Simbol Gua (Al-Kahfi) tempat para pemuda beriman mencari perlindungan.
Surat Al-Kahfi (Gua) adalah salah satu surat yang penuh dengan kisah-kisah menakjubkan yang mengandung pelajaran mendalam bagi umat manusia. Diturunkan di Makkah, surat ini berfungsi sebagai penenang jiwa dan panduan menghadapi empat fitnah utama: fitnah agama (kisah Ashabul Kahfi), fitnah harta (kisah dua pemilik kebun), fitnah ilmu (kisah Nabi Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (kisah Dzulqarnain).
Di antara kisah-kisah tersebut, cerita tentang Ashabul Kahfi—para pemuda beriman yang tidur di dalam gua selama berabad-abad—menjadi pusat perhatian. Ayat ke-22 dari surat ini secara khusus membahas perselisihan di kalangan manusia tentang jumlah pasti pemuda tersebut, sebuah perselisihan yang diakhiri dengan penegasan tegas dari Allah SWT bahwa Pengetahuan mutlak hanya milik-Nya.
Untuk memahami konteks dan inti dari pembahasan, sangat penting merujuk kepada lafazh asli dari ayat tersebut. Ayat 22 Surah Al-Kahfi berbunyi:
Ayat ini secara eksplisit mencantumkan tiga pandangan utama mengenai jumlah Ashabul Kahfi yang telah menjadi perdebatan sejak lama, bahkan di kalangan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) pada masa Nabi Muhammad ﷺ. Perdebatan ini, yang kemudian diadopsi oleh sebagian kaum musyrikin Makkah, adalah ujian terhadap sumber pengetahuan yang autentik.
Frasa ثَلَاثَةٌ رَّابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ (thalāthatun rābi’uhum kalbuhum – tiga orang, yang keempat adalah anjingnya) adalah pendapat pertama yang dicatat. Dalam konteks narasi Al-Qur’an, penyebutan urutan ini biasanya diawali oleh pihak yang memiliki pengetahuan terbatas atau yang cenderung menduga-duga. Pendapat ini menunjukkan minimnya pemahaman mendalam tentang kisah tersebut, dan seringkali pendapat ini dianggap sebagai pandangan yang paling jauh dari kebenaran oleh para mufassir.
Frasa berikutnya adalah خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ (khamsatun sādisuhum kalbuhum – lima orang, yang keenam adalah anjingnya). Pandangan ini dianggap sedikit lebih baik daripada pandangan pertama, namun masih dikategorikan oleh Allah sebagai رَجْمًا بِالْغَيْبِ (rajmā bi al-ghayb – terkaan terhadap yang gaib). Penggunaan kata *rajmā* yang berarti melempar atau menduga secara liar menunjukkan bahwa kedua pandangan ini—tiga dan lima—bukanlah pengetahuan yang didasarkan pada wahyu atau bukti pasti, melainkan spekulasi belaka.
Pandangan ketiga adalah سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ (sab'atun wa tsāminuhum kalbuhum – tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya). Pandangan ini dicatat berbeda dari dua pandangan sebelumnya. Para ulama tafsir, termasuk Ibnu Katsir, umumnya berpendapat bahwa penyebutan pandangan ketiga ini dalam konteks yang berbeda mengindikasikan bahwa inilah jumlah yang benar, atau paling tidak, jumlah inilah yang mendekati kebenaran, sebagaimana diketahui oleh Allah.
Perbedaan mendasar dalam struktur kalimat Arabnya memperkuat asumsi ini. Dua pandangan pertama diikuti langsung oleh kata *rajmā bi al-ghayb*, yang menegaskan bahwa keduanya hanyalah spekulasi. Sementara itu, pandangan ketujuh dipisahkan, menyiratkan bahwa pandangan ini berasal dari sumber yang lebih terpercaya atau minimal memiliki bobot kebenaran yang lebih besar di mata mereka yang berilmu.
