Mengungkap Rahasia Ilahi di Balik Peristiwa yang Melampaui Akal Manusia
Surah Al-Kahfi, yang dianjurkan untuk dibaca setiap hari Jumat, menyimpan empat kisah utama yang menjadi pilar ajaran Islam. Di antara kisah-kisah agung tersebut, narasi perjalanan Nabi Musa 'alaihis salam dengan seorang hamba Allah yang saleh, yang dikenal sebagai Khidr, menempati posisi yang sangat unik dan fundamental. Kisah ini, yang terbentang dari ayat 60 hingga 82, bukanlah sekadar cerita petualangan, melainkan pelajaran mendalam mengenai batas-batas pengetahuan manusia, hakikat kesabaran, dan adanya dimensi keadilan ilahi yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa yang tampak di permukaan.
Kisah ini menegaskan bahwa bahkan seorang Nabi sekaliber Musa, yang dianugerahi Taurat dan diberi kemampuan berbicara langsung dengan Allah (Kalimullah), masih memiliki keterbatasan dalam memahami hikmah terdalam dari takdir. Melalui tiga insiden misterius—perusakan perahu, pembunuhan seorang anak, dan perbaikan dinding roboh—Allah SWT menunjukkan bahwa ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan bahwa apa yang terlihat buruk di mata manusia seringkali menyimpan kebaikan mutlak yang tidak terjangkau oleh akal dan logika duniawi semata.
Kisah ini bermula ketika Nabi Musa ditanya, "Siapakah orang yang paling berilmu di bumi?" Musa, dengan keyakinan bahwa sebagai seorang Rasul ia adalah yang paling berilmu, menjawab "Saya." Allah kemudian menegur Musa dan memberitahunya bahwa ada seorang hamba Allah di Majma’ al-Bahrain (tempat bertemunya dua lautan) yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki Musa. Teguran ini menjadi titik tolak penting yang mengajarkan humility (kerendahan hati) dalam pencarian ilmu.
(٦٠) وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰٓ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا
Terjemahan: (60) Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan terus hingga bertahun-tahun.”
Ayat 60 menunjukkan tekad Musa yang luar biasa. Ungkapan "أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا" (atau aku akan berjalan terus hingga bertahun-tahun) menggambarkan kegigihan seorang penuntut ilmu sejati. Perjalanan ini bukanlah perjalanan fisik biasa, tetapi perjalanan spiritual menuju tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai Ilmu Ladunni—ilmu yang diberikan langsung oleh Allah tanpa perantara syariat kenabian yang eksplisit.
(٦١) فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا
Terjemahan: (61) Maka ketika mereka sampai di pertemuan dua laut itu, lupalah mereka akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh.
Tanda untuk menemukan Khidr telah ditetapkan oleh Allah: kembalinya ikan yang mereka bawa sebagai bekal hidup kembali dan mengambil jalannya ke laut. Pelupaannya hamba Musa (Yusya’ bin Nun) terhadap ikan tersebut adalah bagian dari takdir ilahi yang menjadi penanda lokasi pertemuan. Ikan yang hidup kembali dan membuat jalan di laut ("سَرَبًا") merupakan mukjizat yang berfungsi sebagai ‘petunjuk’ yang konkret bagi Musa.
(٦٢) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ ءَاتِنَا غَدَآءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا
Terjemahan: (62) Maka ketika mereka telah berjalan jauh, berkatalah Musa kepada pembantunya, “Bawalah makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”
Keletihan fisik ini muncul setelah mereka melewati titik pertemuan. Para mufasir menjelaskan bahwa keletihan (نَصَبًا) yang dirasakan Musa adalah karena mereka telah melewati batas wilayah yang seharusnya menjadi tujuan. Keletihan ini menjadi pengingat bagi Musa bahwa mereka telah melakukan kesalahan kecil dalam perjalanan, yaitu melampaui tanda yang telah ditetapkan.
(٦٣) قَالَ أَرَءَيْتَ إِذْ أَوَيْنَآ إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَآ أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُۥ ۚ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا
Terjemahan: (63) Dia (pembantunya) menjawab, “Tahukah kamu, ketika kita mencari tempat berlindung di batu itu, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu, dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh dan menakjubkan.”
