Pendahuluan: Identitas Surat Al-Lail
Surat Al-Lail (Malam) merupakan surat ke-92 dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Surat ini terdiri dari 21 ayat yang pendek namun padat makna, memberikan kontras yang tajam antara dua jenis manusia: mereka yang berderma, bertaqwa, dan membenarkan pahala terbaik, serta mereka yang kikir, merasa cukup diri, dan mendustakan kebaikan. Tema utama ini, yang berkisar pada etika, tanggung jawab sosial, dan keyakinan terhadap akhirat, adalah indikasi awal yang kuat terhadap konteks pewahyuannya.
Dalam studi keislaman, khususnya bidang Ulumul Qur'an (Ilmu-ilmu Al-Qur'an), salah satu klasifikasi paling mendasar adalah pembagian surat berdasarkan waktu dan tempat pewahyuannya, yang dikenal sebagai Makkiyah dan Madaniyah. Pembagian ini bukan sekadar pengelompokan geografis semata, melainkan kunci untuk memahami evolusi dakwah, perkembangan hukum, dan perubahan retorika Al-Qur'an sesuai dengan kondisi umat saat itu.
Pertanyaan fundamental yang akan dikupas tuntas dalam pembahasan ini adalah: Surat Al-Lail termasuk golongan surat apa? Jawaban atas pertanyaan ini memerlukan peninjauan mendalam terhadap ciri-ciri internal surat, konteks historis Nabi Muhammad SAW berdakwah, dan kesimpulan para ulama tafsir serta ahli Nuzulul Qur'an.
Ilustrasi: Kontras antara gelap dan terang, yang menjadi tema sentral Surat Al-Lail.
Surat Al-Lail Termasuk Golongan Surat Makkiyah
Menurut konsensus mutlak di kalangan ulama tafsir, Surat Al-Lail diklasifikasikan sebagai surat Makkiyah. Surat Makkiyah adalah surat-surat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebelum peristiwa hijrah (migrasi) beliau dari Mekah ke Madinah pada tahun kenabian ke-13. Klasifikasi ini bukan hanya didasarkan pada penanggalan, tetapi yang lebih penting, pada ciri-ciri tematik, stilistik, dan retoris yang khas.
Dasar Klasifikasi Makkiyah
Dalam ilmu Nuzulul Qur'an, terdapat tiga pendekatan utama untuk menentukan status Makkiyah atau Madaniyah suatu surat:
- Pendekatan Tempat (Makan): Surat yang turun di Mekah dan sekitarnya (termasuk Mina, Arafah, Hudaibiyah).
- Pendekatan Waktu (Zaman): Surat yang turun sebelum Hijrah, terlepas dari lokasi geografisnya. (Ini adalah definisi yang paling diterima dan relevan untuk Al-Lail).
- Pendekatan Audiens (Khitab): Surat yang ditujukan kepada penduduk Mekah atau yang menggunakan gaya bahasa khas khalayak Mekah.
Surat Al-Lail, yang turun pada periode awal dakwah, secara definitif masuk dalam kategori kedua, yaitu turun sebelum Nabi SAW dan para sahabat pindah ke Madinah. Periode ini ditandai dengan perjuangan keras menegakkan tauhid (keesaan Allah) di tengah masyarakat musyrik Quraisy yang didominasi oleh tradisi dan kesombongan materialistik.
Karakteristik Khas Surat Makkiyah yang Terdapat dalam Al-Lail
Surat Makkiyah memiliki ciri-ciri spesifik yang tercermin jelas dalam Surat Al-Lail. Analisis terhadap ciri-ciri ini memperkuat statusnya sebagai wahyu periode awal:
1. Panjang Ayat dan Gaya Bahasa
Ayat-ayat dalam Surat Al-Lail sangat pendek (21 ayat dalam surat yang relatif singkat), berirama cepat, dan memiliki jeda (fawasil) yang kuat. Gaya bahasa ini bertujuan untuk memukau audiens yang awalnya menolak dakwah, menarik perhatian mereka secara retoris, dan meninggalkan kesan mendalam yang sulit dilupakan. Ritme yang cepat dan intonasi yang tegas adalah ciri khas wahyu yang diturunkan untuk kaum yang keras kepala, memerlukan peringatan yang intens dan langsung.
