Surat Al-Lail (bahasa Arab: الليل, yang berarti "Malam") merupakan surat ke-92 dalam mushaf Al-Qur'an. Surat ini tergolong Makkiyah, diturunkan di Mekkah sebelum hijrah, pada periode awal di mana tekanan terhadap umat Islam sangat kuat. Ciri khas surat Makkiyah, termasuk Al-Lail, adalah penekanannya pada Tauhid, Hari Kiamat, dan prinsip-prinsip moralitas dasar.
Inti dari Surat Al-Lail adalah menjelaskan tentang dualitas fundamental dalam kehidupan manusia dan konsekuensinya: dualitas amal dan dualitas nasib di akhirat. Allah SWT bersumpah dengan tiga ciptaan yang berbeda (malam, siang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan) untuk menegaskan bahwa usaha atau amal perbuatan manusia terbagi menjadi dua jalur yang jelas berbeda, dan setiap jalur membawa kepada hasil yang berlawanan—kemudahan (surga) atau kesulitan (neraka).
Surat ini memberikan penekanan luar biasa pada pentingnya kedermawanan dan takwa sebagai jalan menuju kemudahan, serta mencela kekikiran dan sikap merasa diri kaya atau tidak butuh kepada Allah sebagai jalan menuju kesulitan. Pesan moralnya sangat kuat, menantang para penguasa dan orang-orang kaya di Mekkah yang menolak kebenaran dan menimbun harta, sementara kaum miskin dan tertindas mencari perlindungan pada ajaran Islam.
Meskipun surat ini memiliki konteks umum tentang pertentangan antara orang dermawan (seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, menurut beberapa riwayat) dan orang kikir, sebagian besar ulama tafsir mengaitkan ayat-ayat 5 hingga 10 dengan dua individu yang bertolak belakang.
Riwayat Ibnu Abi Hatim dan Al-Wahidi menyebutkan bahwa ayat-ayat ini turun terkait dengan dua jenis manusia: (1) Seorang pria yang sangat kikir yang tidak mau berinfak sedikit pun dan bersumpah bahwa dia lebih hebat dari orang yang berbuat baik, dan (2) Seorang pria yang sangat dermawan, yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, membebaskan budak, dan membantu fakir miskin. Pemisahan nasib di akhirat berdasarkan amalan di dunia inilah yang menjadi landasan utama tafsir surat ini.
Tafsir mendalam ini bersumber dari paduan interpretasi ulama klasik (seperti At-Tabari, Ibnu Kathir, dan Al-Qurtubi) dan analisis linguistik kontemporer, memastikan cakupan makna yang luas dan komprehensif.
Tafsir: Allah memulai surat ini dengan sumpah (qasam). Malam (الَّيْلِ) adalah simbol penutupan, istirahat, dan ketenangan. Frasa "إِذَا يَغۡشَىٰ" (apabila menutupi) merujuk pada momen saat kegelapan total menyelimuti cakrawala, menutupi cahaya siang. Malam seringkali menjadi penanda waktu di mana manusia tersembunyi dari pandangan publik, dan amal perbuatan yang dilakukan saat itu murni antara hamba dan Rabbnya. Sumpah ini mengisyaratkan betapa pentingnya waktu malam dalam menentukan kualitas amal manusia, baik dalam ibadah rahasia maupun perenungan.
Linguistik: Penggunaan kata yaghsha (menutupi) secara sinematik menggambarkan kegelapan yang merayap, bukan sekadar malam yang statis, menekankan proses perubahan dan kontras yang akan datang.
Tafsir: Siang (ٱلنَّهَارِ) adalah kebalikan total dari malam. "إِذَا تَجَلَّىٰ" (apabila terang benderang) berarti menampakkan atau mewujudkan. Siang adalah waktu untuk beraktivitas, bekerja, dan menampakkan amal. Kontras antara malam yang menyembunyikan dan siang yang menampakkan ini menjadi landasan metaforis untuk dualitas amal perbuatan manusia: amal yang tersembunyi (niat dan kedermawanan rahasia) dan amal yang tampak (ibadah dan interaksi sosial).
