Surat Al-Fil, yang terdiri dari lima ayat, adalah sebuah babak dramatis dalam sejarah kenabian yang mengungkap bagaimana keangkuhan dan kekuatan materi dapat dihancurkan total oleh campur tangan Ilahi yang tak terduga. Diturunkan di Makkah, surat ini berfungsi sebagai pengingat abadi bagi umat manusia tentang batas kemampuan manusia ketika berhadapan dengan kehendak Allah SWT. Fokus utama dari surat ini adalah peristiwa ‘Amul Fil (Tahun Gajah), sebuah momen yang sangat penting, yang terjadi beberapa saat sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Di antara rangkaian kisah yang menakjubkan ini, Ayat kedua menempati posisi sentral dalam menyimpulkan makna teologis dari seluruh peristiwa. Ayat ini bukan sekadar narasi; ia adalah pertanyaan retoris yang kuat yang menegaskan otoritas mutlak Sang Pencipta. Ayat yang menjadi inti pembahasan kita ini berbunyi:
Terjemahan harfiahnya dalam Bahasa Indonesia adalah: “Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (pasukan bergajah) sia-sia?”
Pertanyaan yang dilontarkan Allah dalam ayat ini adalah penegasan, bukan permintaan jawaban. Ini adalah proklamasi bahwa upaya kolosal, yang didukung oleh sumber daya, militer, dan teknologi paling canggih di Semenanjung Arab saat itu (gajah-gajah perang), telah diruntuhkan hingga ke akar-akarnya. Untuk memahami kedalaman makna dari surat al fil ayat 2, kita perlu menelusuri tidak hanya konteks historisnya yang kaya, tetapi juga analisis linguistik setiap kata, dan implikasi teologisnya yang abadi bagi iman dan kehidupan umat Muslim di setiap zaman.
Ayat kedua ini, meskipun singkat, sarat dengan makna dan teknik retorika tinggi. Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus membedah setiap komponen kata yang membentuk pernyataan keagungan Ilahi ini.
Frasa pembuka, أَلَمْ يَجْعَلْ (Alam Yaj’al), adalah kunci retorika ayat ini. Ini adalah bentuk pertanyaan negatif (interogatif negatif) yang dalam bahasa Arab disebut sebagai *istifham inkari*. Dalam konteks Al-Qur’an, pertanyaan seperti ini tidak memerlukan jawaban 'ya' atau 'tidak', melainkan berfungsi sebagai penegasan yang mutlak, setara dengan kalimat deklaratif yang kuat: "Dia sungguh telah menjadikan..." atau "Tentu saja Dia telah menjadikan..."
Kata يَجْعَلْ (Yaj’al) berasal dari akar kata *Ja’ala*, yang berarti 'menjadikan', 'menciptakan', atau 'mengubah'. Penggunaan bentuk lampau dengan negasi (Alam) menekankan bahwa tindakan menjadikan sia-sia itu telah terjadi di masa lalu, dan hasilnya bersifat final dan tidak dapat diubah. Ini menunjukkan kemahakuasaan Allah dalam membalikkan realitas—mengambil sesuatu yang tampak kuat dan mengubahnya menjadi kehampaan. Ini menunjukkan kekuasaan Allah yang tidak terbatas oleh hukum sebab-akibat yang dipahami manusia. Kehancuran pasukan Abrahah bukanlah hasil dari taktik superior bangsa Arab, tetapi murni tindakan langsung dari *Al-Jabbār* (Yang Maha Perkasa).
Kata كَيْدَهُمْ (Kaidahum) adalah inti dari skema yang digagalkan. Akar katanya, *Kaid*, secara harfiah berarti 'tipu daya', 'konspirasi', 'skema jahat', atau 'rencana yang bertujuan merugikan'. Namun, dalam konteks ini, *Kaid* memiliki dimensi yang lebih luas; ia tidak hanya merujuk pada rencana tersembunyi, tetapi juga seluruh upaya, mobilisasi, sumber daya, dan keangkuhan militer yang dikerahkan oleh Abrahah dan pasukannya.
