Surat Al-Kahfi, sebuah surat yang mulia dalam Al-Qur'an, seringkali menjadi bekal spiritual bagi umat Muslim, khususnya yang rutin membacanya pada hari Jumat. Inti dari surat ini adalah empat kisah besar yang menjadi benteng pertahanan dari empat fitnah utama kehidupan: fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah Dua Pemilik Kebun), fitnah ilmu (Musa dan Khidr), dan fitnah kekuasaan (Dzulqarnain).
Ayat 31 hingga 40 merupakan puncak narasi dari fitnah harta, berfungsi sebagai klimaks dan antitesis terhadap kesombongan yang dipertontonkan oleh pemilik kebun yang kaya. Jika ayat-ayat sebelumnya (28–30) menegaskan pentingnya bersama orang-orang beriman dan ganjaran bagi mereka yang bertakwa, maka ayat 31 memberikan gambaran kontras yang mencolok mengenai ganjaran abadi, sebelum kembali melanjutkan kisah tragis dua kebun tersebut.
Melalui perbandingan antara kebahagiaan duniawi yang fana dan kenikmatan ukhrawi yang abadi, Allah SWT mengajarkan umat manusia tentang prioritas sejati, bahaya kekufuran nikmat, dan pentingnya mengakui kekuatan ilahi dalam setiap pencapaian materi. Bagian ini menyoroti bagaimana pandangan dunia seseorang (apakah fokus pada segera yang terlihat atau pada keabadian yang dijanjikan) menentukan nasibnya di dunia dan di akhirat. Pelajaran yang ditarik dari sepuluh ayat ini sangat mendasar bagi pembentukan karakter seorang Mukmin yang tawadhu (rendah hati) dan bersyukur.
Ayat ini berfungsi sebagai janji kontras sempurna terhadap ancaman yang dialamatkan kepada kaum kafir yang sombong. Sementara orang kaya (dalam kisah sebelumnya) bergantung pada harta yang fana, ayat ini memaparkan detail kemuliaan bagi mereka yang beriman dan beramal saleh.
Jannatu ‘Adn (Surga 'Adn): Kata ‘Adn (عَدْن) berarti ‘tempat tinggal abadi’ atau ‘pemukiman tetap’. Ini menunjukkan bahwa kenikmatan ini bukanlah sementara, melainkan sebuah permanenitas yang mutlak. Ini menghapus kekhawatiran terbesar manusia: kehilangan. Berbeda dengan kebun dunia yang bisa kering, hangus, atau dicuri, Surga 'Adn adalah kepemilikan yang takkan pernah sirna.
Perhiasan dan Pakaian: Allah menyebutkan bahwa mereka akan yuhallawna (diberi perhiasan) dengan asawir min dzahab (gelang-gelang dari emas). Pakaian mereka adalah thiyaban khudhran (pakaian hijau), terbuat dari sundus (sutera halus) dan istabraq (sutera tebal). Warna hijau, dalam konteks Al-Qur'an, seringkali diasosiasikan dengan kesegaran, kehidupan, dan kenikmatan abadi.
Pakaian dan perhiasan ini adalah penanda kemuliaan yang berlawanan dengan kesederhanaan hidup yang mungkin mereka jalani di dunia. Ini menunjukkan bahwa Allah mengganti kesabaran mereka dalam meninggalkan kemewahan haram di dunia dengan kemewahan hakiki yang tak terbayangkan di akhirat. Perhatikan, perhiasan emas yang diharamkan bagi laki-laki di dunia menjadi diperbolehkan di Surga, menandakan kesempurnaan dan kemudahan hidup di sana.
Tempat Istirahat (Murtfaqa): Mereka akan muttaki’ina ‘alal araa’ik, yaitu duduk bersandar di atas dipan-dipan atau singgasana yang indah. Istilah murtfaqa (tempat istirahat) mengakhiri ayat ini dengan menyatakan bahwa Surga adalah sebaik-baiknya tempat kembali dan sebaik-baiknya persinggahan. Ini adalah keindahan yang tenang, damai, dan penuh kenikmatan tanpa batas waktu. Perbandingan tempat istirahat ini dengan tempat istirahat orang kafir di neraka, yang disebutkan dalam ayat 29 (tempat minum yang membakar wajah), menegaskan puncak perbedaan antara kedua takdir tersebut.
