manusia, dan malaikat—menegaskan kekuasaan-Nya yang tak terbatas atas ruang dan waktu.
Konteks Makkiyah: Dakwah awal harus menegaskan bahwa Allah bukan hanya Tuhan bagi Muhammad, tetapi Tuhan bagi segala sesuatu, termasuk mereka yang menentang dakwah tersebut.
3. الرحمن الرحيم (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Pengulangan sifat ini setelah "Rabbul 'Alamin" berfungsi sebagai penyeimbang. Setelah penetapan kekuasaan absolut (Rububiyah), Allah menunjukkan bahwa kekuasaan itu dikelola dengan kasih sayang dan rahmat (Rahmat). Di tengah tekanan dan penganiayaan di Makkah, ayat ini memberikan ketenangan bagi kaum Muslimin awal dan juga undangan bagi kaum musyrikin untuk melihat Islam bukan hanya sebagai ancaman kekuasaan, tetapi sebagai sumber belas kasihan ilahi.
Ini adalah pengingat penting bahwa meskipun Allah adalah penguasa, Dia adalah Tuhan yang peduli, yang mendorong para Sahabat untuk bertahan dalam kesulitan awal mereka.
4. مالك يوم الدين (Pemilik Hari Pembalasan)
Ayat ini memasukkan elemen esensial dari iman Makkiyah: keyakinan pada Hari Akhir. Selama periode Makkah, penolakan terbesar dari kaum Quraisy adalah terhadap Hari Kebangkitan. Dengan menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya pemilik dan penguasa mutlak atas Hari Pembalasan (Yaumiddin), Al-Fatihah menanamkan akuntabilitas moral yang merupakan motivasi utama bagi ketaatan. Jika seseorang hanya takut kepada tuhan di dunia, ia akan melanggar hukum. Tetapi jika ia yakin bahwa Allah adalah Pemilik mutlak pada hari perhitungan, ketaatan menjadi intrinsik.
Konteks Makkiyah: Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras kepada para penentang Nabi di Makkah, bahwa kekayaan dan kekuasaan mereka di dunia ini sementara, dan kekuasaan sejati ada di tangan Allah pada hari pembalasan.
5. إياك نعبد وإياك نستعين (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan)
Ini adalah jantung Al-Fatihah, puncak dari Tauhid Uluhiyah. Kata "Hanya kepada Engkau" (Iyyaka) diletakkan di awal kalimat untuk memberikan penekanan dan pembatasan eksklusif. Ayat ini secara eksplisit menolak segala bentuk syirik yang merajalela di Makkah. Masyarakat Makkah menyembah berhala, meminta pertolongan kepada patung-patung, dan menjadikan perantara. Ayat ini menyatakan bahwa ibadah (Na'budu) dan permohonan pertolongan (Nasta'in) hanya ditujukan kepada Allah saja.
Konteks Makkiyah: Ayat ini adalah proklamasi independensi spiritual kaum Muslimin dari tradisi politeistik Makkah. Ini adalah sumpah yang diucapkan setiap Muslim, menetapkan bahwa satu-satunya sumber daya dan kekuatan adalah Allah.
6. اهدنا الصراط المستقيم (Tunjukilah kami jalan yang lurus)
Setelah menyatakan janji ibadah murni (ayat 5), muncul permintaan yang paling mendasar. Di Makkah, kaum Muslimin berada di tengah kebingungan ideologi dan penindasan. Mereka membutuhkan petunjuk yang jelas untuk membedakan yang benar dan salah, terutama ketika tradisi lama Quraisy begitu kuat menekan mereka. Permintaan "jalan yang lurus" (Shiratal Mustaqim) adalah permintaan akan peta jalan akidah dan perilaku yang benar, yang merupakan esensi dari dakwah Nabi di Makkah.
Permintaan hidayah ini adalah pengakuan atas keterbatasan manusia dan kebutuhan mutlaknya terhadap bimbingan Ilahi, hal yang sangat dibutuhkan oleh kelompok minoritas yang sedang berjuang di kota mereka sendiri.
7. صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين (Yaitu Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat)
Ayat penutup ini mengklarifikasi Jalan yang Lurus (Shiratal Mustaqim) melalui referensi historis dan kategorisasi. Dalam konteks Makkiyah, pemahaman sejarah nabi-nabi terdahulu (seperti Musa, Isa, Ibrahim) adalah penting untuk memberikan legitimasi pada dakwah Muhammad ﷺ. Ayat ini membagi manusia menjadi tiga kelompok:
- Al-Mun'am 'Alaihim: Orang-orang yang diberi nikmat (Para Nabi, Shiddiqin, Syuhada, Shalihin), yaitu model yang harus diikuti.
- Al-Maghdhubi 'Alaihim: Orang-orang yang dimurkai (umumnya ditafsirkan sebagai kaum yang mengetahui kebenaran namun menolaknya karena kesombongan, seperti sebagian Ahli Kitab).
- Adh-Dhallin: Orang-orang yang sesat (umumnya ditafsirkan sebagai kaum yang beribadah tetapi tanpa ilmu, tersesat karena kebodohan, seperti sebagian Ahli Kitab lainnya).
Ayat ini berfungsi sebagai pelengkap akidah, memastikan bahwa umat Muslim awal memahami bahaya kesombongan intelektual dan bahaya ibadah yang tidak berlandaskan ilmu. Karena surat ini diturunkan sebelum kontak luas dengan komunitas Yahudi dan Nasrani (yang terjadi di Madinah), referensi ini berfungsi sebagai pelajaran umum mengenai sejarah umat terdahulu yang gagal mempertahankan hidayah mereka.
VI. Kedudukan Sentral Al-Fatihah Setelah Pewahyuan Makkiyah
Penempatan Al-Fatihah sebagai surat pertama dalam urutan mushaf, meskipun tidak sesuai dengan urutan turunnya wahyu, menunjukkan bahwa ia adalah fondasi yang harus dipahami dan diamalkan pertama kali. Faktanya bahwa surat ini diturunkan di Makkah menegaskan beberapa prinsip penting dalam studi Islam:
A. Al-Fatihah Sebagai Peringkat Awal Pendidikan Iman
Pendidikan iman (Tarbiyah Imaniyah) dimulai dengan Al-Fatihah. Ini bukan surat yang mengajarkan hukum waris atau tata kelola negara (yang datang di Madinah), melainkan surat yang mengajarkan bagaimana cara seorang hamba berinteraksi dengan Penciptanya. Ini adalah manifesto pribadi yang harus diikrarkan dalam setiap shalat. Surat ini mengajarkan Tauhid, puji-pujian, dan permohonan hidayah, yang merupakan perangkat spiritual utama untuk bertahan dalam kesulitan di Makkah.
B. Hubungan Tak Terpisahkan dengan Al-Qur'anul Azhim
Ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu, baik melalui Jibril atau melalui penglihatan, Al-Fatihah diberikan dengan kemuliaan yang sangat tinggi. Beberapa ulama mengaitkan riwayat tentang dua cahaya (Al-Fatihah dan penutup Al-Baqarah) yang diberikan kepada Nabi dengan periode Makkiyah. Keutamaan ini menunjukkan bahwa Al-Fatihah adalah karunia luar biasa yang diberikan di awal kenabian.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jibril berkata kepada Nabi: "Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu yang belum pernah diberikan kepada nabi sebelummu: Fatihatul Kitab (Al-Fatihah) dan penutup Surat Al-Baqarah."
Jika karunia ini adalah bagian dari fondasi kenabian yang paling awal, maka logis jika ia diturunkan di pusat dakwah awal, yaitu di Makkah.
C. Kesempurnaan dan Kelengkapan Syariat Awal
Al-Fatihah adalah ringkasan dari enam tujuan utama Al-Qur'an:
- Tauhid (Dua ayat pertama).
- Hari Akhir (Ayat ketiga).
- Ibadah dan permohonan pertolongan (Ayat keempat).
- Nubuwah (Petunjuk melalui para nabi).
- Hukum (Implicit dalam permintaan jalan lurus).
