Simbol Jilatan Api (Lahab)
Surat Al-Lahab adalah surah ke-111 dalam Al-Qur’an. Surah ini dikenal juga dengan nama Surat Al-Masad (Tali yang Dipintal). Termasuk dalam golongan surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekkah sebelum peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ. Meskipun sangat pendek, hanya terdiri dari lima ayat, surah ini membawa pesan teologis yang sangat kuat dan berfungsi sebagai sebuah ramalan pasti dari Allah SWT mengenai nasib kekal salah satu musuh paling gigih Rasulullah, yaitu Abu Lahab.
Penamaan surah ini diambil dari kata terakhir pada ayat pertama, yakni Lahab, yang secara harfiah berarti jilatan api atau nyala api yang berkobar. Nama ini merujuk pada nasib yang akan menimpa Abu Lahab di akhirat. Kepastian nasib yang termaktub dalam surah ini menjadikannya salah satu bukti kenabian Muhammad ﷺ, karena surah ini turun ketika Abu Lahab dan istrinya masih hidup dan secara aktif menentang dakwah Islam. Mereka meninggal dalam keadaan kekufuran, persis seperti yang telah dinubuatkan oleh Al-Qur'an.
Surat Al-Lahab bukan hanya sekadar catatan sejarah atau kutukan, melainkan sebuah pelajaran fundamental tentang konsekuensi dari permusuhan yang disengaja terhadap kebenaran dan dakwah. Surat ini menegaskan bahwa ikatan darah tidak akan pernah menyelamatkan seseorang dari murka Ilahi jika ia memilih jalan kesesatan. Abu Lahab adalah paman Nabi, namun status kekerabatan tersebut tidak memberinya kekebalan.
Berikut adalah teks lengkap Surat Al-Lahab yang disajikan dalam tulisan Arab, transliterasi Latin (surat al lahab latin), dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Pemahaman yang mendalam dimulai dari pelafalan yang benar sesuai dengan kaidah tajwid, dibantu oleh versi latin yang akurat.
Kata kunci di sini adalah Tabbat, yang berarti rugi, celaka, atau binasa. Frasa ini diulang untuk memberikan penekanan yang luar biasa pada kepastian kebinasaannya. Ini adalah doa buruk (kutukan) dari Allah SWT sendiri. Frasa ini memastikan bahwa segala daya upaya dan kekayaan yang dimiliki Abu Lahab tidak akan berguna sama sekali. Ia binasa dalam segala aspek kehidupan dan setelah kematiannya.
Ayat ini menghilangkan segala harapan Abu Lahab yang mungkin bergantung pada kekayaan atau status sosialnya di Quraysh. Pada masa itu, kekayaan sering dianggap sebagai tanda kemuliaan dan perlindungan dari nasib buruk. Namun, Al-Qur’an meniadakan keyakinan tersebut, menegaskan bahwa kekayaan dan status yang ia kumpulkan sepanjang hidupnya (termasuk anak-anaknya yang ia anggap sebagai 'kasab' atau hasil usaha) tidak akan mampu menyelamatkannya dari azab Allah SWT.
Inilah inti dari surah ini. Kata Sayaslā berarti ‘dia akan dimasukkan’ atau ‘dia akan dibakar’. Dan api tersebut digambarkan sebagai nāran żāta lahab, yaitu api yang memiliki jilatan atau nyala yang amat dahsyat. Ini merupakan permainan kata (pun) yang elegan dan ironis dalam bahasa Arab, menghubungkan nama Abu Lahab (Bapak Jilatan Api) dengan tempat tinggalnya yang kekal, yaitu neraka yang penuh dengan jilatan api.
Surah ini tidak hanya menghukum Abu Lahab, tetapi juga istrinya, Umm Jamil, yang bernama asli Arwa binti Harb, saudara perempuan dari Abu Sufyan (sebelum Abu Sufyan masuk Islam). Istrinya digambarkan sebagai Hammālat al-Ḥaṭab (Pembawa Kayu Bakar). Ini memiliki dua tafsir utama: secara harfiah ia membawa duri dan kayu berduri untuk diletakkan di jalan yang dilewati Nabi ﷺ, atau secara kiasan, ia adalah penyebar fitnah dan gosip (kayu bakar bagi api permusuhan).
