Pengantar Mendalam Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 66: Permintaan Agung Menuju Petunjuk Ilahi
Surah Al-Kahfi memuat salah satu kisah paling menakjubkan dan sarat hikmah dalam Al-Qur’an, yaitu perjalanan Nabi Musa ‘alaihis salam bersama seorang hamba Allah yang memiliki pengetahuan istimewa, yang kemudian dikenal sebagai Khidr. Kisah ini bukan sekadar narasi petualangan geografis, melainkan sebuah metafora agung mengenai batas-batas pengetahuan manusia, pentingnya kesabaran, dan hierarki kebijaksanaan Ilahi.
Pusat dari kisah ini adalah momen permintaan. Momen ketika Nabi Musa, seorang Rasul yang diutus kepada Bani Israil dan dikenal memiliki ketajaman ilmu syariat, menyadari bahwa ada dimensi pengetahuan yang belum ia gapai—sebuah dimensi yang hanya dapat diakses melalui bimbingan khusus dari Khidr. Momen krusial ini diabadikan dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang menjadi fokus utama kajian kita: Surat Al-Kahfi Ayat 66.
I. Teks, Terjemah, dan Konteks Historis Ayat 66
A. Lafal Arab dan Transliterasi
قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًاQāla lahū Mūsā hal attabi‘uka ‘alā an tu‘allimanī mimmā ‘ullimta rushdā.
B. Terjemahan Resmi
Artinya: Musa berkata kepadanya: "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu) yang benar dari apa yang telah diajarkan kepadamu (petunjuk)?"
C. Konteks Sebelum Permintaan
Ayat 66 ini adalah puncak dari upaya pencarian yang luar biasa. Sebelumnya, Nabi Musa telah bersumpah untuk terus mencari "tempat pertemuan dua lautan" (*Majma' al-Bahrain*), sebuah lokasi simbolis yang menandakan batas antara dua jenis pengetahuan. Setelah perjalanan yang panjang, penuh kesukaran, dan menghadapi ujian seperti hilangnya ikan yang telah dipanggang, Musa akhirnya bertemu dengan sosok yang dicarinya. Pertemuan ini sendiri merupakan manifestasi dari janji Ilahi, dan Ayat 66 adalah reaksi langsung Musa terhadap realitas pengetahuan Khidr.
Konteks historis mencerminkan kerendahan hati seorang Nabi besar. Meskipun Musa adalah seorang Nabi dan Rasul yang terkemuka, ia menunjukkan sikap tulus sebagai seorang murid, mengakui adanya ketinggian ilmu pada Khidr yang berasal langsung dari sisi Allah. Permintaan ini, yang diawali dengan kerendahan hati, meletakkan fondasi bagi seluruh etika menuntut ilmu dalam Islam.
II. Analisis Mendalam Kata Kunci (Tafsir Tematik)
Ayat 66 memuat tiga komponen kunci yang mendefinisikan hubungan antara guru (Khidr) dan murid (Musa), serta tujuan akhir dari pencarian ilmu itu sendiri. Tiga kata kunci ini adalah: *attabi‘uka*, *tu‘allimanī*, dan *rushdā*.A. 'Hal Attabi‘uka' (Bolehkah aku mengikutimu?) – Adab Seorang Murid
Kata 'attabi‘uka' (aku mengikutimu) tidak hanya berarti mengikuti secara fisik, melainkan menunjukkan keinginan untuk menjadi pengikut, murid, dan penurut. Penggunaan kata tanya 'hal' (apakah/bolehkah) dalam konteks ini adalah indikasi tertinggi dari adab dan sopan santun. Musa, seorang Nabi, tidak memerintah atau menuntut; ia meminta izin dengan penuh penghormatan kepada gurunya yang potensial.
Para mufasir, seperti Imam Al-Qurtubi dan Imam Ibnu Katsir, menekankan bahwa di sini terdapat pelajaran agung bagi setiap penuntut ilmu. Seorang murid, seberapa tinggi pun status sosial atau intelektualnya, harus merendahkan diri di hadapan guru. Kerendahan hati Musa menunjukkan bahwa ilmu yang bermanfaat hanya akan masuk ke dalam jiwa yang bersih dan menghormati sumber ilmu tersebut.
