Bukti Kekuasaan Ilahi dan Perlindungan Abadi atas Baitullah
Baitullah (Ka'bah) sebagai pusat peristiwa Al-Fil.
Surat Al-Fil (Gajah) adalah surat ke-105 dalam Al-Qur'an, terdiri dari lima ayat yang pendek namun mengandung sejarah yang sangat besar dan mendalam. Surat ini termasuk golongan surat Makkiyah, diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Posisi penurunannya diyakini sangat awal, berfungsi sebagai pengingat mendasar bagi penduduk Makkah tentang kekuasaan mutlak Allah SWT dan pentingnya Ka'bah sebagai Baitullah.
Inti dari Surat Al-Fil adalah menceritakan kembali peristiwa yang dikenal sebagai "Tahun Gajah" ('Amul Fil), yaitu insiden yang terjadi beberapa saat sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini adalah upaya Raja Abrahah al-Ashram, penguasa Yaman yang beragama Nasrani, untuk menghancurkan Ka'bah di Makkah. Allah SWT menggagalkan upaya ini melalui mukjizat yang luar biasa, menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan duniawi, betapapun besar dan modernnya, yang dapat menandingi kehendak Ilahi.
Surat ini tidak hanya berfungsi sebagai narasi sejarah, tetapi juga sebagai fondasi teologis. Ia mengajukan pertanyaan retoris kepada Rasulullah dan umatnya: Apakah engkau (Muhammad) tidak melihat dan merenungkan bagaimana Tuhanmu bertindak? Pertanyaan ini menuntut bukan hanya pengakuan atas peristiwa yang telah terjadi, tetapi juga pemahaman mendalam tentang pelajaran di baliknya, yaitu pembalasan Allah terhadap kesombongan dan perlindungan-Nya terhadap tempat suci-Nya.
Dalam konteks dakwah awal di Makkah, di mana Nabi Muhammad SAW menghadapi penolakan dan penganiayaan, ingatan tentang peristiwa Al-Fil menjadi penegasan yang kuat. Kaum Quraisy, meskipun saat itu masih menyembah berhala, memandang Ka'bah dengan penghormatan tinggi. Ketika kekuatan militer terbesar pada masa itu gagal menghancurkan Ka'bah, hal ini menjadi bukti nyata bagi mereka tentang keberadaan dan intervensi Tuhan Yang Maha Kuasa.
"Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?"
"Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?"
"Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,"
"Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,"
"Sehingga Dia menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (ulat)."
Untuk memahami kedalaman Surat Al-Fil, kita harus menelusuri latar belakang sejarah Peristiwa Gajah. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 570 Masehi, yang merupakan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ini adalah salah satu peristiwa yang paling terverifikasi dalam sejarah pra-Islam (Jahiliyah) dan menjadi penanda waktu yang penting bagi suku Quraisy.
Abrahah al-Ashram adalah seorang jenderal yang kemudian menjadi raja Yaman (saat itu di bawah kekuasaan Kekaisaran Aksum/Habasyah, Ethiopia). Ia melihat bahwa Ka'bah di Makkah menarik perhatian dan kekayaan dari seluruh Jazirah Arab, yang berpotensi mengurangi pengaruh ekonominya di Yaman. Untuk mengalihkan haji dan perdagangan ke wilayahnya, Abrahah membangun gereja besar dan megah di Sana'a yang disebut Al-Qulais.
Abrahah berkeinginan agar Al-Qulais menjadi pusat ibadah dan ziarah baru bagi bangsa Arab, menggantikan Ka'bah. Namun, ambisinya dihancurkan ketika seorang Arab (riwayat menyebutkan dari suku Kinanah atau Quraisy), yang marah melihat persaingan terhadap Ka'bah, pergi ke Sana'a dan buang air besar di dalam Al-Qulais, sebagai bentuk penghinaan. Perbuatan ini membuat Abrahah murka dan bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah hingga rata dengan tanah, memicu ekspedisi militer besar-besaran.
Pasukan Abrahah bukanlah pasukan biasa. Mereka adalah kekuatan militer yang terorganisir dengan baik, dilengkapi dengan teknologi perang terbaru saat itu. Yang paling signifikan adalah penggunaan Gajah perang. Gajah tidak dikenal dalam peperangan Arab lokal dan merupakan simbol kekuatan yang tak tertandingi, berfungsi sebagai "tank" pada masa itu. Komandan gajah utama, yang bernama Mahmud, memimpin gajah-gajah lainnya.