Ayat terakhir ini melengkapi gambaran hukuman bagi Umm Jamil. Fī jīdihā berarti ‘di lehernya’. Ḥablum mim masad berarti tali dari sabut atau serat yang dipintal. Dalam tafsir akhirat, tali ini adalah rantai atau belenggu yang terbuat dari api neraka. Dalam tafsir duniawi, ini menggambarkan betapa rendah dan hinanya pekerjaan yang dilakukan Umm Jamil dalam menyebarkan kebencian. Sabut atau tali ini juga merujuk pada kalung mahal yang biasa ia pakai, yang kelak akan diganti dengan tali yang terbuat dari api neraka.
Surat Al-Lahab memiliki latar belakang sejarah yang sangat jelas dan merupakan salah satu bukti nyata mukjizat kenabian Muhammad ﷺ. Kisah turunnya surah ini (Asbabun Nuzul) berpusat pada awal mula dakwah terang-terangan yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ di Mekkah.
Setelah Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyampaikan risalah secara terang-terangan (Surah Al-Hijr: 94), Rasulullah naik ke Bukit Safa, sebuah tempat strategis di Mekkah, dan mulai memanggil kaum Quraysh. Ketika kabilah-kabilah telah berkumpul, Rasulullah bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, jika aku memberitahukan bahwa di balik gunung ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka semua menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong."
Kemudian Nabi ﷺ berkata, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian di hadapan azab yang pedih." Setelah mendengar seruan yang bersifat umum ini, Abu Lahab, paman Nabi sekaligus tetangga dekatnya, yang hadir di antara kerumunan, menjadi sangat marah dan menanggapi dengan keras.
Abu Lahab berdiri dan berkata, "Celakalah engkau! Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?" (Tabbal laka! A li hadza ja ma'tana?). Abu Lahab mengutuk Nabi Muhammad di depan umum. Abu Lahab adalah Abdullah bin Abdul Muttalib, paman Nabi yang sangat berkuasa dan kaya raya. Penentangan darinya sangat memukul Nabi secara sosial dan psikologis, karena ia adalah bagian dari keluarga terdekat Nabi yang seharusnya memberikan perlindungan.
Segera setelah itu, sebagai respons langsung terhadap ucapan kufur dan kutukan Abu Lahab terhadap Rasulullah, Allah SWT menurunkan Surat Al-Lahab. Ayat pertama surah ini merupakan balasan langsung terhadap kutukan tersebut, membalikkan kutukan itu kepada Abu Lahab sendiri:
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."
Respon Ilahi ini bukan hanya sekadar pembalasan, tetapi juga penegasan bahwa Allah SWT adalah Pelindung sejati Nabi-Nya. Kejadian ini menjadi titik balik, menunjukkan bahwa permusuhan internal sekalipun tidak akan luput dari perhitungan Ilahi.
Penentangan Abu Lahab didukung penuh oleh istrinya, Umm Jamil. Ia adalah sosok yang digambarkan sebagai Hammālat al-Ḥaṭab (Pembawa Kayu Bakar). Peran Umm Jamil dalam memusuhi Nabi dan Islam sangat signifikan. Tidak puas hanya dengan lisan, ia melakukan tindakan fisik yang menyakitkan, seperti menyebar duri dan kotoran di depan pintu rumah Nabi ﷺ dan menyebarkan fitnah keji di antara kabilah-kabilah Mekkah.
Dikisahkan bahwa ketika Umm Jamil mendengar Surah Al-Lahab telah turun dan menyebut dirinya, ia menjadi sangat murka. Ia mengambil segenggam batu dan mencari Rasulullah di Ka'bah. Saat itu, Nabi Muhammad ﷺ sedang duduk bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq. Namun, melalui mukjizat Allah, pandangan mata Umm Jamil terhijab sehingga ia hanya melihat Abu Bakar. Ia bertanya kepada Abu Bakar, "Di mana temanmu? Aku dengar ia telah mencelaiku. Demi Allah, jika aku melihatnya, aku akan memukulnya dengan batu ini!" Kemudian ia melantunkan syair cemoohan dan pergi. Abu Bakar bertanya kepada Nabi, "Wahai Rasulullah, apakah ia tidak melihatmu?" Nabi menjawab, "Dia tidak melihatku, Allah telah menutupi pandangannya dariku."
