Menganalisis Hakikat Perhiasan Dunia dan Tujuan Penciptaannya
Gambar: Simbolis Perhiasan Dunia dan Timbangan Amal (Ujian Ilahi)
Surat Al Kahfi, yang dikenal sebagai salah satu penjaga dari fitnah Dajjal, adalah surat yang kaya akan hikmah dan pelajaran mendalam tentang berbagai bentuk ujian dalam kehidupan manusia. Di tengah kisah-kisah luar biasa—tentang Ashabul Kahfi yang diuji keimanan, pemilik dua kebun yang diuji kekayaan, Musa dan Khidr yang diuji pengetahuan, serta Dzulqarnain yang diuji kekuasaan—terselip sebuah ayat fundamental yang menjelaskan akar masalah dari semua ujian tersebut.
Ayat tersebut adalah Surat Al Kahfi Ayat 7. Ayat ini berfungsi sebagai premis teologis yang menjelaskan mengapa dunia ini diciptakan sedemikian rupa, penuh dengan daya tarik dan kemewahan. Ia memberikan jawaban definitif tentang tujuan di balik keberadaan harta, pangkat, dan segala kemilau di atas bumi. Memahami ayat ini secara mendalam bukan hanya menambah wawasan keagamaan, tetapi juga mengubah perspektif seseorang terhadap realitas duniawi, menjadikannya sebuah jembatan, bukan tujuan akhir.
Untuk memahami kedalaman makna dari surat al kahfi ayat 7, kita perlu membedah setiap lafazh utamanya, sebagaimana yang dilakukan oleh para mufassir terdahulu, seperti Imam At-Tabari, Imam Al-Qurtubi, dan Ibnu Katsir. Setiap kata membawa bobot makna yang sangat besar dalam konteks ujian kehidupan.
Lafazh "Inna" (Sesungguhnya) adalah penekanan (ta'kid). Penggunaan kata ini menandakan bahwa pernyataan yang mengikuti adalah sebuah kebenaran mutlak dan fakta yang tidak dapat diganggu gugat, yang bersumber langsung dari Kehendak Ilahi. Ini menekankan otoritas Allah SWT sebagai Pencipta dan Pengatur.
Kata "Ja'alnā" (Kami telah menjadikan) merujuk pada tindakan penciptaan dan penetapan. Ini bukan sekadar 'menciptakan' (*khalaqna*), tetapi 'menetapkan' atau 'menjadikan' sesuatu memiliki fungsi tertentu. Dalam konteks ini, Allah menetapkan bahwa segala sesuatu di bumi memiliki peran sebagai perhiasan.
Penekanan pada 'Kami' (bentuk jamak keagungan) menunjukkan bahwa penetapan ini adalah keputusan agung yang melibatkan seluruh hikmah dan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Hal ini menghilangkan segala keraguan mengenai tujuan penciptaan dunia.
Frasa ini mencakup semua yang dapat diamati dan digunakan oleh manusia di atas permukaan bumi. Tafsir luasnya mencakup empat kategori utama perhiasan dunia:
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa semua hal ini adalah 'al-zā’il' (yang fana) dan sementara. Sifat fana inilah yang menjadikan mereka ujian. Jika ia kekal, maka mungkin ia bukanlah ujian, melainkan pahala. Karena ia akan lenyap, manusia diuji bagaimana ia memperlakukan sesuatu yang tidak abadi demi mendapatkan sesuatu yang abadi.
Ini adalah inti dari deskripsi dunia. Kata "Zīnah" (perhiasan, adornment) menunjukkan sesuatu yang indah, menarik, dan menggoda mata serta hati. Perhiasan berfungsi untuk membuat sesuatu terlihat lebih menarik daripada hakikat aslinya. Allah menciptakan dunia dengan daya pikat yang luar biasa agar manusia tergerak untuk berinteraksi dengannya.
Para ulama tafsir menegaskan bahwa dunia itu sendiri tidak buruk. Yang buruk adalah keterikatan hati yang berlebihan terhadap perhiasan tersebut, hingga melupakan tujuan utama keberadaan perhiasan itu sendiri, yaitu sebagai alat menuju akhirat. Perhiasan ini bersifat sementara. Ibarat panggung teater yang indah dan megah, namun setelah pertunjukan usai, panggung itu akan dibongkar (seperti yang dijelaskan dalam ayat selanjutnya, Al Kahfi: 8).