Tafsir: Sumpah ketiga ini merujuk pada dualitas di tingkat penciptaan makhluk hidup, yaitu pembagian menjadi laki-laki (ٱلذَّكَرَ) dan perempuan (ٱلۡأُنثَىٰ). Ibnu Kathir dan ulama lainnya menafsirkan sumpah ini sebagai sumpah atas Dzat Yang Maha Pencipta, yang menciptakan dualitas tersebut. Dualitas dalam waktu (siang dan malam) dan dualitas dalam penciptaan (laki-laki dan perempuan) berfungsi sebagai bukti dan landasan universal untuk menegaskan tesis utama surat ini: dualitas dalam usaha dan nasib manusia.
Konteks Filosifis: Penciptaan yang berpasang-pasangan menunjukkan adanya keseimbangan dan oposisi yang diperlukan. Sebagaimana alam memiliki dua kutub yang berlawanan, demikian pula usaha manusia hanya memiliki dua arah yang berlawanan: kebaikan mutlak atau keburukan mutlak.
Tafsir: Ini adalah jawabul qasam (jawaban dari sumpah) yang dinanti-nantikan. Kata "سَعۡيَكُمۡ" (usaha/upaya) mencakup semua perbuatan, baik fisik maupun spiritual. Kata "لَشَتَّىٰ" (beraneka ragam, berbeda) di sini tidak hanya berarti beragam dalam jenisnya, tetapi berbeda secara esensial, yaitu terbagi dua kelompok besar yang berlawanan: yang menuju ketaatan dan yang menuju kemaksiatan. Ayat ini menetapkan premis bahwa tidak semua usaha dianggap sama di hadapan Allah; niat dan arah upaya tersebutlah yang menentukan nasib.
Penegasan: Ayat 4 berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan fenomena alam yang dualistik (malam/siang) dan fenomena penciptaan yang dualistik (laki-laki/perempuan) dengan fenomena moral manusia yang dualistik (takwa/kikir).
Tafsir: Ayat ini memulai deskripsi kelompok pertama: orang yang menempuh jalan kemudahan. Tiga kriteria kunci disebutkan:
Kombinasi 'A'tha (aksi nyata) dan Ittaqā (kondisi hati) menunjukkan bahwa amal saleh harus sejalan dengan keimanan yang mendalam.
Tafsir: Kata "ٱلۡحُسۡنَىٰ" (Al-Husna) memiliki beberapa interpretasi utama di kalangan mufasir:
Membenarkan Al-Husna berarti memiliki keyakinan kokoh bahwa amal saleh akan dibalas dengan pahala yang agung. Kedermawanan orang ini bukan didasarkan pada pujian manusia, melainkan pada keimanan akan janji akhirat.
Tafsir: Ini adalah balasan bagi kelompok pertama. Kata "فَسَنُيَسِّرُهُۥ" (Kami akan memudahkan baginya) menunjukkan bahwa Allah akan membuat amal kebaikan menjadi mudah baginya, baik di dunia maupun di akhirat. "ٱلۡيُسۡرَىٰ" (kemudahan) diartikan sebagai jalan menuju Surga, atau kemudahan dalam melaksanakan ketaatan. Orang yang memilih jalan takwa dan berinfak akan mendapati urusan dunianya diberkahi dan urusan akhiratnya dimudahkan.
Konsep Taufiq: Ayat ini menekankan konsep Taufiq—kemampuan dan dorongan dari Allah untuk melakukan kebaikan. Orang baik akan diberikan kemudahan untuk terus berbuat baik, menciptakan lingkaran kebajikan yang berkelanjutan.
Tafsir: Ayat ini mendeskripsikan kelompok kedua, yang menempuh jalan kesulitan. Kontras total dengan ayat 5:
Sikap kikir (pelit secara materi) berakar dari sikap merasa cukup secara spiritual (kufur nikmat), menjadikannya dosa ganda.