Hal yang paling luar biasa dari Surah Al-Lahab adalah bahwa ia memprediksi nasib Abu Lahab dan istrinya secara definitif: mereka akan masuk neraka. Surah ini turun bertahun-tahun sebelum keduanya meninggal. Selama bertahun-tahun itu, Abu Lahab memiliki kesempatan penuh untuk mengklaim bahwa Al-Qur'an salah, yaitu dengan cara pura-pura mengucapkan syahadat, meskipun hanya di bibir. Tetapi Abu Lahab tidak pernah melakukan itu. Ia dan istrinya meninggal dalam keadaan kufur total, membuktikan kebenaran mutlak dari firman Allah SWT. Ini adalah bukti nyata yang disaksikan oleh seluruh kaum Quraysh pada saat itu, sebuah tantangan terbuka yang gagal dijawab oleh musuh-musuh Islam.
Kejadian ini menekankan bahwa ramalan dalam Al-Qur’an bukan sekadar tebakan, tetapi kepastian yang berasal dari Dzat yang Maha Mengetahui takdir setiap makhluk. Kepastian kebinasaan Abu Lahab ini menjadi fondasi teologis penting yang membedakan Al-Qur’an dari literatur manusia biasa.
Memahami Surah Al-Lahab membutuhkan analisis linguistik dan makna teologis yang mendalam, terutama karena ia menggunakan bahasa yang sangat puitis dan padat makna.
Kata Tabbat berasal dari akar kata yang menunjukkan kerugian, kegagalan, dan kehancuran. Dalam konteks ayat, Tabbat yadā abī lahabiw (Binasalah kedua tangan Abu Lahab) berarti bukan hanya tangannya yang celaka, tetapi seluruh usahanya dan seluruh keberadaannya. Tangan adalah simbol dari usaha, pekerjaan, dan kekuasaan. Ketika tangan dibinasakan, maka segala hasil dan upaya yang dikerjakan oleh tangan tersebut juga hancur lebur. Pengulangan frasa wa tabb (dan sungguh dia telah binasa) berfungsi sebagai penegasan mutlak. Tidak ada keraguan sedikit pun, kebinasaan itu telah terjadi dan akan berlanjut di akhirat.
Para ulama tafsir menekankan bahwa kebinasaan ini mencakup:
Penggunaan kata *Tabbat* di sini sangat keras. Ini adalah hukuman yang setara dengan penolakan keras yang ditunjukkannya terhadap Nabi Muhammad ﷺ.
Abu Lahab dikenal sebagai orang kaya raya dan berpengaruh. Ayat kedua ini meruntuhkan ilusi bahwa kekayaan bisa membeli keselamatan dari Allah. Mā kasab (apa yang ia usahakan/peroleh) ditafsirkan oleh sebagian ulama sebagai anak-anaknya. Dalam budaya Arab pra-Islam, anak laki-laki dianggap sebagai aset terbesar, sumber kekuasaan, dan jaminan keamanan. Namun, dalam konteks ini, anak-anak Abu Lahab pun tidak dapat melindunginya. Bahkan, dua putra Abu Lahab, Utbah dan Utaibah, yang awalnya dipersiapkan untuk menikah dengan putri-putri Nabi, diceraikan atas perintah Abu Lahab dan istrinya sebagai upaya menyakiti Nabi. Ironisnya, sebagian dari keturunannya kemudian masuk Islam (seperti putranya, Durrah binti Abu Lahab, yang menjadi sahabat), namun Abu Lahab sendiri kekal dalam kekufuran.
Ayat ini mengajarkan prinsip universal bahwa status sosial, harta benda, dan koneksi duniawi tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan keadilan Ilahi ketika seseorang dengan sengaja menolak kebenaran setelah ia diperjelas.
Ayat ketiga adalah puncak ironi teologis. Nama Abu Lahab secara harfiah berarti "Bapak Jilatan Api" (Ayah dari Api yang Berkobar), kemungkinan karena ia memiliki wajah yang tampan, cerah, atau pipinya memerah seperti nyala api. Allah SWT memastikan bahwa takdir kekal Abu Lahab adalah di dalam api neraka yang memiliki lahab (jilatan api) yang dahsyat. Ini adalah hukuman yang sangat spesifik dan personal, seolah-olah neraka itu sendiri dipersiapkan sesuai dengan namanya.
