Surat Al-Kahfi adalah salah satu permata Al-Qur’an yang padat akan hikmah dan kisah-kisah penuh makna, terutama mengenai ujian keimanan, kesabaran, dan batas-batas ilmu pengetahuan manusia. Di antara narasi yang paling memukau dan paling banyak dikaji oleh para ulama adalah kisah perjalanan Nabi Musa AS bersama seorang hamba Allah yang dianugerahi ilmu khusus, yang dikenal sebagai Khidr AS. Titik balik dan penanda krusial dalam perjalanan spiritual ini terangkum dalam satu ayat yang sarat petunjuk, yaitu Surat Al-Kahfi ayat 61.
Ayat ini bukan sekadar deskripsi tentang kejadian fisik, melainkan sebuah gerbang menuju pemahaman mendalam tentang lupa (nusyan), takdir, dan manifestasi kekuasaan Ilahi. Ayat 61 menandai momen di mana Nabi Musa, setelah menempuh perjalanan yang melelahkan demi mencari ilmu sejati, akhirnya sampai pada tujuan yang telah ditentukan, dan penanda spiritual yang dinantikannya pun muncul, meskipun melalui jalan kelupaan asistennya, Yusya’ bin Nun.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu merenungkan lafaz aslinya dan terjemahan yang mencerminkan inti peristiwa tersebut.
Ayat 61 muncul setelah permulaan perjalanan yang didorong oleh motivasi tulus Nabi Musa untuk memperoleh ilmu yang lebih tinggi dari ilmu yang ia miliki. Allah SWT telah memberitahu Musa bahwa Khidr berada di tempat yang merupakan pertemuan dua lautan (Majma’ al-Bahrain), dan tanda kedatangan mereka ke tempat itu adalah hilangnya ikan yang mereka bawa sebagai bekal makanan. Ayat 61 ini menjadi realisasi dari tanda tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa kisah Musa dan Khidr (yang berlangsung dari ayat 60 hingga 82) adalah inti teologis dari Surat Al-Kahfi, menekankan bahwa di samping ilmu syariat (yang dimiliki Musa), ada ilmu hakikat (yang dimiliki Khidr) yang hanya dapat dipahami melalui kesabaran mutlak dan penyerahan total kepada kehendak Ilahi. Ayat 61 adalah kunci yang membuka pintu interaksi antara dua dimensi pengetahuan ini.
Ayat 61 secara gamblang menggunakan kata kerja "nasiya" (lupa). Namun, dalam konteks kenabian, kelupaan ini harus ditinjau dari berbagai sudut pandang teologis dan psikologis yang mendalam, karena ia menjadi katalis utama bagi pertemuan agung tersebut.
Mayoritas tafsir menyatakan bahwa kelupaan yang sebenarnya terjadi adalah pada Yusya’ bin Nun. Yusya’ adalah yang bertanggung jawab membawa bekal ikan tersebut. Ketika mukjizat ikan itu hidup dan melompat kembali ke laut, Yusya’ melihatnya tetapi lupa (atau sengaja lalai karena takjub dan lelah) untuk segera memberitahu Musa.
Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, kelupaan Yusya’ adalah bentuk pengujian dan pengaturan dari Allah. Kelupaan ini bukanlah aib, melainkan sebuah 'lupa yang disengaja' oleh takdir (Nisyan al-Muqaddar). Jika Yusya’ segera memberitahu Musa, Musa mungkin akan berhenti seketika, tetapi Allah menghendaki mereka berjalan lebih jauh lagi, melewati titik Majma’ al-Bahrain, untuk menguji kesabaran dan keikhlasan mereka dalam pencarian ilmu.
Kelupaan Yusya’ adalah sebuah tirai yang menyembunyikan tanda yang jelas. Dunia ini sering kali dipenuhi dengan tanda-tanda kebesaran Allah, namun kelelahan, fokus yang salah, atau kelalaian (ghafilah) sering membuat kita lupa akan manifestasi Ilahi yang telah terjadi tepat di hadapan mata. Inilah pelajaran pertama dari ayat 61: tanda kebenaran bisa saja terlewatkan karena kelalaian manusiawi.
Bagaimana pun, ayat tersebut menggunakan dhomir ganda, menunjukkan bahwa Musa juga terlibat dalam kelupaan. Ulama menafsirkan kelupaan Musa dalam dua cara:
Dalam konteks kenabian, kelupaan Musa ini mengajarkan tentang sifat manusiawi para Nabi (meskipun mereka maksum/terjaga dari dosa besar), dan bahwa ujian spiritual seringkali datang dalam bentuk hal-hal yang tampaknya sepele—seperti sepotong ikan mati. Kelupaan ini adalah bagian dari skenario Ilahi untuk memastikan Musa kembali ke titik awal mukjizat (Majma’ al-Bahrain), sehingga pertemuan dengan Khidr terjadi tepat pada lokasi yang ditakdirkan.
Ikan yang hidup kembali dan mengambil jalannya ke laut adalah inti mukjizat yang dikandung oleh ayat 61. Fenomena ini bukan hanya detail naratif, tetapi representasi dari keajaiban takdir dan pengetahuan yang tersembunyi.
