Hakikat Tauhid Murni: Penjelasan Mendalam Surat Al Ikhlas

Simbol Keesaan Allah (Tauhid) Sebuah lingkaran sempurna dengan simbol angka satu di tengah, melambangkan keesaan dan kesempurnaan Allah.

Representasi visual keesaan dan kemutlakan Allah (Tauhid).

Pendahuluan: Fondasi Aqidah Islam

Surat Al Ikhlas, meskipun terdiri dari hanya empat ayat pendek, memiliki kedudukan yang sangat fundamental dan monumental dalam seluruh struktur akidah Islam. Surat ini sering disebut sebagai inti sari tauhid, bahkan Rasulullah ﷺ menyatakannya sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an. Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah, Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang apa?

Jawaban tunggalnya adalah: Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang Hakikat Keesaan Allah (Tauhid Al-Khālish), membedakannya secara tegas dari segala bentuk politeisme, trinitas, atau konsep ketuhanan yang cacat. Surat ini bukan hanya deklarasi, melainkan negasi tuntas terhadap segala upaya manusia untuk menyamakan, membagi, atau membatasi Dzat Yang Maha Pencipta.

Secara historis, surat ini turun di Mekkah sebagai respons langsung terhadap pertanyaan kaum musyrikin dan kaum Yahudi/Nasrani yang meminta Rasulullah ﷺ mendeskripsikan Tuhan yang beliau sembah. Mereka ingin mengetahui silsilah, asal-usul, dan karakteristik spesifik Tuhan Islam. Jawaban yang diberikan adalah Al Ikhlas—sebuah deskripsi yang sempurna, ringkas, dan definitif yang mematahkan semua pertanyaan yang berangkat dari kerangka pikir makhluk.


Bagian I: Analisis Ayat Pertama — Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ

“Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.”

1. Makna Lafazh ‘Qul’ (Katakanlah)

Perintah ‘Qul’ (Katakanlah) di awal surat menegaskan bahwa pernyataan ini adalah wahyu ilahi, bukan pemikiran pribadi Muhammad ﷺ. Ini adalah sebuah deklarasi yang harus disampaikan secara lantang dan tanpa ragu. Ini merupakan penegasan otoritas wahyu, memisahkan sifat Allah dari spekulasi filosofis manusia.

2. Esensi dari ‘Allahu Ahad’

Lafazh *Ahad* (Esa) jauh lebih kuat dan lebih mutlak daripada *Wāhid* (Satu). Dalam bahasa Arab, *Wāhid* bisa digunakan untuk menghitung, di mana ia diikuti oleh dua, tiga, dan seterusnya. Namun, *Ahad* digunakan untuk menyatakan keesaan yang unik dan tak tertandingi; keesaan yang tidak memiliki tandingan, tidak dapat dibagi, dan tidak dapat digandakan. Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang: keesaan yang murni, absolut, dan tak terkompromikan.

A. Tiga Dimensi Keesaan (Tauhid) dalam Ahad:

Penegasan *Ahad* menghilangkan konsep dewa-dewa yang bersaing, tuhan yang memiliki mitra kerja, atau tuhan yang merupakan bagian dari sebuah sistem hierarki. Dia adalah yang Tunggal, yang berdiri sendiri tanpa memerlukan entitas lain untuk eksistensi-Nya atau pelaksanaan kekuasaan-Nya. Konsep ini adalah pilar utama yang memisahkan Islam dari semua ideologi ketuhanan lainnya.


Bagian II: Analisis Ayat Kedua — As-Samad: Kesempurnaan dan Kemandirian Mutlak

اَللّٰهُ الصَّمَدُ

“Allah tempat bergantung segala sesuatu.”

1. Kedalaman Makna ‘As-Samad’

Kata *As-Samad* adalah nama Allah yang luar biasa dan kaya makna. Para ahli tafsir dan bahasa Arab klasik telah memberikan interpretasi yang mendalam, yang semuanya mengarah pada satu kesimpulan: kemandirian mutlak Allah dan kebutuhan total makhluk kepada-Nya. Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang sifat Allah yang wajib kita pahami agar ibadah kita sah.