Poin paling kritis dalam Ayat 22 bukanlah angka itu sendiri, melainkan kritikan ilahi terhadap praktik spekulasi tentang hal ghaib. Frasa رَجْمًا بِالْغَيْبِ adalah teguran keras yang memiliki implikasi teologis mendalam.
Kata rajm secara harfiah berarti "melempar batu" atau "menghukum dengan lemparan batu." Dalam konteks bahasa, ia bermakna "menebak secara liar," "mengucapkan sesuatu tanpa dasar," atau "berspekulasi." Ketika Allah menggunakan frasa ini, Dia menggarisbawahi bahwa perdebatan tentang jumlah pastinya adalah sia-sia karena tidak didasarkan pada ilmu yang pasti, melainkan hanya tebakan yang dilemparkan ke dalam kegelapan (ghaib).
Pentingnya frasa rajmā bi al-ghayb ditekankan karena dua pandangan awal (tiga dan lima) dianggap berasal dari orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan sejati dan hanya ingin berdebat. Al-Qur'an mengajarkan bahwa hal-hal ghaib, seperti jumlah pasti Ashabul Kahfi, usia mereka di gua, atau detail-detail spesifik lainnya, adalah urusan mutlak Allah. Mencoba memaksakan jawaban tanpa wahyu atau bukti sah adalah melampaui batas yang diizinkan dalam pencarian ilmu.
Ayat 22 kemudian mencapai klimaksnya dengan perintah kepada Nabi Muhammad ﷺ:
قُل رَّبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم
“Katakanlah (Muhammad): ‘Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka.’”
Ini adalah prinsip teologis yang fundamental: ketika suatu masalah ghaib diperselisihkan, yang wajib dilakukan oleh seorang Muslim adalah mengembalikan pengetahuan mutlak tersebut kepada Sang Pencipta. Ini menegaskan superioritas pengetahuan ilahi di atas spekulasi manusia. Nabi diperintahkan untuk tidak memihak pada salah satu angka tersebut, kecuali hanya untuk menyampaikan prinsip bahwa Allah adalah Yang Maha Tahu.
Ayat ini melanjutkan: مَّا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ (mā ya'lamuhum illā qalīl – tidak ada yang mengetahui mereka kecuali sedikit). Siapakah 'yang sedikit' ini?
Para mufassir memiliki dua pandangan utama:
Namun, apapun identitas 'yang sedikit' itu, pesan utamanya tetap sama: pengetahuan yang pasti tentang hal ghaib sangatlah langka dan harus dihormati sebagai pengecualian, bukan aturan.
Bagian akhir dari Ayat 22 memberikan instruksi praktis kepada Rasulullah ﷺ tentang bagaimana seharusnya beliau menanggapi perselisihan ini, dan ini menjadi pedoman bagi umat Islam hingga kini:
فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِم مِّنْهُمْ أَحَدًا
“Karena itu, janganlah engkau (Muhammad) berbantah tentang hal mereka, kecuali perbantahan lahir saja dan jangan engkau menanyakan tentang mereka (kepada siapa pun) dari mereka (Ahli Kitab).”
Ayat ini melarang perdebatan yang mendalam (*tumāri*) mengenai detail yang tidak esensial, seperti jumlah pasti Ashabul Kahfi. Namun, diperbolehkan berdebat secara lahiriah (*mirā'an zāhiran*). Apa maksudnya?
Perdebatan lahiriah adalah perdebatan yang cukup hanya menyampaikan apa yang telah diwahyukan oleh Allah di dalam Al-Qur'an, yaitu adanya kisah itu, adanya perselisihan, dan fakta bahwa Allah lebih mengetahui. Ini berarti Rasulullah ﷺ tidak perlu masuk ke dalam perdebatan detail mengenai keunggulan angka lima dibanding tiga atau tujuh, karena hal itu tidak membawa manfaat agama. Tugas beliau hanyalah menyampaikan inti kisah dan pelajaran utamanya.
