Surat Al Insyirah, Penjagaan Ilahi dan Janji Kelapangan.
Surat Al Insyirah (Alam Nasyrah), merupakan salah satu surat Makkiyah yang diturunkan pada masa-masa sulit awal dakwah Nabi Muhammad SAW. Dinamakan Al Insyirah, yang secara harfiah berarti Kelapangan atau Pembukaan, merujuk pada ayat pertama yang menanyakan, "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?"
Struktur tematik Surat Al Insyirah terdiri dari rangkaian janji ilahi yang bertujuan untuk menguatkan hati Rasulullah SAW dan, secara universal, hati setiap hamba yang berada dalam kesulitan. Surat ini merupakan pasangan spiritual bagi Surat Ad-Dhuha, karena keduanya diturunkan setelah periode wahyu terhenti (*fatra*), memberikan hiburan dan jaminan ketenangan dari Allah SWT.
Secara keseluruhan, surat ini surat al insyirah terdiri dari delapan ayat yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian tematik utama, yang masing-masing berfungsi sebagai pilar penyangga bagi keimanan dan motivasi seorang mukmin:
Ketiga pilar ini saling terkait, menunjukkan bahwa kelapangan hati yang diberikan Allah (Pilar 1) adalah modal untuk menerima janji-Nya (Pilar 2), dan sebagai hasilnya, kita diperintahkan untuk terus berjuang dan berharap hanya kepada-Nya (Pilar 3).
Ayat-ayat awal ini berfungsi sebagai pengantar yang membangkitkan, mengingatkan Nabi Muhammad SAW tentang anugerah yang telah diberikan kepadanya, yang secara tidak langsung mengatasi kesedihan dan tekanan yang dialaminya saat itu.
Kata kunci di sini adalah نَشْرَحْ (nasyrah), yang berarti melapangkan, membuka, atau memperluas. Makna "melapangkan dada" (*Syarh as-Sadr*) dalam konteks ini sangat luas dan mendalam, jauh melampaui makna fisik semata. Ia terdiri dari beberapa dimensi utama:
Makna paling fundamental adalah kesiapan hati untuk menerima beban risalah yang amat berat. Allah SWT telah membersihkan dan melapangkan hati Nabi sehingga ia mampu menampung ajaran, hukum, dan kebenaran yang diturunkan dari langit. Tanpa kelapangan spiritual ini, tekanan dakwah dan penolakan kaumnya akan menghancurkan jiwa. Ini adalah kelapangan yang diberikan khusus bagi para nabi dan rasul. Hati yang lapang adalah gudang ilmu ilahi dan hikmah yang tak terbatas.
Ini merujuk pada ketenangan batin, keimanan yang kokoh, dan kemampuan untuk bersabar menghadapi ujian. Ketika hati dilapangkan, rasa waswas, keraguan, dan kesempitan jiwa dihilangkan. Hati menjadi tempat berlabuhnya kebahagiaan sejati, meskipun tantangan eksternal tetap ada. Ini adalah kelapangan yang dibutuhkan setiap mukmin, menjadikan hati mampu memaafkan, menerima takdir, dan tetap berhusnuzan (berprasangka baik) kepada Allah.
Kelapangan ini merupakan komponen krusial dalam menghadapi fitnah dan godaan dunia. Semakin lapang dada seseorang, semakin ia mampu melihat perspektif jangka panjang dari kehidupan akhirat, sehingga kesulitan dunia terasa kecil dan sementara. Syarh as-Sadr adalah fondasi dari seluruh ketenangan psikologis yang bersumber dari spiritualitas tauhid.
Pada masa awal Islam, Nabi Muhammad SAW menghadapi ejekan, penganiayaan, dan penolakan keras. Pelapangan dada adalah penangkal ilahi terhadap keputusasaan. Allah mengingatkan Nabi bahwa beban emosional dan mental yang ia rasakan telah diatasi oleh karunia kelapangan hati yang jauh lebih besar. Kelapangan ini memberinya kekuatan untuk terus maju, meskipun seluruh dunia menentangnya. Inilah yang menjadi inspirasi bagi para *da'i* (penyeru agama) di setiap zaman.