Pasukan bergajah datang dengan rencana yang matang: menghancurkan Ka’bah, memindahkan pusat ziarah ke Yaman (sana'a), dan menegakkan hegemoni politik dan agama mereka. Kaidahum merangkum segala sesuatu—dari keputusan Abrahah di istananya hingga langkah kaki gajah yang berat menuju Makkah. Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa sehebat dan serumit apa pun rencana manusia yang bertentangan dengan kehendak Ilahi, semuanya hanyalah tipu daya yang rapuh di hadapan takdir. Ini memberikan pelajaran fundamental bahwa kekuatan sejati bukanlah pada jumlah tentara atau besar gajah, melainkan pada izin Sang Pengatur Alam Semesta.
Para mufassir klasik, termasuk Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir, menekankan bahwa *Kaid* di sini mencerminkan kombinasi antara niat buruk (menghancurkan rumah suci) dan mobilisasi kekuatan fisik yang luar biasa. Allah tidak hanya menggagalkan niat mereka, tetapi juga pelaksanaan fisik dari niat tersebut, menunjukkan bahwa bahkan langkah pertama dari rencana jahat itu pun berada di bawah pengawasan-Nya.
Kata تَضْلِيلٍ (Taḍlīl) berasal dari akar kata *Ḍalala*, yang berarti 'tersesat', 'menyimpang', atau 'gagal mencapai tujuan'. Ketika digunakan dalam bentuk Taḍlīl, ia berarti 'menjadikan tersesat', 'menjadikan sia-sia', atau 'menjadikan tidak berbekas'.
Frasa fī taḍlīl (dalam kesia-siaan) secara puitis dan definitif menjelaskan hasil akhir dari *Kaidahum*. Ini bukan kegagalan parsial; ini adalah pembatalan total. Seluruh skema pasukan Abrahah menjadi ‘tersesat’ atau ‘melenceng’ dari tujuannya. Mereka datang untuk menghancurkan, tetapi akhirnya merekalah yang hancur. Mereka datang untuk menegakkan kekuasaan, tetapi malah menjadi pelajaran bagi umat manusia. Tipu daya mereka tidak hanya gagal mencapai target (Ka’bah), tetapi juga gagal total dalam mempertahankan eksistensi dan martabat mereka sendiri.
Kajian mendalam para ahli bahasa Arab menunjukkan bahwa *Taḍlīl* di sini mengimplikasikan dua makna sekaligus: (1) Kegagalan Tujuan, di mana niat jahat mereka tidak terwujud. (2) Kehancuran Substansi, di mana kekuatan fisik mereka (gajah, prajurit) juga hilang dan musnah, meninggalkan mereka dalam keadaan bingung dan tanpa arah. Ini adalah kehancuran ganda: spiritual dan material. Allah menjadikan rencana mereka tidak hanya tidak berguna, tetapi juga menjadi contoh dari kebodohan manusia yang berani menantang kekuasaan Ilahi.
Surat al fil ayat 2 mustahil dipahami tanpa menenggelamkan diri dalam detail sejarah yang melingkupinya. Peristiwa ‘Amul Fil (Tahun Gajah) bukanlah dongeng belaka; ia adalah fakta sejarah yang disaksikan oleh para saksi mata di Makkah, yang kemudian diriwayatkan secara turun-temurun, dan kebenarannya diabadikan dalam Al-Qur’an.
Abrahah al-Ashram adalah seorang gubernur Kristen dari Kerajaan Aksum (Ethiopia), yang saat itu menguasai Yaman. Ia adalah sosok yang ambisius, kuat, dan memiliki sumber daya militer yang superior. Abrahah melihat bahwa Ka’bah di Makkah adalah pusat spiritual dan ekonomi yang menarik peziarah dari seluruh jazirah Arab, memberikannya pengaruh besar kepada kabilah Quraisy.
Untuk mengalihkan aliran ziarah dan keuntungan ekonomi ke wilayahnya, Abrahah membangun sebuah katedral megah di Sana'a yang ia namakan Al-Qulais. Ia berharap katedral ini menjadi pusat ziarah baru, menyaingi Ka’bah. Namun, bangsa Arab, yang memiliki ikatan spiritual yang dalam dengan Ka’bah (walaupun saat itu mereka masih musyrik), menolak mentah-mentah ajakan tersebut. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa seseorang dari Bani Fuqaim bahkan menghina Al-Qulais dengan cara yang sangat ekstrem, yang memicu kemarahan besar Abrahah.