2. Penggunaan Sumpah (Qasam)
Surat Al-Lail dimulai dengan serangkaian sumpah yang agung: "Demi malam apabila menutupi (cahaya)," "dan siang apabila terang benderang," "dan penciptaan laki-laki dan perempuan." Penggunaan qasam (sumpah) pada fenomena alam yang luar biasa dan ciptaan Allah adalah elemen retoris yang lazim pada surat Makkiyah awal. Tujuan sumpah ini adalah untuk memberikan penekanan dan otoritas terhadap pernyataan yang akan mengikuti, yaitu kebenaran adanya perbedaan jalan dan balasan bagi manusia.
3. Fokus pada Prinsip Aqidah (Keimanan)
Tema sentral Al-Lail berpusat pada akidah: tauhid (implisit melalui penciptaan) dan, yang paling utama, al-jaza' (pembalasan/akhirat). Ayat-ayat ini membahas balasan terbaik (al-husna) bagi yang bertaqwa dan ancaman api neraka (al-nar) bagi yang mendustakan. Pada fase Mekah, fokus dakwah adalah meletakkan fondasi keimanan yang kokoh, karena belum ada komunitas Muslim yang terorganisir atau sistem hukum yang mapan. Diskusi tentang ritual atau hukum sosial (fikih) hampir tidak ada, yang merupakan ciri utama surat Makkiyah.
4. Kontradiksi Moral yang Tegas
Surat ini menggambarkan kontras antara dua karakter moral secara ekstrem: orang yang memberi (dermawan) dan orang yang kikir (bakhil). Ini adalah seruan moral universal yang sangat dibutuhkan di Mekah, di mana kebanggaan suku dan kekayaan material sering kali mendorong penindasan terhadap kaum lemah. Seruan untuk bertaqwa dan menjauhi kekikiran merupakan upaya untuk mengubah paradigma nilai-nilai pra-Islam.
Analisis Tematik Surat Al-Lail dan Relevansi Makkiyahnya
Kedalaman Surat Al-Lail dalam 21 ayatnya mencerminkan urgensi pesan yang ingin disampaikan pada awal periode kenabian. Ketika masyarakat Mekah masih tenggelam dalam materialisme dan penolakan terhadap hari kebangkitan, Al-Lail datang untuk merombak pemikiran mereka dengan dua pasangan kontras utama:
Kontras Pertama: Tindakan dan Balasannya
Ayat 5 hingga 10 memperkenalkan dua kelompok manusia yang jalannya sungguh berbeda. Ini adalah inti naratif yang sangat kuat bagi periode Makkiyah, di mana penekanan utama adalah pada konsekuensi moral pribadi.
- Jalur Kebaikan (Taqwa): Diberi, bertaqwa, dan membenarkan kebaikan (al-husna). Balasannya adalah kemudahan (yusra) menuju surga.
- Jalur Kejahatan (Kikir): Kikir, merasa cukup diri (tidak butuh Allah), dan mendustakan kebaikan. Balasannya adalah kesulitan (usra) menuju neraka.
Pernyataan ini, "Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan," dan sebaliknya, bukanlah janji keberuntungan duniawi semata. Dalam konteks Makkiyah, janji ini adalah jaminan spiritual di tengah penganiayaan. Bagi para sahabat awal yang miskin dan tertindas, janji kemudahan spiritual ini adalah penyemangat untuk tetap teguh pada tauhid dan etika luhur, meskipun secara lahiriah mereka menghadapi kesulitan besar dari kaum Quraisy yang kaya dan berkuasa.
Kontras Kedua: Kepemilikan Dunia dan Nilai Akhirat
Surat Al-Lail secara eksplisit menolak nilai kekayaan duniawi sebagai jaminan keselamatan abadi. Ayat 11 dengan tegas menyatakan: "Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa." Ini adalah pukulan telak terhadap mentalitas Quraisy yang menjadikan kekayaan, status suku, dan materi sebagai tuhan mereka.