Ayat ini berbicara tentang وِزْرَكَ (wizrak), yang berarti beban atau tanggungan. Beban ini, yang digambarkan "memberatkan punggungmu" (*anqada zhahrak*), juga memiliki dimensi berlapis dalam konteks tafsir.
Salah satu penafsiran mengacu pada dosa atau kesalahan masa lalu yang mungkin dirasakan Nabi sebelum kenabian, yang kini telah diampuni sepenuhnya, sesuai dengan janji Allah dalam Surat Al-Fath. Namun, para ulama lebih condong pada interpretasi yang berhubungan dengan beban kenabian, karena Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang terjaga (*ma'sum*) dari dosa besar.
Ini adalah makna yang paling dominan. Wizr di sini adalah beban beratnya amanah kenabian:
Ayat keempat ini merupakan puncak dari karunia ilahi di bagian pertama. Allah menjanjikan pengangkatan derajat dan sebutan (nama) Nabi Muhammad SAW. Ini adalah salah satu karunia terbesar yang diterima Rasulullah, dan pelaksanaannya dapat disaksikan secara universal hingga hari ini. Rafa'na Laka Dzikrak (Kami tinggikan bagimu sebutanmu) terdiri dari realisasi berikut:
Nama Muhammad disandingkan dengan nama Allah dalam setiap aspek fundamental ibadah dan keimanan:
Pengangkatan derajat juga merujuk pada kedudukan istimewa beliau di Akhirat, yaitu Maqam Mahmud (tempat yang terpuji), di mana beliau akan diberikan hak Syafa'at Agung (intercession) bagi seluruh umat manusia pada Hari Perhitungan.
Inti filosofis dan teologis Surat Al Insyirah terletak pada penegasan yang diulang dua kali, menjadikannya janji yang mutlak dan tak terbantahkan. Ayat ini mengubah perspektif manusia tentang kesulitan.
Pengulangan dua kali ini bukan sekadar penegasan retoris, melainkan memiliki makna linguistik yang sangat mendalam dan kritis. Struktur surat al insyirah terdiri dari prinsip kebahasaan yang membuktikan bahwa satu kesulitan pasti akan diikuti oleh dua kemudahan.
Dalam Bahasa Arab, penggunaan kata benda yang diawali dengan Al- (Alif Lam, *definitive article*) menunjukkan benda yang spesifik atau telah diketahui, sementara kata benda tanpa *Al-* (disebut *nakirah* atau *indefinite article*) menunjukkan sesuatu yang umum atau banyak.
Kesimpulannya, secara linguistik, ayat ini berjanji bahwa satu kesulitan (Al-'Usr) akan diiringi oleh dua kemudahan (Yusra). Kesulitan itu terbatas, sedangkan kemudahan itu berlipat ganda, tak terbatas, dan tak terduga datangnya.
Kata kunci lainnya adalah مَعَ (ma'a), yang berarti "bersama". Allah tidak mengatakan "setelah kesulitan akan datang kemudahan," tetapi "bersama kesulitan ada kemudahan." Ini menunjukkan bahwa kemudahan itu tidak harus menunggu kesulitan berakhir; seringkali, benih kemudahan, hikmah, atau pahala telah hadir bahkan di tengah-tengah perjuangan menghadapi kesulitan itu sendiri. Contoh: ketabahan yang tumbuh, hubungan yang semakin erat dengan Allah, atau pahala sabar yang dikumpulkan.
Janji ini berlaku universal, tidak hanya untuk Nabi Muhammad SAW, tetapi bagi setiap hamba yang beriman dan bersabar. Setiap kesulitan hidup—baik itu kemiskinan, penyakit, kesedihan, kehilangan, atau kegagalan—sudah memiliki "pasangan" kemudahannya yang pasti telah ditetapkan Allah. Pemahaman ini berfungsi sebagai mata air harapan yang tak pernah kering bagi jiwa yang tertekan.
Setelah memberikan hiburan melalui pengingat karunia masa lalu dan janji masa depan, surat ini diakhiri dengan perintah praktis yang mengarahkan energi Nabi dan umatnya untuk terus beribadah dan berharap hanya kepada Allah. Ini adalah perintah untuk menggunakan kelapangan yang telah diberikan.
Ayat ini adalah perintah untuk konsistensi dalam amal. Kata فَرَغْتَ (faraghta) berarti selesai atau tuntas, sementara فَانصَبْ (fanshab) berarti bekerja keras, mengerahkan diri, atau berpayah-payah.