Intinya, ayat 31 memberikan peta jalan kebahagiaan sejati, mengingatkan bahwa harta dan kemewahan duniawi hanyalah bayangan samar, sementara Surga adalah hakikat kemewahan yang abadi, didapatkan bukan dari warisan atau kekayaan, melainkan dari iman dan amal saleh.
Poin penting dari ayat ini adalah janji Allah: "إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا" (Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik). Hal ini menegaskan atribut Allah sebagai Al-Adl (Maha Adil) dan Al-Wadud (Maha Pengasih). Sekecil apapun kebaikan yang dilakukan seorang Mukmin, ia akan dicatat, dihargai, dan dibalas dengan ganjaran yang berlipat ganda. Keyakinan ini adalah motivasi terbesar bagi seorang Muslim untuk berbuat ikhlas, bahkan dalam keadaan sulit, karena ia tahu bahwa investasinya pada kebaikan di dunia ini dijamin oleh Dzat yang tidak pernah ingkar janji.
Ayat-ayat ini menyajikan gambaran kekayaan yang luar biasa dan detail agronomi yang kompleks, menunjukkan bahwa kekayaan yang diberikan kepadanya bersifat paripurna:
Ketika dia berbicara kepada temannya, fokusnya adalah perbandingan: "Anā aktsaru minka mālāan wa a’azzu nafarāan" (Aku lebih banyak hartanya dan lebih kuat pengikutnya). Kesombongan ini menunjukkan dua penyakit hati yang akut:
Kalimat "Wa dakhala jannatahu wa huwa dhālimun li nafsihī" (Dan dia memasuki kebunnya dalam keadaan zalim terhadap dirinya sendiri) adalah inti psikologis kekufuran. Kezaliman ini bukan hanya terhadap temannya atau masyarakat, tetapi yang paling parah adalah terhadap dirinya sendiri, karena ia menghancurkan peluang keselamatannya di akhirat. Kezaliman ini diwujudkan dalam tiga bentuk:
Bahkan, dalam puncak penolakannya, dia membuat asumsi yang lebih parah: "Wa la’in rudidtu ilā rabbī la’ajidanna khayran minhā munqalaba" (Dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun ini). Dia menyiratkan bahwa jika ada Tuhan, pastilah Tuhan itu akan menghargai orang yang sukses dan kaya di dunia, sebuah logika terbalik yang menolak konsep ujian dan takwa sebagai standar penilaian ilahi.
Sahabat yang beriman memulai nasihatnya dengan pengingat fundamental tentang asal usul manusia. "Apakah kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?" (Ayat 37). Ini adalah pukulan telak terhadap ego si kaya.
Pengingat ini memiliki tiga fungsi:
Sang sahabat menggarisbawahi posisinya yang kontras: "Lakinna Huwallahu Rabbī wa lā usyriku bi Rabbī ahadā" (Tetapi aku: Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun). Dalam ayat ini, terdapat penegasan iman dan penolakan syirik secara eksplisit. Sahabat yang miskin ini memilih kekayaan tauhid di atas kekayaan materi. Baginya, Tuhannya adalah Allah, bukan kebunnya, bukan pengikutnya, dan bukan harta bendanya.
Deklarasi ini penting karena menunjukkan bahwa masalah utama si kaya bukanlah hartanya, tetapi pandangan hidupnya yang syirik (mempersekutukan Allah) karena menyandarkan kekuatan dan keabadian pada ciptaan (kebun) alih-alih pada Pencipta.
Inilah puncak dari pelajaran tauhid dalam kisah ini: "Wa lawlā idz dakhalta jannataka qulta Māa shāa Allahu Lā quwwata illā billāh" (Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu: 'Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah').