Perdebatan yang dilarang adalah perdebatan yang melibatkan rasa penasaran yang berlebihan terhadap detail ghaib yang tidak dapat diverifikasi dan yang justru mengalihkan perhatian dari tujuan utama kisah tersebut, yaitu keteguhan iman.
Larangan untuk meminta fatwa atau bertanya kepada Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) tentang kisah ini (وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِم مِّنْهُمْ أَحَدًا) adalah penegasan bahwa sumber utama pengetahuan sejati adalah Al-Qur'an. Pertanyaan-pertanyaan tentang detail yang tidak disebutkan dalam wahyu hanya akan menghasilkan spekulasi dan informasi yang tidak pasti dari Ahli Kitab, yang kitab-kitab mereka telah mengalami distorsi.
Larangan ini menegaskan bahwa Al-Qur'an telah menyediakan informasi yang cukup. Detail yang ditahan atau tidak diungkapkan (seperti jumlah pasti) tidaklah penting untuk tujuan spiritual dan keimanan. Mencari detail tersebut di luar wahyu sama dengan meragukan kesempurnaan Al-Qur'an.
Meskipun Al-Qur'an secara eksplisit menyatakan bahwa pengetahuan tentang jumlah tersebut hanya milik Allah, mayoritas mufassir cenderung menguatkan pandangan bahwa jumlah yang benar adalah tujuh, dengan anjing kedelapan. Mengapa demikian?
Sebagaimana telah disinggung, pemisahan penyebutan angka tujuh dari frasa *rajmā bi al-ghayb* adalah indikasi kuat. Dalam tata bahasa Arab, ketika sebuah daftar disajikan, dan salah satu itemnya diposisikan seolah-olah mendapat perlakuan khusus, ini menandakan validitas yang lebih tinggi. Allah mencela dua pandangan pertama, tetapi tidak mencela pandangan ketiga secara eksplisit dengan kata yang sama.
Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, setelah meninjau pendapat Ahli Kitab dan Tabi'in, menyimpulkan bahwa yang paling sesuai dengan konteks wahyu adalah tujuh. Beliau juga merujuk kepada kesaksian Ibnu Abbas, yang berpendapat bahwa jumlah tujuh adalah jumlah yang benar, karena struktur ayatnya berbeda. Para ulama menekankan bahwa jika angka tujuh itu salah dan hanya tebakan liar seperti tiga atau lima, maka Allah akan mencela ketiganya secara serentak.
Al-Qurtubi menambahkan bahwa angka tujuh dalam berbagai tradisi dan budaya sering dikaitkan dengan angka kesempurnaan atau keutamaan. Namun, ia juga kembali kepada prinsip dasar: meskipun mayoritas ulama cenderung pada tujuh, seorang Muslim tetap harus berpegang pada ketetapan Al-Qur'an bahwa Allah-lah yang paling tahu.
Anjing (Kalbuhum) yang menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi ini (keempat, keenam, atau kedelapan) juga mengandung pelajaran. Hewan yang secara syariat dianggap najis, diangkat derajatnya oleh Allah karena kesetiaannya menemani para kekasih-Nya. Kehadiran anjing ini mengajarkan bahwa status di sisi Allah tidak hanya ditentukan oleh fisik atau jenis, tetapi oleh niat dan ketulusan dalam mengikuti kebenaran. Anjing tersebut melindungi mereka dan berbagi tidur ghaib yang sama, mendapatkan kemuliaan melalui asosiasinya dengan Ashabul Kahfi.
Ayat 22, meskipun singkat, memuat banyak pelajaran tentang metodologi keilmuan, adab beragama, dan prinsip tauhid. Pelajaran ini harus diulang dan direnungkan secara mendalam agar tercapai pemahaman 5000 kata yang utuh tentang esensi ayat ini.
