I. Pendahuluan: Latar Belakang dan Konteks Surat Al-Lail
Surat Al-Lail (Malam) merupakan surat ke-92 dalam Al-Qur’an, tergolong dalam kelompok surat Makkiyah, yang diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah. Surat-surat Makkiyah umumnya berfokus pada penguatan akidah (keyakinan), pembahasan Hari Kiamat, dan penegasan prinsip-prinsip moral serta etika dasar yang kontras dengan perilaku masyarakat jahiliyah saat itu.
Surat ini dinamakan Al-Lail karena dibuka dengan sumpah Allah SWT menggunakan malam (Al-Lail), sebuah entitas waktu yang sarat dengan simbolisme ketenangan, misteri, dan penutupan. Seluruh ayat dalam surat ini, dari ayat 1 hingga 21, membahas secara lugas dan tegas tentang dualisme fundamental dalam kehidupan manusia: dualisme dalam ikhtiar (usaha) dan dualisme dalam balasan yang akan diterima. Pesan inti surat ini adalah bahwa usaha manusia terbagi menjadi dua jalur yang saling berlawanan, dan setiap jalur memiliki hasil yang pasti—yaitu kemudahan atau kesulitan.
1.1 Kedudukan Surat dalam Al-Qur’an
Al-Lail sering kali dipasangkan tematiknya dengan surat-surat pendek Makkiyah lainnya seperti Ad-Dhuha dan Al-Fajr, yang semuanya menggunakan sumpah kosmik untuk menyoroti kebenaran spiritual. Khususnya, Al-Lail berfungsi sebagai peringatan keras kepada orang-orang yang kikir dan merasa cukup dengan kekayaannya, sekaligus sebagai penegasan janji bagi mereka yang dermawan dan bertakwa.
1.2 Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Meskipun Surat Al-Lail berbicara tentang prinsip universal, beberapa ulama tafsir menyebutkan konteks spesifik turunnya ayat 5-7 dan 8-10. Diriwayatkan bahwa ayat-ayat ini berkaitan dengan dua jenis manusia yang hidup pada masa Nabi:
- Abu Bakar Ash-Shiddiq: Beliau adalah prototipe dari orang yang dermawan (sebagaimana disebutkan dalam ayat 5-7). Beliau sering memerdekakan budak-budak yang disiksa karena keislaman mereka, dan tindakannya murni hanya untuk mencari keridhaan Allah, bukan untuk membalas jasa.
- Seorang Kikir di Makkah: Beberapa riwayat menyebutkan tentang seorang kikir yang menolak berinfak dan merasa sombong dengan kekayaannya, yang menjadi prototipe bagi golongan yang disebutkan dalam ayat 8-10.
Oleh karena itu, surat ini bukan hanya sebuah teori moral, melainkan respons langsung terhadap perilaku nyata, membelah masyarakat menjadi dua kelompok berdasarkan sikap mereka terhadap harta dan keimanan.
II. Analisis Linguistik dan Teologi Ayat 1-4: Sumpah Kosmik
Surat Al-Lail dibuka dengan tiga sumpah kosmik yang kuat, yang berfungsi sebagai landasan teologis untuk pernyataan besar yang akan menyusul mengenai perbedaan usaha manusia.
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) (1), demi siang apabila terang benderang (2), dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan (3), sesungguhnya usaha kamu memang berbeza-beza (4).
2.1 Makna Filosofis Sumpah Malam (Al-Lail)
(1) وَٱلَّيۡلِ إِذَا يَغۡشَىٰٓ (Demi malam apabila menutupi)
Kata Al-Lail (malam) secara linguistik berarti penutup, kegelapan, atau selubung. Tindakan *yaghsya* (menutupi) menunjukkan dominasi dan penyebaran kegelapan secara menyeluruh. Malam adalah simbol ketiadaan, istirahat, dan bagi sebagian orang, simbol dari kejahatan yang tersembunyi. Dalam konteks spiritual, sumpah ini mengingatkan bahwa seperti malam menutupi bumi, amal perbuatan manusia juga tersembunyi dari pandangan publik, kecuali bagi Allah SWT. Ini menekankan pentingnya ikhlas (ketulusan) dalam beramal, terutama dalam konteks sedekah dan takwa yang menjadi fokus utama surat ini.
