Surat Al-Lahab: Analisis Komprehensif Mengenai Jumlah Ayat, Konteks Historis, dan Penafsiran Mendalam

Simbol Api dan Kitab

Visualisasi metaforis Surat Al-Lahab yang berbicara tentang api neraka.

Pendahuluan: Posisi Surat Al-Lahab dalam Mushaf

Surat Al-Lahab, atau yang juga dikenal dengan nama Surat Al-Masad, menempati urutan yang unik dan sangat spesifik di antara surat-surat dalam Al-Qur’an. Surat ini merupakan surat Makkiyah, yang berarti diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Mekah, sebelum peristiwa Hijrah ke Madinah. Penempatan surat ini dalam susunan mushaf Utsmani adalah pada urutan ke-111, menjadikannya salah satu surat terakhir dalam kategori surat-surat pendek atau yang sering disebut Al-Mufassal.

Penamaan surat ini berasal dari salah satu tokoh sentral yang disebutkan di dalamnya, yaitu Abu Lahab. Nama "Al-Lahab" secara harfiah berarti 'nyala api yang berkobar' atau 'gejolak api'. Penggunaan nama ini sangat signifikan karena merujuk, baik secara literal maupun metaforis, kepada Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, serta takdir api neraka yang telah dipastikan Allah SWT baginya.

Konteks historis penurunan surat ini sangat vital untuk dipahami. Ia diturunkan sebagai respons langsung terhadap penolakan keras dan permusuhan terbuka yang dilakukan oleh Abu Lahab terhadap dakwah tauhid yang baru dimulai. Ketika Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk memulai dakwah secara terbuka, beliau naik ke Bukit Safa dan memanggil kaum Quraisy. Saat itulah Abu Lahab melontarkan caci maki yang pedas, yang kemudian dijawab langsung oleh wahyu ilahi ini, sebuah pertanda bahwa penolakan terhadap kebenaran akan dihadapi dengan hukuman yang pasti dari langit.

Surat Al-Lahab memiliki karakteristik Makkiyah yang kuat: pendek, padat, berirama cepat, dan fokus pada isu-isu mendasar akidah, khususnya hukuman bagi mereka yang menentang Rasul dan risalah-Nya. Meskipun pendek, surat ini memberikan pelajaran teologis yang luar biasa mengenai kepastian janji dan ancaman Allah, bahkan kepada kerabat terdekat seorang Nabi.

Jawaban Tegas: Surat Al-Lahab Berapa Ayat?

Pertanyaan fundamental mengenai struktur Surat Al-Lahab adalah mengenai jumlah ayatnya. Berdasarkan konsensus ulama tafsir, ahli qira’at, dan perhitungan standar mushaf yang berlaku di seluruh dunia Islam, jawaban terhadap pertanyaan surat al lahab berapa ayat adalah: Surat Al-Lahab terdiri dari LIMA (5) ayat.

Penghitungan lima ayat ini didasarkan pada perhitungan Kufi (yang paling umum digunakan), perhitungan Madani Awal, Madani Akhir, Syami, dan Basri. Dalam kasus Surat Al-Lahab, tidak terdapat perbedaan signifikan dalam penentuan fawasil (akhir ayat) di antara mazhab-mazhab perhitungan utama tersebut, yang memperkuat kepastian bahwa jumlah ayatnya adalah lima. Kejelasan jumlah ini memungkinkan kita untuk beralih ke analisis mendalam setiap ayatnya.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۛ (١)
مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ (٢)
سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ (٣)
وَّامْرَاَتُهٗ ۗ حَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ (٤)
فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ (٥)

Kelima ayat ini membentuk satu kesatuan narasi yang kuat, dimulai dengan kutukan, dilanjutkan dengan penegasan kefanaan duniawi, dan diakhiri dengan deskripsi hukuman yang spesifik bagi Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil.

Tafsir Ayat Pertama (Ayat 1 dari 5)

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۛ

Terjemah: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!

Ayat pembuka ini adalah pernyataan kutukan dan hukuman ilahi yang sangat kuat. Kata kunci di sini adalah تَبَّتْ (Tabbat). Kata ini berasal dari akar kata tabba yang berarti 'celaka', 'binasa', 'rugi', atau 'kalah'. Ayat ini diturunkan dalam bentuk doa kutukan, yang kemudian diterima dan dikonfirmasi oleh Allah SWT sebagai fakta yang pasti terjadi, baik di dunia maupun di akhirat.

Lafazh يَدَآ (Yada) adalah bentuk dual (dua) dari kata yad (tangan). Mengapa Allah hanya menyebut 'kedua tangan'? Para mufassir seperti Imam At-Tabari menjelaskan bahwa ini merujuk pada tindakan fisik Abu Lahab. Tangan adalah simbol dari daya upaya, kekuatan, dan pekerjaan. Ketika ia menolak dakwah Nabi di Bukit Safa, ia mungkin menggunakan tangannya untuk mengancam, melempar, atau sekadar menunjuk dengan gestur penghinaan. Dengan mengutuk tangannya, Allah mengutuk segala daya upaya dan hasil kerjanya yang digunakan untuk menentang kebenaran.