Pasukan tersebut bergerak menuju Makkah, menjarah harta benda suku-suku Arab yang ditemuinya. Di antara harta yang dirampas adalah unta-unta milik Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad SAW yang saat itu menjabat sebagai kepala suku Quraisy dan penjaga Ka'bah.
Ketika Abrahah tiba di dekat Makkah, penduduk Makkah menyadari bahwa mereka tidak memiliki kemampuan militer sedikit pun untuk menghadapi pasukan bergajah tersebut. Abdul Muththalib kemudian menemui Abrahah, bukan untuk meminta kota Makkah diselamatkan, melainkan unta-unta miliknya dikembalikan. Abrahah terkejut dan meremehkan Abdul Muththalib, berkata, "Aku datang untuk menghancurkan rumah suci kalian, tetapi engkau hanya berbicara tentang unta-unta milikmu?"
Jawaban Abdul Muththalib mencerminkan esensi dari peristiwa ini: "Unta-unta itu adalah milikku, dan Ka'bah itu memiliki Tuhannya sendiri. Dialah yang akan melindunginya." Dengan pernyataan tawakkul (berserah diri) ini, Abdul Muththalib dan penduduk Makkah mengungsi ke bukit-bukit di sekitar Makkah, meninggalkan Ka'bah sepenuhnya dalam perlindungan Allah SWT.
Konteks historis ini menetapkan panggung bagi mukjizat yang akan datang. Peristiwa Al-Fil adalah pertempuran yang dimenangkan bukan oleh manusia, bukan oleh senjata, tetapi oleh intervensi langsung dari langit, menegaskan status Ka'bah sebagai tempat yang dimuliakan secara Ilahi.
Frasa "أَلَمْ تَرَ" (Alam tara) secara harfiah berarti "Tidakkah engkau melihat?". Meskipun pertanyaan ini ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, ia mengandung makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar penglihatan fisik. Karena Nabi SAW lahir pada tahun tersebut, beliau tentu tidak menyaksikan peristiwa ini dengan mata kepala sendiri.
Oleh karena itu, "Alam tara" di sini memiliki makna retoris yang kuat: "Tidakkah engkau mengetahui?", "Tidakkah engkau telah mendengar kabar yang mutawatir (berkesinambungan) yang pasti terjadi?", atau "Tidakkah engkau merenungkan bukti nyata yang ada di hadapanmu?". Ini adalah metode Al-Qur'an untuk menarik perhatian pendengar pada fakta sejarah yang tidak terbantahkan, yang diketahui oleh seluruh masyarakat Quraisy pada masa itu. Ibnu Abbas RA menafsirkan *tara* sebagai *ta'lim* (pengetahuan).
Kata "كَيْفَ" (Kayfa), "bagaimana", menekankan cara yang luar biasa dan tak terduga yang digunakan Allah SWT. Ini bukan hanya masalah *apa* yang dilakukan, tetapi *bagaimana* Ia melakukannya—dengan cara yang melampaui perhitungan manusia dan kekuatan militer.
Penyebutan "رَبُّكَ" (Rabbuka), "Tuhanmu," menghubungkan peristiwa tersebut secara langsung dengan entitas yang membimbing dan melindungi Nabi Muhammad SAW. Ini menegaskan bahwa peristiwa itu adalah bagian dari rencana Ilahi untuk melindungi lingkungan di mana Nabi terakhir akan tumbuh dan berdakwah.
Frasa "بِأَصْحَابِ الْفِيلِ" (Bi-ashabil fil), "terhadap pasukan bergajah," menunjukkan bahwa gajah adalah ciri khas dan penanda identitas pasukan tersebut. Gelar tersebut melekat pada pasukan Abrahah selamanya, menjadikannya simbol keangkuhan yang ditaklukkan oleh kuasa yang tak terlihat.
Pelajaran Ayat 1: Penglihatan spiritual lebih penting daripada penglihatan mata. Allah menuntut kita merenungkan sejarah sebagai bukti nyata akan pola intervensi Ilahi dalam menghadapi tirani, memastikan bahwa pelajaran dari masa lalu menjadi pedoman bagi masa kini.