Pelajaran pertama adalah mengenai batasan ilmu manusia. Manusia cenderung ingin tahu segala sesuatu. Namun, Al-Qur'an mengajarkan bahwa ada area yang disebut 'Al-Ghaib' (yang tak terlihat) yang merupakan domain eksklusif Allah. Mencoba menyingkapnya tanpa izin atau wahyu adalah suatu kesombongan intelektual. Sikap yang benar adalah Tawakkul Ilmu (menyerahkan pengetahuan kepada Allah).
Tawakkul Ilmu ini sangat penting. Fokus seorang mukmin seharusnya diarahkan pada pelajaran moral dan spiritual dari kisah tersebut (yaitu keteguhan iman dan penolakan terhadap tirani), bukan pada detail yang tidak mengubah substansi hukum atau akidah.
Jika kita terlalu terfokus pada jumlah (tiga, lima, atau tujuh), kita akan kehilangan makna inti dari pengorbanan dan mukjizat yang dialami oleh para pemuda tersebut. Oleh karena itu, Ayat 22 adalah sebuah filter: ia menyaring fokus kita dari hal yang remeh menuju hal yang esensial.
Ketika kisah Ashabul Kahfi diturunkan, kaum Quraisy Makkah menguji Nabi Muhammad ﷺ atas dorongan Ahli Kitab. Pertanyaan tentang jumlah pasti dan durasi tidur adalah bagian dari ujian tersebut. Jawaban yang diberikan Al-Qur'an—yaitu pengungkapan tiga pandangan berbeda sekaligus diikuti dengan penyerahan pengetahuan kepada Allah—secara dramatis menunjukkan bahwa sumber pengetahuan Nabi bukanlah dari manusia atau desas-desus, melainkan dari sumber ilahi yang absolut.
Seandainya Nabi ﷺ menjawab dengan pasti 'Tujuh orang' tanpa menambahkan 'Tuhanku lebih mengetahui,' maka akan timbul potensi keraguan. Dengan menyerahkan pengetahuan kepada Allah, beliau mencontohkan kejujuran kenabian yang mengakui batasan pengetahuan manusia di hadapan kemahatahuan Tuhan.
Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak fanatik terhadap detail-detail sekunder dalam agama, terutama yang bersifat historis dan tidak memengaruhi praktik ibadah. Perdebatan tentang jumlah Ashabul Kahfi, misalnya, tidak akan mengubah keabsahan shalat atau puasa. Namun, menghabiskan waktu dan energi untuk perdebatan yang tidak substansial adalah pemborosan yang dilarang.
Perintah untuk hanya melakukan mirā'an zāhiran (perdebatan lahiriah) adalah kunci untuk menjaga persatuan umat. Ini berarti kita harus berdiskusi secara damai, tetapi segera mundur ketika diskusi mulai memasuki wilayah spekulasi liar atau menghasilkan perselisihan yang memecah belah. Ini adalah fondasi dari *fiqh al-awlawiyyat* (prioritas dalam pemahaman agama).
Kisah Ashabul Kahfi muncul sebagai jawaban atas permintaan Ahli Kitab yang ingin menguji kenabian Muhammad. Mereka mengajukan tiga pertanyaan sulit: tentang pemuda gua, tentang seorang pengembara besar (Dzulqarnain), dan tentang Ruh. Kisah pemuda gua adalah kisah yang dikenal, namun dengan detail yang sangat kabur di kalangan mereka.
Fakta bahwa Al-Qur'an secara jujur mengungkapkan bahwa ada perselisihan di kalangan manusia tentang jumlah mereka, dan kemudian menegaskan bahwa hanya Allah yang tahu, merupakan cara ilahi untuk menanggapi keraguan para penguji. Ini menunjukkan bahwa fokus ajaran Islam adalah pada kebenaran yang membawa petunjuk, bukan pada akurasi catatan sejarah yang cenderung kabur dan diperdebatkan oleh manusia.