Kemarahan Abrahah tidak sekadar emosional. Ia adalah perhitungan politik dan ekonomi. Ia bersumpah untuk menghancurkan Ka’bah sehingga seluruh kekuasaan, spiritualitas, dan jalur perdagangan akan beralih ke Yaman. Inilah awal mula dari Kaidahum (tipu daya/rencana jahat) yang disebutkan dalam surat al fil ayat 2. Tipu daya ini melibatkan pengerahan pasukan besar-besaran, yang di dalamnya terdapat gajah-gajah perang, simbol teknologi militer tertinggi saat itu, yang belum pernah dilihat oleh masyarakat Hijaz.
Perjalanan pasukan Abrahah dari Yaman menuju Makkah adalah demonstrasi keangkuhan. Gajah-gajah tersebut, terutama gajah utama yang bernama Mahmud, merupakan manifestasi visual dari kekuatan yang tak terbantahkan. Masyarakat Arab saat itu percaya bahwa kekuatan Abrahah tak terkalahkan. Tidak ada kabilah yang berani menghadapinya secara militer. Beberapa upaya perlawanan kecil di sepanjang jalan, seperti yang dipimpin oleh Dzu Nafr dan Nufail bin Habib al-Khath'ami, gagal total, hanya memperkuat keyakinan Abrahah akan kemenangannya.
Ketika tiba di daerah Al-Mughammas, dekat Makkah, Abrahah memerintahkan pasukannya untuk menjarah ternak penduduk, termasuk 200 unta milik Abdul Muttalib, kakek Nabi Muhammad SAW, yang saat itu adalah pemimpin Makkah. Ini adalah bagian dari rencana psikologis—menghancurkan moral penduduk sebelum menghancurkan struktur fisik Ka’bah.
Puncak dari pertentangan ini terjadi dalam dialog antara Abrahah dan Abdul Muttalib. Ketika Abdul Muttalib datang untuk meminta untanya kembali, Abrahah terkejut. Ia mengira pemimpin Makkah akan memohon agar Ka’bah diselamatkan. Abrahah bertanya, "Mengapa kamu hanya membicarakan unta-untamu dan tidak membicarakan rumah suci yang merupakan agama leluhurmu dan yang akan aku hancurkan?"
Jawaban Abdul Muttalib adalah cerminan dari pemisahan yang mendalam antara kekuatan manusia dan perlindungan Ilahi. Abdul Muttalib berkata, "Aku adalah pemilik unta-unta itu, dan Ka'bah memiliki pemilik yang akan melindunginya." Jawaban ini menunjukkan bahwa penduduk Makkah telah melepaskan tanggung jawab mereka (yang mereka sadari mustahil dilakukan) dan menyerahkannya kepada pemilik sejati Ka’bah, Allah SWT. Ini menunjukkan kontras yang tajam: Abrahah, yang yakin pada kekuatan materi gajahnya, dan Abdul Muttalib, yang bertawakkal kepada kekuatan metafisik yang tak terlihat.
Jawaban Abdul Muttalib ini semakin membuat Abrahah yakin bahwa tipu dayanya (Kaidahum) pasti akan berhasil, karena tidak ada perlawanan fisik yang berarti. Dengan keangkuhan penuh, Abrahah memerintahkan pasukannya bersiap untuk bergerak pada hari berikutnya. Namun, kehendak Ilahi telah mendahului semua rencana mereka.
Surat al fil ayat 2 secara eksplisit menyatakan bahwa Allah menjadikan tipu daya mereka sia-sia (fī taḍlīl). Ayat ini tidak merinci bagaimana kehancuran itu terjadi—detail itu disediakan oleh ayat-ayat berikutnya (Ayat 3-5). Namun, penegasan di Ayat 2 adalah pengantar dramatis yang menggarisbawahi kegagalan total sebelum menjelaskan metode kegagalan tersebut.
Ketika pasukan siap untuk bergerak, gajah utama, Mahmud, tiba-tiba menolak bergerak menuju Ka’bah. Nufail bin Habib, yang dijadikan pemandu oleh Abrahah, berbisik kepada gajah itu: “Duduklah, wahai Mahmud! Pulanglah ke tempatmu dengan selamat. Karena engkau berada di negeri suci Allah.” Ketika gajah itu dihadapkan ke arah Ka’bah, ia duduk. Namun, ketika dihadapkan ke arah lain (Yaman), ia bergerak cepat. Peristiwa ini adalah tanda pertama bahwa kekuatan materi mereka telah dilumpuhkan oleh kehendak yang lebih tinggi.