Kata kerja ini berasal dari akar kata *balā*, yang berarti menguji, mencoba, atau memurnikan. Kata ini merupakan tujuan (lam ta'lil) dari penciptaan perhiasan dunia. Semua keindahan dan kemewahan yang ada di bumi tidak diciptakan secara sia-sia, melainkan memiliki fungsi tunggal: ujian.
Ujian (Ibtilā') dalam Al-Qur'an memiliki makna lebih dalam daripada sekadar tes. Ia adalah proses pemilahan. Ujian ini memisahkan antara hamba yang benar-benar beriman, yang menggunakan perhiasan dunia sesuai tuntunan, dengan hamba yang tertipu dan diperbudak olehnya. Dalam terminologi teologis, ujian adalah alat untuk mewujudkan apa yang sudah ada dalam ilmu Allah, sekaligus menjadi bukti keadilan-Nya di Hari Akhir.
Ini adalah kriteria kemenangan dalam ujian tersebut. Fokusnya bukan pada 'amal yang paling banyak' (*aktsaru 'amalan*), tetapi 'amal yang paling baik' (*aḥsanu 'amalan*). Perbedaan ini sangat krusial dan merupakan titik sentral dari ayat ini.
Fudhail bin Iyadh, seorang ulama besar Tabi'in, menafsirkan *Aḥsanu 'Amalan* sebagai:
"Yang paling tulus (ikhlas) dan paling benar (sesuai sunnah). Sebab, jika amal itu tulus tetapi tidak benar, ia tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak tulus, ia juga tidak diterima. Ia harus tulus dan benar. Keikhlasan itu apabila dikerjakan hanya untuk Allah, dan kebenaran itu apabila ia sesuai dengan sunnah Rasulullah ﷺ."
Dengan demikian, Al Kahfi Ayat 7 mengajarkan bahwa kualitas amal jauh lebih penting daripada kuantitasnya. Keikhlasan dan kepatuhan terhadap syariat adalah standar yang digunakan Allah untuk menilai bagaimana manusia merespons perhiasan dunia.
Zīnah atau perhiasan dunia adalah pedang bermata dua. Ia diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia, namun pada saat yang sama, ia adalah perangkat lunak ilahi yang dirancang untuk menguji hati dan niat. Ujian melalui perhiasan dunia seringkali lebih berat daripada ujian melalui musibah atau kekurangan.
Kekayaan adalah bentuk perhiasan yang paling jelas. Banyak orang gagal dalam ujian ini karena mereka menganggap harta sebagai tujuan, bukan alat. Kekayaan menguji manusia dalam beberapa aspek:
Surat Al Kahfi ayat 7 sangat kontras dengan gambaran dunia yang selalu diimpikan. Masyarakat sering mengukur kesuksesan dari akumulasi perhiasan ini. Namun, ayat ini mengubah tolok ukur tersebut, menetapkan bahwa kekayaan hanya bernilai jika ia menghasilkan *aḥsanu 'amalan*.
Jabatan dan kekuasaan memberikan ilusi kontrol dan keabadian, padahal ia adalah perhiasan yang paling cepat lenyap. Ketika seseorang memiliki kekuasaan, ia diuji:
Kisah Dzulqarnain dalam surah ini adalah contoh ideal bagaimana kekuasaan yang besar digunakan bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan untuk melayani umat dan menegakkan perintah Allah, menunjukkan bagaimana perhiasan kekuasaan bisa diubah menjadi amal terbaik.
Perhiasan tidak terbatas pada benda mati, tetapi juga mencakup daya tarik fisik dan popularitas. Dalam era modern, ini terwujud dalam obsesi terhadap penampilan dan pengejaran ketenaran di media sosial. Ujiannya adalah:
Apakah ketenaran digunakan untuk menyebarkan kebaikan dan dakwah? Atau, apakah ia menjadi sumber riya' (pamer) dan kebanggaan yang merusak keikhlasan? Keindahan fisik adalah perhiasan yang sangat fana dan cepat memudar. Orang yang cerdas, berdasarkan ayat ini, akan menginvestasikan perhiasan tersebut pada amal yang kekal.
Inti filosofis dari surat al kahfi ayat 7 terletak pada upaya manusia untuk mencapai standar "amal yang paling baik." Ini bukan sekadar menjalankan kewajiban, tetapi mencapai tingkat keunggulan spiritual dan metodologis dalam setiap perbuatan.
Ikhlas adalah pondasi dari *Aḥsanu 'Amalan*. Ini berarti memurnikan niat, sehingga seluruh perbuatan, besar atau kecil, hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah semata. Tanpa ikhlas, amal sebanyak apapun hanya akan menjadi debu yang beterbangan (QS. Al-Furqan: 23).