Jika Nabi Muhammad SAW telah selesai dari tugas dakwah di siang hari atau selesai dari shalat wajib, maka ia harus segera mengerahkan dirinya untuk ibadah lain, seperti qiyamullail (shalat malam). Tidak ada waktu luang sejati bagi seorang mukmin selain waktu yang digunakan untuk beristirahat agar bisa beramal kembali.
Secara umum, ayat ini mengajarkan etos kerja Islam: Jangan biarkan ada kekosongan. Setelah selesai dari satu proyek duniawi (misalnya, mencari nafkah), segera alihkan energi ke proyek akhirat (misalnya, membaca Al-Qur'an atau bersedekah). Prinsipnya adalah selalu berada dalam keadaan usaha dan produktivitas yang diridhai, berpindah dari satu ketaatan ke ketaatan yang lain, tanpa pernah berdiam diri dalam kemalasan.
Ayat ini menegaskan nilai waktu. Ketika beban risalah telah diangkat (ayat 2-3), kelapangan hati telah diberikan (ayat 1), dan janji kemudahan telah diikrarkan (ayat 5-6), maka tidak ada alasan untuk bermalas-malasan. Kelapangan adalah modal, bukan alasan untuk bersantai. Kekosongan waktu harus diisi dengan pengerahan diri yang baru.
Ayat penutup ini memberikan arahan yang jelas mengenai niat dan tujuan dari segala pengerahan diri yang diperintahkan di ayat sebelumnya. فَارْغَب (farghab) berarti berharap dengan penuh kerinduan, berorientasi, atau memfokuskan keinginan.
Ayat ini mengajarkan *tawakkul* (berserah diri) yang sempurna. Setelah bekerja keras (*fanshab*), hasilnya harus diserahkan kepada Allah semata. Harapan dan orientasi tidak boleh tertuju pada pujian manusia, hasil materi, atau keuntungan duniawi, melainkan murni kepada keridhaan Allah SWT. Harapan yang terfokus ini menjamin bahwa setiap usaha, sekecil apapun, akan tercatat sebagai ibadah.
Ini adalah pengingat untuk menjaga keikhlasan (*ikhlas*). Tujuan dari segala aktivitas dan ibadah, termasuk dakwah, mencari nafkah, dan membantu sesama, harus dikembalikan kepada *Rabbika* (Tuhanmu). Ini mencegah munculnya sifat riya' (pamer) atau mencari pengakuan dari makhluk. Harapan yang sejati adalah kembalinya kepada Pencipta, sumber segala kemudahan.
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana surat al insyirah terdiri dari prinsip-prinsip spiritual yang kokoh, kita harus mengkaji konteks penurunan surat ini (*Asbabun Nuzul*) dan bagaimana konsep-konsep kuncinya dapat diterapkan secara luas dalam kehidupan modern.
Surat Al Insyirah diturunkan setelah Surat Ad-Dhuha, pada masa-masa awal dakwah di Mekkah yang penuh tekanan. Periode ini ditandai dengan:
Konsep pelapangan dada (*Syarh as-Sadr*) adalah tema sentral yang terus diulang dalam Al-Qur'an, seringkali dikaitkan dengan hidayah dan kesiapan menerima kebenaran. Syarh as-Sadr terdiri dari tiga elemen penting:
Seperti yang disinggung dalam kisah pembedahan dada Nabi (yang dipahami secara harfiah dan metaforis), pelapangan dada adalah proses pembersihan hati dari kotoran syahwat dan keraguan. Hati yang lapang adalah hati yang bersih, siap menerima cahaya iman. Dalam terminologi psikologi modern, ini setara dengan memiliki ketahanan emosional dan kejernihan mental yang luar biasa.
Seseorang dengan dada yang lapang memiliki kapasitas untuk menghadapi kritik, kekecewaan, dan pengkhianatan tanpa hancur. Ini adalah kemampuan untuk membalas keburukan dengan kebaikan, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW saat menghadapi musuh-musuhnya. Kelapangan hati adalah lawan dari kedengkian, kebencian, dan sempitnya pikiran.