A. Tafsir Linguistik Samad:

2. Konsekuensi dari Kepercayaan terhadap As-Samad

Jika Allah adalah As-Samad, maka semua makhluk adalah fakir (miskin) dan muhtaj (membutuhkan). Pengakuan terhadap As-Samad menuntut seorang mukmin untuk tidak pernah meletakkan harapan, ketakutan, atau ketergantungan tertinggi pada selain Allah. Ini menolak kepercayaan pada ramalan, jimat, atau kekuatan perantara dalam mencapai rezeki atau keselamatan. Konsep ini mengajarkan kepada kita kemurnian niat dan totalitas tawakkal (penyerahan diri).

As-Samad adalah poros di mana semua konsep keesaan berputar. Dia adalah tujuan akhir bagi jiwa yang mencari kedamaian, dan sumber tunggal bagi setiap atom yang ada. Kebutuhan kita kepada-Nya adalah absolut, sedangkan kebutuhan-Nya kepada kita adalah nihil.

Bagian III: Analisis Ayat Ketiga — Negasi Asal dan Keturunan

لَمْ يَلِدْۙ وَلَمْ يُوْلَدْۙ

“Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.”

1. Lam Yalid (Tidak Beranak)

Pernyataan ini adalah penolakan terhadap pemahaman yang mengaitkan Allah dengan memiliki anak, baik dalam arti fisik maupun metaforis. Ini adalah negasi langsung terhadap keyakinan yang dipegang oleh kaum musyrikin Arab (yang percaya malaikat adalah anak perempuan Allah) dan kaum Nasrani (yang percaya Isa adalah Anak Allah). Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang kesucian Dzat Allah dari segala bentuk hubungan keturunan, karena keturunan mengimplikasikan:

2. Wa Lam Yūlad (Tidak Diperanakkan)

Pernyataan ini adalah negasi terhadap konsep bahwa Allah memiliki asal-usul atau diciptakan dari sesuatu yang lain. Ini mematahkan filosofi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah hasil dari evolusi kosmik atau produk dari dewa-dewa yang lebih tua (seperti dalam mitologi Yunani). Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang keazalian (kekal tanpa permulaan) Allah. Jika Dia diperanakkan, Dia akan menjadi makhluk yang memiliki awal, dan Dzat yang memiliki awal harus memiliki pencipta, dan rantai ini akan berlanjut tanpa akhir—sebuah kontradiksi logis terhadap konsep Tuhan Yang Maha Mutlak.

Poin ini menegaskan bahwa Allah adalah Al-Qayyum (Yang Berdiri Sendiri), yang eksistensi-Nya adalah wajib dan mandiri, tidak bergantung pada sebab-akibat apapun. Dialah *Al-Khāliq* (Pencipta), bukan *Makhluq* (yang diciptakan).


Bagian IV: Analisis Ayat Keempat — Negasi Perbandingan Mutlak

وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ

“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”

1. Makna ‘Kufuwan Ahad’

Kata *Kufu'* (كُفُو) berarti setara, sebanding, sepadan, atau tandingan. Ayat ini berfungsi sebagai kesimpulan yang mengunci semua ayat sebelumnya. Setelah menegaskan Keesaan (Ahad), Kemandirian (Samad), dan negasi asal-usul, ayat terakhir ini menolak semua kemungkinan adanya kesetaraan bagi Allah dalam aspek apapun: Dzat, sifat, nama, maupun tindakan.

Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang ketidakmampuan makhluk untuk mencapai kesetaraan dengan Sang Khaliq. Tidak ada malaikat, nabi, wali, bintang, atau kekuatan alam yang dapat disetarakan dengan Allah. Ayat ini adalah dasar dari Tauhid Asma wa Sifat, yang memastikan bahwa ketika kita menggambarkan Allah dengan sifat-sifat-Nya (seperti Maha Melihat, Maha Mendengar), sifat-sifat tersebut harus dipahami sesuai dengan keagungan dan keunikan Dzat-Nya, bukan disamakan dengan cara makhluk melihat atau mendengar.