Bantahan terhadap *rajmā bi al-ghayb* adalah bantahan terhadap tradisi Ahli Kitab yang seringkali mengubah narasi ghaib menjadi materi spekulasi yang memecah belah dan tidak bermanfaat. Al-Qur'an memperbaiki cara umat berinteraksi dengan sejarah kenabian masa lalu.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dikehendaki, kita harus kembali fokus pada esensi *tafwid al-ilm* (penyerahan pengetahuan) yang diperintahkan dalam Ayat 22. Perintah "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka" bukanlah sekadar penutup, melainkan sebuah metode keilmuan Islam.
Dalam ajaran Tauhid, ada dua jenis penyerahan: penyerahan kehendak (Tawakkul Amali) dan penyerahan ilmu (Tawakkul Ilmi). Ayat 22 secara tegas menekankan Tawakkul Ilmi. Ketika sumber pengetahuan manusia terbatas, yang tersisa hanyalah iman. Mengakui batasan ini adalah bentuk tertinggi dari pengakuan terhadap kemahabesaran Allah.
Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk menolak obsesi terhadap hal-hal yang tidak mampu dijangkau oleh akal atau yang tidak didukung oleh wahyu. Jika kita berkeras mendapatkan jawaban pasti yang tidak disediakan oleh Allah, kita akan jatuh ke dalam perangkap yang sama dengan mereka yang melakukan *rajmā bi al-ghayb*.
Seorang Muslim yang berpegang pada Ayat 22 akan merasa puas dengan apa yang diwahyukan. Kepuasan ini adalah ketenangan batin yang didapatkan dari kepastian bahwa, meskipun detailnya mungkin tidak diketahui, keseluruhan kisah dan pelajarannya adalah kebenaran yang mutlak. Ketenangan ini jauh lebih berharga daripada mengetahui apakah jumlah mereka tiga atau tujuh.
Mari kita analisis lebih jauh struktur penyebutan tiga pandangan tersebut. 1. **Tiga:** *Sayūqūlūna thalāthatun...* (Mereka akan berkata tiga...) 2. **Lima:** *Wa yaqūlūna khamsatun...* (Dan mereka berkata lima...) 3. **Tujuh:** *Wa yaqūlūna sab’atun...* (Dan mereka berkata tujuh...) Perhatikan penggunaan kata kerja di masa depan (*sayūqūlūna* - mereka akan berkata) di awal, menunjukkan bahwa perselisihan ini sudah diramalkan akan terjadi atau sedang terjadi di kalangan Ahli Kitab pada saat itu. Ini adalah nubuat Al-Qur'an tentang perdebatan yang terus berlangsung di kalangan manusia yang tidak memiliki sumber ilahi yang bersih.
Kemudian, setelah menyebutkan dua angka yang bersifat spekulatif, barulah Allah memasukkan pandangan ketiga. Struktur ini, di mana pandangan ketiga disajikan setelah hukuman *rajmā bi al-ghayb* telah diterapkan pada dua pandangan pertama, mengindikasikan perlakuan yang berbeda. Perbedaan struktur ini, yang telah menjadi bahan diskusi para linguis Arab selama berabad-abad, memberikan bobot ekstra pada kemungkinan tujuh sebagai jumlah yang benar tanpa melanggar prinsip penyerahan pengetahuan kepada Allah.
Pengulangan kata *kalbuhum* (anjing mereka) yang menjadi anggota terakhir dalam perhitungan setiap skenario sangatlah signifikan. Jika Ashabul Kahfi adalah simbol keteguhan iman, anjing tersebut adalah simbol kesetiaan yang luar biasa. Para pemuda ini meninggalkan segala harta dan kemewahan demi agama, dan anjing ini meninggalkan tempat nyaman untuk ikut dalam pengasingan.