Ini adalah pengakuan otoritas. Musa mengakui bahwa Khidr memiliki otoritas ilmunya sendiri, dan otoritas tersebut harus dihargai sebelum proses transfer ilmu dapat dimulai. Tanpa adab ini, ilmu cenderung menjadi kesombongan (*ghurur*) alih-alih petunjuk (*rushd*).
B. 'Tu‘allimanī Mimmā ‘Ullimta' (Engkau mengajarkan kepadaku dari apa yang telah diajarkan kepadamu) – Fokus pada Sumber Ilahi
Permintaan Musa sangat spesifik: ia ingin diajarkan *mimmā ‘ullimta* (dari apa yang telah diajarkan kepadamu). Ini adalah pengakuan bahwa Khidr memiliki ilmu yang bersifat *Ladunni* (langsung dari sisi Allah) yang berbeda dari ilmu kenabian atau syariat yang dimiliki Musa.
Kata kerja ‘ullimta (bentuk pasif dari diajarkan) menekankan bahwa Khidr bukanlah penemu ilmu tersebut, melainkan penerima. Ilmu tersebut adalah anugerah murni. Musa menyadari bahwa untuk memahami hikmah tersembunyi, ia harus belajar dari seseorang yang telah diberi akses khusus oleh Sang Pemberi Ilmu (Allah SWT).
Ini mengajarkan bahwa dalam mencari ilmu, seorang Muslim harus selalu sadar bahwa ilmu sejati berasal dari Allah. Apabila ilmu itu adalah ilmu duniawi, ia adalah manifestasi dari hukum-hukum Allah. Apabila ilmu itu adalah ilmu agama, ia adalah wahyu dan petunjuk murni dari Allah.
C. 'Rushdā' (Petunjuk yang benar/Wisdom) – Esensi Pencarian Ilmu
Kata 'rushdā' adalah kata kunci terpenting dalam ayat ini. Ini sering diterjemahkan sebagai 'petunjuk yang benar', 'kebijaksanaan', atau 'kebenaran'. Musa tidak meminta pengetahuan sembarangan; ia meminta ilmu yang menghasilkan *rushd*. Ilmu yang tidak menghasilkan petunjuk yang benar dianggap kurang berharga.
Dalam konteks linguistik Arab, rushd adalah lawan kata dari ghayy (kesesatan). Rushd adalah kondisi di mana seseorang mencapai pemahaman yang benar, memiliki kesadaran yang terarah, dan bertindak sesuai dengan kebijaksanaan Ilahi.
Para ulama tafsir berpendapat bahwa Musa memohon agar Khidr mengajarkan kepadanya ilmu yang akan membimbingnya dalam urusan agamanya. Ini bukan sekadar meminta formula atau fakta; ini adalah permintaan untuk transformasi spiritual dan intelektual—memahami mengapa Allah mengizinkan peristiwa-peristiwa tertentu terjadi (yang kemudian disingkapkan dalam kisah perahu, anak muda, dan tembok). Musa mencari hikmah di balik takdir, yang merupakan puncak dari rushd.
III. Pelajaran Fiqih dan Usul dari Permintaan Musa
Kisah ini menjadi sumber rujukan penting bagi ulama dalam menetapkan adab berinteraksi dalam majelis ilmu.A. Etika Meminta Ilmu: Tawarru' (Kerendahan Hati)
Permintaan Musa mengajarkan prinsip tawarru'. Meskipun Musa adalah seorang Nabi yang berbicara langsung dengan Allah (*Kalimullah*), ia bersikap tulus di hadapan Khidr. Keutamaan ilmu Khidr pada saat itu berada pada level yang berbeda—sebuah anugerah spesifik yang belum diterima Musa. Sikap ini mengajarkan bahwa status sosial atau keilmuan seseorang tidak boleh menjadi penghalang untuk belajar dari orang lain, bahkan jika orang itu secara lahiriah tampak lebih rendah.