Ayat kedua berfokus pada hasil dari upaya Abrahah. "كَيْدَهُمْ" (Kaydahum) diterjemahkan sebagai 'tipu daya', 'rencana jahat', atau 'strategi militer'. Ini adalah rencana yang matang, didukung oleh logistik dan persenjataan. Namun, Allah menjadikan rencana tersebut "فِي تَضْلِيلٍ" (fī taḍlīl), yang berarti 'dalam kesesatan', 'dalam kegagalan total', atau 'sia-sia'.
Kegagalan ini bukan hanya kegagalan militer, tetapi kegagalan psikologis dan moral. Sebelum serangan burung Ababil, gajah utama, Mahmud, menunjukkan keengganan untuk bergerak maju menuju Ka'bah, sebuah peristiwa yang oleh para mufassir dianggap sebagai salah satu bentuk awal *taḍlīl*. Setiap kali gajah diarahkan ke Makkah, ia akan menolak; namun, ketika diarahkan ke Yaman atau arah lain, ia akan bergerak dengan cepat. Ini adalah bentuk kekalahan kehendak (iradah) yang dilakukan oleh Allah, bahkan sebelum senjata mulai bekerja.
Tafsir Imam Ar-Razi menekankan bahwa *taḍlīl* di sini menunjukkan bahwa kekuatan yang mereka banggakan (gajah dan pasukan) menjadi penyebab utama kehancuran mereka. Kekuatan mereka yang seharusnya menjadi sarana kemenangan justru menjadi sarana kegagalan. Tujuan mereka untuk menjadikan Ka'bah terlupakan justru menghasilkan hasil sebaliknya: peristiwa ini malah meningkatkan kemuliaan Ka'bah di mata bangsa Arab dan menjadikannya tak tersentuh.
Kesia-siaan ini adalah pesan penting: rencana manusia, betapapun cemerlang dan didukung oleh kekuasaan, tidak akan pernah berhasil jika bertentangan dengan kehendak Allah SWT, terutama ketika menyangkut perlindungan terhadap nilai-nilai ketuhanan.
Ayat ketiga memperkenalkan agen hukuman Ilahi: "وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ" (Wa arsala 'alayhim ṭayran abābīl), "Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong."
Kata "أَبَابِيلَ" (Abābīl) adalah kata yang unik dalam Al-Qur'an dan tidak memiliki bentuk tunggal yang jelas dalam bahasa Arab klasik. Secara umum, ia diartikan sebagai "berkelompok-kelompok", "berbondong-bondong", atau "berjajar". Ini menunjukkan jumlah burung yang sangat besar, datang dari berbagai arah, mengisi langit, dan beroperasi dalam formasi terorganisir, bukan sekadar kawanan acak.
Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai jenis burung tersebut:
Aspek penting dari ayat ini adalah bahwa Allah memilih agen yang paling lemah dan tidak terduga—burung—untuk mengalahkan kekuatan militer yang paling perkasa. Ini adalah demonstrasi yang sempurna tentang Kemahakuasaan Allah, di mana yang lemah di tangan-Nya dapat mengalahkan yang kuat.
Burung Ababil menjatuhkan batu Sijjil ke atas pasukan gajah.
Ayat ini menjelaskan mekanisme hukuman tersebut: "تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ" (Tarmīhim biḥijāratin min sijjīl), "Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar."
Kata kunci di sini adalah "سِجِّيلٍ" (Sijjīl). Para mufassir sepakat bahwa Sijjīl merujuk pada batu yang berasal dari tanah liat yang dipanaskan atau dibakar, menjadikannya sangat keras dan mungkin memiliki efek membakar atau menghancurkan seketika. Makna ini diperkuat oleh penggunaan kata yang sama dalam konteks penghancuran kaum Nabi Luth AS (Surat Hud: 82), di mana batu panas dilemparkan dari langit.
Diriwayatkan bahwa setiap burung membawa tiga batu: satu di paruhnya dan dua di cakarnya. Batu-batu ini, meskipun kecil (sebesar kacang atau kerikil), memiliki kekuatan penetrasi yang luar biasa. Menurut riwayat Ibnu Ishaq dan lainnya, setiap batu ditujukan kepada satu orang, dan begitu batu itu mengenai prajurit, ia akan menembus helm, tubuh, hingga keluar dari bagian bawah tubuh, menyebabkan kematian yang mengerikan dan instan.