Tafsir: Mereka mendustakan Al-Husna, yaitu janji Allah, Surga, Hari Kiamat, atau kalimat tauhid. Kekikiran mereka berakar dari keraguan atau penolakan total terhadap kehidupan setelah mati dan pahala yang dijanjikan. Jika seseorang tidak percaya pada pahala Surga, mengapa ia harus mengorbankan hartanya di dunia?
Kaitannya dengan Kekikiran: Bagi orang ini, harta adalah segala-galanya dan tujuannya adalah akumulasi kekayaan di dunia. Mereka tidak melihat investasi spiritual sebagai sesuatu yang berharga.
Tafsir: Ini adalah balasan yang ironis bagi kelompok kedua. Allah "memudahkan" mereka menuju kesulitan. Artinya, Allah membiarkan mereka dalam kesesatan dan membuat jalan menuju keburukan, maksiat, dan kekafiran terasa mudah bagi mereka. Kesulitan (ٱلۡعُسۡرَىٰ) utama adalah neraka, tetapi di dunia pun mereka akan kesulitan karena hati mereka tertutup dari hidayah. Setiap langkah yang mereka ambil, meskipun terlihat sukses duniawi, pada hakikatnya menjauhkan mereka dari keselamatan.
Tafsir: Ayat ini menohok kesombongan orang kikir. Kata "تَرَدَّىٰ" (taraddā) berarti jatuh, khususnya jatuh ke dalam jurang atau lubang. Di sini, ia merujuk pada kejatuhan ke dalam api neraka. Pada saat itu, semua harta benda yang dahulu mereka banggakan, yang membuat mereka merasa cukup dan kikir, tidak akan berguna sedikit pun untuk menebus atau menolong mereka dari siksa Allah. Ini adalah peringatan keras bahwa kekayaan duniawi adalah ilusi ketika dihadapkan pada kekekalan akhirat.
Pelajaran: Nilai sejati dari harta bukanlah pada jumlahnya, melainkan pada fungsinya sebagai jembatan menuju akhirat melalui infak dan kedermawanan.
Tafsir: Setelah memaparkan dua jalan, Allah mengingatkan bahwa Dzat-Nyalah yang memiliki hak untuk menentukan jalan petunjuk (ٱلۡهُدَىٰ). Allah telah menjelaskan jalan yang benar melalui para Nabi dan Kitab Suci. Kewajiban manusia adalah memilih jalan tersebut. Ayat ini meniadakan alasan bagi siapapun untuk beralasan bahwa mereka tidak tahu jalan yang benar, karena petunjuk telah diturunkan secara jelas.
Tafsir: Ayat ini menegaskan Tauhid Rububiyah (Ketuhanan dalam penciptaan dan kepemilikan). Karena Allah memiliki keduanya—dunia (ٱلۡأُولَىٰ) dan akhirat (ٱلۡأٓخِرَةَ)—maka kekuasaan-Nya bersifat mutlak. Jika Dia memerintahkan untuk berinfak dari harta dunia, ini adalah ujian. Dan hanya Dia yang berhak memberikan balasan di akhirat. Orang kikir yang berpegangan erat pada dunia (yang fana) sesungguhnya mengabaikan Pemilik mutlak dari dunia dan akhirat.
Tafsir: Kata "تَلَظَّىٰ" (talazzā) menunjukkan api yang berkobar hebat dan membakar dengan intensitas tinggi. Ini adalah peringatan langsung (إِنذَار) kepada orang-orang yang memilih jalan kesulitan (seperti yang dijelaskan di ayat 8-10). Tujuan peringatan ini adalah untuk menakut-nakuti agar manusia kembali kepada jalan takwa.
Tafsir: Kata "ٱلۡأَشۡقَى" (Al-Asyqā) adalah bentuk superlatif, artinya "yang paling celaka" atau "yang paling durhaka." Ini merujuk pada kaum kafir yang menolak kebenaran secara total dan mati dalam keadaan tersebut. Meskipun orang fasik dan maksiat dari kalangan Muslim mungkin disiksa di neraka untuk sementara, yang kekal dan paling celaka di dalamnya adalah mereka yang ingkar secara fundamental terhadap tauhid dan risalah.