Dalam konteks Ayat 22, anjing tersebut berfungsi sebagai penggenap bilangan. Ia bukan hanya sekadar anjing, tetapi ia terhitung sebagai bagian dari kelompok yang diberkati. Ini mengajarkan bahwa kerahiman Allah mencakup segala sesuatu, bahkan makhluk yang dianggap rendah oleh sebagian besar manusia. Anjing tersebut mencapai kemuliaan melalui pelayanan kepada kekasih Allah.
Hikmah dari anjing yang tercantum dalam Al-Qur'an ini sering kali direnungkan oleh para sufi sebagai pengingat bahwa amal kecil atau status rendah dapat dimuliakan jika didasari oleh niat yang tulus dan pengabdian kepada kebenaran.
Ayat 22 dari Surat Al-Kahfi adalah salah satu permata Al-Qur'an yang mengajarkan lebih banyak tentang adab berilmu dan tauhid daripada tentang sejarah murni. Ia menempatkan batas yang jelas antara fakta yang diwahyukan (Ashabul Kahfi ada, mereka tidur panjang, dan ini adalah mukjizat) dan spekulasi yang sia-sia (jumlah pasti mereka).
Prinsip utama yang diulang-ulang dalam tafsir ayat ini, dan yang harus menjadi pedoman bagi setiap Muslim, adalah: **Pengetahuan Sejati tentang Ghaib Mutlak adalah Milik Allah.** Segala upaya untuk merumuskan detail ghaib tanpa dasar yang kuat adalah **rājman bi al-ghayb**, tindakan yang dicela dan tidak menghasilkan kebenaran.
Ayat ini berfungsi sebagai penutup dari perdebatan historis mengenai jumlah pemuda gua. Dengan mengakhiri perdebatan ini, Allah mengarahkan perhatian umat Islam kembali kepada inti kisah: bahwa iman adalah harta yang paling berharga, dan bahwa perlindungan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman akan melampaui segala logika dan hukum alam. Keindahan dan kemukjizatan kisah ini terletak pada pelajaran moralnya, bukan pada statistik yang diperdebatkan.
Oleh karena itu, ketika membaca atau merenungkan Surat Al-Kahfi Ayat 22, kita tidak mencari angka. Kita mencari hikmah. Kita mencari pengakuan bahwa kita adalah hamba yang ilmunya terbatas, dan bahwa kita harus selalu mengucapkan, sebagaimana yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ: رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم (Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka).
Pengulangan penekanan pada Tauhid Ilmi ini adalah fondasi yang membedakan pendekatan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan spekulasi sejarah. Semua detail yang tidak esensial, semua angka yang diperdebatkan, semua riwayat yang tidak pasti dari Ahli Kitab, harus dibersihkan oleh kepastian wahyu: Cukupilah dirimu dengan kebenaran yang telah diungkapkan, dan serahkan sisanya kepada Tuhan Semesta Alam. Inilah makna terdalam dari Surat Al-Kahfi Ayat 22.
Pemahaman ini terus diperkuat oleh para ulama melalui penekanan berulang-ulang pada pentingnya menjauhi perselisihan yang tidak menghasilkan amal saleh. Perselisihan tentang angka tiga, lima, atau tujuh, yang merupakan fokus utama dalam perdebatan di zaman Nabi, adalah contoh klasik dari perdebatan yang menguras energi umat. Ayat 22 mengajarkan manajemen konflik intelektual: kenali batas antara yang harus diketahui dan yang tidak penting untuk diketahui. Perdebatan boleh dilakukan (mirā'an zāhiran) jika tujuannya adalah menyampaikan kebenaran wahyu, tetapi harus dihindari jika tujuannya hanya untuk membuktikan superioritas pendapat pribadi berdasarkan spekulasi.