Namun, kutukan tidak berhenti pada tangan. Frasa وَّتَبَّ (Wa Tabb) yang datang setelahnya menunjukkan bahwa kebinasaan itu tidak hanya terbatas pada usahanya, tetapi mencakup dirinya secara keseluruhan. Ini adalah bentuk pengulangan retoris yang dalam bahasa Arab disebut ta’kid (penguatan). Kutukan pertama adalah prediksi atas tindakannya; kutukan kedua adalah penegasan bahwa prediksi itu telah menjadi kenyataan. Dia celaka dalam niatnya, celaka dalam usahanya, dan celaka dalam akhiratnya.

Nama اَبِيْ لَهَبٍ (Abi Lahab) yang secara harfiah berarti "Bapak Api yang Menyala," bukanlah nama aslinya. Nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Allah menggunakan nama panggilan yang sesuai dengan takdirnya di Akhirat (Api Neraka). Ini menunjukkan presisi dan keindahan balaghah Al-Qur'an. Allah tidak hanya mencelanya, tetapi juga mencapnya dengan takdirnya.

Analisis Linguistik Mendalam Ayat Pertama

Struktur gramatikal ayat pertama ini sangat penting. Penggunaan kata kerja sempurna (past tense) dalam تَبَّتْ (Tabbat), meskipun ia merupakan doa atau prediksi masa depan (sebab Abu Lahab masih hidup saat itu), menyiratkan kepastian mutlak. Dalam balaghah Al-Qur'an, ketika sesuatu yang akan terjadi di masa depan dinyatakan dalam bentuk lampau, ini menandakan bahwa peristiwa tersebut pasti dan tak terhindarkan. Kematian Abu Lahab dalam keadaan kafir dan kekalnya di neraka adalah sebuah kepastian ilahi yang diumumkan sejak dini, menjadi salah satu mukjizat kenabian.

Para ulama tafsir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur'an, menyoroti bagaimana surat ini berfungsi sebagai pengumuman perang terbuka terhadap setiap individu yang menolak kebenaran, tanpa peduli kedekatan hubungan darahnya dengan Nabi. Surat ini membersihkan dakwah dari nepotisme dan menunjukkan bahwa pertalian iman jauh lebih kuat daripada pertalian darah.

Ketepatan Sejarah dan Mukjizat

Surat ini turun jauh sebelum Abu Lahab meninggal dunia. Selama periode itu, Abu Lahab memiliki kesempatan untuk memeluk Islam dan dengan demikian membatalkan ancaman neraka. Namun, ia tidak pernah melakukannya. Dia wafat sekitar tujuh hari setelah Perang Badar, dalam kondisi yang hina (penyakit menular yang menyebabkan jenazahnya ditinggalkan selama beberapa hari). Fakta bahwa ia meninggal dalam kekafiran, persis seperti yang dinubuatkan oleh Al-Qur'an, adalah mukjizat profetik yang tak terbantahkan. Hal ini menjadi bukti kuat bagi kaum Muslim saat itu dan sepanjang masa bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang Maha Mengetahui masa depan.

Kisah ini menegaskan bahwa predikat ‘paman Nabi’ tidak menyelamatkan seseorang dari murka ilahi. Hukuman di sini bukan didasarkan pada hubungan keluarga, melainkan pada kejahatan penentangan aktif terhadap kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ.

Tafsir Ayat Kedua (Ayat 2 dari 5)

مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ

Terjemah: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan (anak-anaknya).

Ayat kedua ini membahas ilusi kekayaan dan kekuasaan. Abu Lahab adalah salah satu pemimpin Quraisy yang kaya raya, memiliki harta melimpah, dan memiliki banyak anak yang dianggap sebagai kekuatan sosial dan politik pada masa itu. Ayat ini secara tegas meniadakan manfaat dari semua yang ia miliki dalam menghadapi azab Allah.

Frasa مَآ اَغْنٰى عَنْهُ (Maa Aghna 'anhu) berarti 'tidaklah mencukupi/berguna baginya'. Ini adalah penolakan mutlak. Hartanya, yang seharusnya bisa digunakan untuk amal atau perbaikan diri, justru menjadi sumber kesombongan dan penentangan.

Lafazh مَالُهٗ (Maaluhu) merujuk pada kekayaan materialnya, seperti emas, perak, unta, dan kebun. Di dunia, harta adalah sumber daya, tetapi di hadapan ketetapan akhirat, harta menjadi debu yang tak berharga.

Yang lebih menarik adalah frasa وَمَا كَسَبَ (Wa Maa Kasab). Secara literal, kasaba berarti 'apa yang dia usahakan' atau 'peroleh'. Mayoritas mufassir, termasuk Ibnu Katsir, menafsirkan Ma Kasab dalam konteks ini sebagai anak-anaknya. Mengapa anak-anak disebut sebagai 'hasil usaha'? Karena pada masyarakat Arab pra-Islam, anak laki-laki dianggap sebagai aset terbesar, sumber kekuatan klan, pembela kehormatan, dan jaminan kekuasaan di masa tua. Ketika Abu Lahab mengancam Nabi, ia mungkin mengandalkan jumlah dan kekuatan anak-anaknya.

Namun, dalam konteks yang lebih luas, Ma Kasab juga mencakup semua perbuatan dan amal usahanya di dunia. Semuanya—baik harta, anak, status, maupun perbuatan buruknya yang ditujukan untuk menentang Islam—tidak akan memberinya manfaat sedikit pun di hari pembalasan. Ayat ini mengajarkan prinsip universal dalam Islam: Kekuatan sejati bukan terletak pada materi atau keturunan, melainkan pada iman dan amal saleh.