Fokus pada kata Sayaslā (dia akan masuk) menekankan kepastian waktu. Penggunaan huruf sīn (Sa) dalam bahasa Arab menunjukkan masa depan yang akan terjadi dalam waktu dekat. Ini bukan ramalan spekulatif, melainkan pernyataan pasti tentang takdir yang telah ditetapkan bagi orang yang menantang Allah dan Rasul-Nya secara frontal.
Tafsir mengenai Umm Jamil dan sebutan "Pembawa Kayu Bakar" sangat kaya. Secara esensial, peran kayu bakar adalah untuk menyalakan api. Dalam tafsir, ini memiliki dua dimensi:
Dalam kedua makna tersebut, ia adalah pelayan api, baik di dunia (menyulut kebencian) maupun di akhirat (akan menjadi bagian dari neraka).
Ayat kelima, Fī jīdihā ḥablum mim masad (Di lehernya ada tali dari sabut/serabut api), melengkapi hukuman yang sangat merendahkan bagi Umm Jamil. Masad adalah tali yang dipintal dengan kasar, seringkali dari sabut atau serat palma, yang dipakai oleh orang-orang miskin untuk mengikat kayu bakar. Ironi di sini adalah bahwa Umm Jamil, yang dikenal sering memakai kalung mewah dan mahal, di akhirat kelak akan mengganti perhiasan mewahnya itu dengan tali kasar dari api neraka. Tali ini akan menjadi beban dan belenggu yang menghinakannya selamanya.
Para mufassir juga menjelaskan bahwa penggunaan tali masad ini adalah balasan yang setimpal karena ia menggunakan tubuh dan tenaganya untuk mengumpulkan ‘kayu bakar’ fitnah dan duri di dunia. Ia akan dihukum dengan rantai yang dibuat dari bahan yang paling hina, yaitu api yang dipintal, yang akan mencekiknya di neraka.
Kajian mendalam terhadap setiap kata dalam Surah Al-Lahab (surat al lahab latin) menunjukkan betapa padatnya makna dan betapa spesifiknya janji Allah mengenai keadilan dan hukuman bagi para penentang dakwah yang melampaui batas.
Meskipun Surat Al-Lahab berisi tentang peringatan keras dan azab, kandungan di dalamnya memberikan banyak pelajaran fundamental bagi umat Islam tentang tauhid, loyalitas, dan kepastian janji Allah.
Surah ini berfungsi sebagai salah satu mukjizat paling jelas dari Al-Qur'an. Karena surah ini turun ketika Abu Lahab masih hidup dan memiliki kesempatan untuk membuktikan Al-Qur'an salah, namun ia tidak melakukannya. Kebinasaannya dalam kekafiran yang telah diprediksi secara publik membuktikan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang mutlak, dan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan yang benar.
Pelajaran ini menegaskan iman kita bahwa apa pun yang dijanjikan oleh Allah SWT—baik itu surga bagi orang beriman maupun neraka bagi orang kafir yang zalim—pasti akan terjadi. Tidak ada kekuatan duniawi, kekayaan, atau status sosial yang dapat membatalkan janji-janji tersebut.
Abu Lahab adalah paman kandung Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini memberikan pelajaran keras bahwa hubungan darah (kekerabatan) tidak akan memberikan perlindungan di hadapan Allah jika seseorang memilih jalan kekufuran dan permusuhan terhadap kebenaran. Yang menentukan keselamatan adalah iman dan amal saleh, bukan nasab atau silsilah keluarga. Nabi Ibrahim pun berdoa untuk ayahnya, namun ia tidak bisa menyelamatkannya. Nabi Nuh memiliki anak yang ingkar. Demikian pula, Nabi Muhammad ﷺ tidak dapat menyelamatkan pamannya, Abu Lahab.
Hal ini mendorong umat Islam untuk fokus pada perbaikan diri dan iman individu, karena pada Hari Kiamat, setiap jiwa akan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Ketaatan kepada Allah harus didahulukan di atas loyalitas keluarga yang bertentangan dengan syariat.
Hukuman yang spesifik bagi Umm Jamil sebagai Hammālat al-Ḥaṭab memberikan peringatan keras tentang bahaya fitnah, gosip, dan hasutan. Menyebar berita bohong yang bertujuan merusak reputasi orang lain atau menyulut api permusuhan dianggap sebagai dosa besar yang dampaknya setara dengan dosa kemaksiatan fisik.
