Kajian Mendalam Surat Al-Lail dalam Bahasa Arab dan Tafsirnya

Analisis Linguistik, Tematik, dan Asbabun Nuzul Surah ke-92 Al-Qur'an

Ilustrasi Dualitas Malam dan Siang (Al-Lail dan An-Nahar)

Ilustrasi Dualitas Malam dan Siang

Pendahuluan: Pengenalan Surat Al-Lail

Surat Al-Lail (Malam) merupakan surat ke-92 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, terdiri dari 21 ayat. Surat ini termasuk dalam kelompok surat-surat Makkiyah, yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad ﷺ sebelum peristiwa hijrah ke Madinah. Periode Makkiyah, yang dicirikan oleh penekanan pada tauhid, hari kebangkitan (akhirat), dan moralitas dasar, sangat kental terasa dalam struktur dan pesan Surat Al-Lail.

Pesan utama surat ini adalah penegasan tentang dualitas dalam kehidupan dan tindakan manusia, serta konsekuensi pasti dari pilihan-pilihan tersebut. Allah ﷻ bersumpah dengan berbagai ciptaan yang berpasangan—Malam dan Siang, Laki-laki dan Perempuan—untuk menegaskan bahwa usaha dan amal perbuatan manusia juga bersifat dualistik, yang pada akhirnya akan mengantarkan mereka pada dua hasil yang berbeda: kemudahan (surga) bagi yang bertakwa dan bersedekah, serta kesulitan (neraka) bagi yang bakhil dan mendustakan kebenaran.

Kajian mendalam tentang surat al lail arab memerlukan pemahaman konteks linguistik yang kaya, mengingat surat ini menggunakan sumpah (قسم - *qasam*) yang kuat sebagai pembuka, sebuah teknik retoris khas dalam surat-surat pendek Makkiyah untuk menarik perhatian pendengar pada topik yang sangat penting.

Teks Arab Lengkap dan Terjemahan Surah Al-Lail

Berikut adalah teks lengkap Surat Al-Lail dalam bahasa Arab, yang menjadi fokus utama kajian ini, diikuti terjemahan ringkas dalam bahasa Indonesia:

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ ۝ وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ ۝ وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰٓ ۝ إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ ۝ فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ ۝ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ۝ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ ۝ وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ ۝ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ۝ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ ۝ وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰ ۝ إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ ۝ وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَٱلْأُولَىٰ ۝ فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ ۝ لَا يَصْلَىٰهَآ إِلَّا ٱلْأَشْقَى ۝ ٱلَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ ۝ وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلْأَتْقَى ۝ ٱلَّذِي يُؤْتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ ۝ وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰٓ ۝ إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ ۝ وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ ۝

1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),

2. Dan demi siang apabila telah terang benderang,

3. Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,

4. Sesungguhnya usaha kamu memang beraneka ragam.

5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,

6. Dan membenarkan (adanya) balasan yang terbaik (surga),

7. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

8. Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh pertolongan Allah),

9. Serta mendustakan balasan yang terbaik,

10. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sulit.

11. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh (ke dalam siksaan neraka).

12. Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk.

13. Dan sesungguhnya milik Kami-lah akhirat dan dunia.

14. Maka Kami memperingatkan kamu dengan api neraka yang menyala-nyala,

15. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka,

16. Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).

17. Dan kelak akan dijauhkan darinya orang yang paling bertakwa,

18. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,

19. Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,

20. Melainkan (dia memberikan itu) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi.

21. Dan kelak dia benar-benar akan puas.

Analisis Linguistik Mendalam (Word-by-Word Tafsir)

Untuk mencapai kedalaman pemahaman surat al lail arab, kita harus menelaah setiap sumpah dan kata kunci yang digunakan, karena detail leksikal inilah yang membentuk kekuatan retorika surat ini.

I. Sumpah Awal (Ayat 1-3)

Ayat 1: وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ (Demi malam apabila menutupi) Kata kunci: *Al-Lail* (Malam) dan *Yaghsha* (menutupi). *Yaghsha* berasal dari akar kata غ ش و (Ghain-Shin-Waw), yang berarti menutupi, menyelubungi, atau meliputi. Penggunaan kata ini menggambarkan kedatangan malam yang seolah-olah menyelimuti bumi, menghilangkan cahaya siang secara perlahan namun menyeluruh. Sumpah ini menekankan kekuatan malam dalam mengubah realitas visual, menjadikannya simbol kiasan untuk tindakan tersembunyi atau keadaan yang tidak terlihat jelas oleh manusia.