Efek dari Sijjīl adalah penghancuran total yang tidak bisa ditanggulangi oleh pertahanan apa pun, menunjukkan bahwa kekuatan yang menyerang mereka bersifat supranatural dan Ilahi, jauh di luar jangkauan senjata manusiawi.
Ayat terakhir menyajikan kesimpulan yang sangat puitis dan mengerikan tentang nasib pasukan Abrahah: "فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ" (Fa ja'alahum ka'aṣfin ma'kūl), "Sehingga Dia menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (ulat)."
Frasa ini menggunakan kiasan visual yang sangat kuat untuk menggambarkan kehancuran total:
Ketika kedua kata ini digabungkan, ia menciptakan gambaran sisa-sisa sekam atau daun yang telah dikunyah dan dimuntahkan oleh hewan, atau dimakan ulat, yang menjadikannya rapuh, hancur, dan menjijikkan. Ini menggambarkan bahwa tubuh pasukan Abrahah hancur lebur dan berantakan, kehilangan bentuk dan kekuatan mereka, menjadi tidak lebih dari residu organik yang busuk.
Kesimpulan: Tujuan Abrahah adalah untuk menghancurkan, tetapi justru dia dan pasukannya yang dihancurkan total, menjadi pelajaran yang dilupakan. Kehancuran mereka begitu total sehingga para sejarawan (seperti Ibnu Hisyam) mencatat bahwa Abrahah sendiri meninggal dalam perjalanan pulang, tubuhnya membusuk perlahan seiring ia berjalan ke Yaman, sebagai manifestasi fisik dari kehancuran yang digambarkan dalam ayat ini.
Meskipun mayoritas ulama tafsir klasik (seperti At-Tabari, Al-Qurtubi, dan Ibnu Kathir) memegang interpretasi harfiah tentang burung dan batu Sijjīl, pembahasan tafsir kontemporer dan modernitas mencoba menganalisis apakah ada makna lain yang mungkin. Namun, penting untuk dicatat bahwa keajaiban peristiwa ini terletak pada intervensi supranatural yang eksplisit.
Tafsir klasik menekankan bahwa peristiwa Al-Fil adalah mukjizat (karamah) yang diberikan kepada Ka'bah, mirip dengan mukjizat yang diberikan kepada para Nabi. Kekuatan ilahi datang melalui agen yang tak terduga (burung Ababil) dan senjata yang unik (batu Sijjīl). Ibnu Kathir dan lainnya menggunakan hadits dan riwayat sejarah yang kuat untuk mendukung deskripsi literal ini, menganggapnya sebagai keajaiban yang harus diterima sebagaimana adanya untuk menegaskan kemahakuasaan Allah.
Beberapa penafsir modern mencoba mencari penjelasan yang lebih sesuai dengan ilmu pengetahuan, meskipun ini adalah minoritas dan seringkali dikritik karena meremehkan aspek mukjizat. Salah satu interpretasi yang muncul adalah bahwa *ṭayran abābīl* mungkin merujuk pada kawanan nyamuk, serangga, atau virus yang membawa penyakit mematikan, seperti epidemi cacar (smallpox) atau wabah lain. Menurut teori ini, batu Sijjīl secara metaforis mewakili efek penyakit yang menyebabkan luka bakar seperti lepuh atau kondisi tubuh yang hancur (seperti *aṣfin ma'kūl*).
Namun, argumentasi ini lemah karena menghilangkan kontras retoris antara kekuatan militer dan kelemahan burung. Lebih jauh, jika hanya penyakit, maka pertanyaan "Alam tara kayfa fa'ala rabbuka" kehilangan sebagian dari kejutannya, karena epidemi adalah hal yang umum. Keajaiban terletak pada cara Abrahah dihentikan tepat di ambang pintu Makkah oleh serangan udara yang terorganisir, bukan sekadar wabah yang menyebar secara alami.
Keunggulan tafsir literal (mukjizat) terletak pada tujuan Surat Al-Fil itu sendiri: untuk menjadi tanda yang jelas, tidak ambigu, dan sangat berbeda dari peristiwa duniawi biasa. Peristiwa ini harus menjadi *penanda sejarah* yang meyakinkan para penyembah berhala bahwa Ka'bah berada di bawah perlindungan entitas yang jauh lebih besar daripada dewa-dewa buatan mereka.