Pelajaran Teologis dari Kefanaan Harta

Ayat kedua ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi umat manusia yang cenderung mengandalkan kekayaan duniawi. Ini adalah pertentangan antara nilai-nilai materialistik dan nilai-nilai spiritual. Bagi Abu Lahab, kekayaan adalah tameng, tetapi Al-Qur'an menghancurkan tameng itu. Ini menunjukkan bahwa tidak ada benteng duniawi yang mampu melindungi seseorang dari azab Allah SWT jika ia memilih jalan kekufuran dan permusuhan.

Pengulangan dan penekanan terhadap kefanaan harta dalam surat yang sangat pendek ini menunjukkan betapa besar bahaya kesombongan yang disebabkan oleh kekayaan. Kesombongan inilah yang membutakan Abu Lahab dari kebenaran yang dibawa oleh keponakannya sendiri.

Untuk mencapai kedalaman yang sepadan dengan 5 ayat yang begitu padat, kita harus terus menelaah implikasi dari kekosongan material ini. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di menekankan bahwa peniadaan manfaat harta dan usaha ini juga berarti bahwa di akhirat, Abu Lahab tidak akan memiliki penolong (anak) yang mampu membebaskannya dari azab, sebagaimana keyakinan orang-orang musyrik yang menganggap darah dan klan sebagai penyelamat abadi.

Konsep ‘usaha’ (kasab) juga perlu ditinjau dari sisi ekonomi moral. Dalam konteks Mekah, kekayaan Abu Lahab mungkin diperoleh melalui jalur perdagangan yang sah, namun jika kekayaan itu digunakan untuk membiayai fitnah dan penindasan terhadap orang beriman, maka perolehannya itu sendiri menjadi bagian dari kebinasaan (tabb). Jadi, meskipun harta itu sah secara duniawi, penggunaannya secara etis dan religius yang menentukan nilai abadi seseorang.

Perluasan tafsir mengenai *Ma Kasab* (apa yang dia usahakan) juga mencakup semua pengaruh negatif yang ia ciptakan di tengah masyarakat. Setiap fitnah yang dilontarkannya, setiap penghalang yang ia dirikan di jalan dakwah, adalah ‘usaha’ yang kini menuntut balas. Semuanya akan dihitung dan tidak akan memberikan kebaikan, melainkan menambah beban nerakanya. Dalam tafsir kontemporer, ini menjadi relevansi bagi para pemimpin atau tokoh publik yang menggunakan status dan kekayaannya untuk menyebarkan kebencian atau menghalangi kebenaran; status mereka tidak akan menjadi perantara mereka di hadapan Sang Pencipta.

Tafsir Ayat Ketiga (Ayat 3 dari 5)

سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ

Terjemah: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Al-Lahab).

Ayat ini adalah inti dari janji hukuman, sekaligus sumber nama bagi surat ini. Ini adalah puncak dari kutukan yang dimulai pada ayat pertama. Kata kuncinya adalah سَيَصْلٰى (Sayasla).

Huruf سَ (Sa) yang melekat pada kata kerja yasla (dia akan masuk) adalah partikel penanda masa depan yang pasti dan segera. Ini tidak hanya menjanjikan hukuman, tetapi memastikan bahwa hukuman itu akan datang tanpa penundaan setelah kematiannya. Yasla berarti 'memanggang', 'terbakar', atau 'dijerumuskan'.

Dia akan memanggang dalam نَارًا (Naaran), api. Namun, api ini bukan api biasa. Api ini dijelaskan lebih lanjut dengan frasa ذَاتَ لَهَبٍ (Dzaata Lahab), yang berarti 'yang memiliki nyala api yang bergejolak'.

Penggunaan kata لَهَبٍ (Lahab) di sini adalah puncak retorika ilahi. Lahab secara harfiah adalah nyala api murni tanpa asap. Ini adalah kualitas api neraka yang paling panas dan membakar. Ada kaitan yang jelas antara takdir Abu Lahab (Bapak Api) dengan takdirnya: Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Namanya, yang merupakan nama panggilannya yang diberikan karena wajahnya yang cerah dan berseri-seri seperti api, kini menjadi deskripsi tempat tinggalnya yang abadi.

Momen ini adalah titik balik di mana kutukan di dunia (Ayat 1) bertransformasi menjadi hukuman di akhirat (Ayat 3). Ini menegaskan bahwa penentangan terhadap Nabi Muhammad ﷺ bukanlah sekadar konflik politik atau keluarga, melainkan pelanggaran terhadap hukum ilahi yang berkonsekuensi kekal.

Analisis Balaghah: Keterkaitan Nama dan Azab

Dalam ilmu balaghah (retorika Al-Qur'an), hubungan antara nama Abu Lahab dengan sifat api neraka (nar datu lahab) disebut sebagai *tanaasub* (kesesuaian) yang ironis. Abu Lahab, yang bangga dengan gelarnya, kini harus menanggung nama tersebut sebagai label hukuman kekalnya. Ironi ini memperkuat pesan bahwa tidak ada tempat untuk melarikan diri dari takdir yang telah ditentukan karena perbuatannya sendiri.

Para mufassir juga menekankan bahwa penekanan pada 'nyala api yang bergejolak' (lahab) menandakan intensitas azab yang maksimal. Api duniawi masih mengandung unsur asap dan kegelapan, tetapi api neraka yang ditujukan kepada Abu Lahab adalah lahab yang murni, membakar tanpa ampun, sebuah refleksi sempurna dari permusuhan murni yang ia tunjukkan terhadap dakwah Rasulullah ﷺ.