Tafsir: Ayat ini mendefinisikan siapa "orang yang paling celaka" itu. Mereka memiliki dua ciri utama:
Kombinasi antara kekufuran internal dan penolakan eksternal inilah yang menjamin jalan menuju api yang menyala-nyala.
Tafsir: Kebalikan dari Al-Asyqā adalah "ٱلۡأَتۡقَى" (Al-Atqā), orang yang paling bertakwa. Ini merujuk pada para syuhada, shiddiqin, dan orang-orang saleh yang menunaikan kewajiban mereka sepenuhnya. Mereka akan dijamin keselamatan dan dijauhkan dari api neraka. Dalam tradisi tafsir, banyak ulama mengaitkan ayat ini secara khusus dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang terkenal karena membebaskan budak-budak Muslim yang disiksa tanpa mengharapkan imbalan duniawi.
Tafsir: Ayat ini menjelaskan ciri khas Al-Atqā. Tindakan kedermawanan mereka (يُؤۡتِي مَالَهُۥ) memiliki tujuan tunggal: "يَتَزَكَّىٰ" (yatzakkā), yaitu menyucikan diri. Ini adalah konsep sentral. Harta dibelanjakan bukan untuk riya' (pamer), bukan untuk pujian, melainkan untuk membersihkan hati dari sifat kikir, cinta dunia berlebihan, dan dosa.
Konsep Tazkiyah: Tazkiyah (pembersihan diri) melalui harta menunjukkan bahwa harta adalah alat spiritual. Dengan melepaskan harta, seseorang membersihkan dirinya dari ikatan materi dan mengarahkan fokusnya pada Allah.
Tafsir: Ayat ini menekankan kemurnian motivasi orang yang bertakwa. Kedermawanan mereka bukan merupakan balasan atas kebaikan yang pernah diterima dari orang lain (tujzā). Mereka berinfak kepada orang yang tidak bisa membalasnya, atau bahkan kepada orang asing, menegaskan bahwa niat mereka murni karena Allah, bukan karena pertukaran sosial atau kewajiban budi.
Syarat Keikhlasan: Inilah definisi tertinggi dari keikhlasan: memberi tanpa mengharapkan pengembalian, baik berupa materi maupun pujian, bahkan dari orang yang diberi.
Tafsir: Ayat ini adalah puncak dari penjelasan motivasi. Seluruh amal (memberi dan bertakwa) dilakukan hanya karena "ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ" (mencari Wajah/Keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi). Ini adalah definisi Ikhlas (ketulusan). Fokus mereka bukan pada imbalan di dunia, melainkan pada penerimaan dan keridhaan dari Allah SWT. Ini membedakan amal orang beriman dari amal orang kafir yang mungkin berderma hanya untuk pujian.
Tafsir: Surat ditutup dengan janji mutlak: orang yang paling bertakwa itu akan "يَرۡضَىٰ" (merasa puas atau ridha). Kepuasan ini mencakup kepuasan di dunia (ketenangan hati) dan, yang terpenting, kepuasan di akhirat. Kepuasan tertinggi adalah keridhaan Allah terhadap hamba-Nya, yang termanifestasi dalam Surga. Kata "لَسَوۡفَ" (sungguh kelak) memberikan penekanan yang kuat dan kepastian akan janji tersebut, menjamin bahwa pengorbanan di dunia tidak akan sia-sia.
Surat Al-Lail adalah contoh luar biasa dari Balaghah (retorika) Al-Qur'an. Strukturnya yang pendek namun padat menggunakan teknik kontras yang ekstrem untuk memaksimalkan dampak moral dan spiritual pada pendengar. Analisis linguistik ini membantu kita memahami mengapa pesan surat ini begitu kuat dan mengena.