Surat Az-Zumar (39:22) mengaitkan Syarh as-Sadr dengan hidayah: "Maka apakah orang yang dilapangkan Allah dadanya untuk (menerima) Islam, lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang tidak dilapangkan dadanya)?" Kelapangan dada memungkinkan seseorang melihat kebenaran dengan jelas dan mengikutinya dengan mantap, meskipun banyak rintangan.
Janji tentang kemudahan setelah kesulitan (Ayat 5 dan 6) adalah sumbu moral seluruh surat. Kita perlu memperluas pemahaman tentang bagaimana kesulitan dan kemudahan itu berinteraksi dalam kehidupan manusia. Struktur *Inna ma'al 'usri yusra* terdiri dari pelajaran takdir dan keimanan yang mendalam:
Kesulitan (*Al-'Usr*) bukanlah hukuman, melainkan alat ilahi untuk menguji dan memurnikan keimanan. Jika seseorang melalui kesulitan dengan kesabaran, ia akan keluar sebagai pribadi yang lebih kuat. Kesulitan adalah syarat wajib untuk mencapai kemudahan spiritual dan pahala yang abadi. Tanpa kesulitan, pahala kesabaran tidak mungkin terwujud.
Karena kemudahan itu "bersama" kesulitan (*ma'a*), kita harus mencari kemudahan yang hadir di tengah cobaan:
Ini adalah kemudahan yang datang setelah kesulitan berlalu. Dalam konteks Nabi Muhammad SAW, kesulitan Mekkah (pengasingan, penolakan) digantikan oleh kemudahan Hijrah dan kemenangan di Madinah. Bagi seorang mukmin, kesulitan duniawi pasti akan diakhiri oleh kemudahan duniawi (solusi, rezeki tak terduga) dan, yang paling utama, kemudahan Akhirat (surga).
Pengulangan janji ini adalah semacam "asuransi ilahi" yang menjamin bahwa janji tersebut tidak akan pernah dibatalkan. Bagi seseorang yang sedang menghadapi krisis keuangan, janji ini adalah motivasi untuk bekerja keras (Ayat 7) sambil berharap hanya kepada Allah (Ayat 8). Bagi seseorang yang berjuang melawan penyakit, janji ini adalah penenang bahwa kesabarannya akan dibalas dengan pahala yang melimpah dan kesembuhan di dunia atau di akhirat.
Perintah untuk berjuang (*Fanshab*) dan berharap (*Farghab*) merupakan panduan etika kerja dan spiritual yang integral. Ia menolak ekstremitas antara aktivisme duniawi yang kosong dan pasivitas spiritual yang berlebihan.
Ayat 7 menolak konsep bahwa seorang mukmin harus menunggu takdir datang tanpa usaha. Bahkan setelah menyelesaikan tugas yang paling mulia (dakwah), Nabi diperintahkan untuk segera beralih ke tugas lain (ibadah). Prinsip Fanshab terdiri dari:
Ayat 8 berfungsi sebagai katup pengaman spiritual. Ia mencegah kerja keras (*Fanshab*) menjadi sia-sia karena motivasi yang salah. Jika seseorang bekerja keras demi pujian atau harta, ia akan mudah kecewa. Tetapi jika ia berjuang semata-mata karena Allah, maka hasilnya selalu baik, entah itu sukses di mata manusia atau sekadar pahala di sisi Allah.
Kata Farghab menyiratkan kerinduan yang mendalam. Berharap kepada Allah bukan sekadar meminta, tetapi mencintai apa yang ada di sisi-Nya dan berusaha keras mendapatkannya. Ini adalah orientasi ulang dari hati yang tertekan kepada hati yang fokus pada Ilahi.
Surat Al Insyirah adalah surat yang berulang-ulang menegaskan satu poin: bantuan Allah itu nyata. Setiap komponen dari surat ini berfungsi sebagai penangkal terhadap keputusasaan, dan pengulangan maknanya (yang mencapai ribuan kata dalam konteks tafsir) menunjukkan betapa pentingnya pesan ini bagi psikologi spiritual seorang mukmin.