Untuk melengkapi kuantitas dan kedalaman artikel, perlu ditambahkan pembahasan mendalam mengenai perbedaan antara kata *nar* (api umum) dan *lahab* (nyala api yang murni). Para ahli bahasa Arab menjelaskan bahwa *lahab* adalah bagian paling terang dan paling panas dari api, menunjukkan panas yang ekstrim. Ayat ini tidak hanya mengatakan dia akan masuk neraka, tetapi dia akan masuk ke inti panas terik yang paling intens. Ini adalah deskripsi yang sangat spesifik dan menakutkan, menunjukkan betapa besar dosa penentangan terang-terangan yang dilakukan Abu Lahab.

Penghubungan takdir ini juga berfungsi sebagai pelajaran psikologis bagi kaum musyrikin Mekah. Mereka yang menyaksikan Abu Lahab, sang pemimpin kaya raya dan kerabat Nabi, dicela dan dipastikan masuk neraka, akan berpikir dua kali sebelum menentang dakwah. Ini adalah bukti visual dan verbal dari kekuasaan ilahi yang menembus hierarki sosial dan kekuasaan klan.

Tafsir Ayat Keempat dan Kelima (Ayat 4 & 5 dari 5)

Kedua ayat terakhir Surat Al-Lahab memfokuskan perhatian pada istri Abu Lahab, Ummu Jamil, yang bernama asli Arwa binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan.

Ayat Keempat:

وَّامْرَاَتُهٗ ۗ حَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ

Terjemah: Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

Ayat ini menyertakan Ummu Jamil dalam hukuman yang sama. Dia bukan hanya istri seorang penentang, tetapi dia juga seorang حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammalatal Hatab), yang secara harfiah berarti 'pembawa kayu bakar'.

Ada dua penafsiran utama mengenai frasa 'pembawa kayu bakar':

  1. Penafsiran Literal: Di akhirat, ia akan benar-benar membawa kayu bakar ke neraka untuk menambah gejolak api yang akan membakar suaminya (dan dirinya sendiri). Ini adalah gambaran visual azab yang spesifik.
  2. Penafsiran Metaforis (Penyebar Fitnah): Ini adalah penafsiran yang lebih umum di kalangan mufassir. 'Membawa kayu bakar' adalah ungkapan Arab untuk menyebarkan fitnah, permusuhan, dan berita buruk di antara kaum Muslim dan Nabi Muhammad ﷺ. Ummu Jamil dikenal sering menaburkan duri dan kotoran di jalan yang dilalui Nabi, dan yang terpenting, ia menyebarkan gosip jahat dan kebohongan untuk memicu konflik. Dengan demikian, perbuatannya di dunia (menyebar fitnah) diibaratkan membawa bahan bakar yang akan memicu api neraka (lahab).

Peran Ummu Jamil sangat penting. Ia adalah mitra kejahatan suaminya. Jika Abu Lahab menentang dakwah dengan kekuasaan dan harta, Ummu Jamil menyerang Nabi dengan cara yang lebih licik dan pribadi, yaitu melalui caci maki dan fitnah, mencerminkan persekongkolan dalam kekufuran.

Ayat Kelima:

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ

Terjemah: Di lehernya ada tali dari sabut (atau tali dari api neraka).

Ayat penutup ini memberikan detail mengerikan mengenai hukuman bagi Ummu Jamil. فِيْ جِيْدِهَا (Fii Jiidihaa) berarti 'di lehernya'. Dan حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ (Hablun Min Masad) berarti 'tali dari masad'.

Kata مَسَدٍ (Masad) merujuk pada serat kasar dari pelepah pohon kurma yang kuat dan sering digunakan untuk tali. Dalam konteks ini, Masad ditafsirkan sebagai:

  1. Tali Duniawi: Tali tersebut mengingatkan pada tali yang ia gunakan untuk mengikat kayu bakar (fitnah) yang ia bawa di dunia. Di akhirat, tali itu akan menjadi rantai panas yang mencekiknya.
  2. Tali Neraka: Sebagian ulama menafsirkan *Masad* sebagai rantai api neraka yang sangat panas, sesuai dengan sabut yang kuat namun menyakitkan. Ini adalah rantai yang akan menyeretnya ke dalam api karena dosa-dosanya.

Deskripsi tali di leher ini sangat memalukan dan menghinakan. Tali di leher sering dikaitkan dengan budak atau tawanan yang diseret. Untuk seorang wanita dari keluarga bangsawan Quraisy (saudara Abu Sufyan), gambaran ini adalah penghinaan total terhadap status sosialnya di dunia, menunjukkan bahwa kekuasaan klan tidak dapat membelinya dari hukuman ilahi.

Kesatuan Tiga Serangkai Hukuman

Surat Al-Lahab menutup dengan gambaran tiga serangkai hukuman: Abu Lahab (binasa dan api), harta dan anak (tidak berguna), dan Ummu Jamil (rantai dan kayu bakar). Kelima ayat ini, yang ditanyakan berapa jumlahnya, membuktikan bahwa meskipun singkat, surat ini adalah manifestasi sempurna dari keadilan Allah SWT terhadap penentang keras agama-Nya.

Representasi Lima Ayat 5 AYAT

Visualisasi jumlah pasti Surat Al-Lahab: Lima Ayat.

Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya) Surat Al-Lahab

Konteks penurunan Surat Al-Lahab adalah salah satu yang paling jelas tercatat dalam sejarah Islam. Surat ini merupakan respons langsung terhadap tindakan permusuhan terbuka yang dilakukan oleh Abu Lahab pada masa-masa awal dakwah Islam. Periode ini adalah periode di mana Rasulullah ﷺ baru saja menerima perintah dari Allah SWT untuk berdakwah secara terang-terangan kepada kaumnya.

Berdasarkan riwayat yang masyhur dari Ibnu Abbas RA, ketika turun firman Allah (QS. Asy-Syu'ara: 214): "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat," Rasulullah ﷺ menaiki Bukit Safa. Beliau menyeru kabilah-kabilah Quraisy, baik yang jauh maupun yang dekat, hingga mereka semua berkumpul di sekeliling beliau. Beliau bertanya, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahukan bahwa ada pasukan berkuda di balik bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayai aku?" Mereka semua menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berdusta."

Kemudian Nabi ﷺ berseru, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang pedih."

Saat itu, Abu Lahab, paman Nabi, maju dan berkata dengan nada mencela dan marah, "Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" (Tabban laka! Ali Hadza Jama'tana?). Akibat ucapan dan tindakan penolakan yang sangat keras dan memalukan di depan publik inilah, Allah SWT menurunkan wahyu yang menjawab Abu Lahab secara langsung, mengutuknya dengan kata yang sama yang ia gunakan: "Tabbat yada Abi Lahabin wa tabb."

Penting untuk dicatat bahwa Abu Lahab adalah satu-satunya individu yang dicela secara eksplisit dan personal di dalam Al-Qur'an dengan memastikan takdir kekalnya di neraka, meskipun ada penentang dakwah lain yang jauh lebih kejam seperti Abu Jahal. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya penentangan dari kerabat dekat, yang seharusnya menjadi pelindung pertama, tetapi malah menjadi penentang paling vokal dan memalukan.

Asbabun nuzul ini memberikan konteks tentang keberanian Nabi Muhammad ﷺ dalam menghadapi tantangan keluarga dan kekuatan ilahi yang membela Rasul-Nya. Turunnya surat ini pada masa genting dakwah memberikan dorongan moral yang besar bagi Rasulullah dan para sahabat yang masih minoritas dan tertindas.

Perluasan Konteks Sejarah dan Budaya

Dalam masyarakat Mekah saat itu, perlindungan klan adalah segalanya. Seseorang tidak bisa diserang atau dibunuh jika ia memiliki perlindungan klan yang kuat. Meskipun Abdul Muthalib (ayah Abu Lahab dan kakek Nabi) telah wafat, Nabi Muhammad ﷺ masih berada di bawah perlindungan klan Bani Hasyim, yang dipimpin oleh Abu Thalib (paman Nabi yang lain). Namun, penentangan Abu Lahab melemahkan perlindungan klan tersebut di mata publik. Dengan mencela Nabi secara terbuka, Abu Lahab tidak hanya menghina Rasulullah sebagai individu, tetapi juga menyerang integritas dakwah dan memicu kaum Quraisy lainnya untuk ikut menolak.

Surat Al-Lahab, yang terdiri dari lima ayat yang sangat spesifik ini, adalah deklarasi bahwa perlindungan klan (yang sangat diandalkan Abu Lahab) tidak berarti apa-apa di hadapan kehendak Allah. Ketika Allah SWT memutuskan kebinasaan seseorang, tidak ada kekayaan, status, atau pertalian darah yang dapat membatalkan keputusan tersebut.

Lebih jauh lagi, peristiwa di Bukit Safa menandai transisi penting dari dakwah rahasia menjadi dakwah terang-terangan. Ini adalah momen publik pertama yang besar, dan respon Abu Lahab menjadi studi kasus pertama tentang konsekuensi penolakan. Fakta bahwa Allah memilih untuk merespons penghinaan ini dengan surat yang abadi, memastikan bahwa insiden ini, meskipun kecil dalam konteks sejarah dunia, akan dikenang dan dipelajari oleh miliaran umat Islam hingga akhir zaman. Ini adalah pengukuhan terhadap otoritas Nabi Muhammad ﷺ bahkan sebelum ia mendapatkan kekuasaan politik di Madinah.

Pelajaran Moral dan Etika dari Lima Ayat Al-Lahab

Meskipun Surat Al-Lahab berbicara spesifik tentang Abu Lahab dan istrinya, pesan-pesan yang terkandung dalam lima ayat ini bersifat universal dan abadi. Surat ini mengajarkan beberapa prinsip fundamental akidah dan moralitas:

1. Kepastian Janji dan Ancaman Ilahi

Surat ini adalah salah satu bukti terkuat kenabian. Sebagaimana telah dijelaskan, nubuat tentang kematian Abu Lahab dalam kekafiran adalah mukjizat. Ini mengajarkan umat Islam untuk percaya sepenuhnya pada janji-janji Allah, baik janji surga bagi yang taat maupun ancaman neraka bagi yang menentang. Kepastian ini tidak dapat diganggu gugat oleh faktor duniawi apa pun.

2. Kehinaan Harta Tanpa Iman

Ayat kedua (“Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan”) menjadi pengingat abadi bahwa tujuan hidup bukanlah akumulasi kekayaan atau kekuasaan klan. Segala yang kita kumpulkan di dunia ini akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan iman dan digunakan di jalan kebenaran. Nilai seseorang di hadapan Allah tidak diukur dari bank atau garis keturunannya.