2. Penolakan Filsafat Anthropomorfisme

Ayat ini secara definitif menolak segala bentuk anthropomorfisme (penyamaan Allah dengan sifat fisik manusia) dan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Jika seseorang membayangkan Allah memiliki wujud fisik, memiliki kelemahan, atau membutuhkan istirahat, ia telah melanggar prinsip *Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad*.

Keagungan ayat ini terletak pada universalitasnya. Ia menolak semua bentuk syirik (penyekutuan) yang mungkin terlintas dalam pikiran manusia, baik syirik kecil (riya') maupun syirik besar (membuat tandingan bagi Allah dalam ibadah). Semua klaim ketuhanan palsu, baik di masa lalu, sekarang, atau masa depan, dibatalkan oleh satu frasa mutlak ini.


Bagian V: Mengapa Al Ikhlas Setara dengan Sepertiga Al-Qur'an?

Salah satu keutamaan paling terkenal dari surat ini adalah sabda Nabi Muhammad ﷺ bahwa Al Ikhlas sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an. Lantas, bagaimana empat ayat bisa setara dengan sepertiga dari keseluruhan kitab suci?

1. Pembagian Tematik Al-Qur'an

Mayoritas ulama tafsir menjelaskan bahwa Al-Qur'an secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga tema utama:

  1. Hukum dan Syariat (Fiqih): Aturan tentang ibadah, muamalah, halal-haram.
  2. Kisah dan Peringatan (Qashas): Cerita para nabi, kisah umat terdahulu, janji surga, dan ancaman neraka.
  3. Tauhid dan Akidah: Pengenalan terhadap Dzat, Nama, dan Sifat Allah.

Surat Al Ikhlas secara eksklusif dan tuntas membahas kategori ketiga, yaitu Tauhid. Karena Tauhid adalah fondasi bagi semua ajaran dan hukum dalam Islam, pemahaman murni atas Al Ikhlas adalah kunci untuk memahami sepertiga dari pesan utama Al-Qur'an. Siapa pun yang memahami dan meyakini kandungan surat ini dengan sempurna, ia telah memegang teguh sepertiga inti ajaran Islam.

2. Al Ikhlas sebagai Standar Pemurnian Akidah

Nama surat ini sendiri, "Al Ikhlas" (Pemurnian), menunjukkan fungsinya. Surat ini memurnikan hati dari segala noda syirik dan keraguan tentang Dzat Allah. Itu adalah standar tertinggi dalam membedakan antara iman yang benar dan kesesatan. Surat ini adalah penangkal racun akidah yang paling ampuh. Setiap kali seorang Muslim membacanya, ia memperbarui komitmennya terhadap tauhid murni.


Bagian VI: Pendalaman Konsep Ahad dan Samad dalam Filsafat Ketuhanan

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai mengapa surat ini begitu agung, kita perlu memperluas pembahasan mengenai dua pilar sentral yang diusung oleh Al Ikhlas: Ahad dan As-Samad.

1. Eksplorasi Lebih Lanjut tentang Al-Ahad (Keesaan Mutlak)

Keesaan yang dijelaskan dalam Al Ikhlas menolak tiga bentuk asosiasi (Syirk) yang lazim dalam pemikiran teologi kuno dan modern:

A. Penolakan Syirk dalam Dzat (Keesaan Substansi)

Keesaan Dzat berarti Dzat Allah tidak terdiri dari bagian-bagian (komponen). Jika Dzat Allah tersusun, maka ia membutuhkan penyusun, yang melanggar sifat *Qayyum* (Berdiri Sendiri). Dzat Allah adalah Tunggal dalam esensinya. Ini menolak Trinitas, dualitas, dan bahkan pembagian Dzat menjadi sifat-sifat yang terpisah. Sifat-sifat-Nya adalah Diri-Nya, tetapi tidak dapat disamakan dengan Dzat. Ini adalah kerumitan teologis yang diringkas dalam *Ahad*.