Kalimat "Mā shāa Allah, Lā quwwata illā billāh" (Kehendak Allah terjadi, tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah) adalah zikir yang amat penting. Tafsir klasik menjelaskan bahwa kalimat ini berfungsi sebagai:
Sahabat yang beriman mengajarkan bahwa kegagalan si kaya terletak pada kelalaiannya dalam menjalankan zikir ini. Dia melihat kebunnya dan berkata, "Aku kira ini tidak akan binasa," sebuah manifestasi kekuasaan diri. Seharusnya, ia berkata, "Sungguh, ini adalah kehendak Allah," sebuah manifestasi kerendahan hati.
Ayat 40 bukan hanya sebuah ancaman, tetapi juga sebuah prediksi yang menunjukkan keadilan absolut Allah terhadap kesombongan. Sahabat yang beriman itu mengajukan dua skenario kehancuran yang sangat ditakuti oleh seorang petani:
"Wā yursila ‘alayhā ḥusbānan minas samā’i fa tuṣbiḥa ṣa’īdan zalaqā" (dan Dia mengirimkan kepada kebunmu siksaan dari langit, sehingga kebun itu menjadi tanah yang licin). Kata ḥusbān (حُسْبَانًا) dalam tafsir sering diartikan sebagai perhitungan atau siksaan yang dihitung dengan tepat, merujuk pada hujan batu yang dahsyat, atau petir yang mematikan. Sedangkan ṣa’īdan zalaqā (صَعِيدًا زَلَقًا) berarti ‘tanah yang licin dan tandus’—tidak mampu menumbuhkan apa pun. Kehancuran total yang melenyapkan semua unsur kehidupan.
"Aw yuṣbiḥa mā’uhā ghauran fa lan tastathī’a lahū ṭalabāan" (Atau airnya menjadi kering, sehingga kamu sekali-kali tidak dapat menemukannya lagi). Sungai yang merupakan sumber kehidupan dan kebanggaan si kaya menjadi lenyap, meresap jauh ke bawah tanah (ghauran). Ini adalah jenis hukuman yang paling ironis bagi seorang petani: air yang melimpah (yang dulu dibanggakan) tiba-tiba menghilang, dan tidak ada daya manusiawi yang bisa mengembalikannya. Tidak ada mesin pompa atau usaha manusia yang dapat mengambilnya kembali, karena itu adalah kehendak Allah.
Kedua skenario ini adalah peringatan keras bahwa kekayaan materi, betapapun stabilnya tampak, sepenuhnya berada di bawah kendali ilahi. Sebuah sentuhan dari langit atau perubahan kecil pada sistem irigasi dapat mengubah kemakmuran menjadi kemiskinan dalam sekejap.
Ayat 31 berfungsi sebagai penutup bagi mereka yang memilih jalan iman, memberikan gambaran kenikmatan yang mutawaliyah (berkesinambungan) dan tsābitah (tetap). Perbandingan antara Surga 'Adn dan dua kebun fana di dunia mengajarkan bahwa setiap usaha yang ditujukan untuk akhirat akan menghasilkan balasan yang kualitasnya jauh melampaui usaha duniawi. Kekuatan iman terletak pada kemampuannya untuk mengabaikan keuntungan jangka pendek demi investasi jangka panjang yang pasti.
Kaum Mukminin memahami bahwa:
Kalimat zikir ini (terdapat dalam Ayat 39) adalah obat mujarab bagi kesombongan dan penarik berkah. Ketika seorang Muslim mengucapkannya, ia tidak hanya mengakui tauhid tetapi juga menerapkan tawakkal (penyerahan diri) dalam praktiknya.
Urgensi Tafakur terhadap Kalimat Ini:
Imam Al-Qurtubi dan ulama lain menjelaskan bahwa kalimat ini adalah kunci untuk menjaga nikmat. Seorang ulama, ketika melihat harta atau anaknya, akan segera mengucapkan zikir ini agar tidak terjebak dalam jebakan ujub (kagum pada diri sendiri) atau riya'. Kalimat ini menanamkan kesadaran bahwa kekayaan bukanlah kekuatan yang independen, melainkan manifestasi dari kehendak Allah.