Ayat 2: وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ (Dan demi siang apabila telah terang benderang) Kata kunci: *An-Nahar* (Siang) dan *Tajalla* (terang benderang, menampakkan diri). *Tajalla* berasal dari akar kata ج ل و (Jim-Lam-Waw), yang berarti menampakkan, memunculkan, atau membersihkan. Ini adalah antitesis sempurna dari *Yaghsha*. Jika malam menyembunyikan, siang menampakkan segala sesuatu. Sumpah ini adalah tentang kejelasan, kejujuran, dan manifestasi. Dalam konteks moral, ini melambangkan tindakan yang dilakukan secara terang-terangan dan kebenaran yang tidak tersembunyi.

Ayat 3: وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰٓ (Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan) Sumpah ketiga ini mengalihkan fokus dari dualitas kosmik (Malam dan Siang) ke dualitas biologis dan sosial mendasar: Laki-laki (*Adz-Dzakara*) dan Perempuan (*Al-Untsa*). Dalam beberapa Qira'at (bacaan), sumpah ini dibaca sebagai *Wa maa khalaqa dzakara wal untsa*, yang secara literal berarti "Demi yang menciptakan laki-laki dan perempuan," merujuk langsung kepada Allah ﷻ. Sumpah ini menegaskan prinsip penciptaan yang berpasangan, yang menjadi landasan bagi keberagaman dan kehidupan. Ini berfungsi sebagai jembatan menuju subjek inti, yaitu keberagaman upaya manusia.

II. Respon Sumpah (Ayat 4)

Ayat 4: إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ (Sesungguhnya usaha kamu memang beraneka ragam) Ini adalah jawaban atau objek sumpah (*Jawab al-Qasam*). Kata kunci: *Sa’yakum* (usaha kalian) dan *Lasyatta* (memang beraneka ragam, berbeda-beda). *Sa'yun* (سعي) memiliki arti bergerak cepat, berusaha, atau berupaya keras. Ini mencakup segala jenis aktivitas manusia, baik fisik, mental, maupun spiritual. *Shatta* (شتى) berasal dari akar kata yang berarti menyebar atau terpisah. Ayat ini menyatakan bahwa, meskipun manusia diciptakan dalam dualitas dan hidup dalam ritme dualitas kosmik, upaya individu mereka terpisah dan sangat berbeda—satu menuju kebaikan, yang lain menuju keburukan. Ayat ini menetapkan premis bahwa hasil akhir ditentukan oleh jenis usaha yang dipilih.

III. Jalan Kebaikan (Ayat 5-7)

Ayat 5: فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ (Adapun orang yang memberikan dan bertakwa) Kriteria pertama untuk jalan yang benar adalah dualistik: 1. *A'taa* (أعطى): Memberikan, menginfakkan, bersedekah. Ini adalah manifestasi lahiriah dari keyakinan, menunjukkan bahwa orang tersebut tidak terikat oleh harta dunia. 2. *Ittaqaa* (اتقى): Bertakwa. Ini adalah sikap batiniah, rasa takut dan penghormatan kepada Allah ﷻ, yang mendorong tindakan baik (memberi) dan menjauhi keburukan. Integrasi tindakan lahiriah (*A’taa*) dan kondisi batiniah (*Ittaqaa*) sangat penting.

Ayat 6: وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ (Dan membenarkan balasan yang terbaik) *Saddaqa* (صدق) berarti membenarkan, mempercayai. *Al-Husna* (الحسنى) secara harfiah berarti "yang paling baik" atau "yang terbaik." Dalam konteks teologis, para mufassir umumnya sepakat bahwa *Al-Husna* merujuk pada tiga hal yang saling berkaitan: 1. Kalimat Tauhid (La Ilaha Illallah). 2. Pahala di akhirat (Surga). 3. Janji Allah tentang kemudahan dan keberhasilan di dunia dan akhirat. Kepercayaan tulus pada janji Allah ini menjadi fondasi psikologis bagi tindakan memberi dan bertakwa.