Islam sangat melarang segala bentuk ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dan fitnah. Surah Al-Lahab menunjukkan bahwa orang yang menggunakan lidahnya untuk menghancurkan kebenaran akan menerima balasan yang keras, di mana lidah dan leher mereka akan diikat oleh rantai api. Ini adalah pengingat penting bagi umat Islam di era digital saat ini, di mana fitnah dapat menyebar dengan sangat cepat.
Setiap ayat dalam Surah Al-Lahab mencerminkan keadilan Allah (Al-'Adl). Hukuman yang diberikan sangat sesuai dan setimpal dengan dosa yang dilakukan:
Keadilan yang sempurna ini memberikan rasa tenang bagi orang-orang beriman yang mungkin merasa terzalimi. Mereka mengetahui bahwa meskipun kezaliman tidak terbalaskan di dunia, perhitungan akhir di sisi Allah SWT adalah pasti dan adil.
Pengulangan kata seperti Tabbat (celaka) dan penggunaan nama Lahab secara ironis menunjukkan kekuatan retorika Al-Qur’an. Pengulangan ini bukan hanya untuk keindahan bahasa, tetapi juga untuk menekankan tingkat keparahan hukuman dan kepastian janji Allah. Dalam konteks dakwah, surah ini memberikan dukungan moral yang luar biasa kepada Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat awal, meyakinkan mereka bahwa musuh-musuh mereka, sekuat apapun, berada di bawah kendali dan murka Ilahi.
Membaca dan merenungkan Surah Al-Lahab (surat al lahab latin) memperkuat keyakinan akan pertolongan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang sabar dalam menghadapi tantangan dan fitnah.
Untuk memahami Surah Al-Lahab secara utuh, penting untuk kembali mendalami aspek bahasa Arabnya. Struktur gramatikal dan pilihan kata dalam surah ini sangat spesifik, menjadikannya salah satu surah yang paling sering dikutip dalam studi balaghah (retorika) Al-Qur'an.
Penggunaan kata kerja Tabbat (binasa) dalam bentuk lampau (madhi) menunjukkan bahwa kebinasaan itu telah ditetapkan dan seolah-olah sudah terjadi, meskipun pada saat ayat itu turun, Abu Lahab masih hidup. Ini adalah gaya bahasa khas Al-Qur’an yang menunjukkan kepastian mutlak di masa depan. Frasa yadā adalah bentuk dual (dua tangan), menekankan bahwa seluruh daya upaya fisik Abu Lahab, yang dilakukannya dengan kedua tangan, sia-sia.
Pemisahan antara māluhū (hartanya) dan mā kasab (apa yang ia usahakan) adalah distingsi yang penting. Harta merujuk pada kekayaan yang diwariskan atau dikumpulkan. Sedangkan mā kasab memiliki makna yang lebih luas, mencakup hasil usaha, anak-anak, dan pengaruh sosial yang ia bangun melalui jerih payahnya. Al-Qur’an meniadakan nilai keduanya, menunjukkan bahwa tiada satu pun aset duniawi yang dapat berfungsi sebagai penyelamat dari ketetapan Ilahi.
Kata Sayaslā (dia akan masuk) diawali dengan partikel sīn. Dalam bahasa Arab, penambahan sīn pada kata kerja bentuk masa kini atau masa depan menunjukkan bahwa tindakan tersebut pasti akan terjadi dalam waktu dekat. Dalam konteks wahyu ini, hal ini memberikan kepastian yang segera kepada Nabi dan umatnya bahwa hukuman tersebut bukan sekadar ancaman, tetapi janji yang pasti terwujud di masa depan terdekat mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
Istilah Hammālat al-Ḥaṭab tidak hanya mendeskripsikan perbuatannya (membawa kayu bakar) tetapi juga berfungsi sebagai julukan yang merendahkan. Di Mekkah, pekerjaan membawa kayu bakar umumnya dilakukan oleh orang-orang yang berstatus sosial rendah atau budak. Dengan memberikan julukan ini kepada Umm Jamil, seorang wanita terpandang dari kalangan Quraysh yang kaya raya dan bersuamikan paman Nabi, Surah Al-Lahab secara efektif merendahkan status sosialnya, menghapus kebanggaannya, dan menggambarkannya sebagai pelayan neraka.