Ikan yang telah mati dan diasinkan, kemudian hidup kembali, adalah mukjizat yang menegaskan kekuasaan Allah atas hidup dan mati (ihya’ al-mawta). Dalam perjalanan mencari ilmu hakikat, Allah memberikan tanda kekuasaan-Nya yang tertinggi di Majma’ al-Bahrain.
Para mufassirin, seperti Imam Al-Qurtubi, menekankan bahwa mukjizat ini sejalan dengan tema besar Surat Al-Kahfi, yang juga mencakup kisah Ashabul Kahfi (Tujuh Pemuda yang Tertidur) dan Dzulqarnain, di mana semua kisah tersebut berkisar pada kekuasaan Allah dalam menghidupkan kembali sesuatu, baik secara fisik maupun spiritual.
Kembalinya ikan ke laut melambangkan kembalinya ruh kepada sumbernya, atau kembalinya ilmu yang hilang kepada asalnya. Ikan tersebut adalah ilmu yang seharusnya diterima oleh Musa dan Yusya’ di titik itu, namun karena kelalaian, ia kembali ke lautan hikmah.
Ayat 61 menyebutkan: فَٱتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِى ٱلْبَحْرِ سَرَبًا (fittakhadza sabiilahū fil-baḥri saraban – lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu seperti terowongan/lorong).
Kata saraban (سَرَبًا) sangat penting. Ini menunjukkan bahwa ketika ikan itu bergerak dari bejana mereka ke laut, air laut di sekitarnya mengering atau membeku sesaat, menciptakan jalur seperti terowongan atau lorong. Ini adalah detail luar biasa yang menggarisbawahi keunikan mukjizat tersebut. Ini bukan hanya ikan yang melompat; ia membuka jalan di tengah air.
Jejak terowongan ini adalah bukti fisik yang seharusnya membuat Yusya’ bin Nun seketika sadar akan pentingnya momen tersebut. Keberadaan lorong ini menandakan batas akhir perjalanan mereka, lokasi yang dicari Musa. Lorong itu adalah penanda surgawi yang menghubungkan dunia daratan (tempat Musa berdiri) dengan dunia lautan (ilmu Khidr).
Majma’ al-Bahrain adalah panggung bagi kisah ini. Lebih dari sekadar lokasi geografis, ia mewakili pertemuan dua konsep ilmu yang berbeda, yang hanya bisa disatukan melalui izin dan hikmah Allah.
Nabi Musa AS adalah pemegang syariat (hukum) bagi Bani Israil. Ilmunya bersifat terstruktur, logis, dan dapat dijelaskan (zahir). Tugas Musa adalah memimpin umat berdasarkan kebenaran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Inilah lautan pertama.
Musa mencari ilmu Khidr bukan karena ia kekurangan ilmu syariat, melainkan karena pengakuannya bahwa selalu ada tingkatan ilmu yang lebih tinggi dari yang ia ketahui, sebuah pencarian terhadap hikmah batin yang tidak dapat dijangkau hanya dengan akal dan syariat formal.
Ilmu Khidr, yang disinggung dalam ayat berikutnya, adalah ilmu rahasia (ilmun ladunniyy) yang diberikan langsung oleh Allah. Ilmu ini memungkinkannya melihat takdir dan hikmah di balik peristiwa yang secara lahiriah tampak salah atau zalim (seperti merusak kapal, membunuh anak, dan menegakkan tembok). Inilah lautan kedua.
Majma’ al-Bahrain (ayat 61) adalah titik di mana dua lautan ini bertemu. Musa harus meninggalkan logikanya sejenak untuk memasuki wilayah Khidr, yang menuntut kesabaran total dan keheningan pikiran. Kelupaan ikan dan penanda fisiknya di ayat 61 adalah proses transisi; Musa dan Yusya’ harus kembali dan memutar balik langkah mereka (fisik dan mental) untuk menyesuaikan diri dengan dimensi ilmu yang baru.
Dalam ayat-ayat sebelumnya (Al-Kahfi 62), setelah melewati titik Majma’ al-Bahrain, Musa merasa lapar dan lelah, lalu berkata kepada Yusya’: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini." Kelelahan fisik ini, yang baru dirasakan setelah melewati titik mukjizat (ayat 61), sering ditafsirkan sebagai bukti bahwa titik Majma’ al-Bahrain adalah area yang diselimuti keberkahan dan energi spiritual, yang menahan rasa lelah mereka selama mereka berada di dekatnya. Begitu mereka melewatinya, rasa lelah pun datang, memaksa mereka berhenti, dan pada akhirnya, mendorong Yusya’ untuk mengingat kembali kejadian ikan itu.
Kelelahan ini adalah tanda bahwa mereka telah berjalan terlalu jauh, melewati batas yang seharusnya menjadi tempat mereka berhenti. Hikmahnya, terkadang dalam pencarian ilmu spiritual, kita harus dipaksa berhenti oleh keterbatasan fisik (lelah, lapar) agar kita dapat mengingat kembali tanda-tanda yang telah kita abaikan.
Ayat 61, yang menyebabkan Musa dan Yusya’ harus memutar balik langkah mereka, memuat pelajaran teologis yang sangat mendalam mengenai waktu, takdir, dan proses belajar.