Ini adalah bagian dari Taḍlīl (penyesatan/pembatalan). Gajah, simbol kekuatan militer mereka, tiba-tiba menjadi alat perlawanan pasif. Ini menghancurkan moral pasukan dan menunjukkan bahwa bahkan hewan pun tunduk pada perintah Ilahi ketika ditujukan untuk melindungi kesucian. Segala upaya fisik untuk memaksanya bergerak gagal total, membuktikan bahwa seluruh rencana militer mereka telah macet di titik nol.
Kehancuran total terjadi segera setelah itu, sebuah peristiwa yang mustahil dijelaskan dengan hukum alam biasa. Langit dipenuhi oleh burung-burung (Ababil) yang membawa batu-batu kecil dari tanah yang terbakar (sijjīl). Setiap batu, sekecil apa pun, menghantam kepala prajurit atau gajah, menyebabkan daging mereka hancur lebur, seolah-olah dimakan ulat.
Kondisi ini digambarkan Allah di akhir surah sebagai menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat (ka'aṣfin ma’kūl). Abrahah sendiri termasuk yang terkena dampak dan akhirnya meninggal dalam perjalanan pulang ke Yaman, tubuhnya perlahan membusuk dan hancur. Seluruh pasukan bergajah, yang datang dengan keangkuhan dan keyakinan akan kemenangan mutlak, telah menjadi puing-puing sejarah dalam sekejap. Ini adalah visualisasi sempurna dari fī taḍlīl.
Mufassir kontemporer dan klasik sepakat bahwa kehancuran ini menunjukkan bahwa ketika Allah berkehendak, Dia tidak memerlukan kekuatan besar. Dia menggunakan makhluk-Nya yang paling lemah dan tidak terduga—burung kecil—untuk menghancurkan kekuatan terbesar manusia. Ini menekankan bahwa tipu daya (Kaidahum) mereka bukan hanya digagalkan oleh kekuatan yang setara, tetapi dibatalkan oleh manifestasi keagungan yang melampaui logika dan perhitungan fisik.
Visualisasi Kehancuran Tipu Daya Pasukan Bergajah.
Melampaui narasi sejarah, surat al fil ayat 2 memberikan pelajaran teologis yang fundamental bagi konsep keimanan (Aqidah) dalam Islam. Ayat ini merupakan bukti nyata dari sifat-sifat Allah (Asmaul Husna) dan ajakan untuk mengandalkan kekuatan Ilahi sepenuhnya.
Ayat 2, dengan pertanyaan retoris “Alam yaj’al…”, adalah manifestasi eksplisit dari Qudratullah—kekuasaan Allah yang tak terbatas. Pasukan Abrahah mewakili batas tertinggi kekuatan manusia, ambisi, dan teknologi pada zaman itu. Mereka tidak ditaklukkan oleh musuh yang setara, melainkan oleh kekuatan yang mutlak transenden. Ini mengajarkan bahwa tidak ada entitas di alam semesta yang dapat menantang kehendak Allah. Ketika Allah berkehendak untuk melindungi sesuatu, seluruh kekuatan alam semesta, bahkan yang tampak lemah, akan dimobilisasi untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Dalam tafsirnya, banyak ulama menekankan bahwa peristiwa ini mencontohkan konsep Al-Qadir (Yang Maha Berkuasa) dan Al-Muqtadir (Yang Maha Menentukan). Allah tidak hanya memiliki kekuatan, tetapi Dia mampu menggunakannya untuk tujuan yang spesifik, bahkan jika itu berarti melanggar hukum alam yang berlaku. Kekuasaan ini menjangkau niat dan rencana jahat—bukan hanya menggagalkan aksinya, tetapi juga membatalkan esensi dari skema tersebut (Kaidahum fī taḍlīl).
Pelajarannya adalah bahwa seorang Muslim harus selalu menimbang semua konflik dan tantangan melalui prisma Qudratullah. Jika seluruh dunia bersatu untuk merencanakan keburukan terhadap seorang mukmin yang teguh, rencana itu hanya akan berhasil sejauh yang diizinkan oleh Allah. Keyakinan ini menghilangkan rasa takut berlebihan terhadap musuh yang tampak kuat.