Imam Asy-Syafi'i, ketika belajar dari Imam Malik, sering menunjukkan kerendahan hati yang ekstrem, meniru adab para Nabi. Ayat 66 menggarisbawahi bahwa kesuksesan seorang pelajar sangat bergantung pada bagaimana ia memperlakukan gurunya. Ilmu yang diambil dengan sikap sombong atau terpaksa tidak akan membawa keberkahan (*barakah*).
B. Prinsip 'Tabi'iyat' (Kepatuhan) dalam Belajar
Musa menawarkan untuk *attabi‘uka* (mengikuti/menuruti) Khidr. Ini menunjukkan bahwa dalam ilmu-ilmu khusus atau ilmu hikmah, kepatuhan mutlak kepada guru adalah syarat mutlak, setidaknya sampai batas waktu tertentu. Khidr (seperti yang akan terlihat pada ayat berikutnya) menetapkan syarat ketidakberatan (kesabaran), dan Musa menyetujui prinsip kepatuhan ini.
Dalam metode pengajaran yang berfokus pada pengalaman dan petunjuk Ilahi, sang murid harus menyerahkan pemahaman rasionalitasnya sementara waktu, percaya bahwa sang guru bertindak berdasarkan instruksi yang lebih tinggi. Ini berbeda dengan ilmu syariat, di mana pertanyaan dan diskusi terbuka sangat dianjurkan. Dalam kasus Musa dan Khidr, yang dibutuhkan adalah penyerahan total untuk menerima ilmu yang di luar nalar umum.
C. Keutamaan Ilmu yang Menghasilkan Rushd
Fokus pada *rushdā* mengarahkan kita pada hierarki prioritas ilmu. Ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang mengarahkan manusia kepada Allah (tauhid) dan kepada kehidupan yang benar (petunjuk). Setiap ilmu yang diperoleh, jika tidak menuntun pada kebijaksanaan atau pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan hidup, akan menjadi ilmu yang mandul.
Ulama tasawuf dan hikmah sering menggunakan ayat ini sebagai dalil bahwa tujuan utama thariqah (perjalanan spiritual) bukanlah mencapai karamah (kemuliaan), melainkan mencapai *rushd*, yaitu kejelasan batin dan kemantapan iman.
IV. Ekspansi Makna 'Rushd' dalam Berbagai Mazhab Tafsir
Makna 'rushdā' telah diperdebatkan dan diperluas oleh berbagai mazhab tafsir, memberikan kedalaman pada permintaan Nabi Musa.A. Tafsir Klasik (At-Tabari dan Ibnu Katsir)
Dalam tafsir klasik, rushd seringkali diartikan sebagai "kebenaran" atau "ilmu yang membawa kepada kebaikan."
Imam At-Tabari menjelaskan bahwa Musa meminta Khidr untuk mengajarkan kepadanya ilmu yang dengannya ia akan tahu bagaimana bertindak dan mengambil keputusan yang benar. Ini adalah ilmu yang membedakan antara yang benar dan yang salah (*al-haqq wa al-bathil*) dalam urusan yang tidak diatur oleh syariatnya secara eksplisit, khususnya yang berkaitan dengan takdir tersembunyi Allah.
Ibnu Katsir menambahkan bahwa rushd adalah lawan kata dari kebodohan dan kesesatan. Musa menginginkan ilmu yang membersihkan hatinya dari keraguan, menguatkan keyakinannya, dan menyempurnakan pengetahuannya tentang rahasia penciptaan. Permintaan Musa ini secara implisit mengakui bahwa ilmu yang ia miliki (syariat) belum lengkap tanpa ilmu yang bersifat batin (hikmah).
B. Tafsir Filosofis dan Batin (Sufi)
Bagi ulama sufi, rushdā memiliki dimensi batin yang lebih dalam. Mereka melihatnya sebagai *Nūr al-Bashīrah* (Cahaya Mata Batin). Musa, meskipun memiliki *Nūr an-Nubuwwah* (Cahaya Kenabian), membutuhkan *Nūr al-Bashīrah* yang dimiliki Khidr untuk melihat hakikat di balik bentuk luar.