B. Penolakan Syirk dalam Kehadiran (Keesaan Eksistensi)

Tidak ada entitas lain yang memiliki eksistensi wajib (Wajib al-Wujud) selain Allah. Semua yang lain adalah mungkin (Mumkin al-Wujud) dan bergantung pada kehendak-Nya untuk ada. Jika ada dua Dzat yang wajib ada, maka salah satu dari keduanya pasti membutuhkan yang lain, yang menghilangkan sifat kemandirian (Samad), atau keduanya akan saling meniadakan, yang mustahil. Dengan demikian, *Ahad* menjamin bahwa hanya ada satu realitas absolut.

2. Eksplorasi Lebih Lanjut tentang As-Samad (Kemandirian dan Tempat Bergantung)

Konsep As-Samad tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan fisik, tetapi juga kebutuhan metafisik, spiritual, dan administratif.

A. Samad dan Hukum Sebab-Akibat

Dalam pandangan filosofis, Samad berarti Allah adalah 'sebab utama' (Causa Prima) dari segala sesuatu, namun Dia sendiri tidak disebabkan oleh apa pun. Dia adalah akhir dari rantai sebab-akibat. Semua hukum alam, fisika, kimia, dan biologi adalah mekanisme yang Allah ciptakan. Jika Allah membutuhkan mekanisme-mekanisme tersebut untuk berfungsi, Dia tidak akan menjadi Samad. Oleh karena itu, Allah dapat bertindak tanpa melalui sebab, dan ini adalah dasar dari konsep mukjizat.

B. Samad dan Pemeliharaan Alam

Sebagai As-Samad, Allah terus menerus memelihara dan menyokong semua makhluk (Al-Qayyum). Seluruh alam semesta tidak bisa bertahan sedetik pun tanpa dukungan (مدد) dari Allah. Bahkan pikiran yang kita gunakan untuk merenungkan keagungan-Nya adalah anugerah dari Samad. Ketergantungan ini bersifat total dan permanen.

Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang sebuah Dzat yang benar-benar unik. Tidak ada analogi yang dapat digunakan untuk memahami-Nya kecuali analogi yang Dia sediakan sendiri, dan bahkan analogi tersebut harus diinterpretasikan melalui lensa *Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad*.


Bagian VII: Kontradiksi Teologis yang Dihancurkan oleh Al Ikhlas

Penting untuk memahami bahwa Al Ikhlas adalah senjata teologis yang menghancurkan beberapa kesesatan akidah utama sepanjang sejarah umat manusia:

1. Menghancurkan Konsep Tandingan dalam Tindakan (Syirk Fil Af'al)

Banyak agama kuno percaya pada dewa-dewa yang bertanggung jawab atas wilayah tertentu (misalnya, dewa hujan, dewa perang). Al Ikhlas, dengan penekanan pada *Ahad* dan *Samad*, menegaskan bahwa segala tindakan di alam semesta—dari jatuhnya daun hingga pergerakan bintang—berada di bawah kendali satu entitas tunggal. Tidak ada divisi kekuasaan, tidak ada menteri-menteri yang mengendalikan aspek alam tanpa izin mutlak-Nya.

2. Menghancurkan Panteisme dan Panenteisme

Beberapa filosofi menyatakan bahwa Tuhan adalah segala sesuatu, atau Tuhan berada di dalam segala sesuatu. Al Ikhlas menentang pandangan ini. Jika Allah adalah segala sesuatu, maka Dia akan terbatas oleh segala sesuatu, dan Dia akan beranak serta diperanakkan (karena alam semesta memiliki permulaan dan akhir). Al Ikhlas menjelaskan bahwa Allah terpisah (transenden) dari ciptaan-Nya, namun tetap dekat (immanen) melalui pengetahuan dan kekuasaan-Nya. Dia adalah *Ahad* (Tunggal), bukan hasil peleburan dengan alam semesta.

3. Menghancurkan Konsep Tuhan yang Menjadi Lelah

Ayat yang menolak asal-usul (*Lam Yalid wa Lam Yūlad*) juga secara implisit menolak konsep bahwa Tuhan mungkin lelah, membutuhkan istirahat, atau menyerahkan kendali. Keletihan atau kebutuhan untuk beristirahat adalah ciri makhluk, yang bertentangan dengan sifat *Samad* (Yang Mandiri dan Maha Sempurna). Surat ini memperkuat ajaran bahwa Allah tidak membutuhkan tidur atau istirahat (sebagaimana ditegaskan pula dalam Ayat Kursi).