- Kisah umat terdahulu (Explicit dalam ayat ketujuh).
Dengan memuat semua unsur esensial ini dalam tujuh ayat, Al-Fatihah menjadi "Induk Kitab" yang mampu memberikan panduan lengkap bagi komunitas Muslim baru yang sangat rentan di Makkah.
VII. Pembahasan Mendalam Struktur Makkiyah dalam Setiap Kata
Kita perlu meluaskan analisis terhadap kata-kata spesifik yang, jika dilihat dari kacamata Madaniyah, akan terasa kurang kontekstual dibandingkan dengan kacamata Makkiyah. Setiap kata dalam Al-Fatihah adalah penegasan terhadap kebalikan dari keyakinan yang dianut oleh kaum musyrikin Makkah.
A. Mengapa 'Rabbul 'Alamin' Sangat Penting di Makkah
Di Makkah, setiap kabilah memiliki tuhan atau patung pelindungnya sendiri, menjadikan ketuhanan bersifat lokal dan kabilah. Penggunaan istilah Rabbul 'Alamin (Tuhan seluruh alam) secara tegas menolak lokalisasi ketuhanan tersebut. Ini adalah deklarasi globalisasi Tauhid, yang sangat kontroversial bagi sistem sosial Makkah yang berbasis kabilah. Surat ini memerintahkan umat Islam untuk bersaksi bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan atas semua, termasuk kabilah-kabilah yang menentang mereka dan alam semesta yang luas.
Jika surat ini diturunkan di Madinah, konsep "Tuhan seluruh alam" mungkin tidak akan memiliki dampak dramatis yang sama, karena di Madinah, fokus dakwah sudah bergeser ke regulasi sosial dan konflik dengan komunitas non-Muslim di sana, bukan lagi pada pertarungan fundamental mengenai siapa Tuhan semesta alam.
B. Penekanan pada 'Ibadah' (Penyembahan)
Ayat Iyyaka Na'budu adalah puncak dari pengakuan hamba. Kata na'budu merujuk pada ibadah formal dan total kepatuhan. Pada fase Makkiyah, ibadah terbatas pada shalat dan deklarasi syahadat, yang merupakan tindakan publik yang berbahaya. Pernyataan Na'budu di Makkah adalah pernyataan perlawanan sipil terhadap sistem keyakinan Quraisy.
Bayangkan seorang Sahabat yang baru masuk Islam di Makkah. Setiap rakaat shalatnya, ia mengulangi, "Hanya kepada Engkau kami menyembah." Ini bukan hanya doa, tetapi penanaman mentalitas monoteistik di tengah lingkungan politeistik. Penegasan ini harus ada sejak awal, yaitu di Makkah.
C. Perbandingan dengan Surat Makkiyah Lain
Al-Fatihah memiliki kemiripan tematik yang kuat dengan surat-surat Makkiyah yang pendek (surat-surat di Juz 'Amma), yang semuanya fokus pada Tauhid, Hari Akhir, dan celaan terhadap kekafiran.
- Al-Ikhlas: Murni Tauhid (Allah Ahad).
- Al-Kafirun: Pemisahan ibadah.
- Al-Fatihah: Sintesis dari semua konsep di atas, mengatur hubungan hamba-Tuhan secara komprehensif.
Karena Al-Fatihah adalah rangkuman dari esensi Makkiyah, penurunannya harus terjadi pada periode Makkiyah untuk memberikan landasan bagi surat-surat Makkiyah berikutnya.
VIII. Implikasi Teologis dan Praktis Status Makkiyah
Menegaskan status Makkiyah pada Al-Fatihah bukan sekadar urusan akademik, tetapi memiliki implikasi mendalam bagi praktik dan pemahaman kita tentang Islam.
A. Prioritas Akidah Atas Syariat
Status Makkiyah menunjukkan bahwa dalam tatanan wahyu, Allah memprioritaskan penyucian akidah dan Tauhid sebelum penetapan hukum sosial dan politik. Al-Fatihah mengajarkan bahwa sebelum kita membangun masyarakat yang adil (Madinah), kita harus terlebih dahulu membangun hubungan yang benar dengan Tuhan (Makkah).