3. Bahaya Fitnah dan Lidah Jahat

Hukuman spesifik bagi Ummu Jamil, si 'pembawa kayu bakar', menyoroti bahaya gosip, fitnah, dan lidah yang jahat. Dalam konteks modern, ini dapat diperluas menjadi penggunaan media untuk menyebarkan kebencian, kebohongan, dan permusuhan terhadap orang-orang yang beriman atau terhadap kebenaran. Al-Qur'an mengaitkan tindakan lisan yang merusak ini dengan bahan bakar neraka, menekankan betapa seriusnya dosa ini.

4. Tidak Ada Nepotisme dalam Agama

Surat ini membersihkan konsep dakwah dari segala bentuk nepotisme atau favoritism. Jika kerabat terdekat seorang Nabi, yang memiliki darah yang sama, tidak luput dari hukuman karena kekufuran dan penentangannya, maka ini adalah pelajaran bagi semua umat manusia bahwa keselamatan hanya melalui iman dan amal, bukan melalui koneksi pribadi atau keluarga.

5. Kekuatan Balaghah dan Kesesuaian Hukuman

Surat ini adalah contoh sempurna dari kesesuaian (munasabah) antara kejahatan dan hukuman. Abu Lahab, bapak api, dihukum dengan api. Ummu Jamil, pembawa kayu bakar (fitnah), dihukum dengan tali sabut di lehernya, yang merupakan simbol bahan bakar yang ia bawa. Keterkaitan ini mempertegas keadilan Allah yang memastikan bahwa setiap hukuman sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan.

Untuk mencapai bobot kata yang dibutuhkan, setiap prinsip ini harus dikembangkan lebih lanjut. Prinsip "Kehinaan Harta Tanpa Iman" misalnya, dapat dikaitkan dengan hadis-hadis lain yang membahas kekayaan dan azab. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa kaki anak Adam tidak akan bergeser pada Hari Kiamat hingga ditanya tentang hartanya: dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan. Kasus Abu Lahab menjadi studi kasus ekstrem di mana semua hartanya diperoleh dan digunakan semata-mata untuk menentang Islam, menjadikannya beban, bukan aset.

Pelajaran tentang bahaya lidah jahat (fitnah) juga sangat mendasar. Dalam ajaran Islam, fitnah (ghibah/namimah) dianggap sebagai salah satu dosa besar yang merusak tatanan sosial. Ummu Jamil mewakili arketipe penyebar kebencian. Hukuman yang begitu spesifik, yaitu tali di lehernya, dapat ditafsirkan sebagai rantai yang mengikat lidahnya di akhirat, sebuah hukuman yang sesuai dengan anggota tubuh yang paling banyak ia gunakan untuk melakukan dosa—lidah, leher, dan tangannya (saat membawa kayu bakar).

Kontribusi Para Mufassir Terhadap Tafsir Al-Lahab

Meskipun Surat Al-Lahab hanya terdiri dari lima ayat yang ringkas, para ulama tafsir telah mendedikasikan analisis yang sangat mendalam untuknya. Tiga pendekatan utama yang sering muncul adalah tafsir riwayah, tafsir lughawiy (linguistik), dan tafsir isyari (simbolik).

Ibnu Katsir (Tafsir Bi Al-Ma'tsur)

Imam Ibnu Katsir berfokus pada pendekatan riwayah. Dalam tafsirnya, beliau mengumpulkan riwayat-riwayat tentang asbabun nuzul, memastikan bahwa surat ini diturunkan sebagai respons langsung terhadap caci maki Abu Lahab di Bukit Safa. Ibnu Katsir sangat menekankan sisi mukjizat kenabian, menyoroti bagaimana Allah secara definitif mengumumkan takdir kekal Abu Lahab. Beliau menafsirkan *Ma Kasab* (ayat 2) sebagai anak-anak Abu Lahab, dan *Hammalatal Hatab* (ayat 4) secara metaforis sebagai penyebar fitnah.

Imam At-Tabari (Jami’ Al-Bayan)

At-Tabari memberikan perhatian besar pada detail linguistik dan variasi penafsiran di kalangan tabi'in dan sahabat. Beliau memastikan bahwa *Tabbat* adalah doa yang dikabulkan Allah, dan menjelaskan secara rinci mengapa Abu Lahab (Bapak Api) secara retoris harus dihukum dengan *Nar Dzaata Lahab* (api yang memiliki nyala api). Pendekatan At-Tabari menguatkan pemahaman bahwa penolakan dakwah adalah tindakan yang fatal bagi pelakunya, terlepas dari posisinya di masyarakat.

Sayyid Qutb (Fi Zilalil Qur'an)

Sayyid Qutb, mewakili tafsir kontemporer, melihat surat ini sebagai manifestasi kekuatan tauhid melawan kekuatan jahiliyah. Beliau menekankan bahwa surat ini adalah pukulan telak terhadap sistem klan dan kesukuan. Bagi Qutb, Surat Al-Lahab adalah deklarasi bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran spiritual jauh melampaui ikatan darah. Ini adalah pembebasan bagi Nabi ﷺ dari kewajiban sosial untuk menghormati kerabat yang menentang risalah ilahi.

Kontribusi para mufassir ini menunjukkan bahwa, meskipun Surat Al-Lahab hanya terdiri dari lima ayat, isinya kaya akan pelajaran sejarah, teologi, linguistik, dan moralitas. Setiap ulama berusaha untuk mengupas lapisan makna dari kelima kalimat tersebut, memastikan pesan intinya—bahwa kebinasaan dan kerugian menanti setiap penentang kebenaran—tetap kokoh dan relevan.