2.1.1 Analisis Konteks Bahasa Malam
Dalam ilmu balaghah (retorika Al-Qur’an), penggunaan sumpah dengan waktu dan fenomena alam selalu mengarahkan perhatian pada keagungan Pencipta. Sumpah dengan malam ini mempersiapkan pembaca untuk menerima konsep kontras yang akan datang. Kegelapan malam mewakili jalan kesulitan dan kekikiran, yang terkadang tampak mudah atau menarik di awal, tetapi berujung pada kegelapan abadi.
2.2 Makna Filosofis Sumpah Siang (An-Nahar)
(2) وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ (Demi siang apabila terang benderang)
Sebaliknya, An-Nahar (siang) adalah antitesis total. Kata *tajalla* berarti menampakkan diri, menjadi terang, atau menjelaskan. Siang melambangkan kejelasan, aktivitas, dan kebenaran yang tidak tersembunyi. Secara spiritual, siang melambangkan petunjuk ilahi, jalan kemudahan, dan kejelasan amal yang benar. Ia adalah penampakan nyata dari keridhaan Allah.
2.2.1 Kontras dan Pasangan (Az-Zaujiyyah)
Penyandingan Malam dan Siang adalah demonstrasi kosmik dari hukum dualisme (Az-Zaujiyyah) yang mengatur alam semesta. Sama seperti alam semesta terbagi menjadi gelap dan terang, manusia juga terbagi dalam pilihan amalnya: baik atau buruk, memberi atau menahan.
2.3 Sumpah Penciptaan Pasangan
(3) وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰٓ (Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan)
Sumpah ketiga ini membawa dualisme dari tingkat kosmik ke tingkat biologis dan sosial. Laki-laki (Adz-Dzakkar) dan perempuan (Al-Untsa) adalah pasangan dasar kehidupan. Ayat ini memiliki dua interpretasi utama:
- Penciptaan Jenis Kelamin: Sumpah atas kekuasaan Allah dalam menciptakan pasangan yang berbeda, yang juga merefleksikan kontras dalam karakter dan peran.
- Kontras Usaha (Tafsir Ibn Mas'ud): Sebagian ulama, seperti Mujahid dan Qatadah, menafsirkan *mā khalaqa* sebagai sumpah kepada Dzat Yang Menciptakan (Allah), yang menciptakan segala kontras—termasuk kontras amal shaleh dan amal buruk, ketaatan dan kemaksiatan.
Kesimpulannya, tiga sumpah ini secara berturut-turut mempersiapkan akal dan hati pendengar untuk menerima kesimpulan utama:
2.4 Inti Sumpah: Dualisme Ikhtiar
(4) إِنَّ سَعۡيَكُمۡ لَشَتَّىٰ (Sesungguhnya usaha kamu memang berbeza-beza)
Ini adalah jawaban (jawab al-qasam) dari sumpah-sumpah di atas. Kata Sa'yakum merujuk pada segala bentuk upaya, kerja keras, dan tujuan hidup manusia. Kata Lasysyatta berarti sangat beraneka ragam, berbeda jauh, atau terpisah. Al-Qur’an menegaskan bahwa meskipun kita semua berasal dari satu pencipta dan hidup di bawah siklus malam dan siang yang sama, usaha kita tidak seragam; ia terbagi menjadi dua jalur yang bertolak belakang: jalan menuju keridhaan dan jalan menuju kerugian.
III. Dikotomi Amal dan Balasan: Ayat 5-11
Setelah menegaskan dualitas kosmik dan dualitas ikhtiar, ayat-ayat berikutnya merincikan dua kelompok manusia yang berbeda, menjelaskan ciri-ciri, motivasi, dan hasil akhir dari setiap kelompok. Bagian ini adalah inti moral dan etis dari surat Al-Lail.
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa (5), dan membenarkan (adanya) balasan yang terbaik (Al-Husna) (6), maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (Yusra) (7). Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (8), serta mendustakan balasan yang terbaik (9), maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar (Usra) (10). Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh (ke dalam api neraka) (11).
3.1 Kelompok Pertama: Jalan Kemudahan (Yusra)
Ayat 5, 6, dan 7 menggambarkan karakteristik dan janji bagi golongan yang memilih jalan ketaatan. Terdapat tiga pilar utama yang harus dipenuhi:
3.1.1 Pilar Pertama: Kedermawanan dan Pengorbanan (A’tha)
(5) فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ (Adapun orang yang memberikan)
Kata A’tha (memberikan) tidak hanya terbatas pada sedekah finansial, tetapi mencakup semua bentuk pengorbanan, seperti memberikan waktu, tenaga, ilmu, dan perhatian. Ini adalah manifestasi nyata dari keimanan yang menembus batas egoisme. Kedermawanan di sini diletakkan di posisi pertama, menunjukkan bahwa pembebasan diri dari keterikatan duniawi adalah kunci utama menuju kebaikan.