Ini mencerminkan metodologi dakwah Nabi selama 13 tahun di Makkah: fokus pada pembersihan hati dari syirik, penanaman iman pada Hari Akhir, dan membangun kerangka moral sebelum turunnya larangan-larangan rinci atau hukum perdata yang lebih kompleks.
B. Al-Fatihah sebagai Doa Universal dan Primer
Sebagai surat Makkiyah yang ditujukan kepada individu yang sedang mencari kebenaran, Al-Fatihah menjadi doa yang paling universal. Permintaan hidayah (Ihdinash Shiratal Mustaqim) bukanlah doa yang spesifik untuk masalah Madaniyah (misalnya, doa untuk kemenangan perang atau hukum riba), melainkan doa untuk panduan dasar eksistensial. Doa ini relevan bagi setiap individu, baik di Makkah maupun di belahan bumi mana pun, yang sedang berusaha menemukan jalan kebenaran.
C. Penegasan Rukun Shalat
Karena Al-Fatihah adalah Makkiyah, maka kewajiban shalat sejak awal sudah mencakup rukun pembacaan Al-Fatihah. Hal ini membantah setiap pandangan yang mencoba memisahkan rukun shalat dari fase Makkiyah. Shalat adalah fondasi vertikal Islam, dan Al-Fatihah adalah fondasi lisan dari shalat itu sendiri.
Jika kita menerima pendapat Madaniyah, maka kita harus mengasumsikan bahwa selama periode panjang di Makkah, kaum Muslimin shalat tanpa membaca Al-Fatihah, dan rukun yang esensial ini baru ditambahkan setelah Hijrah. Asumsi ini bertentangan dengan konsensus mengenai keutamaan dan kewajiban Al-Fatihah bagi setiap rakaat shalat sejak awal diwajibkannya shalat.
IX. Peran Al-Fatihah dalam Penyembuhan dan Ruqyah (Konteks Spiritual Makkiyah)
Selain perannya dalam shalat, Al-Fatihah juga dikenal sebagai Asy-Syifa (penyembuh) dan Ar-Ruqyah. Penggunaan Al-Fatihah untuk Ruqyah adalah praktik yang sudah ada sejak periode awal Islam.
Salah satu riwayat terkenal tentang penggunaan Al-Fatihah sebagai ruqyah (penyembuh sengatan) terjadi ketika sekelompok Sahabat bepergian dan singgah di dekat suatu kaum. Ketika kepala kaum tersebut tersengat kalajengking, salah satu Sahabat membaca Al-Fatihah sebagai jampi-jampi. Ketika ditanya mengapa ia melakukan itu, Nabi ﷺ membenarkannya dan berkata, "Bagaimana kamu tahu bahwa ia adalah ruqyah?"
Para ulama seperti Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Hajar Al-'Asqalani menjelaskan bahwa statusnya sebagai ruqyah (penyembuh) adalah bukti lain dari keutamaan yang mendahului hukum-hukum terperinci. Energi spiritual dan kekuatan penyembuhan yang terkandung dalam Al-Fatihah cocok dengan kebutuhan spiritual murni dari fase Makkiyah, di mana mukjizat dan kekuatan spiritual seringkali menjadi penopang utama iman kaum Muslimin yang tertindas.
X. Sintesis dan Kesimpulan Akhir
Analisis komprehensif terhadap kronologi wahyu, isi tematik, dan fungsi liturgis Surat Al-Fatihah secara tegas menempatkannya di masa-masa awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah. Meskipun riwayat tentang status Madaniyah ada, riwayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai penegasan atau penjelasan ulang mengenai nama-nama dan keutamaan agungnya (seperti Sab'ul Matsani), bukan sebagai wahyu perdana surat itu sendiri.
Surat Al-Fatihah adalah fondasi yang ditanamkan Allah di hati Rasul-Nya dan umatnya saat mereka paling membutuhkan pegangan spiritual dan ideologis, yaitu ketika mereka berjuang mendirikan Tauhid di tengah lingkungan yang sepenuhnya musyrik dan menindas.