Ketika Musa meminta makanan, barulah Yusya’ teringat akan keajaiban yang terjadi pada ikan tersebut. Pengakuan ini tidak hanya sekadar penyesalan karena lupa, tetapi pengakuan akan petunjuk ilahi yang mereka abaikan. Musa segera menyadari bahwa itulah tanda yang mereka cari. Ikan yang hidup kembali adalah pertanda bahwa titik pertemuan telah dicapai dan dilampaui.
(٦٤) قَالَ ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ ۚ فَارْتَدَّا عَلَىٰٓ ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا
Terjemahan: (64) Dia (Musa) berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.
Musa segera mengambil keputusan untuk kembali. Proses kembali ini—mengikuti jejak mereka semula (فَارْتَدَّا عَلَىٰٓ ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا)—menyimbolkan bahwa dalam mencari ilmu sejati, terkadang kita harus mundur dari langkah-langkah yang salah untuk kembali ke jalan yang benar dan tepat. Ini adalah metafora spiritual mengenai introspeksi dan koreksi diri.
(٦٥) فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ ءَاتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا
Terjemahan: (65) Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Inilah pengenalan terhadap sosok Khidr. Al-Qur'an tidak menyebutnya sebagai nabi, melainkan sebagai "hamba di antara hamba-hamba Kami." Dua poin penting disorot di sini:
(٦٦) قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Terjemahan: (66) Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu) yang benar dari apa yang telah diajarkan kepadamu?”
Permintaan Musa menunjukkan adab dan kerendahan hati yang tinggi, meskipun ia adalah seorang nabi besar. Ia menggunakan kata "أَتَّبِعُكَ" (aku mengikutimu), yang menunjukkan kesediaan untuk menjadi murid, dan meminta diajarkan ilmu "رُشْدًا" (petunjuk atau kebenaran yang membawa pada kesempurnaan). Musa menyadari bahwa ada dimensi kebenaran yang belum ia pahami.
(٦٧) قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
Terjemahan: (67) Dia (Khidr) menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku.”
Khidr langsung menegaskan ketidakmampuan Musa untuk bersabar. Kesabaran yang dimaksud Khidr di sini bukanlah kesabaran fisik, melainkan kesabaran kognitif dan spiritual. Musa, sebagai nabi yang bertugas menegakkan syariat (hukum), secara fitrah akan menentang tindakan Khidr yang secara lahiriah melanggar hukum, sebab Khidr bertindak berdasarkan ilmu takdir, bukan hukum duniawi yang tampak.
(٦٨) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِۦ خُبْرًا
Terjemahan: (68) Dan bagaimana engkau akan sanggup bersabar atas sesuatu yang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentangnya?
Ayat ini adalah kunci: ketidaksabaran Musa akan muncul karena kurangnya 'khubra' (pengetahuan mendalam atau pemahaman komprehensif) terhadap hakikat di balik peristiwa. Manusia cenderung menghakimi berdasarkan apa yang terlihat, sementara hakikat seringkali tersembunyi jauh di luar jangkauan pandangan sekilas. Khidr tahu bahwa Musa akan bereaksi berdasarkan ilmu syariatnya yang wajib menolak kejahatan tampak.
(٦٩) قَالَ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَآ أَعْصِى لَكَ أَمْرًا
Terjemahan: (69) Dia (Musa) berkata, “Insya Allah, engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.”
Musa menerima tantangan tersebut dengan menyebut nama Allah (Insya Allah). Ia berjanji akan bersabar. Namun, meskipun ia adalah nabi, manusiawi Musa muncul karena dorongan fitrahnya untuk menolak kezaliman, yang akan menjadi ujian berat sepanjang perjalanan mereka. Penggunaan "Insya Allah" menunjukkan kesadaran Musa akan perlunya bantuan Ilahi untuk memenuhi janji sabarnya.
(٧٠) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّىٰٓ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا
Terjemahan: (70) Dia (Khidr) berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang apa pun, sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu.”
Ini adalah syarat perjanjian (Mithaq) yang tegas: Musa harus menahan semua pertanyaan dan protes sampai Khidr secara sukarela memberikan penjelasan. Syarat ini diperlukan agar proses belajar Khidr dapat berlangsung tanpa interupsi dari kerangka berpikir syariat yang dipegang Musa. Ini adalah pelajaran tentang ketundukan mutlak kepada guru, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan ilmu rahasia Ilahi.