Penutup surah ini, Ḥablum mim masad (Tali dari sabut), memiliki efek yang kuat. Tali sabut adalah simbol kekasaran, kemiskinan, dan kepedihan. Dalam tafsir, ini adalah balasan yang tepat bagi wanita yang hidupnya dipenuhi dengan kemewahan, tetapi menggunakan kekayaan dan statusnya untuk berbuat zalim. Tali tersebut adalah rantai api di neraka, yang secara metaforis mencerminkan jeratan dosa yang melilit lehernya akibat fitnah yang ia sebarkan.
Kajian linguistik ini menegaskan bahwa setiap pilihan kata dalam Surat Al-Lahab, bahkan dalam versi latin (surat al lahab latin), mencerminkan ketelitian dan kesempurnaan Al-Qur’an dalam memberikan pesan yang lugas, kuat, dan penuh makna teologis.
Surat Al-Lahab memiliki implikasi yang jauh melampaui sejarah pribadi Abu Lahab. Surah ini menetapkan beberapa prinsip teologis penting dalam Islam dan memberikan wawasan tentang konflik awal dakwah.
Surah ini memperkuat doktrin Islam tentang keadilan Allah. Hukuman yang dijatuhkan bersifat langsung dan personal. Ini menunjukkan bahwa Allah SWT tidak membiarkan kezaliman dan penghinaan terhadap utusan-Nya tanpa pembalasan yang setimpal. Bagi para penentang awal Islam, surah ini menjadi peringatan yang mengerikan; bagi para sahabat, surah ini menjadi sumber kekuatan dan jaminan pertolongan.
Abu Lahab mewakili kekuatan materialisme dan kesombongan yang menguasai elit Mekkah. Mereka percaya bahwa kekayaan dan kekuasaan adalah segalanya. Surah Al-Lahab meruntuhkan kepercayaan ini, menyatakan bahwa kekayaan tidak memiliki nilai absolut ketika berhadapan dengan akhirat. Ini menjadi landasan bagi umat Islam untuk senantiasa memprioritaskan nilai-nilai spiritual dan kebenaran di atas kesenangan duniawi yang fana.
Penyebutan Abu Lahab dan istrinya secara bersamaan dalam surah ini menunjukkan bahwa dalam kejahatan dan permusuhan terhadap kebenaran, pasangan dapat bersatu dan berbagi hukuman yang sama. Hal ini menyoroti pentingnya peran pasangan dalam mendukung atau menghancurkan keimanan seseorang. Umm Jamil, melalui perannya sebagai penyebar fitnah, digolongkan sejajar dengan suaminya dalam hal dosa dan azab yang kekal.
Di masa kini, Surah Al-Lahab tetap relevan. Meskipun tidak ada lagi "Abu Lahab" secara fisik, semangat perlawanan terhadap kebenaran, penyebaran fitnah (kayu bakar), dan keyakinan bahwa kekayaan dapat membeli segalanya, masih ada. Surah ini mengajarkan bahwa siapa pun yang berperan aktif dalam menghalangi dakwah dan menyebarkan kebencian terhadap kebenaran akan menghadapi nasib yang sama, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Para sahabat sangat memahami konteks Surah Al-Lahab. Mereka melihatnya sebagai pembenaran atas penderitaan yang mereka alami di Mekkah. Ibnu Abbas, salah satu mufassir terbesar, menekankan bahwa surah ini adalah bukti paling kuat bagi kaum Quraysh bahwa Nabi Muhammad ﷺ berbicara atas nama Allah. Kehinaan Abu Lahab yang disaksikan oleh publik Mekkah menjadi titik balik dalam sejarah awal Islam, memberikan keberanian kepada para mualaf yang sebelumnya merasa terintimidasi oleh paman Nabi yang berkuasa itu.
Oleh karena itu, ketika kita membaca Surat Al-Lahab (surat al lahab latin), kita tidak hanya membaca kisah masa lalu, tetapi juga merenungkan prinsip-prinsip abadi tentang keadilan, konsekuensi kekufuran, dan jaminan perlindungan Allah bagi para penyeru kebenaran.