Al-Fatihah diturunkan di Makkah karena ia adalah peta jalan spiritual dasar, yang mengajarkan kepada seorang hamba bagaimana:
- Mengenal Tuhan yang Sejati (Tauhid Rububiyah).
- Memuja Tuhan yang Sejati (Tauhid Uluhiyah).
- Memohon Bimbingan Esensial (Shiratal Mustaqim).
Tanpa fondasi Makkiyah yang kokoh ini, syariat Madaniyah tidak akan memiliki basis spiritual yang kuat. Oleh karena itu, Al-Fatihah berdiri sebagai monumen spiritual yang diturunkan di jantung kota suci Makkah, tempat dimulainya perlawanan spiritual terbesar dalam sejarah kemanusiaan.
Pentingnya penetapan lokasi ini memberikan pemahaman yang lebih kaya mengenai bagaimana Al-Qur'an diturunkan secara bertahap, mulai dari prinsip-prinsip universal iman yang diajarkan di Makkah, yang puncaknya termaktub dalam tujuh ayat agung, Ummul Kitab: Al-Fatihah.
Kedalaman setiap kata, mulai dari penetapan kemuliaan Allah Yang Maha Pengasih (Ar-Rahman Ar-Rahim) hingga pengakuan total terhadap keesaan ibadah (Iyyaka Na'budu) dan permintaan hidayah dari segala bentuk kesesatan, semuanya merujuk pada kebutuhan mendesak umat Muslim awal di Makkah untuk membedakan diri mereka secara tegas dari masyarakat jahiliyah yang mengelilingi mereka. Deklarasi Tauhid yang ringkas ini merupakan alat pertahanan spiritual, menjamin bahwa bahkan di bawah tekanan terberat pun, fondasi iman tidak akan goyah.
Lebih jauh lagi, kita dapat melihat bahwa susunan surat Al-Fatihah adalah unik. Tidak ada surah lain yang menggabungkan pujian, pengakuan, janji, dan permohonan secara begitu padat dan berurutan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa ia dirancang untuk menjadi teks yang diulang-ulang (Matsani), mudah dihafal, dan berfungsi sebagai interaksi spiritual sehari-hari. Kebutuhan akan teks seperti ini, yang dapat diakses oleh setiap Muslim baru, haruslah ada sejak awal periode Makkah, saat umat baru mulai menerima ajaran dan ritual shalat.
Para ahli ilmu bahasa Al-Qur'an juga sering menunjuk pada gaya bahasa Al-Fatihah. Meskipun ringkas, ia menggunakan diksi yang sangat kuat dan universal, khas dari surah-surah Makkiyah. Gaya ini ditujukan untuk menembus hati yang keras dan menanamkan kebesaran Allah (ta'zhim) yang sering hilang dalam masyarakat yang tenggelam dalam kesombongan dan berhala buatan tangan.
Dalam konteks Madinah, fokus Al-Qur'an bergeser ke pembahasan munafik, hukum pernikahan, perang, dan sistem ekonomi. Jika Al-Fatihah diturunkan di Madinah, ia akan menjadi anomali tematik yang signifikan, karena tidak membahas isu-isu sosial-politik yang menjadi ciri khas periode Madaniyah. Kesimpulan logis tetap menunjuk kepada Makkah, sebagai lokasi yang paling sesuai bagi turunnya manifesto iman yang begitu fundamental dan universal.
Meskipun ada riwayat yang menunjukkan konfirmasi atau penegasan kembali tentang keutamaan Al-Fatihah di Madinah, hal ini hanya memperkuat keistimewaan surat tersebut, bukan menyangkal lokasi turunnya yang pertama. Setiap kali Nabi Muhammad ﷺ mengulang ajaran tentang keutamaan Ummul Kitab, ia menegaskan pentingnya fondasi yang telah diletakkan di Makkah. Hal ini sejalan dengan konsep pewahyuan yang terkadang mengulang penekanan pada prinsip-prinsip penting.