Dalam periode Mekah, dakwah sering kali menghadapi penolakan dari para pemimpin seperti Abu Jahal dan Walid bin Mughirah, yang merasa ajaran Islam merusak hierarki sosial mereka. Surat Al-Lail berfungsi sebagai alat dakwah yang efektif untuk menunjukkan bahwa harta, yang mereka banggakan, sama sekali tidak relevan di hadapan Allah saat Hari Kiamat tiba. Penekanan Makkiyah selalu mengalihkan fokus dari kehidupan sementara (dunia) menuju kehidupan abadi (akhirat).
Kisah Abu Bakar As-Shiddiq dan Tuntunan Moral
Meskipun Al-Qur'an berbicara dalam kerangka umum, banyak riwayat menceritakan bahwa ayat-ayat terakhir surat ini (ayat 17-21), yang memuji orang yang berderma dan bertaqwa, diturunkan dalam konteks perbuatan mulia Abu Bakar As-Shiddiq, terutama terkait pembebasan budak-budak Muslim yang disiksa seperti Bilal bin Rabah. Terlepas dari apakah konteks spesifik ini benar-benar menjadi sebab nuzul (asbabun nuzul) atau hanya merupakan contoh terbaik dari aplikasi ayat, esensinya tetap Makkiyah: menyoroti tindakan pengorbanan moral yang dilakukan oleh para mualaf awal di tengah ancaman Quraisy, menunjukkan bahwa tindakan mulia ini dilakukan hanya demi mencari wajah Allah, bukan imbalan duniawi.
Konsistensi tema-tema ini—ketegasan akidah, sumpah alam, ritme cepat, penolakan materialisme, dan penekanan balasan—adalah sidik jari yang tak terbantahkan bahwa Surat Al-Lail tergolong mutlak sebagai Surat Makkiyah.
Perbandingan Ekstensif: Mengapa Al-Lail Bukan Madaniyah?
Untuk memahami sepenuhnya mengapa klasifikasi Al-Lail sebagai Makkiyah begitu kuat, penting untuk membandingkannya dengan karakteristik khas surat-surat Madaniyah. Perbedaan antara kedua periode ini sangat mendasar, mencerminkan transisi dari sebuah gerakan minoritas yang teraniaya menjadi sebuah negara yang berdaulat (di Madinah).
Karakteristik Utama Surat Madaniyah
Surat Madaniyah diturunkan setelah Hijrah, ketika umat Islam telah mendirikan komunitas (ummah) dengan sistem politik dan sosial yang mapan. Ciri-ciri surat Madaniyah meliputi:
- Panjang Ayat dan Gaya Bahasa: Ayat-ayat cenderung lebih panjang, dengan gaya bahasa yang tenang, persuasif, dan mendetail, cocok untuk perumusan hukum dan peraturan.
- Fokus Tematik: Berpusat pada hukum (syariat), seperti pernikahan, warisan, perdagangan, jihad, dan hukuman pidana.
- Audiens Khusus: Seringkali menyapa "Wahai orang-orang yang beriman" (Ya ayyuhal ladzina amanu) atau berdebat dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) atau mengurai masalah Munafik (hipokrit).
- Detail Sejarah dan Perang: Menyebutkan nama-nama pertempuran (seperti Badar atau Uhud) atau detail tentang perjanjian dan konflik politik.
Kontradiksi Al-Lail dengan Ciri Madaniyah
Surat Al-Lail sama sekali tidak menunjukkan ciri-ciri Madaniyah. Tidak ada pembahasan hukum, tidak ada penyebutan Ahli Kitab, dan tidak ada detail tentang organisasi masyarakat. Retorikanya adalah retorika peringatan yang keras, bukan perumusan undang-undang. Seandainya Al-Lail diturunkan di Madinah, isinya kemungkinan besar akan lebih fokus pada bagaimana mengimplementasikan sedekah (zakat/infak) dalam sistem keuangan negara baru, bukan sekadar penekanan moral bahwa kekikiran adalah jalan menuju kesulitan.
Dalam konteks Madinah, masyarakat sudah menerima dasar-dasar tauhid, sehingga kebutuhan retoris beralih dari penegasan eksistensi Tuhan dan Akhirat (Makkiyah) menjadi regulasi kehidupan sehari-hari (Madaniyah). Karena Al-Lail berfokus murni pada prinsip etika dan keyakinan dasar (akidah) tanpa menyentuh aspek syariat yang terorganisir, ia wajib diklasifikasikan ke dalam kategori Makkiyah.