Dan (وَٱتَّقَىٰ - Wattqaa) adalah pelengkap bagi *A’tha*. Memberi saja tidak cukup jika tidak didasari oleh takwa (kesadaran dan ketakutan kepada Allah). Takwa memastikan bahwa pemberian itu dilakukan dengan niat yang benar, dari sumber yang halal, dan sesuai syariat.
3.1.2 Pilar Kedua: Membenarkan Al-Husna
(6) وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ (dan membenarkan (adanya) balasan yang terbaik)
Apa itu Al-Husna (yang terbaik)? Para mufasir memiliki pandangan beragam, namun semuanya berpusat pada inti keimanan:
- Tauhid: Mengakui keesaan Allah dan syahadat.
- Balasan Akhirat: Membenarkan adanya pahala, surga, atau janji kebaikan di dunia dan akhirat.
- Janji Allah: Mengimani bahwa apa pun yang dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an (bahwa infak akan diganti) adalah benar.
Keimanan ini adalah prasyarat. Orang yang memberi karena yakin akan adanya balasan yang lebih baik dari Allah (baik ganti duniawi maupun pahala ukhrawi) akan melakukannya dengan ringan dan sukarela.
3.1.3 Balasan: Jalan Kemudahan (Yusra)
(7) فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ (maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah)
Ini adalah janji ilahi. Kata Yusra berarti kemudahan. Ini bukan berarti hidup tanpa cobaan, melainkan kemudahan dalam melakukan kebaikan dan ketaatan. Allah akan melunakkan hati orang tersebut, membukakan jalan rezeki, memberinya kekuatan untuk menjauhi maksiat, dan memudahkan langkahnya menuju surga.
Kemudahan (Yusra) adalah kemudahan taufik, bukan kemudahan hidup secara materi. Taufik adalah kemampuan untuk melakukan apa yang dicintai Allah.
3.2 Kelompok Kedua: Jalan Kesulitan (Usra)
Ayat 8, 9, dan 10 menggambarkan antitesis dari kelompok pertama—mereka yang memilih jalan kekikiran dan kesombongan, yang akan dibalas dengan kesulitan.
3.2.1 Pilar Pertama: Kekikiran dan Kesombongan
(8) وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ (Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup)
Bakhila (kikir) adalah lawan dari *A’tha*. Kekikiran adalah penyakit hati yang menahan harta dari hak-hak yang seharusnya diberikan. Ini adalah kemelekatan yang berlebihan terhadap dunia. Kata Istaghna (merasa cukup) adalah akar dari kekikiran tersebut. Ia merasa tidak membutuhkan Allah atau balasan-Nya karena ia merasa kekayaannya saat ini sudah menjamin segalanya. Kesombongan ini adalah racun spiritual.
3.2.2 Pilar Kedua: Mendustakan Al-Husna
(9) وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ (serta mendustakan balasan yang terbaik)
Orang kikir dan sombong cenderung mendustakan janji Allah tentang pahala atau siksa di akhirat, atau paling tidak, mereka meremehkannya. Jika seseorang benar-benar percaya pada balasan terbaik (Surga), mustahil ia akan menahan hartanya. Pendustaan terhadap *Al-Husna* adalah legitimasi moral bagi kekikirannya.
3.2.3 Balasan: Jalan Kesulitan (Usra)
(10) فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ (maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar)
Ini adalah konsekuensi logis dari pilihan mereka. Kata Usra berarti kesulitan atau kesukaran. Allah akan membiarkannya terjerumus dalam kesulitan, baik kesulitan dalam mencari rezeki (meskipun kaya, hatinya tidak tenang), kesulitan dalam beramal (ketaatan terasa berat), atau kesulitan hisab di hari kiamat. Ini adalah kemudahan menuju neraka. Semakin ia mengejar dunia, semakin rumit masalah yang ia hadapi.