Studi terhadap Surah Al-Lahab memainkan peran krusial dalam memperkuat fondasi akidah (keyakinan) umat Islam, terutama mengenai konsep ketetapan (Qada dan Qadar) dan kepastian hari pembalasan.
Nasib kekal Abu Lahab yang telah ditetapkan dan diwahyukan sebelum kematiannya adalah manifestasi dari Qada dan Qadar. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan Allah bersifat sempurna dan mencakup segala sesuatu yang akan terjadi. Meskipun Abu Lahab memiliki kehendak bebas (ikhtiyar) untuk memilih iman, Allah, dalam pengetahuan-Nya yang mutlak, mengetahui bahwa ia akan memilih kekufuran hingga akhir hayat. Pengetahuan ini diwahyukan kepada Nabi untuk menegaskan kebenaran risalah. Hal ini memantapkan keyakinan bahwa semua yang terjadi di alam semesta ini berada dalam skema ketetapan Ilahi.
Surah ini berfungsi sebagai salah satu peringatan yang paling tegas tentang realitas Neraka. Penggunaan istilah nāran żāta lahab (api yang bergejolak) adalah deskripsi yang hidup dan menakutkan tentang tempat azab. Bagi umat Islam, ini bukan sekadar cerita, tetapi sebuah deskripsi yang harus diambil secara harfiah dan menjadi motivasi kuat untuk menjauhi perbuatan kufur, zalim, dan permusuhan terhadap agama.
Surah Al-Lahab membantu membentuk konsep Al-Wala' wal-Bara' (loyalitas dan penolakan) dalam Islam. Ini mengajarkan bahwa loyalitas utama seorang Muslim harus ditujukan kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Permusuhan dan penolakan harus ditujukan kepada mereka yang secara terang-terangan dan konsisten memusuhi kebenaran, bahkan jika mereka adalah anggota keluarga. Surah ini menjustifikasi pemutusan hubungan yang bersifat keagamaan dengan kerabat yang kukuh dalam kekufuran dan kezaliman, demi menjaga kemurnian tauhid.
Kisah ini, yang merupakan ramalan yang terwujud, memperkuat keyakinan pada janji-janji Kiamat lainnya. Jika hukuman atas kezaliman di dunia dapat diprediksi dan terbukti benar, maka janji tentang kebangkitan, perhitungan, Surga, dan Neraka juga pasti akan terwujud. Setiap muslim yang membaca atau menghafal Surat Al-Lahab (surat al lahab latin) diingatkan kembali bahwa kehidupan ini adalah ladang amal dan ujian, dan balasan akhir adalah mutlak.
Dengan demikian, Al-Lahab berfungsi sebagai landasan akidah yang kuat, membuktikan bahwa Al-Qur'an adalah kebenaran yang tidak terbantahkan, dan bahwa Allah SWT senantiasa memelihara dan memenangkan hamba-hamba-Nya yang setia, meskipun menghadapi perlawanan dari kerabat terdekat sekalipun.
Surat Al-Lahab, meskipun pendek dan mengisahkan satu figur spesifik dari sejarah awal Islam, membawa pesan universal yang abadi. Ia adalah peringatan keras bagi para penguasa, orang kaya, dan individu manapun yang menggunakan kekuasaan, kekayaan, atau status sosial mereka untuk menghalangi jalan Allah dan menindas kebenaran.
Dari versi Arab ke versi Latin (surat al lahab latin), intisari surah ini tetap sama: kebinasaan total menanti mereka yang memilih permusuhan terhadap risalah Ilahi. Kebinasaan ini meliputi harta benda, status, dan bahkan hubungan keluarga. Kisah Abu Lahab dan Umm Jamil adalah bukti hidup bahwa pada akhirnya, kemenangan adalah milik kebenaran, dan perhitungan Allah SWT adalah yang paling adil dan pasti.
Marilah kita ambil pelajaran dari setiap ayat Surah Al-Lahab. Hendaknya kita menjauhkan diri dari sifat sombong, fitnah, dan keyakinan berlebihan pada kekuatan materi. Sebaliknya, mari kita teguhkan hati dalam loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berhati-hati agar lisan kita tidak menjadi kayu bakar yang menyulut api permusuhan di dunia ini.
Semoga kita semua dilindungi dari segala bentuk kebinasaan dan fitnah, dan selalu berada di bawah rahmat Allah SWT.