Signifikansi Urutan Pewahyuan (Nuzul)
Ahli Nuzulul Qur'an, berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Mas'ud dan Jabir bin Zaid, menempatkan Surat Al-Lail sangat awal dalam urutan pewahyuan. Secara umum, Al-Lail diperkirakan turun setelah Surat Al-A’la dan sebelum Surat Al-Fajr atau Adh-Dhuha, menempatkannya dalam kelompok surat-surat awal yang dikenal sebagai Mufassal Awal (kelompok pendek-pendek). Ini adalah periode Mekah yang paling awal, sering kali disebut Fase Kesabaran (Fase Ikhfa'/Rahasia) dakwah Nabi SAW.
Penempatan ini menggarisbawahi fungsinya: meletakkan dasar-dasar moralitas universal—kebaikan melawan keburukan, memberi melawan menahan—sebelum umat diperintahkan dengan detail-detail ibadah dan hukum. Oleh karena itu, klasifikasi Al-Lail bukan hanya masalah lokasi atau waktu, melainkan pemahaman sistematis terhadap perkembangan pesan Ilahi kepada manusia.
Balaghah dan Kekuatan Retorika Makkiyah dalam Al-Lail
Aspek retoris (Balaghah) dari Surat Al-Lail adalah bukti kuat lainnya tentang sifat Makkiyahnya. Retorika Makkiyah dirancang untuk memecahkan kekakuan hati orang-orang musyrik yang menolak risalah. Surat ini mencapai puncak keindahan dan ketegasan linguistik melalui beberapa teknik yang khas:
1. Pengulangan dan Paralelisme Struktur
Surat ini menggunakan struktur paralel yang sempurna untuk menyoroti kontras. Ayat-ayat berpasangan yang menggambarkan dua jalan memiliki keseimbangan yang luar biasa. Misalnya, perhatikan pasangan-pasangan kata kunci yang kontras (taqwa vs. istighna; husna vs. takdzib). Pola ini menciptakan ritme yang mudah diingat dan sangat efektif dalam dakwah lisan di Mekah, di mana tradisi syair dan pidato sangat dihargai.
Penggunaan huruf ‘ya’ pada akhir banyak ayat (seperti tajalla, yakhsha, usra) memberikan irama yang mendalam dan berwibawa, mencerminkan kekuatan pesan yang diturunkan. Irama yang kuat ini adalah ciri khas surat Makkiyah pendek yang bertujuan untuk segera menggetarkan jiwa pendengarnya.
2. Kekuatan Sumpah Kosmik
Pembukaan surat dengan sumpah demi malam ("Al-Lail") dan siang ("An-Nahar") adalah contoh Qasam Qur'ani yang paling indah. Malam adalah simbol penutup, ketenangan, dan misteri, sementara siang adalah simbol kejelasan, pergerakan, dan kehidupan. Allah bersumpah demi kedua kontras waktu ini untuk menarik perhatian pada kontras yang lebih besar: kontras antara perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia.
Sumpah ini juga menunjukkan betapa pentingnya konsep waktu dan fenomena alam dalam periode Makkiyah. Pada masa itu, manusia Mekah sering kali menyembah patung yang statis. Dengan bersumpah demi fenomena alam yang dinamis dan agung, Al-Qur'an secara implisit menantang pemahaman mereka tentang ketuhanan, mengarahkan mereka kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, Pengatur, dan Pemilik alam semesta yang bergerak.
3. Peringatan yang Mutlak (An-Nar)
Ancaman neraka yang disebutkan dalam Al-Lail sangat mutlak dan mengerikan ("Api yang menyala-nyala," ayat 14). Dalam periode Makkiyah, gambaran neraka seringkali disajikan dengan cara yang paling jelas dan menakutkan, tujuannya adalah memecah kekebalan spiritual para musyrik yang skeptis terhadap konsep Hari Kebangkitan. Peringatan tentang azab yang akan datang adalah komponen penting dari strategi dakwah Makkiyah untuk mendorong pertobatan segera.