3.3 Kebinasaan Harta
(11) وَمَا يُغۡنِي عَنۡهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰ (Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh)
Ayat ini menutup segmen dikotomi dengan penekanan pada fana’ (kehancuran) dunia. Taradda (terjatuh) sering diinterpretasikan sebagai jatuh ke dalam Neraka Jahannam, atau bisa juga merujuk pada kematian. Pada saat kematian atau di hari perhitungan, harta yang ia kumpulkan dengan susah payah dan kekikiran tidak akan menyelamatkannya sedikit pun. Harta hanya bernilai jika telah diubah menjadi amal shaleh melalui kedermawanan dan takwa.
IV. Hukum Ketetapan dan Pertanggungjawaban: Ayat 12-21
Bagian akhir surat ini berfungsi sebagai peringatan dan penegasan. Allah SWT menyatakan bahwa petunjuk adalah hak prerogatif-Nya, dan Dia telah menetapkan konsekuensi yang jelas bagi setiap pilihan manusia. Bagian ini juga memberikan contoh agung dari orang yang mendapatkan keridhaan-Nya.
Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk (12). Dan sesungguhnya milik Kamilah akhirat dan dunia (13). Maka, Aku memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (14). Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka (Al-Ashqa) (15), yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan) (16). Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa (Al-Atqa) (17), yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya (18), padahal tidak ada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya (19), melainkan (dia memberikan itu) semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi (20). Dan kelak dia benar-benar mendapat keridhaan (dari Allah) (21).
4.1 Prerogatif Ilahi: Hidayah dan Kepemilikan
(12) إِنَّ عَلَيۡنَا لَلۡهُدَىٰ (Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah-lah yang menyediakan petunjuk (hidayah). Tugas Allah adalah menunjukkan jalan yang benar (Hidayat al-Irsyad), melalui para nabi dan kitab suci. Namun, petunjuk untuk menerima hidayah (Hidayat at-Taufiq) adalah pilihan manusia. Ayat ini berfungsi sebagai penekanan bahwa manusia tidak memiliki alasan untuk tersesat, karena jalan telah dijelaskan.
(13) وَإِنَّ لَنَا لَلۡأٓخِرَةَ وَٱلۡأُولَىٰ (Dan sesungguhnya milik Kamilah akhirat dan dunia)
Ayat ini memperkuat otoritas Allah. Karena Dia menguasai dunia (yang sedang kita jalani) dan akhirat (tujuan akhir kita), maka ancaman dan janji-Nya adalah mutlak. Kekuasaan penuh ini menjamin keadilan dalam hukuman dan kemuliaan dalam pahala.
4.2 Peringatan Keras (Neraka Talazza)
(14) فَأَنذَرۡتُكُمۡ نَارٗا تَلَظَّىٰ (Maka, Aku memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala)
Talazza berarti api yang berkobar-kobar dan sangat panas. Ini adalah ancaman yang ditujukan kepada mereka yang memilih jalan *Usra* (kesulitan). Peringatan ini disajikan sebagai konsekuensi logis dari mendustakan kebenaran dan kekikiran.
4.2.1 Penghuni Neraka: Al-Ashqa
(15) لَا يَصۡلَىٰهَآ إِلَّا ٱلۡأَشۡقَى (Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka)
Kata Al-Ashqa adalah bentuk *Ism at-Tafdhil* (superlatif) dari *syaqiyy* (celaka). Ini berarti orang yang paling celaka, yang penderitaannya di neraka melebihi yang lain. Siapakah mereka?
(16) ٱلَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ (yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan))
Al-Ashqa ditandai oleh dua tindakan fatal: Kadzdzaba (mendustakan) kebenaran yang dibawa Rasul, dan Tawalla (berpaling) dari pelaksanaan perintah Allah. Ini adalah sintesis dari sikap kelompok kikir dan sombong (ayat 8-10): mereka tidak hanya tidak percaya (mendustakan *Al-Husna*), tetapi juga menolak untuk berbuat (kikir dan berpaling dari takwa).
4.3 Jalan Keselamatan: Al-Atqa dan Kedermawanan Murni
(17) وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلۡأَتۡقَى (Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa)
Lawan dari Al-Ashqa adalah Al-Atqa (yang paling bertakwa), bentuk superlatif dari *Taqwa*. Orang ini adalah prototipe dari kelompok yang memilih jalan *Yusra* (kemudahan). Mereka adalah yang paling mulia di sisi Allah.