Surat ini dibuka dengan tiga sumpah (ayat 1–3). Penggunaan sumpah oleh Allah berfungsi untuk menarik perhatian pendengar pada pentingnya pernyataan yang akan disampaikan. Sumpah ini dipilih secara cermat, mewakili dualitas universal:
Kesimpulan dari sumpah ini (Ayat 4: Inna Sa’yakum La-syatta) adalah bahwa jika alam semesta begitu terstruktur dalam oposisi yang jelas, maka usaha manusia pun pasti terbagi dalam dua jalur yang tidak mungkin bertemu.
Surat Al-Lail dibangun hampir seluruhnya atas dasar muqabalah (kontras). Ayat 5 hingga 10 menggunakan paralelisme terbalik yang sempurna (chiasmus):
| Jalur Kebaikan (Ayat 5–7) | Jalur Keburukan (Ayat 8–10) |
|---|---|
| Memberi (أَعۡطَىٰ) | Kikir (بَخِلَ) |
| Bertakwa (وَٱتَّقَىٰ) | Merasa Cukup (وَٱسۡتَغۡنَىٰ) |
| Membenarkan Al-Husna (وَصَدَّقَ) | Mendustakan Al-Husna (وَكَذَّبَ) |
| Dimudahkan menuju Kemudahan (لِلۡيُسۡرَىٰ) | Dimudahkan menuju Kesulitan (لِلۡعُسۡرَىٰ) |
Paralelisme ini menciptakan ritme yang menggelegar dan memastikan bahwa pesan tentang konsekuensi pilihan moral tertanam kuat dalam benak pendengar.
Kata Istaghna (merasa cukup) adalah inti dari kesombongan yang dicela dalam surat ini. Secara bahasa, itu berarti "mencari kecukupan/kekayaan." Ketika dikaitkan dengan penolakan terhadap Allah (ayat 8), ia bermakna klaim bahwa kekayaan atau kemampuan pribadi sudah cukup untuk menopang kehidupan, sehingga tidak perlu lagi petunjuk ilahi atau kewajiban moral. Ini bukan hanya masalah kikir harta, tapi kikir rohani.
Ayat 15 dan 17 menggunakan bentuk superlatif (paling):
Penggunaan superlatif menunjukkan bahwa pembagian nasib di akhirat bukanlah antara orang baik dan orang yang sedikit kurang baik, melainkan antara yang mencapai puncak takwa dan yang jatuh ke dasar kekafiran dan penolakan. Ini menegaskan keagungan pahala bagi yang paling ikhlas dan kerasnya azab bagi yang paling sombong.
Ayat 18–20 menyimpulkan definisi sejati dari Al-Atqā (yang paling bertakwa). Penggunaan kata Yatzakkā (menyucikan diri) menunjukkan bahwa kedermawanan bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai kemurnian jiwa. Puncaknya adalah Ibtigha’a Wajhi Rabbihil A’la (mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi). Ini menunjukkan bahwa nilai suatu amal tidak diukur dari ukurannya, tetapi dari kemurnian motivasi di baliknya.
Filosofi ini sangat penting: Al-Qur'an membedakan jelas antara amal yang dilakukan karena Allah (yang membawa kepada Al-Yusra) dan amal yang dilakukan karena pertimbangan duniawi atau bahkan kewajiban balasan (yang tidak dihitung sebagai Tazkiyah).
Meskipun diturunkan pada abad ke-7 Masehi, pesan Surat Al-Lail memiliki relevansi yang sangat mendalam dalam konteks masyarakat modern, terutama yang didominasi oleh materialisme dan konsumsi berlebihan. Surat ini memberikan kacamata spiritual untuk menilai kembali prioritas hidup kita.
Inti dari celaan terhadap orang kikir (ayat 8-10) adalah sikap Istaghna (merasa cukup). Dalam konteks hari ini, sikap ini mewujud dalam:
Surat Al-Lail memperingatkan bahwa kecukupan materi yang mendatangkan kesombongan dan kekikiran justru akan "memudahkan" jalan menuju kehancuran pribadi dan sosial (Al-Usra).