Ilustrasi: Simbol Al-Qur'an dan pengelompokan surat.
Filosofi Dua Jalan: Yusra dan Usra dalam Konteks Makkiyah
Inti filosofis dari Surat Al-Lail terletak pada konsep yusra (kemudahan) dan usra (kesulitan), yang merupakan cerminan mutlak dari pilihan moral individu. Dalam periode Makkiyah, pemahaman ini sangat vital karena umat Islam awal dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit: mempertahankan keimanan dan menghadapi kesulitan dunia, atau kembali pada kekafiran demi kemudahan materi dan sosial.
Makna Mendalam Yusra (Kemudahan)
Bagi orang-orang yang "memberi, bertaqwa, dan membenarkan yang terbaik," Allah akan mempermudah jalannya menuju kemudahan. Kemudahan di sini diartikan bukan hanya kemudahan di dunia, melainkan kemudahan dalam menjalankan ketaatan dan, yang paling utama, kemudahan saat sakaratul maut dan hisab (perhitungan) di Akhirat. Ini adalah janji bahwa amal shaleh membuka jalan yang lapang menuju keridhaan Ilahi. Di Mekah, kemudahan ini adalah jaminan spiritual bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia.
Konsep yusra ini juga terkait erat dengan kedermawanan. Di masa pra-Islam, kedermawanan sering kali dipicu oleh pamrih atau untuk mencari pujian suku. Al-Lail membersihkan motif kedermawanan, menetapkannya sebagai tindakan ibadah yang hanya mencari wajah Allah. Ini merupakan revolusi moral dalam masyarakat Arab.
Ancaman Usra (Kesulitan)
Sebaliknya, bagi yang kikir dan mendustakan, Allah akan mempersulit jalannya. Kesulitan ini adalah kesulitan spiritual, kegelisahan batin, dan akhirnya, kesulitan di Hari Kiamat. Peringatan ini ditujukan kepada para pemimpin Quraisy yang menyalahgunakan kekayaan mereka, menggunakan harta untuk menindas Nabi SAW dan para pengikutnya. Al-Lail memperingatkan bahwa kekayaan mereka yang sekarang memberikan kemudahan duniawi justru akan menjadi beban yang menyebabkan kesulitan abadi. Dalam pandangan Makkiyah, kesulitan dunia bagi orang beriman adalah ujian, sementara kemudahan dunia bagi orang kafir adalah istidraj (jebakan bertahap).
Peran Makkiyah dalam Pembentukan Karakter
Seluruh ayat dalam Surat Al-Lail, seperti surat Makkiyah lainnya dalam kelompok Mufassal, berfungsi sebagai pembentuk karakter (tarbiyah). Sebelum umat Islam diberikan hukum yang rinci (syariat), mereka harus memiliki fondasi moral yang kuat: ikhlas (ketulusan), taqwa (kesadaran diri), dan keyakinan mutlak pada Hari Pembalasan. Surat ini mengajarkan bahwa inti dari Islam adalah pilihan moral pribadi yang berujung pada konsekuensi abadi, sebuah pesan yang sangat relevan dan mendesak untuk generasi pertama Muslim di Mekah.
Klasifikasi Al-Lail sebagai Makkiyah oleh ulama seperti Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan, As-Suyuthi dalam Al-Itqan, dan para mufassir modern adalah kesimpulan yang tak terhindarkan, didasarkan pada keseluruhan komposisi, tema, dan kronologi pewahyuannya. Surat ini adalah manifesto moral awal yang menegaskan kembali nilai-nilai spiritual di atas nilai-nilai materialisme klan Mekah.
Penguatan Klasifikasi Melalui Konsensus Historis
Tidak ada riwayat yang sah yang menyebutkan bahwa Surat Al-Lail turun di Madinah. Riwayat-riwayat tentang asbabun nuzul (sebab turunnya) yang berkaitan dengan kedermawanan Abu Bakar terjadi sebelum Hijrah, di Mekah, ketika beliau masih disiksa dan berjuang membebaskan budak-budak. Periode ini adalah periode yang paling intens dalam penegasan akidah dan etika personal. Oleh karena itu, pengelompokan Al-Lail berada di tengah-tengah kelompok surat Makkiyah yang sangat awal (seperti Adh-Dhuha, Al-'Alaq, dan Al-Ashr) adalah konsensus historis yang tidak terbantahkan dalam studi Ulumul Qur'an. Konteks historisnya, yang penuh dengan pertentangan dan kebutuhan akan kepastian iman, sangat cocok dengan nada tegas dan peringatan dalam surat ini.