(18) ٱلَّذِي يُؤۡتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ (yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya)
Fungsi utama infak (Yu’ti Malahu) adalah Yatazakka—membersihkan atau menyucikan diri. Zakat dan sedekah bukan sekadar transaksi ekonomi, tetapi proses pemurnian spiritual (*Tazkiyatun Nafs*). Harta yang dikeluarkan membersihkan hati dari penyakit kekikiran (*bukhul*) dan kesombongan (*isti’ghna*).
4.4 Puncak Ketulusan (Ikhlas)
Ayat 19 dan 20 adalah klimaks surat ini, menjelaskan standar tertinggi dalam kedermawanan, yaitu keikhlasan total. Ayat-ayat ini secara khusus diyakini merujuk kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, tetapi berlaku bagi semua mukmin yang mencapai tingkat ikhlas yang sama.
(19) وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعۡمَةٖ تُجۡزَىٰٓ (padahal tidak ada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya)
Al-Atqa berinfak bukan karena ingin membalas budi kepada si penerima. Pemberiannya murni tanpa motif utang budi atau kompensasi sosial. Ini menyingkirkan semua motif sekunder (seperti riya' atau mencari pujian manusia).
(20) إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ (melainkan (dia memberikan itu) semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi)
Satu-satunya motivasi (Ibtighaa’a Wajhi Rabbihil A’laa) adalah mencari wajah (keridhaan) Allah Yang Maha Tinggi. Ini adalah definisi puncak dari Ikhlas. Ketika perbuatan hanya didorong oleh kerinduan akan pandangan dan perkenan Ilahi, maka ia telah mencapai tujuan spiritual tertinggi.
4.5 Janji Abadi: Keridhaan Ilahi
(21) وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ (Dan kelak dia benar-benar mendapat keridhaan (dari Allah))
Surat Al-Lail ditutup dengan janji mutlak: Al-Atqa akan mendapatkan keridhaan Allah. Kata *Ridla* (keridhaan) di sini jauh lebih berharga daripada Surga itu sendiri, karena Surga adalah ciptaan Allah, tetapi *Ridla* adalah sifat-Nya yang Maha Agung. Ridha ilahi mencakup kedamaian abadi, kebahagiaan yang tak terlukiskan, dan kepuasan total.
V. Aplikasi Tematik: Kekikiran sebagai Penyakit Spiritual
Surat Al-Lail, meskipun pendek, memuat fondasi teologi etika Islam. Inti dari kontras yang disajikan adalah bahwa pilihan manusia dalam berurusan dengan harta benda bukan hanya isu ekonomi, melainkan ujian spiritual yang menentukan jalan hidupnya.
5.1 Makna Kekikiran (Bukhul) dan Kesombongan (Istighna)
Kekikiran dan kesombongan merupakan pasangan dosa yang saling menguatkan. Orang kikir menahan harta karena dua alasan:
- Ketakutan Hilang: Mereka percaya bahwa memberi akan mengurangi kekayaan mereka, menunjukkan kurangnya kepercayaan pada janji rezeki dari Allah.
- Merasa Cukup: Mereka merasa segala urusan mereka sudah terjamin oleh harta, sehingga tidak memerlukan rahmat atau balasan dari Allah. Ini adalah bentuk syirik tersembunyi, karena meletakkan kepercayaan mutlak pada makhluk (harta) bukan pada Khaliq (Pencipta).
"Kekikiran adalah penghalang terbesar antara hamba dan Tuhannya, karena ia mengikat hati pada materi, menjauhkannya dari makna spiritual."
5.2 Kedermawanan: Fondasi Tazkiyatun Nafs
Sebaliknya, kedermawanan (infak) adalah latihan terberat dan paling efektif dalam penyucian jiwa (*Tazkiyatun Nafs*). Ayat 18 secara eksplisit menyebutkan *Yatazakka* (membersihkan diri). Proses pembersihan ini meliputi:
- Penyucian Niat: Memaksa diri berinfak tanpa motif balasan duniawi (Ayat 19-20).
- Pengakuan Kepemilikan: Mengakui bahwa harta yang dikeluarkan adalah milik Allah, dan kita hanyalah pengelola sementara.
- Memutuskan Keterikatan: Mengurangi kecintaan yang berlebihan terhadap dunia.
Penyucian ini menghasilkan Yusra (kemudahan), karena hati yang bersih akan mudah menerima hidayah, mudah berbuat baik, dan mudah menghadapi cobaan hidup.