Surat ini tidak hanya memerintahkan kedermawanan, tetapi memasangkannya dengan Takwa (iman) dan Tashdiq (membenarkan janji). Ini mengajarkan bahwa:
Infak tanpa iman (membenarkan janji akhirat) hanyalah tindakan sosial. Iman tanpa infak adalah klaim kosong. Keduanya harus terintegrasi. Tindakan di dunia (memberi) harus ditujukan untuk pembersihan diri (Yatzakkā) demi akhirat (Wajhi Rabbihil A’la).
Oleh karena itu, amal saleh sejati bukan hanya tentang kuantitas, melainkan tentang kualitas niat. Seorang Muslim yang menafkahkan sedikit hartanya dengan ikhlas dan mencari keridhaan Allah lebih utama daripada seorang filantrop yang menafkahkan miliaran untuk mendapatkan nama baik dan pujian manusia.
Jalan menuju Surga digambarkan sebagai "kemudahan" (Al-Yusra). Ini bukan berarti Surga didapat tanpa usaha, melainkan bahwa Allah memudahkan hati orang tersebut untuk menaati perintah-Nya. Orang yang bertakwa mendapati shalat, puasa, dan sedekah terasa ringan dan menyenangkan. Sebaliknya, orang yang memilih jalan kesombongan mendapati jalan menuju keburukan (maksiat, ketidakadilan) terasa mudah, namun hasil akhirnya adalah kesulitan abadi.
Dalam kehidupan sehari-hari, ini berarti bahwa jika kita merasa sulit untuk melakukan kebaikan, kita harus mengevaluasi kembali tingkat takwa dan keikhlasan kita. Kebaikan harus menjadi insting yang dimudahkan oleh Allah sebagai balasan atas kepatuhan kita.
Ayat 19–20 menyoroti bahwa pemberian yang paling berharga adalah yang diberikan tanpa motif balasan, bahkan balas jasa. Hal ini dapat diterapkan dalam konteks sosial:
Orang yang melakukan ini, seperti yang dijanjikan di ayat 21, akan mendapatkan kepuasan (Yardhā) yang melampaui segala kepuasan duniawi, yaitu keridhaan dari Dzat Yang Maha Tinggi.
Kembali ke ayat 3 (penciptaan laki-laki dan perempuan), surat ini secara halus menyentuh konsep keseimbangan. Dalam masyarakat yang seringkali terbagi, baik secara kelas sosial maupun identitas, Al-Lail mengingatkan bahwa dualitas adalah hukum alam yang ditetapkan oleh Allah. Ini mengajarkan pentingnya menerima perbedaan dan mencari keselarasan, sambil tetap berpegang pada satu tujuan utama: mencari keridhaan-Nya melalui amal yang ikhlas.
Kekuatan Surat Al-Lail terletak pada kemampuannya menyaring kompleksitas moral manusia menjadi dua pilihan yang ekstrem dan jelas. Surat ini adalah peta jalan menuju keikhlasan, memotivasi kita untuk terus berinfak, bukan karena takut kemiskinan, tetapi karena keyakinan penuh akan janji Allah SWT.
Pesan akhir surat ini adalah pesan harapan bagi orang yang bertakwa dan dermawan, serta peringatan keras bagi orang yang sombong dan kikir. Dalam setiap kegelapan (Al-Lail) dan setiap cahaya (An-Nahār) kehidupan, pilihan untuk berbuat baik selalu terbuka, dan pilihan itu menentukan nasib abadi.
Meskipun Surat Al-Lail adalah surat Makkiyah yang fokus pada akidah dan moralitas, konsep-konsep yang terkandung di dalamnya memiliki implikasi besar dalam hukum Islam (Fiqh) terkait harta dan niat. Pemahaman mendalam tentang kedermawanan dan takwa yang disebutkan di surat ini memengaruhi bagaimana ulama mendefinisikan sedekah yang diterima dan amal yang membawa pahala.
Ayat 8 mencela Bakhila (kikir). Dalam Fiqh, kekikiran dapat diklasifikasikan menjadi dua:
Konsekuensi dari Bukhul adalah penutupan diri dari kemudahan Allah (Al-Yusra). Seseorang yang kikir akan mendapati bahwa, semakin ia menimbun, semakin ia diliputi rasa takut kehilangan, yang pada akhirnya membawa kepada kesulitan psikologis dan spiritual, jauh sebelum kesulitan di akhirat.