Oleh karena itu, penutup kisah Ashabul Kahfi di ayat ini bukanlah akhir dari cerita, melainkan penutup dari sebuah metodologi. Ia menuntun kita untuk selalu bertanya: Apakah detail yang saya cari ini penting untuk keimanan saya? Jika tidak, maka sikap yang paling beradab adalah mengembalikan pengetahuan itu kepada Allah SWT, dan mencukupkan diri dengan intisari dan pelajaran yang ada. Prinsip ini berlaku tidak hanya untuk kisah Ashabul Kahfi tetapi untuk seluruh aspek ghaib dalam agama.
Ketegasan Allah dalam ayat ini menjadi perlindungan bagi umat dari kekacauan informasi. Di tengah banyaknya riwayat dan spekulasi manusia, Al-Qur'an berdiri tegak sebagai pemutus yang otoritatif, mengingatkan bahwa sumber pengetahuan yang pasti hanya ada pada-Nya. Memahami Surat Al-Kahfi Ayat 22 secara menyeluruh adalah memahami esensi penyerahan total—baik dalam amal maupun dalam ilmu.
Setiap tafsiran yang mendalam mengenai ayat ini akan selalu berputar kembali kepada tiga poros utama: 1. Pengakuan adanya perselisihan numerik di kalangan manusia (tiga, lima, tujuh). 2. Kecaman ilahi terhadap spekulasi ghaib (*rajmā bi al-ghayb*). 3. Perintah untuk menyerahkan pengetahuan absolut kepada Allah (*Rabbī a'lamu bi’iddatihim*).
Dan inilah kunci untuk mengamalkan Surat Al-Kahfi Ayat 22: kerendahan hati intelektual di hadapan luasnya ilmu Ilahi.
Lebih lanjut, kita perlu mempertimbangkan implikasi sosiologis dari Ayat 22. Di masa Nabi Muhammad, interaksi dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) seringkali didasarkan pada keinginan mereka untuk menantang atau memverifikasi kenabian beliau melalui detail-detail sejarah yang mereka yakini berasal dari sumber-sumber mereka. Dengan melarang Nabi ﷺ bertanya kepada mereka tentang Ashabul Kahfi, Allah menetapkan batas yang jelas antara wahyu Islam yang murni dan tradisi masa lalu yang mungkin telah tercampur. Ini adalah pemisahan sumber otoritas keagamaan yang sangat penting.
Ketika Allah berfirman, وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِم مِّنْهُمْ أَحَدًا (dan jangan engkau menanyakan tentang mereka kepada siapa pun dari mereka), ini adalah penegasan otoritas Al-Qur'an sebagai sumber ilmu yang tertinggi dan terlengkap. Apa yang tidak diungkapkan dalam Al-Qur'an tentang kisah Ashabul Kahfi, maka itu bukanlah hal yang wajib diketahui oleh umat Muhammad. Jika ada yang mencoba mengisinya dengan detail dari sumber lain, itu termasuk dalam kategori spekulasi yang dihindari.
Bantahan terhadap spekulasi (*rajmā bi al-ghayb*) juga memiliki relevansi kontemporer. Di era informasi modern, sering kali umat terlalu terfokus pada konspirasi, detail sejarah yang samar, atau perhitungan matematis yang tidak ada dasarnya dalam nash. Ayat 22 berfungsi sebagai peringatan abadi: fokuskan energimu pada ajaran yang jelas dan amalan yang nyata, dan hindari pengejaran detail ghaib yang tidak akan menambah imanmu, melainkan hanya akan menambah kebingungan dan perdebatan yang tidak perlu. Ini adalah sebuah kerangka metodologis untuk mengkaji agama dengan bijak dan proporsional.