5.3 Konsep Al-Husna: Jaminan Kebaikan
Pusat perbedaan antara dua kelompok ini terletak pada keyakinan terhadap *Al-Husna*. Orang bertakwa percaya pada balasan terbaik yang dijanjikan, sehingga mereka berinvestasi di akhirat. Orang celaka mendustakannya, sehingga mereka menimbun harta untuk investasi yang fana (dunia).
Al-Husna adalah janji kompensasi ilahi. Ketika seseorang memberi di jalan Allah, ia tidak pernah rugi, karena Allah telah menjamin akan menggantinya dengan yang lebih baik, baik secara materi, spiritual, maupun abadi di Surga.
VI. Perbandingan Tafsir Kontemporer: Menafsirkan Kemudahan dan Kesulitan
Para mufasir kontemporer memperluas makna *Yusra* (kemudahan) dan *Usra* (kesulitan) melampaui sekadar balasan di akhirat, menjadikannya prinsip psikologis dan sosiologis di dunia.
6.1 Tafsir Hamka (Al-Azhar)
Buya Hamka menekankan bahwa kemudahan (*Yusra*) yang dijanjikan bagi orang dermawan adalah ketenangan jiwa dan kelapangan rezeki yang tak terduga. Orang yang kikir, meskipun kaya raya, hidupnya selalu sulit (*Usra*) karena diselimuti ketakutan akan kemiskinan dan kecemasan dalam menjaga hartanya. Kesulitan di sini adalah kesulitan batin dan kesulitan dalam melakukan kebaikan.
6.2 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Quraish Shihab menyoroti bahwa *Yusra* adalah kesuksesan berkelanjutan. Allah memudahkan orang takwa dalam menghadapi tantangan hidup dan memberinya kemudahan dalam menjalankan syariat. Sebaliknya, *Usra* bagi orang kikir adalah kesulitan yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri (self-inflicted difficulty), seperti kesulitan menemukan kebahagiaan sejati, kesulitan sosial (dijauhi masyarakat), dan kesulitan dalam menerima kebenaran.
6.3 Implikasi Sosial Ekonomi Surat Al-Lail
Surat ini juga dapat dibaca sebagai kritik tajam terhadap sistem ekonomi yang didasarkan pada akumulasi kekayaan murni tanpa etika spiritual. Kekikiran individual (*bukhul*) akan melahirkan ketimpangan sosial dan kesulitan struktural (*Usra*) bagi masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, sistem yang didasarkan pada pengorbanan dan redistribusi (*A’tha*) akan membawa kemudahan (*Yusra*) bagi komunitas tersebut, menciptakan stabilitas dan keberkahan kolektif.
Ayat 11, "Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh," adalah peringatan keras bahwa pada titik krisis (kematian, kiamat), hanya amal kedermawanan yang menjadi investasi abadi, bukan nilai nominal harta yang ditimbun.
VII. Analisis Mendalam: Dimensi Ketakwaan Al-Atqa (Ayat 17-21)
Puncak dari Surat Al-Lail adalah deskripsi mendalam mengenai karakter Al-Atqa (orang yang paling bertakwa). Empat ayat terakhir ini (18-21) memberikan cetak biru bagi kesalehan tertinggi, berfokus pada kualitas infak yang sejati.
7.1 Kualitas Infak yang Menyucikan (Yatazakka)
Infak orang paling bertakwa bukanlah sekadar transfer uang, tetapi tindakan penyucian diri. Dalam konteks ayat, *Yatazakka* berarti:
- Tumbuh dan Berkembang: Harta yang dikeluarkan tidak berkurang, melainkan bertumbuh secara spiritual, menjadikan harta itu sebagai jembatan menuju akhirat.
- Pembebasan Diri: Proses mengeluarkan harta secara konsisten membebaskan jiwa dari belenggu materialisme dan ketamakan, menyiapkan jiwa untuk bertemu Allah dalam keadaan suci.
Infak di sini bersifat proaktif. Al-Atqa tidak menunggu permintaan, tetapi mencari peluang untuk menyucikan dirinya, seperti yang dicontohkan oleh Abu Bakar ketika memerdekakan budak-budak tanpa mengharapkan balasan.
7.2 Konsep Ketiadaan Balasan (Tanpa Imbal Jasa)
Ayat 19, "padahal tidak ada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya," adalah kriteria paling ketat untuk mengukur keikhlasan.