Ayat 63 menunjukkan bahwa Yusya’ baru memberitahu Musa tentang ikan itu setelah Musa meminta makan. Ini berarti, Yusya’ telah menunda pengakuan tersebut, mungkin karena takut, malu, atau karena ia sendiri masih terkejut dengan mukjizat yang dilihatnya.
Keterlambatan Yusya’ ini adalah takdir yang sempurna. Jika Musa tahu persis di Majma’ al-Bahrain, ia mungkin tidak akan merasa letih. Jika ia tidak merasa letih, ia tidak akan meminta makanan. Jika ia tidak meminta makanan, Yusya’ mungkin tidak akan memiliki alasan yang kuat untuk menceritakan kembali kejadian ikan itu. Oleh karena itu, seluruh rangkaian kelupaan dan keterlambatan adalah desain Ilahi untuk memastikan dialog krusial yang terjadi di ayat 63:
“Dia (Yusya’) menjawab, ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan. Dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.’” (Al-Kahfi: 63)
Pengakuan Yusya’ bahwa Syaitan adalah penyebab kelupaannya juga merupakan refleksi penting. Syaitan selalu berusaha menghalangi jalan menuju ilmu dan hikmah, bahkan dengan membuat kita lupa pada tanda-tanda kebenaran yang jelas di hadapan kita.
Begitu mendengar pengakuan Yusya’ tentang ikan yang mengambil jalannya ke laut, respon Musa sangat tegas dan segera:
“Itulah tempat yang kita cari.” (Al-Kahfi: 64)
Musa tidak marah atas kelalaian Yusya’, karena ia memahami bahwa kelupaan itu adalah bagian dari takdir yang diturunkan oleh Allah untuk mencapai tujuan. Ia menyadari bahwa kelalaian Yusya’ adalah kunci yang membuka gerbang ilmu. Ini menunjukkan kedewasaan spiritual Musa: mampu melihat musibah (kelalaian) sebagai berkah tersembunyi (tercapainya tujuan). Ini adalah esensi dari pemahaman hakikat.
Kekuatan naratif ayat 61 terletak pada pilihan kata Arab yang sangat spesifik, terutama pada kata saraban. Para ahli bahasa Arab dan mufassirin telah menghabiskan banyak waktu untuk mengkaji implikasi dari kata ini.
Kata saraban berasal dari akar kata S-R-B, yang seringkali berarti "mengalir dengan cepat" atau "mengambil jalan rahasia/tersembunyi." Dalam konteks laut, ini merujuk pada lorong atau terowongan. Penggunaan saraban, dibandingkan hanya mengatakan ‘ikan itu melompat ke laut,’ memberikan gambaran tentang sifat mukjizat yang luar biasa dan terstruktur.
1. Struktur Jalur: Ia menegaskan bahwa air laut tidak hanya menutup kembali jalur yang dilewati ikan, tetapi jalur itu tetap terlihat, seolah-olah jalan setapak di air. Lorong ini adalah jejak yang ditinggalkan oleh ilmu hakikat, yang terlihat oleh mata tetapi sering diabaikan oleh akal yang terburu-buru.
2. Kecepatan dan Ketegasan: Kata ini juga menyiratkan bahwa kembalinya ikan itu adalah tindakan yang cepat dan tegas, sebuah pengembalian dari kematian kepada kehidupan, dari daratan kepada air, dari fisik kepada spiritual.
Imam Mujahid menafsirkan saraban sebagai "jalan yang kering." Beberapa ulama menyebutkan bahwa setiap tetes air yang menyentuh ikan tersebut akan menjadi kering, seolah-olah ikan tersebut menarik air menjauh dari jalannya. Interpretasi ini memperkuat ide bahwa titik Majma’ al-Bahrain adalah lokasi di mana hukum-hukum alam (fisika) bertemu dengan hukum-hukum mukjizat (metafisika).
Mukjizat ini, dengan jalur terowongan yang jelas, seharusnya menjadi penanda yang mudah diingat. Justru karena begitu jelasnya, kelupaan Yusya’ menjadi pelajaran yang lebih kuat mengenai bagaimana manusia bisa lalai terhadap bukti-bukti nyata yang diletakkan Allah di hadapan mereka.
Di luar detail naratif dan linguistik, Ayat 61 menawarkan cermin refleksi bagi setiap pencari ilmu, kebenaran, dan hidayah.
Seluruh kisah Musa dan Khidr adalah tentang kesabaran. Ayat 61 mengajarkan bahwa pencapaian ilmu sejati seringkali tidak datang secara instan atau melalui jalur yang lurus. Kelupaan dan keterlambatan adalah cobaan yang harus dilalui. Pencari ilmu harus bersabar melewati fase-fase di mana tanda-tanda (seperti ikan yang hidup kembali) hilang dari pandangan atau terlupakan oleh pikiran. Kesabaran ini adalah syarat mutlak untuk menerima ilmu ladunni.
Jika Musa tidak sabar, ia mungkin akan kembali ke negeri asalnya setelah merasa lelah, tanpa menyadari ia telah melewati Khidr. Kepatuhan Musa untuk terus berjalan, meskipun kelelahan, adalah bentuk keikhlasan yang akhirnya membawa hasil.