Penelusuran Mendalam Detail Setiap Pesan Makkiyah dalam Al-Lail
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana Surat Al-Lail memenuhi kriteria Makkiyah, kita harus memeriksa setiap bagiannya, melihat bagaimana retorika yang digunakan bertujuan untuk audiens Mekah yang skeptis dan materialistis.
Ayat 1-4: Sumpah sebagai Bukti Keseimbangan Ilahi
Sumpah demi malam, siang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan bukan hanya indah, tetapi juga filosofis. Allah bersumpah demi tiga pasang kontras (gelap/terang, laki-laki/perempuan) untuk membuktikan bahwa segala sesuatu di alam semesta diciptakan secara berpasangan dan memiliki tujuan yang berlawanan. Ini kemudian mengarah pada kesimpulan logis: tindakan manusia juga memiliki dua jalan yang berlawanan (kebaikan/keburukan).
Dalam masyarakat Mekah yang percaya pada nasib buta atau dewa-dewa yang tidak berkehendak, pernyataan ini menegaskan bahwa ada kekuatan Yang Maha Kuasa di balik keteraturan kosmos. Keteraturan alam ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa Allah memiliki kekuatan untuk mengatur dan menghitung amal manusia, dan ini merupakan pesan tauhid yang sangat mendasar dalam periode Makkiyah.
Ayat 5-11: Definisi Kontradiktif Manusia
Ayat-ayat ini mendefinisikan identitas spiritual manusia. Kelompok pertama dicirikan oleh tiga hal: memberi (berinfak), bertaqwa (menjaga diri), dan membenarkan kebaikan (memercayai janji pahala). Kelompok kedua dicirikan oleh kikir, merasa cukup diri (tidak butuh Allah/istiqna'), dan mendustakan kebaikan (menolak Akhirat).
Perluasan makna 'membenarkan kebaikan' (al-husna) sangat Makkiyah. Al-Husna sering diinterpretasikan sebagai Kalimah Tauhid (Laa Ilaha Illallah), atau Janji Surga, atau Akhirat. Dalam fase Mekah, membenarkan hal-hal gaib ini adalah tantangan terbesar. Orang yang membenarkan kebaikan berarti dia telah menerima fondasi akidah Islam. Ini adalah fokus yang jauh lebih penting daripada implementasi hukum, sehingga menegaskan status Makkiyah surat ini.
Ayat 12-21: Konsekuensi Mutlak dan Pertanggungjawaban
Ayat-ayat penutup mengikat semua konsep ini pada prinsip pertanggungjawaban individu. "Sesungguhnya kewajiban Kami hanyalah memberi petunjuk," (Ayat 12) menegaskan bahwa Allah telah menjelaskan jalan yang benar, dan manusia memiliki kebebasan memilih.
Peringatan keras bahwa harta tidak akan menyelamatkan seseorang (Ayat 11) dan fokus pada "Api yang menyala-nyala" (Ayat 14) menciptakan suasana urgensi spiritual. Konteks Makkiyah membutuhkan ancaman yang kuat untuk menembus hati para penentang yang tenggelam dalam kesenangan duniawi.
Kesimpulan yang ditarik dalam bagian akhir mengenai orang yang paling bertaqwa, yang memberikan hartanya hanya untuk membersihkan diri dan tidak mengharapkan imbalan dari siapa pun kecuali dari Tuhannya Yang Maha Tinggi, adalah manifestasi tertinggi dari keikhlasan Makkiyah. Pada masa itu, tidak ada keuntungan duniawi yang ditawarkan oleh Islam; semua tindakan baik dilakukan murni karena iman kepada janji akhirat, mengukuhkan kembali bahwa Al-Lail adalah fondasi etika bagi komunitas yang baru lahir di Mekah.