(٧١) فَانطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا ۖ قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا إِمْرًا
Terjemahan: (71) Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia (Khidr) melubanginya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau melubanginya untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang keji.”
Insiden pertama terjadi segera. Tindakan Khidr merusak perahu yang telah memberikan tumpangan gratis adalah pelanggaran nyata terhadap hukum dan etika. Bagi Musa, seorang nabi yang menjaga hak-hak kaum lemah, perbuatan ini adalah kezaliman (شَيْـًٔا إِمْرًا - sesuatu yang keji/mengerikan). Musa tidak bisa menahan fitrah kenabiannya untuk melarang kemungkaran, dan ia pun melanggar perjanjiannya yang pertama.
(٧٢) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
Terjemahan: (72) Dia (Khidr) berkata, “Bukankah sudah kukatakan, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku?”
Khidr mengingatkan Musa dengan lembut namun tegas. Reaksi Musa adalah bukti bahwa ilmu syariat yang ia pegang menuntut reaksi langsung terhadap kezaliman yang tampak, dan ini bertentangan dengan tuntutan Khidr untuk bersabar menanti penjelasan hakikat.
(٧٣) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا
Terjemahan: (73) Dia (Musa) berkata, “Janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku dengan kesulitan dalam urusanku (ini).”
Musa memohon maaf, merujuk pada pelanggaran janji tersebut sebagai 'lupa'. Ini menunjukkan pengakuan akan kelemahan diri dan upaya untuk kembali pada perjanjian. Khidr mengizinkan Musa melanjutkan perjalanan, tetapi batasnya semakin dekat.
(٧٤) فَانطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُۥ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا نُّكْرًا
Terjemahan: (74) Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya bertemu dengan seorang anak muda, dia (Khidr) membunuhnya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.”
Jika merusak perahu adalah keji, membunuh anak tak bersalah adalah "نُّكْرًا" (sesuatu yang sangat mungkar/dahsyat). Ini adalah pelanggaran syariat yang paling besar dan tidak dapat ditoleransi. Musa kembali melanggar janji karena dorongan moralitas kenabiannya tidak memungkinkannya diam melihat pembunuhan. Nabi Musa tidak hanya terkejut, ia merasa ngeri. Peristiwa ini melampaui batas toleransi akal sehat dan hukum qisas (pembalasan) yang ia bawa.
Reaksi Musa menunjukkan perjuangan batin antara ketaatan pada guru spiritual dan ketaatan pada syariat (hukum publik) yang wajib ditegakkan. Dalam kerangka hukum duniawi, tindakan Khidr adalah kejahatan mutlak.
(٧٥) قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
Terjemahan: (75) Dia (Khidr) berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku?”
Peringatan kedua ini jauh lebih serius. Khidr menekankan kembali ketidakmampuan Musa. Pada titik ini, Musa menyadari bahwa ia telah mencapai batasnya dalam menahan pertanyaan.
(٧٦) قَالَ إِن سَأَلْتُكَ عَن شَيْءٍۭ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِى ۖ قَدْ بَلَغْتَ مِن لَّدُنِّى عُذْرًا
Terjemahan: (76) Dia (Musa) berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya engkau sudah cukup memberikan alasan (untuk berpisah).”
Musa mengajukan persyaratan terakhir yang mengikat dirinya sendiri. Ini adalah pengakuan total akan kesalahannya dan penerimaan bahwa jika ia melanggar lagi, Khidr berhak mengakhiri perjalanan tersebut tanpa perlu merasa bersalah. Khidr menerimanya.
(٧٧) فَانطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَيَآ أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَآ أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُۥ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
Terjemahan: (77) Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) menolak untuk menjamu mereka. Kemudian, keduanya mendapati di sana dinding rumah yang hampir roboh, lalu dia (Khidr) menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Sekiranya engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.”
Dalam insiden ketiga, Musa kembali mempertanyakan Khidr, namun kali ini bukan karena pelanggaran hukum, melainkan karena Khidr melakukan kebaikan tanpa pamrih kepada orang-orang kikir yang menolak memberi mereka makan. Secara logis, jika seseorang menolak memberi makan tamu, mengapa harus dibalas dengan kebaikan gratis? Pertanyaan Musa kali ini merupakan pelanggaran terakhir, meskipun motifnya bukan lagi protes terhadap kezaliman, melainkan protes terhadap kerugian ekonomi yang tidak perlu.