Hubungan Ikhlas dengan Perhiasan Dunia: Perhiasan dunia adalah musuh terbesar ikhlas. Kekayaan mengundang riya' (pamer). Kekuasaan mengundang ujub (bangga diri). Ketenaran mengundang syuhrah (ingin dipuji). Ujian utama dalam ayat 7 adalah menjaga kemurnian niat di tengah gemerlap perhiasan yang menggoda untuk berpaling dari Allah.
Pilar kedua adalah *muwāfaqah* atau *muṭāba'ah*, yaitu memastikan bahwa perbuatan tersebut dilakukan sesuai dengan tuntunan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Amal yang dilakukan tanpa landasan syariat, meskipun dilakukan dengan niat baik, dianggap sebagai bid’ah dan tertolak.
Seorang hamba mungkin memiliki harta yang melimpah (perhiasan dunia), dan ingin menggunakannya untuk amal saleh. Jika ia menginfakkannya dengan cara yang tidak disyariatkan, maka meskipun niatnya tulus, amalnya tidak termasuk *Aḥsanu 'Amalan* karena tidak sesuai dengan syariat.
Ayat ini secara eksplisit memilih kata *Aḥsan* (terbaik) daripada *Aktsar* (terbanyak). Ini mengajarkan bahwa Allah menilai kedalaman dan mutu ibadah, bukan sekadar jumlahnya. Dua rakaat shalat malam yang dilakukan dengan khusyuk dan ikhlas, lebih berat timbangannya daripada seratus rakaat yang dilakukan dalam keadaan riya’ atau lalai.
Penerapan ini dalam menggunakan perhiasan dunia: Seorang pedagang yang jujur dalam setiap transaksinya, meskipun ia hanya memiliki sedikit harta, telah mencapai *Aḥsanu 'Amalan* dibandingkan dengan pedagang kaya raya yang sering menipu dan curang, meskipun ia banyak menyumbang setelah itu.
Ayat 7 Surat Al Kahfi tidak berdiri sendiri. Ia menjadi jembatan menuju ayat 8, yang menjelaskan nasib akhir dari perhiasan dunia setelah ujian berakhir. Ayat ini juga menjadi tema sentral yang merangkai empat kisah utama di dalam surah tersebut.
Setelah menjelaskan bahwa bumi ini penuh perhiasan untuk diuji, Allah melanjutkan:
Ayat 8 memberikan kesimpulan visual yang menakutkan bagi mereka yang tertipu oleh perhiasan (zīnah). Semua keindahan, kemegahan, dan kekayaan yang menjadi alat uji akan dihancurkan, diratakan, dan menjadi tanah yang tandus (*sa’īdan juruzā*), tidak mampu menumbuhkan apapun lagi. Ini adalah pengingat bahwa semua yang kita lihat dan nikmati hari ini adalah sementara, dan fokus harus dialihkan kepada hasil dari ujian itu.
Perpaduan Ayat 7 dan 8 menghasilkan pelajaran bahwa dunia adalah ladang yang harus diolah (Ayat 7) namun ladang itu pasti akan musnah (Ayat 8). Oleh karena itu, bijaksanalah menggunakan ladang yang fana untuk menuai hasil yang kekal.
Kisah pertama (Ayat 9-26) adalah kisah pemuda yang menghadapi ujian keimanan di hadapan kekuasaan tiran. Mereka dihadapkan pada pilihan: kenyamanan, keamanan, dan perhiasan istana raja, atau penderitaan, pelarian, dan keikhlasan dalam gua. Mereka memilih untuk meninggalkan semua perhiasan duniawi demi menjaga *Aḥsanu 'Amalan*, yaitu tauhid murni.
Kisah ini menunjukkan bahwa terkadang, *Aḥsanu 'Amalan* adalah meninggalkan perhiasan yang mengancam keimanan, meskipun itu berarti hidup dalam kesulitan. Mereka menggunakan kemampuan dan energi mereka untuk berlari menuju keridaan Allah.
Kisah kedua (Ayat 32-44) adalah cerminan langsung dari penyalahgunaan *zīnah*. Kedua pemilik kebun sama-sama diberikan perhiasan (kebun yang subur, kekayaan yang melimpah). Salah satunya sombong, mengira kekayaannya akan abadi dan merupakan hasil mutlak jerih payahnya, melupakan tujuan ujian. Ia gagal total dalam mencapai *Aḥsanu 'Amalan* karena tidak adanya rasa syukur dan keikhlasan.