Dengan demikian, Al-Fatihah adalah harta karun Makkiyah, hadiah Ilahi yang diberikan kepada komunitas yang sedang berjuang, memastikan bahwa fondasi vertikal hubungan mereka dengan Allah dibangun di atas landasan Tauhid yang paling murni, jauh sebelum tantangan horizontal berupa pembangunan negara dan syariat yang kompleks muncul.
Analisis ini mengukuhkan bahwa Makkah, tempat suci bagi Ibrahim dan pusat monoteisme kuno, adalah tempat yang ditakdirkan untuk menerima "Induk Kitab" ini, surat yang membuka setiap ibadah dan menjadi ringkasan dari semua petunjuk Ilahi yang akan menyusul dalam Al-Qur'an yang agung.
Ketujuh ayat ini, diturunkan di Makkah, telah menjadi penjaga akidah umat Islam selama berabad-abad, memastikan bahwa setiap Muslim, sejak saat pertama ia bersyahadat hingga akhir hayatnya, terus memohon petunjuk yang lurus, jalan yang telah dirintis oleh para nabi terdahulu, dan menjauhkan diri dari kesesatan dan kemurkaan, sebuah permintaan yang universal dan abadi.
Setiap huruf dalam Al-Fatihah, dari "Al-Hamdu" hingga "Adh-Dhallin", membawa beban sejarah dakwah Makkiyah, sebuah masa di mana keberanian spiritual adalah satu-satunya benteng melawan kegelapan jahiliyah. Al-Fatihah adalah obor yang menyala di kegelapan Makkah, menerangi jalan menuju kebenaran.
Terkait dengan pembahasan tafsir ayat kelima, Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, perlu ditekankan lebih lanjut mengenai aspek permohonan pertolongan. Di Makkah, para Sahabat menghadapi kelaparan, penyiksaan, dan isolasi sosial. Mereka tidak memiliki sumber daya duniawi untuk melawan kekuatan Quraisy yang dominan. Oleh karena itu, penegasan wa Iyyaka Nasta'in (dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan) adalah kebutuhan psikologis dan spiritual yang paling mendesak.
Permohonan pertolongan ini tidak hanya mencakup bantuan fisik, tetapi juga pertolongan dalam menjalankan ibadah itu sendiri. Memohon kepada Allah untuk dapat menyembah-Nya dengan benar adalah bentuk kerendahan hati yang luar biasa, cocok untuk komunitas yang baru belajar tentang kesempurnaan ibadah. Permintaan ini menegaskan bahwa bahkan kekuatan untuk beribadah pun berasal dari Allah, bukan dari kemampuan manusia semata. Ini adalah pelajaran yang sangat mendasar dan harus diletakkan di Makkah sebagai pelajaran pertama.
Pengulangan (matsani) Al-Fatihah dalam setiap shalat, lima kali sehari, juga merupakan strategi pendidikan yang khas Makkiyah. Di masa-masa awal, pengulangan konstan terhadap prinsip-prinsip inti adalah cara terbaik untuk melawan indoktrinasi politeistik yang sudah mengakar kuat selama ratusan tahun. Dengan mengulang Tauhid dan permintaan hidayah puluhan kali sehari, Al-Fatihah berfungsi sebagai mesin cuci mental, membersihkan hati dari sisa-sisa keyakinan syirik.
Bahkan penempatan kata 'Yaumiddin' (Hari Pembalasan) di tengah-tengah pujian dan permohonan menunjukkan urgensi akidah. Di Madinah, setelah negara Islam berdiri, tantangan beralih ke hukum. Di Makkah, tantangan utama adalah mempertanyakan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa dan Hari Kiamat. Al-Fatihah menangani kedua tantangan ini secara simultan, menegaskan keesaan Allah, dan memperingatkan tentang perhitungan akhir yang akan datang.
Dengan segala pertimbangan tematik, historis, dan syar'i, kesimpulan bahwa Surat Al-Fatihah diturunkan di Makkah adalah kesimpulan yang paling kuat, menjadikannya tonggak pertama dalam arsitektur wahyu Ilahi.