Jika kalimat ini digunakan sebagai penangkal 'ain (pandangan dengki) dari orang lain, maka bagi diri sendiri, ia adalah penangkal ujub. Kehancuran kebun si kaya adalah akibat langsung dari tidak adanya pengakuan ini.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mencatat bahwa kalimat ini dianjurkan diucapkan oleh setiap orang yang khawatir terhadap kekayaan, anak-anak, atau segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan kesombongan. Dengan mengucapkannya, seseorang secara efektif mengatakan, "Semua ini terjadi karena kehendak Allah, dan keberlanjutan serta pemeliharaannya pun hanya mungkin melalui pertolongan-Nya."
Filosofi di baliknya sangat dalam. Kekuatan ekonomi, teknologi, bahkan kesehatan yang kita miliki, semuanya dapat ditarik kembali dalam sekejap jika Allah berkehendak. Mengakui hal ini adalah bentuk tertinggi dari rasa syukur.
Kisah ini menunjukkan bahwa harta yang melimpah dapat menjadi tirai tebal yang menghalangi pandangan menuju kebenaran. Kekayaan si pemilik kebun membawanya pada tiga kesimpulan yang sesat:
Sebaliknya, sahabatnya yang miskin tidak kehilangan imannya. Kekurangan harta membuatnya lebih bergantung kepada Allah (tawakkal), dan inilah kekayaan rohani yang sesungguhnya. Allah menggunakan kisah ini untuk membersihkan hati Mukmin dari kecintaan berlebihan terhadap dunia.
Kehancuran kebun (Ayat 40) adalah contoh sempurna dari Qadar (ketentuan Allah) yang tak terhindarkan. Hukuman datang dalam dua bentuk yang kontras, namun sama-sama mematikan bagi pertanian:
Ini menunjukkan bahwa Allah memiliki kontrol penuh atas segala dimensi alam. Ketika seorang hamba menolak Tuhannya, maka seluruh ciptaan, baik langit maupun bumi, dapat digunakan sebagai alat pembalasan yang adil.
Siksaan ini bukan sekadar hilangnya harta, melainkan hilangnya harapan. Si kaya tidak dapat lagi meminta bantuan dari manusia (fa lan tastathī’a lahū ṭalabāan), karena masalahnya berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Hanya kekuasaan Allah yang dapat mengubah nasib kebun, dan hanya Dia pula yang dapat menghancurkannya.
Ekspansi Tafsir: Dimensi Linguistik "Zalaqan"
Kata Zalaqan (licin) secara linguistik bermakna sesuatu yang tidak dapat dipegang erat, yang meluncur pergi, atau tanah yang tidak bisa ditempati. Setelah dihancurkan oleh husbanan (siksaan dari langit), kebun itu menjadi sebidang tanah yang tidak hanya tandus, tetapi juga tidak berguna sama sekali. Ini adalah kerugian ganda: hilangnya hasil panen dan hilangnya nilai properti itu sendiri. Ini adalah metafora untuk nasib orang-orang yang membangun kekayaan mereka di atas pondasi kekufuran; semuanya akan hilang, tanpa bekas dan tanpa nilai sisa.
Sahabat yang beriman mengingatkan si kaya tentang proses penciptaannya (dari tanah, nutfah, lalu menjadi manusia sempurna). Pengingat ini selalu digunakan dalam Al-Qur'an untuk dua tujuan utama:
Melalui argumentasi ini, sahabat yang beriman menggunakan logika yang tak terbantahkan untuk melawan keangkuhan si kaya. Ini adalah model dakwah yang efektif: menyerang kesombongan dengan mengingatkan hakikat dan asal usul diri.