Ikan yang lolos dari bejana adalah simbol dari tanda-tanda spiritual (ayat) yang Allah berikan. Ikan tersebut berada dalam bejana Musa dan Yusya’ (di bawah kendali akal dan kesadaran mereka), namun ia melompat kembali ke lautan takdir (di luar kendali manusia).
Pelajaran terpenting adalah: ilmu dan hikmah Ilahi sangat mudah lolos dari genggaman kita jika kita lalai. Kita mungkin telah mencapai ‘Majma’ al-Bahrain’ dalam hidup kita—titik di mana takdir dan pengetahuan bertemu—namun jika kita lupa (nasiya) akan tanda-tanda kecil yang Allah berikan, kita akan terpaksa memutar balik, menghabiskan energi lebih banyak, hanya untuk kembali ke titik awal.
Fenomena lupa ini adalah pengingat bahwa hati harus selalu terjaga (yaqadhah) dalam perjalanan spiritual. Bahkan Nabi yang Agung pun diizinkan untuk lupa agar menjadi pelajaran bagi seluruh umat manusia bahwa pertolongan dan pengingat Ilahi selalu dibutuhkan.
Kisah ini, yang berpusat pada Majma’ al-Bahrain di ayat 61, menegaskan pentingnya integrasi. Musa (Syariat) dan Khidr (Hakikat) adalah dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan. Ilmu syariat tanpa hakikat menjadi kering; ilmu hakikat tanpa syariat menjadi liar. Pertemuan yang diawali oleh mukjizat ikan ini mengajarkan bahwa ilmu sejati menggabungkan kedua aspek tersebut, sebuah sintesis yang hanya mungkin jika seseorang mengenali dan menghormati batas-batas pengetahuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Dalam tradisi tafsir sufi (irfani), ikan yang lolos dari wadah menuju laut menawarkan interpretasi yang melampaui makna harfiah.
Bagi kaum sufi, ikan (hut) seringkali ditafsirkan sebagai simbol dari rahasia terdalam (sirr) atau ruh yang terperangkap dalam wadah fisik (wadah makanan). Laut (bahr) adalah samudra pengetahuan Ilahi yang tak terbatas. Ikan yang kembali ke laut melambangkan kembalinya ruh kepada sumbernya, atau kembalinya kesadaran manusia kepada fitrahnya, bebas dari kekangan materi dan keduniaan.
Kelupaan (nusyan) yang terjadi pada Musa dan Yusya’ adalah kelupaan akan fitrah spiritual ini. Mereka lupa bahwa tujuan mereka bukan hanya mencapai lokasi fisik, tetapi menyaksikan pelepasan rahasia Ilahi (ikan) kembali ke sumbernya, sebuah proses yang hanya bisa disaksikan dalam keadaan hati yang sangat terjaga.
Kisah ini menjadi alegori bahwa ilmu hakikat tidak dapat disimpan dalam ‘keranjang’ pengetahuan lahiriah. Ilmu itu hidup, bergerak, dan selalu mencari jalannya kembali ke lautan asalnya, meninggalkan jejak (saraban) bagi mereka yang cukup peka untuk kembali mengikutinya.
Dalam interpretasi esoteris, Majma’ al-Bahrain bukanlah lokasi geografis, melainkan keadaan spiritual (hal) di dalam hati seorang salik (penempuh jalan spiritual). Ini adalah titik di mana akal (ilmu Musa) bertemu dengan intuisi (ilmu Khidr). Hanya di titik keseimbangan inilah mukjizat (ikan) dapat muncul dan menjadi penanda.
Kelupaan di Majma’ al-Bahrain menandakan bahwa ketika seseorang mencapai puncak kesadaran, justru di situlah ujian terbesar datang: ujian kelalaian. Keindahan dari Ayat 61 adalah pengakuan bahwa bahkan pada tingkatan tertinggi, manusia rentan terhadap kelalaian (ghafilah), yang merupakan penghalang antara hamba dengan Sang Khaliq. Pengingat ini harus dibayar dengan energi (perjalanan balik) dan pengakuan (Ayat 63).
Konsep kelupaan (nusyan) dalam Al-Qur’an memiliki nuansa yang kompleks. Dalam kasus Nabi Musa dan Yusya’ (ayat 61), kelupaan tersebut bukanlah kebetulan biasa; ia adalah kelupaan yang sarat makna teologis dan berfungsi sebagai alat takdir.
Dalam studi Al-Qur’an, ada beberapa jenis kelupaan:
Fokus pada Nisyan al-Muqaddar di Ayat 61 mengangkat martabat manusia. Jika kelupaan Yusya’ murni kecerobohan, maka perjalanannya akan tampak sia-sia. Namun, karena kelupaan itu ditakdirkan, hal itu menjadi jembatan menuju ilmu. Ini mengajarkan bahwa bahkan kesalahan atau kelalaian kecil dalam hidup kita dapat menjadi bagian dari rencana besar Allah untuk mengarahkan kita menuju hikmah yang lebih tinggi.