Menurut perspektif ini, perusakan perahu adalah simbol penghancuran ego untuk menghindari musibah yang lebih besar; pembunuhan anak muda adalah pembersihan potensi kejahatan yang belum terwujud; dan perbaikan tembok adalah simbol investasi pada amal saleh yang hasilnya baru terlihat di masa depan. Rushdā adalah kemampuan untuk melihat koneksi kausalitas Ilahi ini.
Mereka menegaskan bahwa perjalanan mencari *rushdā* adalah perjalanan dari ilmu yang didapat melalui akal (*‘ilm al-yaqin*) menuju ilmu yang didapat melalui pengalaman batin (*‘ain al-yaqin*), yang mana Khidr adalah representasi dari ilmu kedua ini.
C. Rushd dalam Konteks Kepemimpinan
Ayat ini juga memberikan pelajaran tentang rushd dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin atau ulama sejati tidak hanya memerlukan pengetahuan hukum (fiqih), tetapi juga kebijaksanaan praktis (*rushd*) untuk menerapkan hukum tersebut pada situasi yang kompleks, memahami konsekuensi jangka panjang, dan mengutamakan maslahat yang tersembunyi. Kegagalan memahami rushd dapat menyebabkan keputusan yang benar secara tekstual, tetapi merusak secara kontekstual.
Permintaan Musa untuk diajarkan rushdā adalah pengakuan bahwa kepemimpinan yang sempurna memerlukan kombinasi antara syariat (ilmu Musa) dan hikmah (ilmu Khidr). Ilmu ini adalah bekal esensial bagi siapa pun yang bertanggung jawab membimbing umat manusia.
V. Dimensi Linguistik Ayat 66 (Nahwu dan Sharf)
Analisis tata bahasa Arab mengungkap ketelitian pemilihan kata dalam Al-Qur'an, yang memperkuat pesan kerendahan hati dan tujuan yang mulia.A. Analisis Struktur Kalimat Tanya
Penggunaan *Hal attabi‘uka* (Apakah aku boleh mengikutimu) adalah bentuk pertanyaan yang lembut dan sopan (*istifham lit-ta’addub*). Musa tidak menggunakan *lima* (mengapa) atau *kayfa* (bagaimana), tetapi memulai dengan permintaan izin. Struktur ini menunjukkan bahwa Musa telah menerima otoritas Khidr, bahkan sebelum Khidr memberikan jawabannya. Kelembutan ini sangat penting karena ia adalah seorang Rasul yang berbicara kepada hamba Allah yang lain; ia menghindari kesan superioritas kenabiannya dalam konteks pembelajaran spesifik ini.
B. Fungsi Preposisi 'Min' dalam 'Mimmā'
Kata 'mimmā' adalah gabungan dari min (dari) dan mā (apa yang). Penggunaan preposisi min di sini, yang dikenal sebagai *min at-tab'īḍ* (min yang menunjukkan sebagian), sangat signifikan. Musa tidak meminta seluruh ilmu Khidr; ia hanya meminta *sebagian* dari ilmu yang telah diajarkan kepada Khidr.
Ini mencerminkan dua hal: pertama, kerendahan hati Musa yang menyadari bahwa ia tidak mampu menanggung keseluruhan ilmu Khidr; kedua, pengakuan bahwa ilmu Allah sangat luas, dan setiap hamba hanya diberi sebagian kecil darinya. Permintaan ini bersifat proporsional dan realistis terhadap kemampuan manusia untuk menyerap ilmu Ilahi.
C. Kedudukan 'Rushdā' sebagai Mashdar (Kata Benda Turunan)
Kata rushdā di sini berkedudukan sebagai *mashdar* (kata benda turunan) yang berfungsi sebagai maf'ūl bih (objek) atau hāl (keadaan). Dalam konteks ini, ia berfungsi sebagai penjelasan tujuan. Musa meminta Khidr mengajarkannya (ilmu) yang dalam keadaannya adalah *rushd*.