Transisi ke Ayat Berikutnya: Konteks Kehancuran
Walaupun ayat-ayat ini berakhir pada ancaman kehancuran, ayat 42 (yang menyusul) menceritakan bahwa kehancuran itu benar-benar terjadi, dan si kaya mulai menyesali perbuatannya. Penyesalan itu datang terlambat setelah ia menyaksikan harta yang ia agung-agungkan lenyap di depan mata. Transisi ini sangat penting karena menegaskan bahwa ancaman dalam Al-Qur'an bukanlah retorika kosong, melainkan janji yang pasti terwujud bagi mereka yang ingkar. Kehancuran ini berfungsi sebagai miniatur Kiamat duniawi bagi si kaya tersebut.
Untuk memahami kedalaman pesan dalam ayat 31-40, penting untuk melihat kontras yang diatur oleh Allah SWT:
| Aspek | Jannatu 'Adn (Ayat 31) | Dua Kebun Duniawi (Ayat 32-34) |
|---|---|---|
| Keabadian | Abadi (Tidak akan binasa). | Fana (Akan binasa total). |
| Sumber Daya | Sungai mengalir di bawah (kontrol Ilahi). | Sungai di celah-celah (bisa surut/kering). |
| Pakaian/Perhiasan | Emas, sutera tebal dan halus (Lambang Kemuliaan Abadi). | Hanya kekayaan bumi (Sombong, tapi rentan). |
| Tempat Kembali | Sebaik-baiknya tempat istirahat (نِعْمَ الثَّوَابُ). | Tempat kembali yang dijanjikan, tetapi diiringi kesombongan (مُنْقَلَبًا). |
| Fondasi | Iman dan Amal Saleh (Tawakkal). | Kekuatan diri dan jumlah pengikut (Kesombongan). |
Kajian mendalam terhadap sepuluh ayat ini memastikan bahwa pembaca Surat Al-Kahfi memahami bahwa ujian harta adalah salah satu ujian paling berat. Harta bukanlah masalahnya, melainkan bagaimana hati kita menyikapi dan mengaitkan harta tersebut dengan Sang Pemberi Rezeki. Keberuntungan hakiki tidak diukur dengan apa yang ada di gudang, melainkan dengan apa yang ada di hati.
Kisah dua kebun, meskipun berlatar belakang pertanian, sangat relevan dengan fitnah harta di zaman modern, di mana kekayaan seringkali diukur dalam saham, aset digital, atau pengaruh sosial. Manifestasi kesombongan si kaya kini berupa:
Pesan dari Ayat 39 adalah penawar universal: setiap kali kita melihat pencapaian luar biasa (baik itu perusahaan yang sukses, rumah yang mewah, atau teknologi yang canggih), kita harus segera mengucapkan “Maa shaa Allah, Laa quwwata illaa billaah,” mengembalikan kekuatan pada sumbernya. Ini adalah upaya spiritualisasi kekayaan, menjadikannya sarana, bukan tujuan.
Sebagai penutup dari bagian ini, Ayat 40 memberikan kepastian akan kekuasaan Allah. Kehancuran bisa datang dalam bentuk yang tak terduga (dari langit) atau yang paling mendasar (hilangnya air), menegaskan bahwa ketergantungan sejati hanya boleh diberikan kepada Allah, Yang Maha Kekal, bukan kepada sumber daya yang pasti fana dan dapat ditarik kembali sewaktu-waktu.
Keagungan hikmah dalam sepuluh ayat Al-Kahfi ini telah diuraikan dan diulang oleh banyak ulama besar, menunjukkan bahwa pelajaran tauhid dan kesombongan ini adalah fondasi yang harus kuat di dalam diri setiap Mukmin untuk menghadapi fitnah dunia, baik di masa lalu maupun di masa depan yang serba materialistik.
Kontras yang disajikan dalam ayat 31 dan ayat 32–40 menegaskan sebuah hukum alamiah dan spiritual: Semakin seseorang menyandarkan kekuatannya pada materi dunia, semakin besar pula potensi kehancuran dan penyesalan yang akan menimpanya. Sebaliknya, semakin ia menyandarkan kekuatan pada Allah, semakin abadi pula ketenangan dan kebahagiaan yang akan ia dapatkan.