Ayat 63 yang melengkapi Ayat 61, menyebutkan: "tidak adalah yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan." Pengakuan Yusya’ ini menunjukkan bahwa bahkan kelupaan yang ditakdirkan pun memiliki saluran operasionalnya melalui bisikan Syaitan (waswasah).
Syaitan tidak memiliki kuasa mutlak, tetapi ia mengeksploitasi kelemahan manusiawi (kelelahan dan ketakjuban). Di titik Majma’ al-Bahrain, setelah menyaksikan mukjizat yang luar biasa, Yusya’ mungkin terhenyak, dan Syaitan memanfaatkan momen keheningan mental itu untuk mencegahnya berbicara kepada Musa. Ini adalah peringatan keras bahwa bahkan dalam suasana spiritual paling tinggi, kewaspadaan terhadap Syaitan tidak boleh hilang.
Seluruh kisah Musa dan Khidr adalah kisah perjalanan (safar), dan Ayat 61 menandai puncak geografis sekaligus spiritual dari perjalanan ini. Konsep safar dalam Islam bukan hanya perpindahan fisik, tetapi juga perjalanan hati dan akal.
Perjalanan Musa ke Majma’ al-Bahrain adalah contoh ekstrem dari perjalanan menuntut ilmu (rihlah fi thalab al-ilm). Musa bersedia menempuh jarak yang tidak diketahui dan waktu yang tak terukur (“Aku tidak akan berhenti sebelum sampai ke pertemuan dua lautan; atau aku akan berjalan bertahun-tahun lamanya,” Al-Kahfi: 60). Intensitas tekad ini adalah prasyarat spiritual yang disimbolkan dalam ayat 61.
Ketika mereka akhirnya sampai di Majma’ al-Bahrain, mereka sudah terlalu lelah untuk menyadari mukjizat ikan. Ini menunjukkan bahwa meskipun niat (niyyah) itu murni dan tekadnya kuat, tubuh fisik dan pikiran memiliki batasnya. Ilmu sejati menuntut keseimbangan antara tekad spiritual yang membara dan kesadaran akan batas-batas manusiawi.
Keputusan untuk kembali (disebutkan di Ayat 64) adalah momen penyerahan total. Musa harus berjalan kembali menyusuri jejak kakinya, kembali ke tempat di mana ia telah lalai. Ini adalah metafora yang kuat: seringkali, untuk menemukan kebenaran yang hilang, kita harus kembali ke masa lalu dan meninjau kembali kesalahan yang kita abaikan.
Perjalanan balik ini (yang ditandai oleh kelupaan di ayat 61) adalah pembersihan jiwa. Ia membersihkan Musa dari sisa-sisa kelelahan fisik dan mental, mempersiapkannya untuk pertemuan dengan Khidr, yang menuntut kondisi hati yang murni dan rendah hati. Musa kembali ke titik di mana ia gagal memperhatikan tanda, dan dengan demikian, ia memulai pertemuan dengan Khidr dengan kerendahan hati yang sesungguhnya.
Bagaimana Surat Al-Kahfi ayat 61 berbicara kepada manusia di abad ke-21 yang sarat dengan informasi dan distraksi?
Jika Yusya’ bin Nun lupa karena kelelahan fisik dan bisikan Syaitan, manusia modern lupa karena kelebihan informasi dan distraksi digital. Kita hidup di era 'Majma’ al-Bahrain' setiap hari, di mana informasi syariat (hukum) dan hakikat (hikmah) tersedia di ujung jari.
Namun, seperti ikan yang lolos, tanda-tanda spiritual lolos dari kesadaran kita karena kita sibuk dengan ‘perjalanan’ yang tidak relevan (scrolling tanpa tujuan). Ayat 61 mengingatkan kita bahwa tanda-tanda kebesaran Allah (ikan yang hidup) tidak menunggu kita. Ia muncul, menjalankan tugasnya (saraban), dan kembali ke sumbernya. Jika kita tidak peka, kita akan melewatinya dan baru menyadarinya setelah merasakan ‘kelelahan’ (kegelisahan jiwa) dan harus memutar balik (mencari terapi atau pengingat spiritual).
Kisah Musa mencari Khidr, yang dibuka oleh kelalaian di ayat 61, mengajarkan bahwa tidak peduli seberapa tinggi posisi atau seberapa luas ilmu yang kita miliki, selalu ada guru yang lebih tinggi dan ilmu yang lebih dalam.
Di dunia akademis dan profesional, kelupaan (kesalahan) seringkali dianggap sebagai kegagalan total. Ayat 61, sebaliknya, mengajarkan bahwa kelupaan yang jujur (seperti yang ditunjukkan Yusya’ di ayat 63) dapat menjadi pintu gerbang menuju guru sejati (Khidr). Kerendahan hati Musa dalam menerima kelalaian asistennya dan mengakui bahwa tanda itu telah terlewatkan adalah model bagi setiap pemimpin dan pelajar modern.
Pencarian ilmu sejati bukanlah tentang akumulasi data, tetapi tentang kemampuan untuk mengenali tanda-tanda dan hikmah yang tersembunyi, yang seringkali muncul dalam bentuk yang paling tidak terduga—seekor ikan mati yang hidup kembali.