Ayat 7: فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ (Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah) Kata kunci: *Fasanuyassiruhu* (Maka Kami akan memudahkannya) dan *Al-Yusra* (kemudahan). *Yusr* (يسر) adalah kemudahan, kelapangan, dan kenyamanan. Ini adalah balasan langsung untuk kombinasi memberi, bertakwa, dan membenarkan. "Memudahkan jalan" tidak hanya berarti mempermudah jalan menuju surga, tetapi juga mempermudah urusan duniawi, memberikan taufik untuk melakukan amal saleh, dan menghilangkan keraguan atau kesulitan dalam beribadah. Balasan ini bersifat pasti, ditandai dengan awalan *Fa* (maka) dan *Sa* (kelak/pasti).

IV. Jalan Keburukan (Ayat 8-11)

Ayat 8: وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ (Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup) Ini adalah antitesis dari Ayat 5: 1. *Bakhila* (بخل): Kikir, menahan harta. Ini adalah penolakan terhadap tindakan *A'taa*. 2. *Istaghnaa* (استغنى): Merasa cukup atau tidak membutuhkan Allah. Ini adalah penolakan terhadap sikap *Ittaqaa*. Orang ini percaya bahwa kekayaannya sendiri cukup untuk menjamin kehidupannya dan tidak merasa perlu bertakwa atau bergantung pada Yang Maha Pemberi. Ini adalah puncak kesombongan spiritual.

Ayat 9: وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ (Serta mendustakan balasan yang terbaik) *Kadzdzaba* (كذب) berarti mendustakan, mengingkari. Ini adalah antitesis dari *Saddaqa* (membenarkan). Orang ini menolak kebenaran tauhid dan janji akhirat. Karena ia tidak percaya pada balasan yang lebih baik di masa depan, ia menumpuk harta di masa kini.

Ayat 10: فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ (Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sulit) Kata kunci: *Al-'Usra* (العسرى), kesulitan, kesukaran. Sebagaimana Allah menjanjikan *Al-Yusra* bagi yang bertakwa, Ia menjanjikan *Al-'Usra* bagi yang kikir. "Memudahkan jalan yang sulit" (sebuah ironi ilahi) berarti Allah akan memudahkan jalannya menuju kekecewaan dan kehancuran, membuat amal buruk terasa mudah baginya, sehingga ia semakin jauh dari petunjuk. Hidupnya di dunia akan dipenuhi dengan kesulitan batin, dan akhirnya ia akan menghadapi kesulitan hakiki di akhirat.

Ayat 11: وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰ (Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh) Kata kunci: *Yughni* (bermanfaat, mencukupi) dan *Taraddaa* (terjun, jatuh, binasa). Ayat ini menghancurkan ilusi orang yang *Istaghnaa* (merasa cukup dengan hartanya). Ketika kematian datang atau ketika ia menghadapi siksa neraka (*Taraddaa*), semua harta yang ia kumpulkan dengan kekikiran tidak akan dapat memberinya manfaat sekecil apa pun, tidak bisa menebus dosa, atau menahan azab.

V. Penegasan Kedaulatan Ilahi (Ayat 12-13)

Ayat 12: إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ (Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk) Ini adalah penegasan otoritas. Allah menyatakan bahwa Dia-lah pemilik mutlak petunjuk. Kalimat ini menghapus keraguan bahwa manusia bisa menemukan jalan kebenaran tanpa bimbingan ilahi. Ini menekankan bahwa setelah memaparkan dua jalan yang berbeda, Allah telah memenuhi janji-Nya untuk menunjukkan arah.

Ayat 13: وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَٱلْأُولَىٰ (Dan sesungguhnya milik Kami-lah akhirat dan dunia) Penegasan ini melengkapi Ayat 11. Jika manusia merasa hartanya di dunia (*Al-Ula*) bisa menyelamatkannya, Allah mengingatkan bahwa kepemilikan mutlak atas dunia maupun akhirat (*Al-Akhirah*) adalah hanya milik-Nya. Dengan demikian, kekayaan dan kekuasaan fana tidak berarti di hadapan kepemilikan abadi Allah ﷻ.

VI. Peringatan dan Identifikasi Karakteristik (Ayat 14-21)

Ayat-ayat penutup mengidentifikasi secara spesifik siapa yang akan menghadapi konsekuensi dari kedua jalan tersebut.

Ayat 14: فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ (Maka Kami memperingatkan kamu dengan api neraka yang menyala-nyala) Kata kunci: *Anzartukum* (Aku memperingatkan kalian) dan *Talazza* (menyala-nyala hebat). Kata *Talazza* menunjukkan intensitas api neraka yang berkobar-kobar, bukan sekadar api biasa.