Analisis setiap kata dan struktur dalam Surat Al-Lail selalu membawa kita kembali pada kesimpulan yang sama: surat ini adalah produk linguistik dan teologis dari fase Makkiyah, sebuah seruan fundamental untuk memilih jalan yang benar sebelum adanya struktur pemerintahan Islam.
Pengulangan penegasan ini adalah kunci dalam ilmu Tafsir dan Nuzulul Qur'an. Semakin banyak korelasi antara ciri Makkiyah ditemukan dalam surat tersebut—baik dari segi ritme, topik, ketiadaan hukum, kehadiran sumpah yang intens, maupun gambaran keras tentang neraka—maka semakin kokoh klasifikasinya. Dalam kasus Al-Lail, korelasi-korelasi ini mencapai tingkat absolut.
Seluruh retorika yang terbingkai dalam surat Al-Lail dirancang untuk audiens di masa permulaan, di mana akidah dan moralitas harus ditanamkan secara radikal. Pesan tentang kedermawanan yang ikhlas, yang menjadi inti dari beberapa ayat terakhir, adalah respons langsung terhadap sistem kasta dan kesombongan Mekah, di mana pemberian seringkali merupakan alat untuk memperkuat kekuasaan, bukan membersihkan jiwa. Al-Lail mengubah perspektif ini menjadi nilai spiritual tertinggi, sebuah perubahan yang hanya mungkin terjadi di fase pembentukan karakter (Makkiyah).
Jika kita memperluas lagi pandangan kita mengenai konteks Makkiyah, kita akan melihat bahwa surat-surat dalam golongan ini diturunkan untuk melawan tiga tantangan utama di Mekah: penyembahan berhala (politeisme), penolakan terhadap kenabian Muhammad SAW, dan penolakan terhadap Hari Kebangkitan. Surat Al-Lail, meskipun singkat, menangani tantangan ketiga secara langsung dan tantangan pertama serta kedua secara implisit melalui penegasan kekuasaan Allah (melalui sumpah) dan pentingnya mengikuti bimbingan yang dibawa Nabi SAW.
Oleh karena itu, posisi Surat Al-Lail dalam golongan Makkiyah tidak sekadar pengakuan, tetapi merupakan pengakuan terhadap peran historis surat tersebut sebagai salah satu pilar pembentuk akidah Islam sebelum komunitas tersebut mendapatkan kekuasaan dan harus berurusan dengan masalah-masalah kenegaraan di Madinah. Kejelasan kontras antara yang baik dan yang buruk yang disajikan oleh Al-Lail adalah cerminan dari kondisi Mekah saat itu, di mana garis pemisah antara keimanan dan kekafiran masih sangat tegas dan belum dikaburkan oleh masalah munafik seperti yang terjadi di Madinah.
Maka, kita simpulkan sekali lagi dengan penekanan yang mutlak: Surat Al-Lail adalah salah satu permata retoris dari koleksi Surat Makkiyah yang ditujukan untuk membangun fondasi akidah, moral, dan etika pribadi yang murni di tengah penindasan dan materialisme jahiliah.
Kesimpulan Akhir
Berdasarkan tinjauan menyeluruh terhadap kriteria Nuzulul Qur'an, ciri-ciri linguistik, ritme ayat yang cepat, penggunaan sumpah kosmik (qasam), dan fokus tematik yang murni pada akidah (tauhid dan akhirat) serta etika fundamental (kedermawanan vs. kekikiran), dapat ditegaskan tanpa keraguan bahwa Surat Al-Lail termasuk golongan surat Makkiyah.
Surat ini diturunkan sebelum Hijrah, berfungsi sebagai landasan moral dan spiritual bagi para pengikut awal Islam di Mekah, memperingatkan mereka tentang konsekuensi abadi dari pilihan-pilihan duniawi mereka, dan mengokohkan keyakinan bahwa tujuan sejati kehidupan adalah mencari keridhaan Allah semata, bukan kemudahan materi yang fana.
Pemahaman akan klasifikasi ini membantu kita mengapresiasi keindahan dan ketegasan retorika Al-Qur'an pada periode awal, yang dirancang untuk membangun individu yang teguh imannya sebelum membangun masyarakat yang adil hukumnya.