Kelima ayat Surat Al-Fil menyimpan hikmah yang abadi, tidak hanya relevan bagi kaum Quraisy saat itu tetapi juga bagi umat Islam di setiap zaman. Ini adalah cetak biru tentang akibat dari kesombongan, kekuatan tawakkul, dan kepastian perlindungan Ilahi.
Pelajaran utama adalah pengakuan mutlak bahwa Ka'bah bukanlah sekadar bangunan batu, tetapi Rumah Allah (Baitullah) yang berada di bawah perlindungan langsung-Nya. Allah SWT telah menetapkan kesucian Makkah dan Ka'bah, dan Dia akan membela kehormatannya melawan siapa pun yang berniat jahat, tidak peduli seberapa kuatnya musuh itu. Peristiwa ini berfungsi sebagai proklamasi Ilahi bahwa Makkah adalah Tanah Suci (Haram) yang tidak bisa diganggu gugat.
Abrahah adalah simbol dari tirani, keangkuhan, dan nafsu kekuasaan. Ia tidak hanya ingin menghancurkan Ka'bah karena alasan agama, tetapi karena motif ekonomi dan politik, ingin memaksakan kehendaknya pada orang lain. Allah menunjukkan bahwa kesombongan, betapapun didukung oleh gajah dan tentara, akan berujung pada kehancuran total. Prinsip ini berlaku universal: kezaliman dan ambisi yang melampaui batas selalu akan dihadapkan pada batas kekuasaan Ilahi.
Kisah Abdul Muththalib adalah contoh nyata dari tawakkul yang benar. Ketika ia ditanya mengapa ia hanya peduli pada untanya, ia memisahkan antara tanggung jawab manusia (mempertahankan hak miliknya) dan kekuasaan Ilahi (mempertahankan Rumah-Nya). Ia mengundurkan diri dari pertempuran yang jelas akan kalah, menyerahkan pertahanan Ka'bah kepada pemiliknya. Ini mengajarkan bahwa dalam situasi di mana kekuatan manusia tidak berdaya, kekuatan tawakkul adalah yang paling efektif.
Peristiwa ini terjadi sebagai penanda penting bagi kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dengan membersihkan Makkah dari ancaman militer terbesar di semenanjung Arab, Allah menciptakan lingkungan yang aman dan sakral bagi munculnya Nabi terakhir. Peristiwa Al-Fil menciptakan ikatan psikologis dan spiritual bagi kaum Quraisy: mereka tahu bahwa Tuhan mereka telah melindungi mereka secara ajaib. Ketika Nabi Muhammad SAW mulai berdakwah, ingatan kolektif ini secara tidak langsung mendukung klaimnya tentang Keesaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Surat Al-Fil seluruhnya dibangun di atas struktur retoris pertanyaan dan jawaban yang sangat efektif. Dua ayat pertama adalah pertanyaan retoris (*Alam tara* dan *Alam yaj'al*), yang jawabannya sudah jelas dan diketahui oleh semua. Tiga ayat berikutnya (*Wa arsala*, *Tarmīhim*, *Fa ja'alahum*) adalah jawaban Ilahi, menjelaskan *bagaimana* dan *mengapa* rencana itu digagalkan.
Penggunaan pertanyaan retoris ini memaksa pendengar untuk mengaktifkan memori kolektif mereka dan mengakui peristiwa itu sebagai fakta, bukan sekadar mitos. Ini adalah teknik persuasi Al-Qur'an untuk membangun fondasi keyakinan yang kuat.
Kata Kayd (tipu daya) dalam konteks ini sangatlah tepat. Abrahah tidak hanya datang untuk menghancurkan, tetapi ia merencanakan untuk menghancurkan secara strategis, dengan tujuan mengubah peta spiritual dan ekonomi Arab. *Kayd* menyiratkan kecerdasan dan perencanaan. Dengan mengatakan "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka sia-sia?", Al-Qur'an menegaskan bahwa Allah tidak hanya mengalahkan kekuatan fisik (gajah), tetapi juga kecerdasan dan strategi terbaik musuh.