Ayat 15: لَا يَصْلَىٰهَآ إِلَّا ٱلْأَشْقَى (Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka) *Al-Asyqa* (الأشقى): Bentuk *Ism Tafdhil* (superlatif) dari *Shaqiy* (celaka). Artinya, "yang paling celaka" atau "yang paling merugi." Ini menunjukkan bahwa siksaan api neraka disediakan untuk tingkat kecelakaan tertinggi.

Ayat 16: ٱلَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ (Yang mendustakan dan berpaling) Ayat ini mendefinisikan *Al-Asyqa* sebagai orang yang secara aktif: 1. *Kadzdzaba*: Mendustakan kebenaran (Taurat, Injil, Al-Qur'an, atau ajaran Nabi). 2. *Tawalla*: Berpaling, menjauh, menolak untuk taat. Ini adalah kombinasi dari penolakan batin dan penolakan fisik terhadap tuntunan.

Ayat 17: وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلْأَتْقَى (Dan kelak akan dijauhkan darinya orang yang paling bertakwa) *Al-Atqa* (الأتقى): Bentuk superlatif dari *Taqiy* (bertakwa), berarti "yang paling bertakwa." Ini adalah antitesis sempurna dari *Al-Asyqa*. Orang yang paling bertakwa adalah mereka yang akan dijamin keselamatannya dari api neraka.

Ayat 18-20: Penjelasan Karakteristik Al-Atqa Ayat-ayat ini secara khusus menjelaskan identitas dan motivasi dari *Al-Atqa*. Secara tradisional, ayat ini dikaitkan dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, tetapi maknanya mencakup semua orang yang memiliki karakteristik ini.

Ayat 21: وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ (Dan kelak dia benar-benar akan puas) Penutup yang penuh kepastian dan harapan. Huruf *Wa* (dan), *Lam* (pasti), dan *Saufa* (kelak) memberikan penegasan kuat. *Yardhaa* (akan puas) menunjukkan kepuasan yang total dan abadi di surga, yang melampaui segala kesulitan yang pernah dialami di dunia.

Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat) dan Konteks Sejarah

Meskipun pesan Surah Al-Lail bersifat universal, banyak riwayat Asbabun Nuzul yang menghubungkan bagian-bagian spesifik surat ini dengan peristiwa yang terjadi di Mekkah, khususnya kontras antara dua individu di kalangan Quraisy. Memahami konteks ini memperkuat makna ayat-ayat tentang memberi dan kikir.

Kisah Kontras: Abu Bakar vs. Orang Kikir

Mayoritas mufassirin, termasuk Ibn Kathir dan At-Tirmidzi, menukil riwayat yang menyebutkan bahwa ayat 5-7 (*Famma man a’taa wattaqaa...*) diturunkan merujuk pada kedermawanan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, sementara ayat 8-10 (*Wa ammaa man bakhila wastaghnaa...*) merujuk pada salah seorang pembesar Quraisy yang dikenal kikir, seperti Umayyah bin Khalaf atau Abu Jahl.

Abu Bakar dan Pembebasan Budak: Riwayat menyebutkan bahwa Abu Bakar memiliki kebiasaan membeli budak-budak yang disiksa oleh majikan mereka karena telah memeluk Islam, dan kemudian membebaskan mereka. Salah satu yang paling terkenal adalah Bilal bin Rabah. Abu Bakar membebaskan budak-budak ini tanpa mengharapkan imbalan atau balasan budi dari mereka. Tindakan ini murni didorong oleh niat *ibtighaa'a wajhi rabbihil a'laa* (mencari Wajah Tuhannya Yang Mahatinggi).

Ketika tindakan dermawan Abu Bakar ini dikomentari oleh orang-orang Quraisy—terutama oleh tokoh-tokoh yang disebutkan dalam riwayat Asbabun Nuzul, yang menuduh Abu Bakar hanya ingin membalas budi orang yang pernah memberinya kebaikan di masa lalu—Allah menurunkan ayat 19 dan 20:

“Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, melainkan (dia memberikan itu) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi.”

Ayat-ayat ini mengukuhkan bahwa kedermawanan Abu Bakar tidak didasari oleh motivasi duniawi apa pun, melainkan murni keikhlasan. Ini menjadi cetak biru bagi definisi Al-Atqa (orang yang paling bertakwa).