(٧٨) قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
Terjemahan: (78) Dia (Khidr) berkata, “Inilah perpisahan antara aku dan engkau; aku akan memberitahukan kepadamu takwil (penafsiran) atas apa yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya.”
Perjalanan pun berakhir. Khidr menetapkan perpisahan sesuai perjanjian. Titik perpisahan ini menandai momen krusial di mana Musa harus menerima bahwa ilmu Khidr beroperasi pada tingkat realitas yang berbeda. Khidr kemudian memulai fase terpenting dari seluruh kisah ini: takwil—menyingkap hakikat tersembunyi dari setiap tindakan.
Empat ayat terakhir ini adalah inti filosofis dan teologis dari seluruh kisah. Khidr menjelaskan bahwa semua tindakannya dilakukan bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan atas perintah dan ilham dari Allah (amr Rabbī), yang bertujuan melindungi kebaikan yang tersembunyi bagi orang-orang tertentu.
(٧٩) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Terjemahan: (79) Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merebut setiap perahu (yang masih) bagus dengan paksa.
Analisis Mendalam: Tindakan Khidr adalah tindakan preventif yang menangguhkan kerugian besar. Dengan merusak perahu, Khidr menyelamatkan aset utama orang-orang miskin tersebut dari perampasan total oleh raja zalim yang akan mengambil perahu yang 'sempurna'. Kerusakan kecil yang mudah diperbaiki lebih baik daripada kehilangan total. Hal ini mengajarkan bahwa terkadang, Allah mengizinkan terjadinya musibah kecil dalam hidup kita sebagai perisai dari musibah yang jauh lebih besar dan menghancurkan. Hukum syariat Musa melihat kerusakan perahu, tetapi ilmu Khidr melihat niat jahat raja zalim di masa depan.
Poin penting dalam analisis linguistik adalah frasa "فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا" (maka aku bermaksud merusaknya). Ini menunjukkan adanya peran Khidr dalam tindakan tersebut, namun ia tetap menegaskan bahwa kehendaknya terikat pada perintah Ilahi. Kontras ini penting; manusia hanya melihat tindakan merusak, sementara Allah melihat perlindungan terhadap hak kaum miskin.
(٨٠) وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا
Terjemahan: (80) Dan adapun anak muda itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.
(٨١) فَأَرَدْنَآ أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكَوةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
Terjemahan: (81) Kemudian kami menghendaki, agar Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya (zakat) dan lebih sayang (rahma).
Analisis Mendalam: Ini adalah bagian yang paling sulit diterima oleh logika syariat, karena melibatkan takdir maut pada jiwa yang belum balig. Anak itu secara fitrah memiliki kecenderungan menjadi kafir dan tiran (طُغْيَانًا وَكُفْرًا), yang mana jika ia dewasa, akan menyebabkan kesesatan dan penderitaan bagi kedua orang tuanya yang saleh. Pembunuhan itu adalah rahmat dan pemeliharaan iman bagi orang tuanya.
Perhatikan perubahan diksi Khidr: "فَخَشِينَآ" (Kami khawatir) dan "فَأَرَدْنَآ" (Kemudian Kami menghendaki). Kata 'Kami' seringkali merujuk pada malaikat yang bertindak atas perintah Allah, atau Khidr menyertakan Dzat Yang Maha Kuasa secara kolektif (sebagai bagian dari rencana Ilahi), untuk menegaskan bahwa kehendak utama berasal dari Allah, bukan sekadar keputusan pribadi Khidr. Kematian anak itu di usia dini mencegah dosa besar di masa depan, menjamin surga bagi anak itu, dan melindungi iman orang tuanya.
Ayat 81 menjanjikan penggantian yang lebih baik (خَيْرًا) dalam hal kesucian (زَكَوةً) dan kasih sayang (رُحْمًا). Ini adalah penegasan luar biasa tentang keadilan dan kasih sayang Allah. Jika Allah mengambil sesuatu dari hamba-Nya yang beriman, Dia akan menggantinya dengan yang lebih baik, meskipun penggantian itu berada di luar perhitungan logis manusia.