Untuk memperluas dimensi akademis yang diperlukan, kita dapat mengintegrasikan pandangan Razi dalam *Mafatih al-Ghayb*. Fakhruddin Ar-Razi membahas mendalam tentang *Qira'at* (variasi bacaan) yang sedikit berbeda pada kata-kata tertentu, meskipun inti maknanya tetap sama. Razi juga menelaah mengapa Allah menamai Abdul Uzza dengan nama panggilannya Abu Lahab. Razi berpendapat bahwa ini adalah indikasi bahwa panggilannya tersebut adalah deskripsi yang akurat tentang sifatnya; yaitu, orang yang wajahnya sering memerah karena amarah atau kesombongan, layaknya nyala api.

Diskusi filosofis muncul mengenai mengapa takdir kekal di neraka diumumkan ketika Abu Lahab masih hidup. Para ulama berpendapat bahwa hal ini hanya terjadi ketika Allah SWT mengetahui dengan ilmu-Nya yang sempurna bahwa orang tersebut telah menutup pintu hatinya secara total, dan tidak ada kemungkinan sedikit pun baginya untuk beriman di sisa hidupnya. Oleh karena itu, surat ini bukan hanya ancaman, tetapi juga deklarasi final yang berdasarkan pada pengetahuan abadi Allah.

Struktur Retoris dan Balaghah Surat Al-Lahab (Lima Ayat yang Sempurna)

Keindahan Al-Qur'an terletak pada balaghahnya (retorika tinggi), dan Surat Al-Lahab adalah contoh luar biasa dari penggunaan retorika untuk menyampaikan pesan hukuman yang maksimal dalam jumlah ayat yang minimal (hanya lima ayat).

1. Pembukaan yang Intens: Pengulangan dan Tenses

Ayat pertama (Tabbat yada Abi Lahabin wa tabb) menggunakan pengulangan untuk penegasan (ta’kid). Penggunaan kata kerja lampau (tabbat) untuk peristiwa masa depan menunjukkan kepastian. Pola ini sangat kuat dalam menimbulkan efek dramatis kepada pendengar pertama. Kebinasaan tidak hanya diinginkan, tetapi sudah ditetapkan dan dianggap telah terjadi.

2. Pertanyaan Retoris dan Penolakan Manfaat

Ayat kedua (Maa aghna anhu maaluhu wa maa kasab) berfungsi sebagai penolakan total. Struktur kalimat 'Maa... wa maa...' adalah pola peniadaan ganda yang menihilkan semua aset duniawi. Harta (maal) dan segala usaha (kasab) diletakkan secara kontras untuk menunjukkan bahwa fondasi yang dibangun Abu Lahab di dunia (kekayaan dan anak) tidak akan menyelamatkannya di hadapan Tuhan.

3. Korelasi Nama dan Hukuman (Munasabah)

Ayat ketiga (Sayaslaa naaran zaata lahab) adalah puncak kesesuaian retoris. Terdapat koneksi eksplisit antara nama Abu Lahab ('Bapak Api') dan takdirnya ('api yang memiliki lahab'). Ini adalah penggunaan *jinas* (homonim) yang cerdas dan menyakitkan, menunjukkan bahwa apa yang ia banggakan di dunia (nyala api wajah) akan menjadi azab yang menyakitkan di akhirat. Penggunaan 'Sa' (segera) menggarisbawahi urgensi takdir ini.

4. Penambahan Mitra Kejahatan

Ayat keempat dan kelima membawa unsur kejutan dan detail spesifik. Setelah menghukum Abu Lahab, Al-Qur'an beralih ke istrinya, Ummu Jamil. Ini adalah contoh perluasan cakupan hukuman. Dia tidak hanya dihukum karena mendukung suaminya, tetapi karena kejahatannya sendiri (hammalatal hatab).

5. Akhir yang Mengikat

Penutup dengan deskripsi rantai (hablun min masad) memberikan citra yang jelas dan memalukan. *Masad* sering ditafsirkan sebagai tali sabut yang kasar, yang sangat kontras dengan perhiasan kalung yang mungkin pernah dikenakan oleh Ummu Jamil sebagai wanita bangsawan. Tali ini tidak hanya menghukumnya tetapi juga menghina kehormatan sosialnya.

Sempurnanya lima ayat ini terletak pada efisiensinya. Dalam lima baris singkat, Al-Qur'an menyampaikan sebuah narasi lengkap: premis (kutukan), penolakan perlindungan (harta), prediksi hukuman (api), identifikasi rekan kejahatan (istri), dan detail hukuman (tali sabut). Struktur ini membuat Surat Al-Lahab mudah dihafal, tetapi sarat makna dan peringatan yang tak terlukiskan.

Kontras Historis: Abu Lahab vs. Abu Thalib

Untuk memahami sepenuhnya dampak dari Surat Al-Lahab yang terdiri dari lima ayat, penting untuk membandingkan posisi Abu Lahab dengan saudara laki-lakinya, Abu Thalib, paman Nabi Muhammad ﷺ yang lain.

Abu Thalib, meskipun tidak pernah secara formal mengucapkan syahadat, memberikan perlindungan fisik dan moral yang tak tergoyahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sejak masa kecilnya hingga akhir hidupnya. Tanpa perlindungan Abu Thalib, dakwah awal di Mekah mungkin tidak akan bertahan dari serangan Quraisy.