Ayat 19 dan 20 adalah landasan utama dalam Fiqh dan Usul Fiqh mengenai syarat diterimanya amal. Kriteria yang digariskan adalah:
Dengan demikian, Al-Lail menetapkan standar tertinggi bagi amal: bukan hanya perbuatan baik, tetapi perbuatan baik yang dilakukan dengan hati yang murni, sebagai sarana Tazkiyah (pembersihan diri).
Surat Al-Lail sering kali dipelajari bersama dengan surat-surat Makkiyah pendek yang mendahuluinya, terutama Al-Fajr, Al-Balad, dan Asy-Syams. Ada hubungan tematik yang erat (Munāsabah) di antara surat-surat ini yang memperkuat pesan moral Al-Lail.
Surat Asy-Syams (ke-91) dibuka dengan sumpah-sumpah alamiah (Matahari, Bulan, Siang, Malam) untuk menegaskan dualitas fitrah manusia: ilham untuk berbuat kebaikan (fujur) dan ketakwaan (taqwa). Al-Lail mengambil tema dualitas ini dan mengembangkannya secara spesifik pada konsekuensi perbuatan.
Jika Asy-Syams mengatakan, "Sungguh beruntung orang yang menyucikannya," maka Al-Lail menjelaskan, "Inilah cara menyucikannya: dengan memberi dan bertakwa dengan ikhlas."
Surat Al-Fajr (ke-89) mencela orang-orang yang mencintai harta secara berlebihan dan tidak memuliakan anak yatim serta tidak menganjurkan pemberian makan orang miskin (ayat 17–20). Al-Lail menyediakan solusi langsung untuk masalah ini: yaitu melalui kedermawanan dan takwa (ayat 5–7).
Orang-orang yang dicela di Al-Fajr adalah mereka yang memandang harta sebagai sumber kekekalan. Ini persis dengan karakter Istaghna (merasa cukup) di Surat Al-Lail, yang merasa hartanya akan menyelamatkan mereka bahkan ketika mereka jatuh ke dalam neraka (ayat 11).
Salah satu kata kunci terpenting dalam Surat Al-Lail adalah "ٱلۡحُسۡنَىٰ" (Al-Husna) yang disebutkan di ayat 6 dan 9. Memahami cakupan maknanya sangat penting untuk memahami mengapa mendustakannya menghasilkan kesulitan.
Interpretasi Al-Husna tidak terbatas pada satu makna, melainkan mencakup beberapa lapisan:
Sebagian besar Sahabat Nabi, termasuk Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar, menafsirkan Al-Husna sebagai Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Jika ini yang dimaksud, maka makna ayat 6 adalah:
"Dan membenarkan kalimat Tauhid dengan amal perbuatannya."
Kedermawanan dan takwa mereka adalah bukti nyata dari kebenaran Tauhid di hati mereka. Sebaliknya, orang kikir (ayat 9) mendustakan Tauhid karena jika mereka benar-benar percaya pada Allah dan janji-Nya, mereka tidak akan takut kehilangan harta.
Pendapat lain, didukung oleh Al-Hasan Al-Basri, menyatakan bahwa Al-Husna adalah janji pahala terbaik di akhirat, yaitu Surga. Mereka yang berbuat baik percaya bahwa pengorbanan mereka di dunia akan dibalas dengan kekekalan yang agung, sementara orang kikir tidak percaya pada keberadaan Surga atau meremehkannya.
Beberapa ulama menafsirkan Al-Husna sebagai janji Allah untuk mengganti harta yang diinfakkan (Khalaf). Allah berfirman di tempat lain bahwa harta yang diinfakkan akan diganti berlipat ganda. Orang bertakwa membenarkan janji ini, sehingga mereka berinfak dengan yakin. Orang kikir mendustakannya, takut hartanya berkurang, sehingga mereka menahan diri.