(٨٢) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُۥ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
Terjemahan: (82) Dan adapun dinding itu, adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta simpanan bagi mereka berdua, sedang ayah mereka adalah orang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan mengeluarkan simpanan harta itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu atas kemauanku sendiri. Itulah penjelasan (takwil) atas apa yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya.
Analisis Mendalam: Tindakan ini menunjukkan konsep pemeliharaan ilahi (inayah rabbaniyyah) yang diturunkan kepada generasi penerus karena kesalehan leluhur. Dua anak yatim tersebut dilindungi hartanya karena kesalehan ayah mereka. Allah memerintahkan Khidr memperbaiki dinding agar harta karun (كنز) tersebut tidak ditemukan atau dicuri oleh penduduk yang kikir sebelum anak-anak itu mencapai usia dewasa (أَشُدَّهُمَا), yaitu usia matang di mana mereka mampu mengelola harta mereka sendiri.
Ayat ini memiliki pelajaran teologis yang sangat kaya:
Kisah Musa dan Khidr berfungsi sebagai manual spiritual yang mengajarkan umat manusia untuk meninjau kembali asumsi mereka tentang keadilan, pengetahuan, dan takdir. Kekayaan naratif dari ayat 60 hingga 82 memungkinkan kita menggali lapisan-lapisan pemahaman yang melampaui sekadar cerita moral.
Pelajaran terpenting adalah tentang batas-batas ilmu. Nabi Musa adalah puncak dari ilmu syariat; ia mengetahui hukum-hukum Allah yang terucap, yang mengatur interaksi manusia (muamalat) dan ibadah. Namun, Khidr mewakili Ilm-ul-Ghaib, pengetahuan mengenai hal-hal yang tersembunyi, takdir yang belum terjadi, dan hakikat terdalam dari segala sesuatu. Perjalanan ini mengajarkan Musa, dan kita, bahwa ilmu yang paling luas sekalipun di dunia ini hanyalah setetes dibandingkan samudra pengetahuan Allah.
Manusia cenderung menganggap buruk sesuatu yang menimpa dirinya karena ia hanya melihat efek saat ini. Kita mengeluh ketika perahu kita rusak, tanpa menyadari bahwa kerusakan kecil itu mencegah malapetaka besar di masa depan. Kita mempertanyakan keadilan Tuhan ketika seorang anak meninggal, tanpa mengetahui bahwa kematian dini anak tersebut adalah pengaman bagi iman orang tuanya di kemudian hari. Kekuatan kisah ini terletak pada pengakuan bahwa ada kebaikan fundamental yang beroperasi di balik tirai realitas yang tampak.
Ilmu yang dimiliki Khidr adalah ilmu tentang sebab-sebab di balik sebab. Ilmu syariat (Musa) mengatakan: Mencuri/Merusak perahu = Dosa. Membunuh jiwa = Kezaliman. Ilmu hakikat (Khidr) mengatakan: Merusak perahu = Mencegah perampasan total. Membunuh anak = Melindungi iman orang tua dan menjamin surga bagi anak itu.
Khidr berulang kali mengatakan, "إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا" (Engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku). Kesabaran yang dimaksud di sini bukanlah kesabaran pasif menahan lapar atau kesulitan fisik. Ini adalah:
Ketidakmampuan bersabar Musa menekankan pentingnya tawakkul (penyerahan diri total) dan husnu zhan (berprasangka baik) kepada Allah, bahkan ketika peristiwa yang terjadi tampak tidak adil atau menyakitkan. Jika kita tidak memiliki Khidr untuk menjelaskan takwil dari setiap musibah, kita harus memiliki tawakkul untuk menerima bahwa di balik peristiwa itu, pasti ada ilmu dan hikmah Ilahi yang tidak terjangkau.
Peristiwa perbaikan dinding (ayat 82) menyoroti salah satu poin teologis yang paling menyentuh: warisan kesalehan. Perlindungan harta anak yatim diberikan karena "وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا" (dan ayah mereka adalah orang yang saleh). Kehidupan seorang mukmin tidak hanya memberi manfaat pada dirinya sendiri, tetapi juga meluas kepada keturunannya.
Kesalehan ayah berfungsi sebagai ‘investasi’ jangka panjang yang Allah jaga. Ini memotivasi umat untuk menjaga kualitas iman dan amal, karena hal itu merupakan jaminan perlindungan Ilahi bagi anak-anak yang mungkin belum mampu melindungi diri mereka sendiri. Harta yang disimpan di bawah dinding adalah simbol rezeki yang dijaga sampai waktu yang tepat, menunjukkan penjagaan Allah yang sempurna dan perencanaan-Nya yang abadi.