Peristiwa Gajah menegaskan pentingnya Tawakkul (penyerahan diri dan kepercayaan penuh kepada Allah). Ketika Abdul Muttalib dan penduduk Makkah mengundurkan diri dari pertempuran yang mustahil, mereka menunjukkan Tawakkul yang tulus. Mereka melepaskan harapan pada kekuatan fisik mereka dan menggantungkan harapan pada pemeliharaan Allah.
Sebaliknya, Abrahah dan pasukannya mewakili puncak dari Takabbur (keangkuhan) dan Ghurur (tipuan diri). Mereka percaya bahwa kekuatan mereka adalah otoritas tertinggi, mengabaikan pemilik sejati rumah yang mereka coba hancurkan. Hasilnya, Kaidahum (tipu daya/keangkuhan mereka) menghasilkan Taḍlīl (kesia-siaan/kehancuran). Ini adalah hukum abadi: keangkuhan yang menentang Allah pasti akan berakhir dengan kehinaan.
Imam Al-Ghazali, dalam membahas masalah hati, sering menggunakan kisah ini sebagai ilustrasi bagaimana hati yang dipenuhi rasa yakin dan tunduk kepada Allah akan senantiasa dilindungi, sementara hati yang dikuasai oleh ambisi duniawi dan keangkuhan (seperti Abrahah) akan menemukan bahwa segala kekuatannya menjadi tidak berarti. Tawakkul bukanlah kepasrahan yang pasif, melainkan pengakuan aktif bahwa Allah adalah satu-satunya pelindung yang sejati.
Surat Al-Fil diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di Makkah pada masa-masa awal dakwah, ketika komunitas Muslim sangat lemah, minoritas, dan menderita penindasan hebat dari Quraisy. Quraisy, yang dahulu menyaksikan dan bangga akan perlindungan Allah terhadap Ka’bah, kini menjadi musuh yang menindas kaum Muslimin.
Pesan dari surat al fil ayat 2 kepada Nabi dan para sahabat adalah: "Jika Allah mampu menghancurkan kekuatan kolosal pasukan Abrahah yang menggunakan gajah, maka kekuatan Quraisy yang menindas kalian saat ini hanyalah tipu daya kecil yang juga bisa Dia jadikan sia-sia." Ayat ini berfungsi sebagai penyuntik semangat dan penegasan bahwa hasil akhir perjuangan bukan ditentukan oleh kekuatan atau jumlah, tetapi oleh janji Allah untuk membela hamba-Nya yang benar.
Peristiwa Gajah menjadi bukti kenabian Muhammad SAW secara tidak langsung, karena ia lahir di tahun mukjizat tersebut. Ia adalah generasi yang dilindungi oleh mukjizat, dan Al-Qur’an datang untuk mengesahkan dan menjelaskan mukjizat tersebut, menghubungkannya secara langsung dengan pesan tauhid yang dibawanya. Perlindungan Ka’bah adalah prolog kosmis untuk kedatangan Rasulullah SAW dan perlindungan terhadap risalahnya.
Makna surat al fil ayat 2 tidak berhenti pada catatan sejarah 14 abad yang lalu. Konsep Kaidahum fī taḍlīl adalah prinsip universal yang relevan dalam kehidupan Muslim modern di tengah berbagai tantangan dan ancaman global.
Dalam era kontemporer, ‘tipu daya’ (Kaidahum) mungkin tidak lagi berbentuk pasukan gajah, tetapi manifestasi lain dari kekuatan yang digunakan untuk menindas kebenaran atau menyerang kesucian. Kaidahum hari ini bisa berupa:
Dalam menghadapi ‘pasukan bergajah’ modern ini, Ayat 2 menegaskan bahwa sehebat apa pun perencanaannya, sekuat apa pun pendanaan dan teknologinya, jika bertentangan dengan kehendak Allah dan bertujuan merusak kebenaran, hasil akhirnya tetap Taḍlīl—kesia-siaan. Mukmin diajarkan untuk fokus pada keteguhan iman dan menjalankan perintah Allah, sementara keyakinan bahwa Allah akan mengurus kegagalan rencana musuh (Alam yaj’al kaidahum fī taḍlīl) harus menjadi dasar ketenangan batin.
Penting untuk dicatat bahwa kehancuran pasukan Abrahah terjadi setelah niat jahat (Kaidahum) mereka secara penuh diwujudkan dalam tindakan fisik (menggerakkan gajah). Ini mengajarkan bahwa Allah tidak hanya menggagalkan niat di dalam hati, tetapi juga menghancurkan upaya dan tindakan yang telah dilaksanakan, menunjukkan bahwa bahkan ketika kekuatan jahat tampak mencapai momentum maksimal, Allah dapat memutuskannya secara tiba-tiba.