Ketika perhiasannya dihancurkan, ia baru menyesal, namun penyesalan itu sudah terlambat. Kisah ini mengajarkan bahwa kegagalan terbesar dalam surat al kahfi ayat 7 adalah ketika perhiasan dunia justru menumbuhkan kesombongan (kufur nikmat) di dalam hati.
Kisah ketiga (Ayat 60-82) menyingkap dimensi lain dari ujian: ujian melalui ilmu dan kebijaksanaan. Di sini, perhiasannya bukanlah emas atau harta, melainkan ‘perhiasan pengetahuan’ dan ego intelektual. Nabi Musa diuji kesabarannya dalam mengikuti Khidr, yang menunjukkan bahwa *Aḥsanu 'Amalan* terkadang memerlukan kerendahan hati untuk menerima pengetahuan yang melampaui pemahaman kita.
Ujian ini relevan bagi mereka yang menjadikan ilmu (yang merupakan perhiasan intelektual) sebagai alat kesombongan. *Aḥsanu 'Amalan* dalam ilmu adalah menggunakannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk menyombongkan diri di hadapan manusia.
Kisah terakhir (Ayat 83-98) adalah antitesis dari kegagalan pemilik dua kebun. Dzulqarnain dianugerahi kekuasaan dan sarana (perhiasan dunia) yang sangat besar. Namun, ia tidak menggunakannya untuk menindas atau memperkaya diri. Sebaliknya, ia menggunakannya untuk menegakkan keadilan, membantu kaum tertindas, dan mengamalkan perintah Allah (membangun tembok Ya’juj dan Ma’juj).
Dzulqarnain berhasil mengubah perhiasan kekuasaan menjadi *Aḥsanu 'Amalan* dengan berpegang pada tauhid dan keikhlasan. Ia bahkan menolak upah atas jasanya, menegaskan bahwa hadiah dari Allah (pahala) jauh lebih baik daripada perhiasan duniawi.
Ayat 7 tidak hanya berisi aturan hukum, tetapi juga menawarkan wawasan mendalam tentang psikologi manusia dalam menghadapi godaan. Ini adalah cetak biru ilahi mengenai sifat dasar ujian hidup.
Imam Al-Ghazali dalam karyanya sering menyoroti bahwa perhiasan dunia, khususnya kekayaan, memiliki daya rusak yang luar biasa terhadap hati. Berbeda dengan musibah (kemiskinan, penyakit) yang cenderung mendekatkan seseorang kepada Allah (membuatnya berdoa), kekayaan justru memberikan ilusi swasembada. Orang kaya sering merasa tidak membutuhkan bantuan Allah karena semua kebutuhannya dapat dipenuhi oleh hartanya.
Perhiasan ini menuntut kecerdasan spiritual yang tinggi untuk dikelola. Menggunakan perhiasan (seperti uang) untuk membeli makanan yang halal, membayar zakat yang wajib, dan menyantuni anak yatim, adalah tindakan yang mengubah materi fana menjadi amal kekal, sebagaimana dituntut oleh surat al kahfi ayat 7.
Memahami bahwa segala yang ada di bumi adalah perhiasan untuk ujian akan menumbuhkan sikap Zuhd (asketisme spiritual) yang benar. Zuhd tidak berarti hidup miskin dan menolak segala kenikmatan, melainkan melepaskan keterikatan hati terhadap perhiasan tersebut.
Zuhd yang sejati adalah ketika harta ada di tangan, tetapi hati tetap terpaut pada Allah. Seseorang yang Zuhud mampu menggunakan perhiasan dunia secara efektif tanpa dicemari oleh sifat tamak atau ambisi yang merusak keikhlasan. Ia melihat perhiasan sebagai alat yang setiap saat bisa ditarik kembali oleh Sang Pemberi Ujian.
Karena fokus ayat 7 adalah pada *Aḥsanu 'Amalan*, Niat menjadi filter utama. Niat yang benar mampu mengubah aktivitas duniawi, yang terlihat seperti pengejaran perhiasan, menjadi ibadah dan amal saleh.
Contoh: Bekerja keras mencari nafkah (yang menghasilkan harta/perhiasan) bisa menjadi ibadah jika niatnya adalah untuk menafkahi keluarga, menghindari meminta-minta, dan membantu orang lain. Sebaliknya, jika niatnya semata-mata untuk mengumpulkan kekayaan demi kebanggaan, maka aktivitas itu hanyalah pengejaran *zīnah* yang tidak menghasilkan *Aḥsanu 'Amalan*.