Meskipun Musa adalah nabi, ia mengambil posisi sebagai murid Khidr. Kisah ini mengajarkan etika (adab) yang wajib dimiliki oleh seorang penuntut ilmu. Adab ini meliputi:
Kisah ini juga memberikan pemahaman yang halus mengenai Kehendak Allah (Iradah) dalam hubungannya dengan sebab-akibat. Perhatikan kembali diksi Khidr dalam takwil:
Analisis diksi ini menunjukkan adab tertinggi dalam Tauhid: Kejahatan atau musibah (merusak perahu) tidak disandarkan secara langsung kepada Allah, meskipun pada akhirnya semua berasal dari-Nya. Sementara kebaikan dan rahmat (penggantian anak dan penjagaan harta) disandarkan secara eksplisit kepada Allah (Rabbika), menunjukkan bahwa sumber hakiki dari segala kebaikan adalah Allah SWT.
Melalui perjalanan singkat ini, Musa mendapatkan wawasan yang tak ternilai: bahwa di balik hukum yang tegas (syariat) terdapat lapisan hikmah dan rahmat (hakikat) yang hanya dapat dipahami jika seseorang mampu melepaskan kacamata logika duniawi dan menerima bahwa rencana Allah adalah yang paling sempurna, melampaui kemampuan akal manusia untuk memahaminya secara instan.
Kisah ini menjadi pengingat abadi bahwa takdir seringkali beroperasi dengan cara yang tersembunyi, dan iman yang sejati menuntut penerimaan terhadap hakikat yang tidak tampak, serta keyakinan teguh bahwa setiap pengaturan dari Allah adalah keadilan dan rahmat yang sempurna.
Dalam konteks kehidupan modern, kisah ini mendidik kita untuk tidak tergesa-gesa dalam menghakimi musibah atau kesulitan. Apa yang tampak sebagai kegagalan atau kerugian hari ini, mungkin saja merupakan perlindungan (seperti perahu yang rusak) atau persiapan menuju kebaikan yang jauh lebih besar (seperti harta yang dijaga) di masa depan. Ilmu dan kesabaran adalah dua sayap yang harus dimiliki setiap mukmin untuk menavigasi kompleksitas dunia dan memahami, meskipun samar-samar, kerja agung Takdir Ilahi.
Kebutuhan akan kesabaran ini semakin mendesak di era di mana informasi datang seketika dan penghakiman dilakukan secara cepat. Musa, sang nabi, gagal bersabar hanya dalam tiga insiden. Bagaimana dengan kita, manusia biasa, yang seringkali gagal bersabar dalam menghadapi ujian hidup sehari-hari? Kisah ini adalah cerminan atas kelemahan manusiawi dalam menghadapi realitas takdir yang tak terhindarkan, sekaligus panduan untuk menumbuhkan tawakkul yang absolut kepada Sang Pencipta yang Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Perjalanan ilmu Musa berakhir dengan perpisahan, tetapi penyingkapan Khidr (takwil) menjadi ilmu abadi bagi umat manusia. Ini mengajarkan bahwa pencarian ilmu tidak pernah berhenti, dan bahwa sumber hikmah tertinggi senantiasa berada di sisi Allah, menunggu untuk diungkapkan kepada mereka yang berjuang keras untuk mencari ilmu dan yang paling penting, bersabar dalam ketidaktahuan.
Pengajaran mendalam ini, yang terangkum dalam Surah Al-Kahfi ayat 60-82, merupakan penegasan bahwa hukum yang tampak (syariat) harus dipatuhi, tetapi kita harus selalu menyadari adanya realitas yang lebih tinggi (hakikat) di mana keadilan Ilahi bekerja dengan dimensi yang melampaui dimensi ruang dan waktu kita. Dengan demikian, setiap mukmin didorong untuk hidup dalam kerangka hukum Ilahi sambil memelihara keyakinan mendalam akan Kehendak Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Penyayang. Kesalehan, kerendahan hati, dan kesabaran adalah bekal utama yang diajarkan oleh kisah agung antara seorang Nabi utusan dengan seorang Hamba yang dianugerahi ilmu langsung dari sisi-Nya.