Kesimpulan Makna: Al-Husna adalah paket lengkap keyakinan yang mencakup Tauhid, risalah Nabi, Hari Akhir, dan janji balasan. Mendustakannya (kadzaba bil-husna) adalah manifestasi dari kekufuran total yang menjadi ciri Al-Asyqa (yang paling celaka).
Untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif, penting untuk melihat riwayat yang mengaitkan Surat Al-Lail dengan dua tokoh nyata di masa Nabi Muhammad SAW.
Mayoritas riwayat tafsir, termasuk yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, Tirmidzi, dan Ibnu Abi Hatim, mengaitkan ayat 17 hingga 21 dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Kisah yang paling terkenal adalah mengenai pembebasan budak-budak Muslim di Mekkah.
Pada masa awal Islam, budak yang masuk Islam sering disiksa dengan kejam oleh tuan mereka. Abu Bakar seringkali membebaskan budak-budak ini dengan membeli mereka dari tuannya. Contoh yang paling terkenal adalah Bilal bin Rabah. Tuan Bilal, Umayyah bin Khalaf, adalah musuh bebuyutan Islam.
Para musuh Islam berkata kepada Abu Bakar, "Mengapa kamu membebaskan budak-budak yang lemah ini? Mereka tidak akan bisa membalas jasa atau membantumu dalam urusan dunia." Mereka menduga Abu Bakar memiliki maksud tersembunyi, mungkin untuk mendapatkan budak yang kuat untuk membantunya berdagang.
Ayat 19 dan 20 secara langsung membantah tuduhan ini: "وَ مَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعۡمَةٖ تُجۡزَىٰٓ إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ" (Tidak ada padanya nikmat yang harus dibalas, kecuali semata-mata mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi).
Riwayat ini mengukuhkan bahwa kedermawanan sejati, yang membawa kepada gelar Al-Atqā, adalah kedermawanan yang murni tanpa mengharapkan balasan apa pun dari penerima, bahkan pujian atau rasa terima kasih, melainkan hanya mengharapkan balasan dari Allah SWT.
Sebaliknya, figur Al-Asyqa (orang yang paling celaka) dan kikir (Ayat 8–11) sering dihubungkan dengan figur-figur kafir dan sombong di Mekkah, seperti Umayyah bin Khalaf atau Abu Jahal, yang menimbun harta dan menolak untuk membantu orang miskin atau mendukung dakwah Nabi.
Riwayat lain mengaitkan ayat ini dengan seorang Anshar yang sangat kikir dan menahan hartanya, menolak berinfak, dan menganggap harta adalah hasil jerih payahnya semata, tanpa campur tangan Ilahi. Terlepas dari identitas spesifiknya, figur Al-Asyqa mewakili puncak dari kesombongan materialistik: percaya pada diri sendiri (Istaghna) dan mendustakan janji Tuhan (Kadzdzaba Bil-Husna).
Studi kasus historis ini membuktikan bahwa Surat Al-Lail adalah respons langsung terhadap dinamika sosial dan moral yang terjadi di Mekkah, memberikan standar yang jelas mengenai siapa yang akan mendapatkan keselamatan abadi dan siapa yang akan binasa.
Surat Al-Lail, meskipun singkat, menyampaikan prinsip-prinsip kosmik dan moral yang abadi. Dari sumpah yang meliputi malam dan siang, hingga penegasan dualitas fundamental dalam amal manusia, surat ini berfungsi sebagai peringatan sekaligus panduan.
Pesan utamanya adalah bahwa hidup adalah serangkaian pilihan upaya (sa’y). Setiap individu secara aktif memilih jalur kehidupannya—jalan kemudahan yang dihiasi dengan takwa dan kedermawanan yang ikhlas, atau jalan kesulitan yang diwarnai oleh kekikiran dan kesombongan spiritual.
Janji penutup, "وَ لَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ" (Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan), adalah hadiah teragung bagi mereka yang berkorban di dunia untuk menyucikan diri. Kepuasan ini bukanlah sekadar imbalan, melainkan pencapaian tujuan tertinggi eksistensi manusia: keridhaan Allah Yang Maha Tinggi.