Bagian VIII: Dimensi Praktis Surat Al Ikhlas dalam Kehidupan Mukmin

Pembacaan dan pemahaman Surat Al Ikhlas memiliki implikasi praktis yang mendalam terhadap kualitas spiritual seorang Muslim.

1. Memperkuat Keikhlasan (Ikhlas)

Nama surat ini berasal dari fungsinya: membersihkan niat. Siapa pun yang memahami bahwa Allah adalah *As-Samad* dan *Ahad*, dia akan menyadari bahwa segala amal perbuatan yang ditujukan kepada selain-Nya adalah sia-sia. Pemahaman ini memaksa mukmin untuk memurnikan amalannya dari *riya'* (pamer) dan *sum'ah* (mencari popularitas), karena hanya Allah yang berhak menerima ibadah, dan hanya Dia yang dapat memberi manfaat.

2. Menghilangkan Rasa Takut Berlebihan kepada Makhluk

Jika Allah adalah *As-Samad*—tempat bergantung segala sesuatu—maka semua ketakutan, harapan, dan kekecewaan harus dinisbatkan kepada-Nya. Rasa takut berlebihan terhadap kehilangan pekerjaan, kritik manusia, atau kemiskinan akan berkurang ketika seseorang menyadari bahwa tidak ada satu pun makhluk yang dapat memberi manfaat atau bahaya kecuali atas izin dari Samad. Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang kebebasan spiritual dari dominasi ciptaan.

3. Dasar Sikap Tawakal dan Kesabaran

Mengetahui bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan Dia tidak memiliki tandingan, memberikan kepastian mutlak mengenai kekuasaan-Nya. Keyakinan ini adalah sumber kesabaran dan tawakal (penyerahan diri). Ketika musibah menimpa, mukmin kembali kepada Sang Samad, mengetahui bahwa tidak ada kekuatan lain yang dapat mengubah takdirnya kecuali Dia.


Bagian IX: Mengupas Tuntas Asmaul Husna yang Terkandung

Meskipun hanya empat ayat, Al Ikhlas secara eksplisit maupun implisit merangkum banyak dari Nama-Nama Allah yang terindah (Asmaul Husna). Ini adalah contoh luar biasa dari ringkasan teologis yang padat.

1. Nama-Nama Eksplisit:

2. Nama-Nama Implisit yang Ditegaskan:

Ayat-ayat dalam Al Ikhlas secara definitif menolak sifat-sifat kelemahan, sehingga secara otomatis menegaskan lawan dari kelemahan tersebut:

A. Implikasi dari “Lam Yalid wa Lam Yūlad”:

B. Implikasi dari “Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad”:

Dengan demikian, Surat Al Ikhlas berfungsi sebagai ringkasan fundamental Asmaul Husna yang wajib diyakini oleh setiap Muslim. Kegagalan memahami satu konsep dalam surat ini berpotensi merusak akidah secara keseluruhan.


Bagian X: Perbandingan dengan Konsep Ketuhanan Lain

Surat Al Ikhlas tidak hanya menyatakan kebenaran Islam, tetapi juga secara kritis membedakan Tauhid dari konsep-konsep ketuhanan yang keliru. Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang batasan mutlak yang memisahkan Ketuhanan dari makhluk.

1. Penolakan Filsafat Tuhan yang Terbelah

Konsep yang mengatakan Tuhan memiliki pasangan, dewi, atau dewa yang berfungsi sebagai mitra kerja (seperti dalam Zoroastrianisme yang dualis atau panteon Romawi/Mesir) sepenuhnya dihancurkan oleh *Allahu Ahad*. Keesaan mutlak berarti semua kekuasaan adalah satu, dan berasal dari sumber tunggal.

2. Penolakan Konsep Inkarnasi dan Kemanusiaan Tuhan

Ayat *Lam Yalid wa Lam Yūlad* adalah sanggahan terhadap semua konsep inkarnasi (penjelmaan Tuhan menjadi manusia). Jika Tuhan menjelma, Dia harus tunduk pada hukum-hukum fisik dan biologis, seperti kelahiran dan kematian, yang merupakan ciri makhluk. Dzat Yang Maha Abadi tidak mungkin tunduk pada kefanaan. Ini adalah pembeda teologis yang sangat jelas antara Islam dengan keyakinan yang mengagungkan manusia tertentu sampai ke tingkat ketuhanan.