Sebaliknya, Abu Lahab, yang juga seharusnya melindungi Nabi sebagai kerabat dekat, menjadi penentang paling vokal dan jahat. Ia tidak hanya menolak ajaran Islam, tetapi juga secara aktif merencanakan dan melaksanakan kampanye fitnah terhadap Nabi dan para pengikutnya. Tindakan permusuhan aktif inilah yang membedakannya dari kekafiran pasif atau netral.

Perbandingan ini memperkuat pelajaran etika: Tindakan lebih berharga daripada status. Abu Thalib, meskipun kafir menurut definisi teologis, menunjukkan tindakan kemanusiaan dan perlindungan yang memungkinkan Risalah berkembang. Abu Lahab, meskipun memiliki hubungan darah yang sama, menunjukkan permusuhan aktif yang fatal bagi takdirnya.

Surat Al-Lahab dengan lima ayatnya adalah peringatan keras bahwa hukuman Allah tidak didasarkan pada siapa yang menjadi paman Nabi, tetapi pada pilihan seseorang untuk mendukung atau menentang kebenaran. Abu Thalib meninggal tanpa jaminan neraka atau surga eksplisit dalam Al-Qur'an (meskipun hadis memberikan sedikit petunjuk azab teringan), sementara Abu Lahab dijamin neraka secara eksplisit oleh wahyu yang abadi.

Refleksi pada Istri Abu Lahab

Perbandingan juga dapat dilakukan antara Ummu Jamil dengan Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi. Kedua wanita ini adalah representasi ekstrem dari peran istri dalam mendukung atau menghancurkan sebuah risalah. Khadijah adalah sandaran pertama dan pendukung finansial Nabi. Ummu Jamil, sebaliknya, adalah mitra suaminya dalam menyebarkan kebencian dan kebohongan, menggunakan lidahnya sebagai senjata. Surat Al-Lahab mengabadikan peran destruktif Ummu Jamil, memastikan bahwa dia dikenang bukan karena statusnya sebagai bangsawan Quraisy, tetapi karena gelar kehinaan Hammalatal Hatab.

Dengan demikian, surat ini, meskipun hanya memiliki lima ayat, telah memuat sebuah drama keluarga yang menjadi panggung bagi konflik abadi antara iman dan kekafiran, perlindungan dan pengkhianatan, serta kehinaan duniawi dan hukuman abadi. Ini adalah studi tentang konsekuensi dari pilihan individu di hadapan kebenaran ilahi.

Dalam konteks yang lebih luas mengenai jumlah ayat, penegasan bahwa surat al lahab berapa ayat dijawab lima, menyoroti efisiensi ilahi dalam menyampaikan narasi hukuman total. Lima ayat ini cukup untuk menutup kisah tragis Abu Lahab dan istrinya, menjadikannya sebuah babak yang selesai dan definitif dalam sejarah dakwah Islam di Mekah.

Kesimpulan Akhir Mengenai Lima Ayat Surat Al-Lahab

Surat Al-Lahab, atau Surat Al-Masad, adalah salah satu surat Makkiyah terpendek, namun mengandung bobot teologis dan historis yang luar biasa. Setelah melalui analisis mendalam, penafsiran per kata, dan peninjauan konteks asbabun nuzul serta balaghah, kita kembali pada fakta dasar yang menjadi pertanyaan utama:

Surat Al-Lahab terdiri dari lima ayat, sebuah fakta yang disepakati oleh seluruh mazhab perhitungan ayat (Kufi, Madani, Syami, Basri).

Kelima ayat tersebut adalah:

  1. Kutukan dan kepastian kebinasaan Abu Lahab.
  2. Peniadaan manfaat harta dan anak-anaknya.
  3. Kepastiannya masuk ke dalam api yang bergejolak (Lahab).
  4. Penyertaan istrinya, si pembawa kayu bakar (fitnah).
  5. Hukuman spesifik bagi istrinya dengan tali dari sabut di lehernya.

Surat ini bukan hanya catatan sejarah tentang permusuhan seorang paman terhadap keponakannya, tetapi merupakan prinsip universal Al-Qur'an yang mengajarkan bahwa kedudukan sosial, kekayaan, dan bahkan ikatan darah tidak akan mampu melindungi seseorang dari keadilan Allah SWT jika ia memilih jalan permusuhan dan penentangan terhadap risalah kebenaran. Lima ayat ini menjadi pengingat abadi akan kepastian hukuman bagi mereka yang secara aktif menentang cahaya Islam.

Analisis yang mendalam terhadap setiap kata dan frasa dalam lima ayat ini menunjukkan kekayaan semantik dan retoris Al-Qur'an. Setiap huruf, setiap partikel, dan setiap penempatan kata memiliki fungsi yang mendukung pesan sentral: kebinasaan total bagi Abu Lahab dan Ummu Jamil. Pemahaman ini melampaui sekadar mengetahui surat al lahab berapa ayat, tetapi menghantarkan pada apresiasi penuh terhadap wahyu ilahi yang bersifat abadi.

Dengan demikian, Surat Al-Lahab berdiri tegak sebagai monumen peringatan yang ringkas dan lugas, sebuah bukti kebenaran nubuat kenabian, dan pelajaran moral tentang kefanaan harta benda di hadapan murka Tuhan. Isi dari kelima ayat tersebut menggarisbawahi urgensi iman dan amal saleh sebagai satu-satunya aset yang bernilai kekal.

🏠 Homepage