Ayat 61 berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai tema besar dalam Surat Al-Kahfi.
Kisah Ashabul Kahfi (Tujuh Pemuda) adalah tentang penguasaan waktu dan mukjizat tidur yang panjang. Kisah Musa dan Khidr (yang dibuka oleh Ayat 61) adalah tentang penguasaan ilmu dan hikmah yang melampaui waktu. Kedua kisah ini menekankan bahwa realitas yang kita anggap stabil (waktu dan pengetahuan) berada di bawah kendali mutlak Allah. Ikan yang lolos dan menciptakan jalur adalah perusakan hukum fisika secara instan, sama seperti tidur 309 tahun yang merusak hukum biologis.
Kisah Dzulqarnain, yang mengikuti kisah Musa dan Khidr, adalah tentang penguasaan kekuasaan politik dan materi. Ia menggunakan kekuasaannya untuk membangun (tembok Ya’juj dan Ma’juj). Sementara itu, Khidr (yang ditemui Musa berkat tanda di Ayat 61) menggunakan ilmunya untuk merusak (kapal) atau membunuh (anak), semua demi tujuan yang lebih tinggi dan batiniah. Ayat 61 mengajarkan bahwa baik kekuasaan (Dzulqarnain) maupun pengetahuan (Musa dan Khidr) harus tunduk pada hikmah dan takdir Allah, yang seringkali tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa yang tampak sepele, seperti kelupaan bekal makan siang.
Bekal makanan adalah kebutuhan dasar manusiawi. Ayat 61 mengangkat kebutuhan fisik ini menjadi penanda spiritual. Ini menegaskan bahwa dunia fisik (bekal, perjalanan, laut) selalu mengandung tanda-tanda spiritual (mukjizat, Majma’ al-Bahrain). Tugas seorang mukmin adalah membaca tanda-tanda tersebut, bukan sekadar mengkonsumsi bekal. Begitu Musa dan Yusya’ melupakan fungsinya sebagai tanda, ikan itu kembali ke asal spiritualnya.
Dalam konteks modern, hal ini mengajarkan bahwa setiap pekerjaan, setiap aset, dan setiap interaksi duniawi adalah 'ikan' yang berpotensi menjadi tanda spiritual jika kita mengingat (zikr) dan tidak lupa (nisyan). Jika kita lupa akan tujuan spiritual di balik hal-hal materi, maka berkah dan hikmahnya akan 'lolos' dan kembali ke lautan takdir tanpa kita sadari.
Surat Al-Kahfi ayat 61 adalah permulaan dari sebuah dialog abadi antara akal dan intuisi, antara syariat dan hakikat. Ayat ini adalah penanda bahwa perjalanan terpenting dalam hidup bukanlah mencapai tujuan fisik, melainkan menyadari dan mengakui tanda-tanda yang diletakkan Allah di sepanjang jalan.
Kelupaan (nasiya) dalam ayat ini adalah kelupaan yang didesain secara Ilahi, sebuah mekanisme takdir yang memaksa Musa untuk merendahkan diri dan kembali. Ikan (hut) yang hidup kembali dan mengambil jalannya melalui lorong air (saraban) adalah simbol dari ilmu yang hidup dan bergerak, yang hanya dapat dipegang oleh mereka yang menjaga hati mereka dari kelalaian.
Setiap pembaca Surat Al-Kahfi diajak untuk merenungkan: di manakah 'Majma’ al-Bahrain' saya? Apa 'ikan' yang telah lolos dari bekal spiritual saya karena saya lalai atau lelah? Dan apakah saya cukup rendah hati untuk memutar balik dan kembali ke titik kelupaan tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Musa AS, demi memperoleh ilmu yang lebih dalam?
Ayat 61 bukan hanya kisah tentang seorang Nabi yang mencari ilmu; ia adalah peta jalan spiritual bagi setiap jiwa yang berjuang untuk menyatukan pengetahuan lahiriah dan hikmah batiniah, menegaskan bahwa dalam setiap kelalaian manusiawi, terkandung sebuah rencana agung yang mengarahkan kita kembali kepada Kebenaran Mutlak.
Kedalaman naratif ini, dengan setiap detail linguistik yang dianalisis secara ekstensif oleh para mufassirin selama berabad-abad, memberikan lapisan pemahaman yang tiada habisnya. Pembahasan tentang mengapa tepatnya kelupaan harus terjadi, bagaimana ikan itu bisa hidup kembali, dan mengapa jejaknya harus berupa terowongan yang mengeringkan air, adalah titik fokus bagi ribuan halaman tafsir yang bertujuan mengungkap maksud tersembunyi di balik kata-kata suci ini. Semua poin ini berulang kali ditekankan untuk mencapai pemahaman holistik tentang peran kecil namun krusial yang dimainkan oleh ayat 61 dalam keseluruhan narasi kenabian dan hikmah Ilahi.