Dalam konteks modern, perhiasan dunia mengambil bentuk-bentuk baru yang lebih kompleks. Teknologi, media sosial, dan gaya hidup konsumtif adalah manifestasi terbaru dari *zīnah* yang menguji manusia di abad ke-21.
Platform digital adalah bentuk perhiasan baru yang menawarkan ketenaran, pujian (likes), dan pengakuan instan. Ini adalah ujian keikhlasan yang sangat berat. Banyak orang menghabiskan energi untuk menciptakan citra diri (zīnah) yang ideal di dunia maya, seringkali melupakan substansi dan kualitas amal mereka di dunia nyata. Ujiannya adalah:
Apakah konten dibuat untuk mencari pujian dan ketenaran (riya'), atau untuk menyebarkan kebenaran (Aḥsanu 'Amalan)? Apakah waktu dihabiskan untuk hal-hal yang fana atau untuk pengembangan diri yang bermanfaat bagi akhirat?
Gaya hidup konsumtif mendorong orang untuk mengejar *zīnah* di luar kemampuan mereka, seringkali melalui utang ribawi. Pengejaran tanpa henti terhadap perhiasan mobil terbaru, rumah mewah, atau pakaian bermerek, membuktikan betapa kuatnya daya pikat *zīnah* yang dijelaskan dalam surat al kahfi ayat 7.
Seorang Muslim yang berhasil dalam ujian ini adalah mereka yang menerapkan qana’ah (merasa cukup), memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan, dan menghindari utang yang menjerat, sehingga fokusnya tidak beralih dari pencarian *Aḥsanu 'Amalan* menuju pelunasan cicilan perhiasan duniawi.
Pemahaman yang benar terhadap ayat ini mendorong tercapainya keseimbangan. Dunia bukan untuk ditinggalkan total, karena kita diperintahkan untuk mengolahnya. Namun, dunia tidak boleh dicintai secara mutlak, karena ia adalah fana.
Keseimbangan terjadi ketika kita menggunakan perhiasan dunia (harta, waktu, kesehatan) sebagai modal untuk ibadah. Contohnya: menggunakan kesehatan untuk berpuasa, menggunakan harta untuk haji, menggunakan waktu luang untuk membaca Al-Qur'an. Ini adalah strategi mengubah perhiasan fana menjadi investasi abadi.
Surat Al Kahfi Ayat 7 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an yang menjelaskan peta jalan kehidupan. Ia menyajikan realitas bahwa kehidupan ini adalah sebuah laboratorium, di mana perhiasan bumi menjadi katalisator yang menguji kualitas hati dan perbuatan manusia.
Jika kita melihat sekeliling, segala kemilau dan daya tarik yang kita jumpai—mulai dari gedung pencakar langit hingga senyum seorang anak, dari rekening bank yang tebal hingga popularitas di mata publik—semuanya adalah *zīnah* yang dipasang oleh Sang Penguji Agung. Setiap interaksi kita dengan perhiasan ini adalah kesempatan untuk mencetak *Aḥsanu 'Amalan*.
Ketakutan yang harus dipelihara, sebagaimana implikasi dari ayat ini, bukanlah takut kehilangan perhiasan, melainkan takut bahwa perhiasan tersebut tidak berhasil kita konversi menjadi amal terbaik. Setiap detik, setiap Rupiah, setiap jabatan, adalah kuis yang harus dijawab dengan keikhlasan dan kepatuhan.
Ketika kita memahami tujuan keberadaan perhiasan, hati kita akan tenang dalam menghadapinya. Kita tidak akan terlalu berduka saat kehilangan, karena ia hanyalah alat ujian yang ditarik kembali. Dan kita tidak akan terlalu gembira saat mendapatkan, karena ia hanyalah tanggung jawab baru yang harus dikelola dengan bijak demi mencari keridaan Allah. Dengan demikian, kita mempersiapkan diri menghadapi realitas Ayat 8, di mana semua *zīnah* itu akan lenyap menjadi tanah tandus, dan yang tersisa hanyalah buah dari *Aḥsanu 'Amalan* kita.
Menjadikan surat al kahfi ayat 7 sebagai landasan filosofis hidup adalah kunci menuju kesuksesan abadi, mengubah panggung dunia yang fana menjadi terminal menuju surga yang kekal.