3. Penolakan Konsep Evolusi Tuhan

Beberapa filsafat berpendapat bahwa Tuhan berevolusi atau mencapai kesempurnaan seiring waktu. Jika demikian, Tuhan akan menjadi *Mumkin al-Wujud* (mungkin untuk ada atau tidak ada), yang bertentangan dengan *As-Samad*. Tuhan yang sempurna harus sempurna sejak keazalian-Nya. Al Ikhlas menjamin bahwa Dzat Allah adalah statis dalam kesempurnaan-Nya dan dinamis dalam tindakan-Nya, tetapi tidak tunduk pada perkembangan atau degradasi.

Kesimpulan dari perbandingan ini adalah bahwa Al Ikhlas memberikan definisi 'Tuhan' yang paling bersih, paling rasional, dan paling agung yang pernah ada, bebas dari mitologi, antropomorfisme, dan kontradiksi logika.


Bagian XI: Kedudukan Al Ikhlas dalam Fiqih dan Ibadah

Surat Al Ikhlas bukan hanya teori, tetapi juga bagian integral dari praktik ibadah sehari-hari seorang Muslim, memperkuat fungsinya sebagai fondasi akidah:

1. Dalam Shalat Fardhu dan Sunnah

Dianjurkan membaca Al Ikhlas dalam banyak shalat, terutama shalat witir, dan seringkali pada rakaat kedua shalat fardhu dan sunnah, setelah Al Fatihah. Ini bertujuan untuk mengulang dan memperkuat pengakuan tauhid secara rutin, memastikan bahwa fokus utama ibadah adalah pada Keesaan Allah.

2. Dalam Ruqyah dan Perlindungan

Al Ikhlas, bersama Al Falaq dan An Nas (disebut Al Mu'awwidzat), dibaca sebagai doa perlindungan dari kejahatan, sihir, dan hasad. Ini logis, sebab jika seseorang berlindung kepada *As-Samad* (Yang Maha Mandiri dan tempat berlindung), maka tidak ada kekuatan makhluk yang dapat mengalahkannya.

3. Sebelum Tidur

Membaca Al Mu'awwidzat sebelum tidur adalah sunnah Nabi ﷺ. Ini berfungsi sebagai pembaruan tauhid di akhir hari dan perlindungan spiritual. Ketika seseorang tidur dalam keadaan mengakui bahwa "Allah adalah Ahad dan Samad," ia tidur dalam fitrah kemurnian Islam.

Pengulangan surat ini dalam berbagai konteks kehidupan seorang Muslim menunjukkan bahwa akidah tauhid harus selalu segar, tidak boleh dilupakan, dan harus menjadi nafas spiritual yang mendasari setiap tindakan, besar maupun kecil.


Bagian XII: Penutup dan Ikrar Tauhid

Secara keseluruhan, Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang hakikat kemurnian tauhid dalam empat dimensi: Keesaan Dzat, Keesaan Sifat, Kemandirian Mutlak, dan Penolakan Keturunan/Kesetaraan.

Surat ini adalah jawaban final dan tuntas terhadap pertanyaan: "Siapakah Tuhanmu?" Ia menutup pintu spekulasi, menghilangkan keraguan, dan membebaskan hati dari ketergantungan pada makhluk. Siapa pun yang memahami kedalaman surat ini, ia telah memahami inti dari seluruh ajaran yang dibawa oleh para nabi dari Adam hingga Muhammad ﷺ.

Dengan mengimani Surat Al Ikhlas, seorang Muslim menyatakan ikrar abadi bahwa:

Pilar-pilar inilah yang menjadikan iman seorang Muslim kokoh dan murni, memisahkan kebenaran dari kebatilan, dan mengarahkan seluruh kehidupan menuju ridha Sang Maha Tunggal, Allah SWT.

🏠 Homepage