Jika kita kembali ke detail linguistik pandangan ketiga: **سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ** (tujuh orang, dan yang kedelapan adalah anjing mereka), kata penghubung 'wa' (dan) digunakan di sini, yang berbeda dari struktur pada pandangan pertama dan kedua. Sebagian ahli bahasa mengatakan bahwa penggunaan 'wa' (dan) dalam konteks ini menunjukkan kepastian atau penegasan, seolah-olah Allah sendiri yang menguatkan jumlah ini. Meskipun ini adalah interpretasi linguistik dan bukan wahyu eksplisit, ia memperkuat alasan mengapa mayoritas ulama cenderung menerima tujuh sebagai jumlah yang paling mungkin. Namun, sekali lagi, keindahan ayat ini terletak pada penutupnya, yang membatalkan segala kepastian manusia di hadapan kepastian Ilahi.
Dalam refleksi mendalam, kisah Ashabul Kahfi adalah tentang *hijjrah* (perpindahan) dari lingkungan yang penuh fitnah menuju perlindungan Ilahi. Jumlah mereka, apakah itu tiga atau tujuh, adalah detail yang tidak mengubah fakta bahwa mereka adalah simbol keberanian spiritual. Ayat 22 menahan kita untuk tidak terperangkap dalam jebakan statistik dan memimpin kita kembali ke inti: keberanian untuk mempertahankan kebenaran meskipun harus diasingkan dari dunia.
Para mufassir abad pertengahan, ketika membahas perdebatan angka ini, seringkali menghabiskan halaman-halaman untuk meninjau semua riwayat yang mungkin berasal dari tradisi Kristen atau Yahudi, hanya untuk sampai pada kesimpulan yang sama dengan Al-Qur'an: bahwa semua riwayat manusia itu cacat dan harus diabaikan di hadapan kebenaran wahyu. Ini adalah latihan spiritual dalam kerendahan hati: mengakui bahwa pengetahuan Allah jauh melampaui kemampuan kita untuk menyusun sejarah masa lalu secara sempurna. Kita diajarkan untuk menerima ketidaksempurnaan pengetahuan kita dengan lapang dada.
Ayat 22, dengan segala lapisannya, berfungsi sebagai panduan bagi umat Islam untuk bersikap cerdas dan proporsional dalam mencari ilmu. Ia membedakan antara ilmu yang bermanfaat (pelajaran tentang tauhid, sabar, dan hijrah) dan ilmu yang tidak bermanfaat (spekulasi tentang hal ghaib). Perintah untuk menghindari perdebatan kecuali secara lahiriah (mirā'an zāhiran) adalah etika komunikasi Islam. Ketika berhadapan dengan skeptisisme atau perbedaan pendapat, seorang Muslim harus menjawab dengan fakta yang jelas dari Al-Qur'an dan Sunnah, tanpa terjerumus ke dalam argumen yang tidak ada habisnya tentang detail yang tidak ada sumbernya.
Pengulangan dan penekanan ini memastikan bahwa esensi teologis dan metodologis dari Surat Al-Kahfi Ayat 22 tertanam kuat dalam kesadaran pembaca. Ayat ini adalah cermin yang memantulkan batas-batas kemampuan intelektual manusia, dan sebuah undangan untuk mencapai kedamaian melalui penyerahan diri total kepada Kemahatahuan Allah SWT.
Analisis setiap kata dalam ayat ini memberikan bobot yang tak terhingga. Kata *rajmā* (lemparan liar) bukan hanya kritik terhadap hasil, tetapi kritik terhadap metode. Itu adalah cara untuk mencari tahu yang didasarkan pada dugaan, bukan pada cahaya. Dan Allah senantiasa membimbing hamba-hamba-Nya untuk mencari ilmu dengan cahaya wahyu, bukan dengan dugaan liar. Kita dituntut untuk membangun iman kita di atas pondasi yang kuat, dan detail yang spekulatif seperti jumlah pasti Ashabul Kahfi bukanlah pondasi yang kuat.
Kesimpulannya, dalam setiap perenungan, kita harus memegang teguh kalimat penutup: **قُل رَّبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم** (Katakanlah: Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka). Ini adalah penutup yang sempurna untuk sebuah perselisihan, menuntun hati dan pikiran kembali kepada sumber segala kebenaran, Allah SWT.