Beberapa ahli nahwu menafsirkannya sebagai *maf'ūl li ajlih* (keterangan alasan), yang berarti: "Aku mengikutimu *demi* mencapai petunjuk (rushd)." Penekanan ini menegaskan bahwa tujuan Musa bukanlah ilmu itu sendiri, melainkan hasil spiritual dan moral yang dihasilkan oleh ilmu tersebut.
VI. Perbandingan Dua Jenis Ilmu (Syariat vs. Ladunni)
Kisah Musa dan Khidr, dan khususnya Ayat 66, adalah studi kasus fundamental mengenai perbedaan antara dua jenis ilmu utama:A. Ilmu Syariat (Ilmu Musa)
Ilmu yang dimiliki oleh Musa adalah ilmu yang wajib disebarkan kepada umat manusia. Ilmu ini bersifat eksplisit, terstruktur, rasional, dan berdasarkan kaidah yang jelas (hukum Taurat, perintah dan larangan). Ilmu ini bertujuan mengatur kehidupan publik dan privat, memastikan keadilan sosial, dan menegakkan tauhid. Ia adalah ilmu yang diperoleh melalui wahyu dan ijtihad.
Ketika Musa melihat Khidr melanggar hukum syariat (merusak perahu, membunuh jiwa), ia secara naluriah dan wajib memprotes, karena tugasnya adalah menegakkan hukum yang terlihat. Namun, Musa menyadari bahwa ada dimensi pengetahuan di luar hukum yang ia pahami.
B. Ilmu Ladunni (Ilmu Khidr)
Ilmu yang diminta Musa dari Khidr adalah ilmu *Ladunni*, ilmu yang datang langsung dari sisi Allah (*min ladunnā 'ilmā* - Al-Kahfi: 65). Ilmu ini bersifat esoteris, terkait dengan rahasia takdir, dan tidak terikat pada aturan umum hukum syariat. Ilmu ini bukan untuk disebarkan secara massal, tetapi diberikan kepada individu tertentu untuk tujuan spesifik, seringkali untuk menjelaskan hikmah tersembunyi di balik peristiwa yang tampak buruk.
Ayat 66 menunjukkan bahwa Musa mencari jembatan antara dua ilmu ini. Ia, sebagai pemegang syariat, berusaha melengkapi pengetahuannya dengan pandangan mata batin Khidr, yang diharapannya dapat memberinya *rushd* sempurna.
Penggabungan kedua jenis ilmu ini adalah idealisme tertinggi. Seorang Muslim yang tercerahkan adalah mereka yang memiliki pegangan kuat pada syariat (lahiriah) sambil memahami dan menghayati hikmah batin (ruhaniyah).
VII. Kedalaman Kisah Musa dan Khidr: Ujian Kesabaran
Permintaan Musa di Ayat 66 segera diikuti oleh peringatan Khidr tentang syarat utama: kesabaran (ayat 67). Hal ini menegaskan bahwa ilmu *rushdā* tidak dapat diperoleh hanya dengan kecerdasan, melainkan melalui ketahanan emosional dan spiritual.A. Kesabaran Terhadap 'Ghā’ib' (Hal yang Tersembunyi)
Khidr tahu bahwa Musa, yang terbiasa dengan kejelasan hukum Taurat, akan kesulitan sabar terhadap tindakan yang logikanya tersembunyi. Syarat kesabaran adalah ujian bagi ego rasional Musa. Agar ilmu Khidr dapat mentransformasi Musa menjadi penerima *rushdā*, Musa harus belajar untuk menangguhkan penilaiannya berdasarkan pengetahuan syariatnya yang ada.
Ketidaksabaran Musa (yang terbukti melalui tiga kali protes) menunjukkan betapa sulitnya manusia, bahkan seorang Nabi, untuk menerima kenyataan bahwa takdir Ilahi seringkali tampak bertentangan dengan keadilan atau logika manusiawi di permukaan.
B. Rushd Sebagai Hasil dari Keikhlasan
Musa menunjukkan keikhlasan dengan memohon *attabi‘uka*. Keikhlasan inilah yang memungkinkannya melanjutkan perjalanan, meskipun ia akhirnya gagal memenuhi syarat kesabaran. Allah mengizinkan perjalanan itu terjadi sebagai pendidikan bagi Musa dan sebagai pelajaran bagi seluruh umat manusia.