Keagungan retoris ini terletak pada kontras: strategi manusia yang paling cerdas dikalahkan oleh kawanan burung kecil. Ini adalah pengingat bahwa hikmah Allah jauh melebihi perencanaan manusia.
Kiasan di ayat terakhir, *ka'aṣfin ma'kūl*, adalah puncak keindahan sastra sekaligus ketegasan hukuman. Mengapa tidak menggunakan perumpamaan lain, seperti 'seperti batu yang hancur' atau 'seperti pasir yang diterbangkan angin'?
Penggunaan "dedaunan yang dimakan ulat" menekankan aspek:
Peristiwa Al-Fil memiliki dampak yang sangat besar pada psikologi dan status sosial suku Quraisy di Jazirah Arab, yang bertahan hingga masa kenabian Muhammad SAW.
Setelah peristiwa Al-Fil, suku Quraisy dikenal sebagai *Ahlullah* (Keluarga Allah) atau orang-orang yang dilindungi oleh Tuhan yang Maha Besar. Meskipun mereka masih menyembah berhala, suku-suku Arab lainnya mengakui bahwa Ka'bah dan para penjaganya memiliki perlindungan supranatural. Ini meningkatkan prestise Quraisy, mengamankan jalur perdagangan mereka, dan memberikan mereka dominasi moral atas suku-suku lain.
Kepercayaan ini adalah pedang bermata dua: di satu sisi, hal itu memastikan keamanan bagi Nabi Muhammad SAW untuk tumbuh. Di sisi lain, hal itu menyebabkan kesombongan di antara para pemimpin Quraisy, yang percaya bahwa perlindungan tersebut adalah hak istimewa mereka, bahkan ketika mereka menentang ajaran Tauhid yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Mereka mengira bahwa mereka memiliki hubungan eksklusif dengan Tuhan yang sama yang melindungi Ka'bah, sehingga mereka berhak menolak risalah Islam.
Tahun Gajah menjadi titik referensi kalender yang paling penting di Arab sebelum Islam. Mereka tidak memiliki kalender Hijriyah, sehingga peristiwa-peristiwa besar diukur dari berapa tahun setelah Tahun Gajah. Ini membuktikan bahwa peristiwa itu bukanlah dongeng, melainkan sebuah fakta historis yang mengganggu dan mendefinisikan zaman.
Peristiwa ini, yang benar-benar mustahil secara militer, menguatkan keyakinan bangsa Arab pada kekuatan yang lebih tinggi, bahkan jika mereka salah mengidentifikasinya (melalui praktik politeisme). Ketika Islam datang, konsep tentang Tuhan Yang Maha Kuasa yang melindungi Ka'bah sudah tertanam kuat. Surat Al-Fil berfungsi untuk mengoreksi teologi mereka: Tuhan yang melindungi Ka'bah bukanlah sekumpulan berhala, tetapi Allah Yang Maha Esa, yang kekuasaan-Nya ditunjukkan melalui cara yang paling sederhana.
Mempertimbangkan kedalaman Surah ini, perbandingan mengenai penafsiran *Sijjīl* (Ayat 4) memberikan perspektif yang kaya:
Al-Qurtubi menekankan aspek keajaiban yang lengkap. Baginya, *Sijjīl* adalah batu yang secara spesifik disiapkan di langit (disebut juga batu yang berapi, mirip dengan batu dari neraka) untuk tujuan ini. Ia mengumpulkan riwayat yang menegaskan bahwa batu tersebut memiliki kekuatan ledakan atau penghancuran yang luar biasa, sehingga efeknya jauh melampaui ukuran fisiknya yang kecil. Qurtubi berpendapat bahwa batu ini adalah hukuman yang datang langsung dari "kekuatan langit," tidak ada sangkut pautnya dengan fenomena alam biasa.
Ibnu Katsir sangat fokus pada narasi historis. Ia menggunakan riwayat-riwayat tentang cara pasukan itu hancur; bagaimana batu-batu itu menjatuhkan prajurit, dan bagaimana tubuh Abrahah membusuk. Bagi Ibnu Katsir, *Sijjīl* adalah bukti konkret kebenaran kisah ini, dan efek *aṣfin ma'kūl* adalah deskripsi medis-historis tentang kehancuran jaringan tubuh akibat serangan supranatural tersebut. Ia menekankan bahwa ini adalah tanda yang dilihat oleh banyak orang.