Pengangkatan beban yang memberatkan punggung bukan hanya berarti Allah meringankan pekerjaan fisik Nabi, tetapi juga memberikan ketenangan atas nasib kaumnya. Dalam tafsir, ini diinterpretasikan sebagai jaminan bahwa meskipun banyak yang menolak risalahnya, Nabi telah menunaikan tugasnya dengan sempurna. Beban kegagalan telah diangkat karena keberhasilan tidak ditentukan oleh jumlah pengikut, melainkan oleh ketaatan dalam menyampaikan risalah.
Bagi mukmin, ini berarti bahwa beban dosa masa lalu, kekhawatiran masa depan, dan tekanan tanggung jawab hidup telah diatasi melalui taubat, istighfar, dan tawakal. Kekuatan untuk menghadapi hari esok telah diletakkan dalam hati sejak awal melalui Syarh as-Sadr.
Peninggian nama Nabi (*Rafa'na Laka Dzikrak*) adalah bukti bahwa segala kesulitan dan penderitaan beliau bersifat sementara, sementara kemuliaan beliau bersifat abadi. Pengulangan janji ini menguatkan bahwa setiap usaha yang dilakukan demi Allah akan menghasilkan pengakuan dan kemuliaan yang melampaui batas-batas duniawi.
Setiap kali umat Islam menyebut nama Rasulullah dalam ibadah, seolah-olah ayat ini dihidupkan kembali. Ini adalah pengingat bahwa meskipun Nabi saat itu menghadapi penolakan di Mekkah, namanya sudah didengar dan akan terus didengar di seluruh penjuru bumi dan langit. Peninggian ini terdiri dari kehormatan di dunia dan keutamaan di akhirat.
Janji *Inna ma'al usri yusra* diulang karena hati manusia cenderung lupa. Ketika kesulitan memuncak, nalar seringkali gagal melihat jalan keluar. Pengulangan ini adalah pengobatan langsung bagi jiwa yang dilanda keputusasaan. Allah menegaskan, melalui pengulangan, bahwa hukum alam ilahi adalah siklus kesulitan menuju kemudahan. Kemudahan itu adalah kepastian.
Secara ringkas, surat al insyirah terdiri dari instruksi spiritual yang lengkap, mulai dari penguatan identitas (Ayat 1-4) hingga jaminan masa depan (Ayat 5-6) dan perintah aksi (Ayat 7-8). Surat ini mengajarkan bahwa kelapangan hati (Insyirah) bukanlah hasil dari hilangnya masalah, melainkan hasil dari hubungan yang kokoh dengan Sang Pencipta.
Kelapangan itu muncul ketika kita menyadari bahwa Allah telah mengurus hal-hal terbesar dalam hidup kita (Syarh as-Sadr dan Wizr), menjamin bahwa masalah kita terbatas dan akan segera berlalu (*Al-'Usr* vs *Yusra*), dan hanya menuntut kita untuk bekerja keras dan fokus berharap hanya kepada-Nya (*Fanshab wa Farghab*).
Keseimbangan antara usaha keras di ayat 7 dan harapan murni di ayat 8 adalah kunci. Tanpa usaha, harapan hanyalah angan-angan. Tanpa harapan kepada Allah, usaha hanyalah keletihan yang kosong. Surat Al Insyirah adalah formula ilahi untuk mencapai ketenangan abadi di tengah hiruk pikuk kehidupan.
Mari kita kaji lebih dalam mengapa penegasan ganda tentang kemudahan ini begitu vital sehingga Allah harus mengulanginya dengan konstruksi linguistik yang presisi. Para ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir dan Fakhruddin Ar-Razi, berpendapat bahwa pengulangan ini berfungsi untuk mengokohkan fondasi keyakinan umat.
Banyak ulama menafsirkan dua kemudahan (*Yusra* jamak) sebagai:
Sebaliknya, *Al-'Usr* yang bersifat definitif (*Alif Lam*) mengajarkan kita bahwa kesulitan itu memiliki batas yang jelas. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri, "Satu kesulitan tidak akan pernah mampu mengalahkan dua kemudahan." Ini memberikan perspektif bahwa kesulitan hanyalah sebuah titik, sementara kemudahan adalah garis yang membentang tak terbatas.
Faktor-faktor yang surat al insyirah terdiri dari untuk memenangkan pertarungan melawan kesulitan adalah: kepercayaan mutlak pada janji ini, kesabaran, dan kerja keras yang ikhlas. Tanpa ketiganya, kesulitan akan terasa membebani tanpa akhir.