Setiap pelajar harus menyadari bahwa jalan menuju *rushdā* penuh dengan rintangan dan seringkali membutuhkan pengorbanan pemahaman instan demi tujuan jangka panjang. Nilai sejati dari ayat 66 adalah penegasan kembali bahwa perjalanan mencari ilmu adalah perjalanan menuju kearifan, dan kearifan hanya bersemayam dalam hati yang ikhlas dan sabar.
VIII. Penutup: Warisan Abadi Ayat 66
Surat Al-Kahfi Ayat 66 adalah pelajaran yang abadi, melampaui batas waktu dan budaya, mengenai adab seorang murid, keutamaan ilmu yang membawa petunjuk, dan pengakuan bahwa sumber sejati dari semua pengetahuan adalah Allah SWT.
Nabi Musa mengajarkan kepada kita bahwa pencarian ilmu tidak pernah berhenti, bahkan bagi mereka yang telah mencapai derajat tertinggi. Selalu ada dimensi pengetahuan yang lebih tinggi, lebih dalam, dan lebih hikmah yang menanti untuk digali. Perjalanan Musa bersama Khidr bukanlah kegagalan, melainkan pelajaran sukses dalam kerendahan hati dan ketulusan niat.
Setiap Muslim yang menuntut ilmu—baik ilmu agama, sains, teknologi, maupun seni—seharusnya memulai perjalanannya dengan semangat *hal attabi‘uka* (kerendahan hati) dan tujuan *rushdā* (kebijaksanaan). Dengan demikian, ilmu yang diperoleh tidak hanya mengisi pikiran, tetapi juga menerangi hati, membawa keberkahan, dan menuntun kepada keridhaan Allah Yang Maha Bijaksana.
Pengulangan dan penekanan terhadap pentingnya *rushdā* harus menjadi mantra bagi setiap pencari kebenaran. Ilmu adalah alat, tetapi *rushdā* adalah tujuannya. Tanpa *rushdā*, ilmu bisa menjadi beban atau bahkan kesesatan. Musa, melalui permintaannya yang mulia ini, telah menetapkan standar tertinggi bagi kita semua: bahwa kita tidak hanya mencari pengetahuan, tetapi kita mencari petunjuk yang benar. Kita mencari pemahaman mendalam yang akan membedakan antara tindakan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah dan tindakan yang menjauhkan kita.
Kisah ini terus menerus mengingatkan kita bahwa dimensi spiritual dan dimensi praktikal dari ilmu harus seimbang. Ilmu syariat mengatur tindakan kita, sementara ilmu hikmah (rushd) mengatur niat dan pemahaman kita tentang realitas. Keduanya mutlak diperlukan untuk mencapai kesempurnaan iman dan amal.
Pelajaran kerendahan hati Musa di Ayat 66 mengajarkan bahwa otoritas keilmuan bersifat hierarkis dan beragam. Kita tidak boleh merasa puas dengan apa yang sudah kita ketahui. Selalu ada guru, selalu ada sumber baru, dan selalu ada hikmah yang lebih dalam yang menunggu untuk diungkap. Keinginan Musa untuk belajar dari Khidr, meskipun Khidr secara formal bukan seorang nabi, menunjukkan fleksibilitas dan keterbukaan pikiran yang harus dimiliki oleh para cendekiawan sejati.
Mari kita renungkan lagi frasa ‘alā an tu‘allimanī mimmā ‘ullimta rushdā. Ini adalah doa yang mengandung pengakuan penuh atas kekurangan diri dan keagungan sumber ilmu Ilahi. Ini adalah etos yang harus kita bawa ke setiap ruang kelas, setiap majelis taklim, dan setiap upaya pencarian kebenaran dalam hidup kita.
Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan petunjuk (*rushdā*) yang sempurna, sebagaimana yang dicari oleh Nabi Musa ‘alaihis salam. [END OF EXTENSIVE ANALYSIS]