Abduh dan mazhab modernis yang mencari interpretasi rasionalis cenderung meragukan deskripsi harfiah burung Ababil dan batu Sijjīl. Abduh berpendapat bahwa *Sijjīl* mungkin merujuk pada penyakit mematikan yang dikenal saat itu, dan *Ababil* adalah metafora untuk penyebarannya yang cepat dan tak terhindarkan. Meskipun pandangan ini memberikan kenyamanan ilmiah, ia cenderung mengabaikan kekayaan naratif dan dampak spiritual yang ditawarkan oleh mukjizat harfiah.
Kesimpulannya, mayoritas tradisi Islam menegaskan bahwa Allah SWT memilih cara yang paling unik—burung yang membawa batu panas—untuk menegaskan bahwa perlindungan Ka'bah adalah urusan-Nya semata, menyingkirkan semua kemungkinan penjelasan naturalistik.
Surat Al-Fil, terdiri dari hanya lima ayat, memberikan pelajaran tak terbatas tentang hubungan antara kehendak manusia dan kekuasaan Ilahi. Ia mengajarkan bahwa kekuatan materiil dan keangkuhan selalu rentan terhadap intervensi Allah SWT.
Relevansi Surat Al-Fil hari ini adalah sebagai berikut:
Dengan merenungkan kembali kalimat "Alam tara kayfa fa'ala rabbuka bi'ashābil fīl?", setiap mukmin diajak untuk menyaksikan, memahami, dan memproklamasikan kebenaran abadi: Ka'bah dan seluruh ajaran yang mendasarinya akan selalu dilindungi oleh Rabbul 'Alamin, Tuhan semesta alam.
Peristiwa Tahun Gajah bukan hanya sebuah catatan kaki sejarah, tetapi sebuah monumen keimanan yang menegaskan bahwa segala bentuk kesombongan manusia pasti akan kembali kepada ketiadaan, menjadi seperti dedaunan yang telah dimakan, hancur dan dilupakan, sementara Rumah Allah tetap berdiri tegak sebagai pusat Tauhid abadi.
Dengan analisis mendalam terhadap setiap kata dan frasa dalam Surat Al-Fil, mulai dari retorika "Alam tara" hingga gambaran kehancuran "ka'aṣfin ma'kūl", kita dapat melihat betapa padatnya pesan yang disampaikan dalam lima ayat singkat ini. Surat ini adalah ringkasan sejarah, pelajaran moral, dan dogma keimanan yang sempurna, membuktikan bahwa Al-Qur'an adalah sumber hikmah yang tak pernah kering.
Kajian mendalam tentang *Sijjīl* dan *Abābīl* membuka pintu pada pemahaman tentang sifat mukjizat itu sendiri—bahwa kekuatan Tuhan tidak terikat oleh hukum-hukum alam yang Ia ciptakan, dan Ia dapat menanggapi ancaman yang terbesar sekalipun dengan tindakan yang paling halus namun mematikan. Ini adalah inti dari iman: percaya pada yang tak terlihat, karena yang tak terlihat itulah yang menentukan takdir yang terlihat.
Setiap detail, dari keengganan gajah hingga batu yang menyerang satu per satu, menggarisbawahi presisi intervensi Ilahi. Tidak ada yang luput. Setiap prajurit, setiap gajah, setiap rencana jahat, semuanya dihancurkan secara sistematis, mengubah kekuatan militer menjadi debu. Kejadian ini meninggalkan trauma mendalam bagi Arab selatan (Yaman) dan mengangkat moral Arab utara (Hijaz), menyiapkan panggung geopolitik dan spiritual bagi kedatangan kenabian Muhammad SAW. Peristiwa Al-Fil memastikan bahwa fondasi tempat Islam akan tumbuh adalah fondasi yang didirikan di atas pasir kegagalan manusia, tetapi ditegakkan oleh kuasa Allah yang tak terbatas.
Pemahaman yang komprehensif tentang Surat Al-Fil Ayat 1-5 membawa kita kembali pada esensi keberadaan: bahwa manusia hanyalah hamba, dan rencana terbaik adalah selalu berserah diri kepada Sang Pencipta, yang melindungi apa yang menjadi milik-Nya dengan cara yang paling menakjubkan dan tak terbayangkan.
***