Kajian yang berulang kali menelusuri fenomena kelupaan ini harus diulang dan diperkuat, karena kelupaan adalah penyakit universal umat manusia. Kelupaan yang menimpa Yusya’ dan Musa merupakan cerminan bagi setiap individu yang seringkali disibukkan dengan perjalanan (usaha) sehingga melupakan tujuan utama, yaitu pengakuan akan Tanda (Ayat). Kita terus berjalan, merasa lapar (membutuhkan kepuasan), dan baru kemudian menyadari bahwa penanda yang kita cari sudah berlalu. Pengakuan ini adalah awal dari pertobatan dan awal dari ilmu sejati. Ayat 61, dalam kejelasannya, adalah sebuah ajakan untuk selalu waspada.
Para ulama tafsir kontemporer terus mengaitkan hikmah dari Majma’ al-Bahrain dengan tantangan zaman. Jika Musa mencari ilmu esoterik, kita saat ini mencari kedamaian batin dan makna di tengah kegaduhan materi. Ikan yang lolos dari wadah bekal dapat dilihat sebagai simbolisasi dari ketenangan jiwa (sakinah) yang sering kita bawa, namun kemudian hilang atau lolos kembali ke samudra hikmah karena kita tidak menjaganya dengan baik. Kita melupakan zikir, kita melupakan refleksi, dan kita melupakan keikhlasan, sehingga tanda-tanda kedamaian Ilahi lolos dari genggaman kita. Kembalinya Musa ke tempat yang dilupakan adalah panggilan universal untuk melakukan introspeksi mendalam.
Kelupaan Yusya’ yang dipicu oleh Syaitan (seperti yang diakui di ayat 63) memberikan dimensi etika yang penting: bahkan tindakan yang secara lahiriah tampak sepele seperti lupa memberitahu tentang ikan, memiliki akar dari musuh spiritual abadi kita. Ini menuntut kesadaran bahwa perjuangan spiritual tidak pernah berhenti, bahkan ketika kita berada di ambang mukjizat terbesar. Keberhasilan Musa dalam melanjutkan perjalanan, dan kesiapannya untuk kembali, menggarisbawahi pentingnya ketahanan spiritual. Setiap langkah yang diambil kembali adalah pelajaran tentang kerendahan hati dan kepatuhan absolut kepada petunjuk yang telah diberikan, betapapun aneh atau melelahkannya petunjuk itu (seperti seekor ikan yang hidup kembali).
Oleh karena itu, setiap kata dalam ayat 61—mulai dari 'Majma’ al-Bahrain' hingga 'saraban'—adalah pintu gerbang menuju pemahaman tentang hubungan rumit antara takdir yang tersembunyi dan kesadaran manusia yang terbatas. Ayat ini mengukuhkan bahwa Allah menggunakan setiap peristiwa, bahkan kelupaan, untuk mengarahkan para hamba-Nya menuju tingkat pengetahuan dan kedekatan yang lebih tinggi.
Penelitian mendalam yang dilakukan oleh para ahli bahasa Arab menyoroti penggunaan kata kerja 'nasiya' dalam bentuk 'tasniyah' (dua orang) meskipun kesalahan utama adalah pada Yusya’. Penggunaan ini menekankan tanggung jawab kolektif. Meskipun Yusya’ lupa memberitahu, Musa, sebagai pemimpin dan pencari ilmu, juga bertanggung jawab atas fokus dan kewaspadaannya. Ilmu sejati menuntut kewaspadaan kolektif dan individual. Jika Musa tidak memiliki tanggung jawab untuk menjaga ‘tanda’ itu dalam benaknya, kelupaan Yusya’ tidak akan menjadi penentu takdir. Tanggung jawab ganda ini memastikan bahwa hikmah dari kelupaan tersebut meluas kepada semua yang terlibat dalam perjalanan spiritual tersebut.
Pengulangan analisis terhadap fenomena ‘saraban’ (terowongan) sangat diperlukan untuk memahami betapa uniknya tanda ini. Ini bukan sekadar ikan melompat dari air, tetapi ikan melompat dari air dan meninggalkan jejak kekuasaan Ilahi di lautan itu sendiri. Jejak ini adalah bukti yang dapat dilihat secara fisik, namun diabaikan oleh akal yang letih. Lorong yang ditinggalkan ikan itu adalah jalan yang jelas menuju Khidr. Kebutuhan untuk kembali menyusuri jejak ‘saraban’ ini mengajarkan bahwa petunjuk spiritual seringkali sangat jelas, namun kita sering melewatinya dan harus kembali ke titik awal untuk melihat kembali keajaiban yang telah kita lupakan.
Seluruh kisah, yang berakar pada detail Ayat 61, adalah pelajaran tentang etika ilmu. Musa adalah seorang Nabi yang paling berilmu di zamannya, namun ia menunjukkan kerendahan hati untuk mencari ilmu tambahan. Kerendahan hati ini diuji melalui kelalaian. Jika Musa merespon kelupaan Yusya’ dengan amarah atau penghakiman, ia akan kehilangan kesempatan untuk bertemu Khidr. Respon Musa di Ayat 64 ("Itulah tempat yang kita cari") adalah penerimaan takdir yang dewasa, sebuah model perilaku bagi setiap pencari ilmu: terima kegagalan dan kelalaian sebagai penanda yang mengarahkan Anda kembali ke tujuan sejati.