Para ulama tafsir menekankan aspek ini untuk menjelaskan bahwa terkadang, Allah membiarkan tipu daya itu berjalan, membiarkan orang-orang yang berbuat keburukan berinvestasi penuh dalam rencana mereka (seperti Abrahah yang menghabiskan waktu, tenaga, dan sumber daya). Ini dilakukan agar kehancuran yang terjadi pada akhirnya menjadi lebih telak, lebih jelas, dan menjadi pelajaran yang abadi bagi seluruh umat manusia. Jika Abrahah gagal sejak awal, pelajaran yang diperoleh tidak akan sebesar dan sedalam ini. Kehancuran setelah mobilisasi penuh adalah puncak dari Taḍlīl.
Kajian mendalam terhadap teks-teks klasik menunjukkan bahwa keberhasilan penangguhan rencana jahat ini merupakan satu kesatuan. Allah tidak hanya memastikan Ka'bah tidak tersentuh, tetapi juga memastikan bahwa para penyerangnya mendapatkan balasan yang setimpal. Ini adalah keadilan Ilahi yang sempurna—balasan yang tepat terhadap keangkuhan dan niat merusak. Dengan demikian, Ayat 2 melayani tujuan ganda: perlindungan bagi yang suci, dan hukuman bagi yang melanggar.
Dalam khazanah tafsir modern, seringkali surat Al-Fil, khususnya ayat 2, dikaitkan dengan konsep geopolitik. Beberapa ahli berpendapat bahwa kisah ini adalah metafora tentang konflik antara kekuatan adikuasa (Abrahah mewakili Kekaisaran yang didukung oleh Abyssinia, kekuatan regional) dan komunitas kecil yang memegang nilai-nilai spiritual yang luhur (Makkah). Allah memilih untuk membela nilai spiritual dan kesucian, bukan kekuatan militer. Ini mengingatkan umat Islam bahwa pertarungan sejati seringkali bukanlah pertarungan fisik dan ekonomi, tetapi pertarungan kehendak dan iman.
Oleh karena itu, ketika umat menghadapi tekanan besar dari kekuatan yang superior, ayat ini harus selalu diingat: Alam yaj’al kaidahum fī taḍlīl. Pertanyaan ini harus terpatri dalam hati, memberikan jaminan bahwa sebesar apa pun tipu daya itu, ia tetap berada di bawah kendali Allah Yang Maha Agung. Kekuatan Gajah Abrahah, yang diibaratkan sebagai benteng baja yang tak tertembus, direduksi menjadi sampah. Ini adalah janji yang menghibur dan menguatkan bagi mereka yang berjuang di jalan kebenaran.
Analisis yang berulang-ulang terhadap Ayat 2 ini, dengan fokus pada kata Kaidahum dan Taḍlīl, menghasilkan pemahaman yang mendalam tentang metodologi perlindungan Ilahi. Perlindungan itu tidak selalu datang melalui jalur yang kita harapkan (misalnya, melalui bala bantuan militer), tetapi melalui cara yang paling ajaib dan tidak terduga, yang secara definitif membuktikan bahwa itu adalah pekerjaan Tuhan dan bukan kemampuan manusia.
Keindahan surat al fil ayat 2 terletak pada kesederhanaan dan kekuatan retorisnya. Penggunaan bentuk interogatif negatif (Alam yaj’al) adalah teknik sastra yang luar biasa yang menjadikannya lebih berdampak daripada pernyataan langsung. Jika Allah hanya mengatakan, "Aku menjadikan tipu daya mereka sia-sia," pesannya akan kuat, tetapi tidak sekuat ketika Dia menanyakannya secara retoris kepada audiens-Nya: "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka sia-sia?"
Dalam sastra Arab, *Istifham Inkari* menuntut pengakuan dari pendengar. Itu memanggil kenangan kolektif (dalam kasus penduduk Makkah) dan fakta yang tak terbantahkan. Ketika orang Makkah mendengar ayat ini, mereka tidak bisa menjawab selain 'Tentu saja, ya!' karena mereka adalah saksi mata kehancuran itu. Mereka melihat gajah-gajah, mereka melihat kehancuran Abrahah. Oleh karena itu, Ayat 2 ini segera menanamkan keyakinan mutlak dalam hati audiens awal, menjadikan setiap ayat berikutnya (tentang burung dan batu) sebagai deskripsi detail dari penegasan yang sudah dibuat.