Dalam hubungan sosial, seringkali pemberian didasarkan pada prinsip timbal balik (membayar utang budi, mengharapkan imbalan). Al-Atqa adalah orang yang memberi kepada mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk membalas jasanya (fakir miskin, budak yang tertindas). Ini memastikan bahwa tidak ada bayangan transaksi duniawi yang mencemari niatnya.
Ayat ini mengajarkan bahwa sedekah yang paling tinggi nilainya adalah yang diberikan kepada seseorang yang tidak pernah memberikan jasa atau nikmat kepada Anda, dan tidak diharapkan pula balasannya di masa depan. Ini adalah infak 100% demi Allah.
7.3 Ibtighaa'a Wajhi Rabbihil A’laa: Tujuan Tertinggi
Inti dari kedermawanan Al-Atqa adalah mencari wajah Allah Yang Mahatinggi. Kata Wajh (wajah) dalam bahasa Arab sering digunakan untuk merujuk pada Dzat, Esensi, atau Keridhaan. Ini berarti motivasi utama adalah pandangan dan perkenan Allah.
Dalam skala spiritual, ada tiga tingkatan motivasi beramal:
- Tingkat Rendah: Beramal karena takut Neraka.
- Tingkat Menengah: Beramal karena mengharapkan Surga.
- Tingkat Tinggi (Al-Atqa): Beramal semata-mata karena mencintai Dzat Allah, mencari keridhaan-Nya, melampaui harapan surga dan ketakutan neraka. Ini adalah maqam *Ihsan* (beribadah seolah melihat Allah).
VIII. Menutup dengan Keridhaan: Wa Lasawfa Yardha
Ayat penutup, وَ لَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ (Dan kelak dia benar-benar mendapat keridhaan), adalah janji yang menghapus segala keraguan. Struktur bahasa Arab menggunakan:
- Wawul Isti’naf (wawu permulaan): Untuk memulai janji yang baru.
- Lamut Taukiid (huruf lam penguat): Untuk menegaskan kepastian.
- Sawfa (akan): Menunjukkan kepastian di masa depan (akhirat).
Kombinasi ini menghasilkan janji yang mutlak dan tak terbantahkan. Orang yang berjuang dalam jalan kemudahan (*Yusra*), mempraktikkan kedermawanan murni, dan mencari wajah Allah, tidak hanya akan mendapatkan Surga, tetapi yang lebih agung: Keridhaan dari Allah SWT.
Keridhaan Ilahi adalah puncak kebahagiaan. Dalam hadits qudsi disebutkan, bahwa kenikmatan terbesar di surga adalah saat Allah menampakkan diri-Nya dan menyatakan keridhaan-Nya kepada penghuni Surga. Inilah balasan tertinggi bagi *Al-Atqa* yang mengorbankan harta duniawi demi meraih Dzat yang Mahatinggi.
IX. Rangkuman Pelajaran Utama Surat Al-Lail
Surat Al-Lail adalah cetak biru moral yang mengajarkan bahwa kualitas hidup di dunia dan akhirat ditentukan oleh dua pilihan utama, yang tercermin dalam hubungan kita dengan harta dan keimanan:
- Dualisme Mutlak: Kehidupan tidak netral. Setiap langkah kita membawa kita menuju *Yusra* (kemudahan) atau *Usra* (kesulitan).
- Ujian Harta: Harta adalah alat penyucian (*Yatazakka*) atau alat kebinasaan (dosa kekikiran).
- Inti Keimanan: Membenarkan adanya *Al-Husna* (balasan terbaik) adalah motivasi utama untuk beramal saleh.
- Motif Ikhlas: Kualitas amal dinilai dari niat murni mencari wajah Allah, tanpa mengharapkan balasan dari makhluk.
- Konsekuensi Akhir: Kedermawanan membawa pada Keridhaan Abadi, sementara kekikiran membawa pada Keterjatuhan yang Tak Bermanfaat.
Melalui sumpah kosmik yang kuat dan dikotomi manusia yang jelas, Surat Al-Lail mengarahkan kita untuk merenungkan, di manakah posisi kita dalam timbangan amal ini: di jalur orang yang memberi dan bertakwa, atau di jalur orang yang kikir dan merasa cukup?
Pesan penutup surat ini adalah seruan untuk meninggalkan ego, melepaskan keterikatan pada materi, dan berjuang menuju tingkat ketakwaan tertinggi, di mana motivasi kita hanya satu: Keridhaan Allah Yang Mahatinggi.