Kedua surat ini sering dilihat sebagai sepasang yang saling melengkapi, diturunkan untuk merespons kekhawatiran yang sama pada masa-masa sulit wahyu:
Perintah *Fanshab* (berjuang keras) juga dapat ditafsirkan sebagai perintah untuk menjadikan seluruh waktu sebagai ibadah. Setiap detik yang dihabiskan untuk istirahat pun harus diniatkan agar memiliki energi untuk ibadah berikutnya. Konsep Fanshab terdiri dari dedikasi total seorang hamba kepada tugasnya.
Ketika seseorang telah menyelesaikan tugas profesionalnya (misalnya sebagai insinyur, dokter, atau guru), ia harus segera mengalihkan fokus dan pengerahan dirinya kepada tugas kemanusiaan atau spiritual (seperti mengajar anak yatim, mendidik masyarakat, atau mengurus rumah tangga dengan sabar). Dalam Islam, tidak ada pemisahan kaku antara pekerjaan spiritual dan sekuler; keduanya harus diintegrasikan melalui niat yang benar (*Farghab*).
Ketika seseorang selesai dari satu ibadah (misalnya puasa Ramadhan), *Fanshab* berarti ia harus segera berjuang untuk ibadah sunah lainnya (misalnya puasa Syawal). Perjuangan ini adalah perjuangan melawan hawa nafsu dan kecenderungan untuk bermalas-malasan. Hati yang telah dilapangkan (Ayat 1) harus senantiasa digunakan untuk berjuang di jalan yang lurus.
Dalam era modern, di mana tekanan mental dan krisis identitas semakin parah, Surat Al Insyirah menawarkan terapi spiritual yang ampuh. Empat poin utama surat al insyirah terdiri dari jawaban atas kegelisahan modern:
Ayat 1-4 memberikan validasi bahwa perasaan terbebani itu nyata, tetapi Allah telah menyediakan mekanisme untuk menghilangkannya. *Syarh as-Sadr* adalah anti-depresi ilahi. Ketika seseorang merasa tertekan oleh tuntutan hidup, ia diingatkan bahwa Allah telah memberinya kapasitas internal untuk menahan beban itu.
Ayat 5-6 menolak pandangan bahwa penderitaan itu tanpa arti. Dalam pandangan Islam, penderitaan selalu memiliki arti dan tujuan, karena ia selalu diikuti oleh janji kemudahan yang berlipat ganda. Ini memberikan harapan radikal di tengah keputusasaan global.
Ayat 7-8 memberikan panduan bagi para profesional yang mencari makna dalam pekerjaan mereka. Bekerja keras (*Fanshab*) menjadi bermakna karena tujuannya bukan hanya gaji atau jabatan, tetapi keridhaan Allah (*Farghab*). Ini mengubah pekerjaan biasa menjadi ibadah yang mendatangkan pahala.
Pengangkatan derajat (Ayat 4) memberikan identitas yang kuat dan kekal, yang tidak tergantung pada kesuksesan atau kegagalan duniawi. Nama seorang mukmin yang berjuang akan diangkat di sisi Allah, terlepas dari pengakuan manusia.
Kelapangan hati yang dianugerahkan dalam Surat Al Insyirah adalah karunia abadi. Karunia ini memastikan bahwa meskipun dunia terus berputar dengan tantangan, hati seorang mukmin akan selalu menemukan titik tenang. Hikmah utama yang surat al insyirah terdiri dari adalah: fokus pada karunia yang telah diberikan, percaya pada janji yang diucapkan, dan terus berjuang serta berharap hanya kepada Rabb semesta alam.
Pada akhirnya, Surat Al Insyirah adalah seruan optimisme tertinggi. Ia bukan sekadar janji bahwa kesulitan akan berlalu, tetapi janji bahwa kemudahan sudah hadir bersama kesulitan. Tugas kita adalah menyadarinya, memanfaatkan kelapangan yang telah diberikan, dan mengarahkan seluruh hasrat dan perjuangan kita hanya menuju Allah SWT.
Semoga kita semua diberikan kelapangan dada untuk menerima kebenaran, kekuatan untuk memikul amanah, dan keikhlasan untuk berjuang hanya demi keridhaan-Nya. Amin.