Pelajaran tentang ikan ini terus bergema dalam ajaran moral dan tasawuf. Ikan, yang hidup di air (sumber ilmu/hikmah), mati ketika dikeluarkan (bekal materi), dan hidup kembali ketika kembali ke air, melambangkan kehidupan spiritual yang hanya dapat dipertahankan jika ia tetap terhubung dengan sumbernya. Kelalaian Musa dan Yusya’ untuk segera mengembalikan ikan itu ke laut, melambangkan penundaan kita dalam mengembalikan hati kita kepada sumber Ilahi. Ayat 61 adalah seruan untuk segera beraksi ketika tanda kebangkitan spiritual muncul, dan jangan biarkan ia lolos kembali ke dalam lautan takdir tanpa kita ikuti.
Oleh karena itu, merenungkan Ayat 61 secara berulang-ulang, menimbang setiap kata dan implikasi teologisnya, adalah cara terbaik untuk menyerap hikmah Surat Al-Kahfi. Ayat ini mengajarkan bahwa perjalanan menuju kebenaran adalah perjalanan kembali ke titik yang telah kita abaikan. Ilmu sejati seringkali ditemukan bukan di tempat yang baru, melainkan di tempat lama yang kita lihat dengan mata baru, setelah kita mengakui dan memperbaiki kelalaian kita.
Konsep Majma’ al-Bahrain, yang menjadi lokasi kejadian Ayat 61, terus diperdebatkan lokasi fisiknya, tetapi yang lebih penting adalah lokasi metaforisnya di dalam jiwa. Pertemuan dua lautan ini adalah titik konvergensi antara kesadaran dan ketiadaan. Di sana, pengetahuan formal Musa berhenti, dan pengetahuan intuitif Khidr dimulai. Kelupaan ikan terjadi tepat di perbatasan ini, karena di perbatasanlah segala sesuatu menjadi kabur—antara apa yang kita tahu dan apa yang harus kita ketahui. Kelupaan ini adalah ‘biaya masuk’ bagi Musa untuk memasuki dimensi spiritual yang lebih tinggi.
Fenomena ini juga mengingatkan kita pada kerentanan ingatan manusia. Betapa pun pentingnya suatu kejadian (ikan hidup dan membuat terowongan), ia bisa terlupakan. Kekuatan ingatan, bahkan pada orang saleh seperti Yusya’ bin Nun, tidak absolut. Oleh karena itu, ketergantungan sejati haruslah pada pengingat dari Allah (zikr), bukan pada kemampuan kognitif kita sendiri. Ayat 61 menanamkan pelajaran bahwa dalam mencari ilmu, kita harus memohon agar Allah menjaga hati dan ingatan kita dari kelalaian yang dihasut oleh Syaitan.
Kembali kepada kata kunci 'saraban', ia membawa gambaran visual yang luar biasa, menggambarkan kekuatan mukjizat yang tidak hanya menghidupkan, tetapi juga mengubah lingkungan di sekitarnya. Terowongan air yang diciptakan oleh ikan itu adalah jejak yang menunggu untuk diikuti. Jika Musa dan Yusya’ tidak berjalan terlalu jauh dan tidak merasa lelah, mereka mungkin tidak akan pernah menyadari bahwa mereka telah melewati tanda yang begitu jelas. Kelelahan yang memicu pengingatan (Ayat 62-63) adalah rahmat yang tersembunyi, sebuah intervensi takdir yang menuntun mereka kembali ke jejak ‘saraban’ tersebut. Ini mengajarkan bahwa rasa letih dan frustrasi dalam pencarian ilmu kadang kala adalah mekanisme yang Allah gunakan untuk memaksa kita berhenti dan melihat kembali petunjuk yang telah kita abaikan.
Setiap detail dari Ayat 61—kelupaan yang ganda, ikan yang melompat, dan jejak yang ditinggalkan—terus-menerus diulang dan ditekankan dalam kajian tafsir untuk memastikan bahwa esensi hikmahnya tidak hilang. Pemahaman yang mendalam terhadap ayat ini adalah kunci untuk membuka seluruh kekayaan spiritual yang ditawarkan oleh kisah Musa dan Khidr, dan akhirnya, seluruh Surat Al-Kahfi, sebagai panduan melawan fitnah-fitnah besar kehidupan: fitnah harta, fitnah kekuasaan, fitnah ilmu, dan fitnah Dajjal.
Kita menutup kajian ini dengan penegasan bahwa Surat Al-Kahfi ayat 61 adalah undangan universal. Ia mengajak kita untuk mengenali bahwa kehidupan spiritual adalah sebuah perjalanan tanpa akhir yang dipenuhi dengan tanda-tanda kebesaran Ilahi. Kelalaian dan kesalahan adalah bagian dari proses, tetapi yang terpenting adalah kemampuan untuk mengakui kesalahan itu dan berani memutar balik untuk kembali ke jejak hikmah yang telah lama kita lupakan.
Demikianlah, melalui tafsir mendalam yang berulang dan multi-dimensi terhadap Surat Al-Kahfi ayat 61, kita menemukan bukan hanya deskripsi sejarah, tetapi cermin spiritual yang abadi, memandu kita kembali kepada kesadaran dan kerendahan hati di hadapan ilmu Allah yang tak terbatas.