Keagungan ini memperkuat prinsip bahwa sejarah Islam tidak dibangun di atas mitos yang samar, tetapi di atas peristiwa yang terverifikasi secara publik, yang kemudian dijelaskan dan disucikan oleh wahyu. Ayat ini menjadi jembatan antara peristiwa yang disaksikan (sejarah) dan makna yang diwahyukan (teologi).
Meskipun Kaidahum merujuk secara spesifik pada rencana Abrahah, makna linguistik dari *Kaid* bersifat universal. Semua bentuk skema, konspirasi, dan upaya jahat—baik oleh individu maupun negara—dapat diklasifikasikan sebagai *Kaid*. Dengan demikian, ayat ini memberikan perlindungan abadi bagi umat. Setiap kali seorang Muslim merasa tertekan oleh rencana jahat, mereka dapat kembali kepada janji ini: Allah akan menjadikan tipu daya mereka sia-sia (fī taḍlīl).
Ayat ini berfungsi sebagai payung perlindungan psikologis dan spiritual. Ini menghilangkan kecemasan yang ditimbulkan oleh ancaman yang tampaknya terlalu besar atau terlalu kuat untuk dihadapi. Kekuatan terbesar, yaitu kekuatan yang didukung oleh kebenaran dan keimanan, bukanlah kekuatan fisik, melainkan kekuatan dari janji Ilahi yang tersemat dalam ayat ini.
Banyak ulama juga menekankan bahwa Surah Al-Fil menunjukkan bahwa kesucian suatu tempat (Ka’bah) memiliki keagungan yang jauh melampaui nilai arsitekturnya. Kehancuran pasukan Abrahah adalah bentuk pembelaan Allah terhadap kehormatan tempat suci yang telah ditetapkan-Nya. Ini mengingatkan bahwa tindakan yang ditujukan untuk merusak simbol-simbol keimanan dan rumah ibadah akan selalu mengundang murka Ilahi dan berakhir dengan Taḍlīl.
Surat Al-Fil, dengan penekanannya pada Ayat 2, merupakan salah satu bukti terkuat dari Tauhid Rububiyah—keesaan Allah dalam mengatur alam semesta. Penduduk Makkah saat itu menyembah berhala, tetapi mereka secara naluriah percaya pada adanya satu Tuhan tertinggi yang melindungi Ka’bah. Peristiwa Gajah ini menguatkan keyakinan mereka tentang adanya kekuatan tertinggi tersebut. Nabi Muhammad SAW datang kemudian untuk membersihkan kesalahpahaman mereka dan mengarahkan mereka untuk menyembah Tuhan yang sama, yang melindungi Ka’bah, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun. Ayat 2 menjadi titik awal yang logis: jika Dia mampu menjadikan Kaidahum sia-sia, bukankah hanya Dia yang layak disembah?
Ayat ini mengajarkan kita tentang siklus kekuatan dan kejatuhan. Kekuatan manusia, sehebat apa pun, bersifat sementara dan ilusif jika tidak diiringi dengan ketaatan kepada Ilahi. Kekuatan Abrahah runtuh bukan karena ada kelemahan mendasar dalam strategi militernya, melainkan karena ia menantang domain Ilahi. Ini adalah peringatan abadi bagi semua penguasa dan perencana yang menggunakan kekuatan mereka untuk tujuan opresif atau merusak kebenaran. Kejatuhan mereka sudah tertulis, dan Ayat 2 adalah ramalan yang berlaku sepanjang masa.
Oleh karena itu, setiap pembaca Al-Qur’an, dari generasi pertama hingga akhir zaman, dipanggil untuk merenungkan pertanyaan retoris ini: “Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka sia-sia?” Jawaban yang bergema di hati dan pikiran haruslah sebuah penegasan iman yang kuat, yang melahirkan ketenangan di tengah badai, dan keyakinan bahwa rencana Allah adalah yang paling unggul dan mutlak.
Semoga kajian mendalam tentang surat al fil ayat 2 ini dapat meningkatkan keimanan dan tawakkul kita kepada Allah SWT.