Perbandingan dengan Si Kikir: Di sisi lain, kaum musyrikin yang diwakili oleh sifat *bakhila wastaghnaa* (kikir dan merasa cukup) menunjukkan sifat sebaliknya. Mereka menimbun harta, enggan berinfak, dan menolak kebenaran, yakin bahwa kekayaan duniawi mereka akan abadi atau setidaknya mampu melindungi mereka dari ancaman akhirat. Kisah kontras ini tidak hanya memberikan konteks historis tetapi juga memberikan definisi operasional tentang siapa yang termasuk dalam kelompok *Al-Yusra* dan siapa yang menuju *Al-'Usra*.

Implikasi Kontekstual

Penting untuk dicatat bahwa meskipun Surah Al-Lail merujuk pada individu spesifik, pesannya bersifat umum. Surat ini diturunkan di masa ketika kekayaan dan status sosial menjadi penentu utama kehormatan. Dengan memuji tindakan seorang yang membebaskan budak dan mencela kikirnya orang kaya, Al-Qur'an secara radikal membalikkan standar kehormatan masyarakat Mekkah. Kehormatan sejati tidak terletak pada kepemilikan, melainkan pada keikhlasan dalam memberi dan bertakwa.

Kajian Tematik: Dualitas, Upaya, dan Konsekuensi

Inti filosofis Surat Al-Lail terletak pada konsep dualitas dan akibatnya. Seluruh surat ini dibangun di atas tiga pasang oposisi:

1. Dualitas Kosmik (Malam vs. Siang)

Allah ﷻ memulai dengan Malam (*Yaghsha*) dan Siang (*Tajalla*). Malam adalah waktu istirahat, penutup, dan ketiadaan aktivitas terlihat. Siang adalah waktu kerja, keterbukaan, dan manifestasi. Kontras ini mengingatkan manusia bahwa kehidupan ini terdiri dari pasangan yang berlawanan, dan setiap kondisi memiliki fungsi yang unik. Sumpah ini menciptakan panggung psikologis bahwa hasil perbuatan manusia juga akan terbagi menjadi dua kategori yang sangat berbeda.

2. Dualitas Tindakan dan Sifat (Memberi vs. Kikir)

Inti etika Surah Al-Lail adalah kontras antara *A'taa wattaqaa* (memberi dan bertakwa) dan *Bakhila wastaghnaa* (kikir dan merasa cukup). Kedua sifat ini saling terkait. Seseorang tidak bisa benar-benar bertakwa jika ia sangat mencintai hartanya sehingga ia kikir; demikian pula, kekikiran sering kali berakar pada kesombongan dan perasaan bahwa ia mandiri dari Allah (*Istighnaa*). Memberi (*Infaq*) dalam konteks ini adalah barometer batiniah dari tingkat ketakwaan seseorang.

Kekikiran adalah penyakit spiritual yang menyebabkan penolakan terhadap kebenaran akhirat (*kadzdzaba bil husna*), karena jika seseorang percaya pada pahala abadi (*Al-Husna*), ia akan dengan mudah melepaskan harta fana. Sebaliknya, orang yang memberi adalah mereka yang telah menguasai diri dan tunduk pada janji ilahi (*saddaqa bil husna*).

3. Dualitas Konsekuensi (Kemudahan vs. Kesulitan)

Surat ini menjanjikan konsekuensi yang simetris dan adil: *Al-Yusra* (kemudahan) dan *Al-'Usra* (kesulitan). Janji *Fasanuyassiruhu lil yusra* bukan sekadar janji masuk surga, tetapi juga janji kemudahan dalam menjalani hidup: dimudahkan rezekinya, diringankan cobaan, dan dimudahkan untuk berbuat kebaikan lagi. Kebaikan melahirkan kebaikan. Ini adalah lingkaran positif yang diciptakan oleh takwa.

Sebaliknya, *Fasanuyassiruhu lil 'usra* menunjukkan bahwa kesulitan akan datang dalam bentuk internal dan eksternal. Kesulitan internal adalah hilangnya taufik, di mana orang tersebut terus menerus didorong menuju dosa dan kebodohan. Kesulitan eksternal adalah ketika harta yang ia kumpulkan dengan susah payah tidak dapat melindunginya dari kehancuran (*idza taraddaa*).

Pentingnya Niat (Ikhlas)

Puncak ajaran moral dalam surah ini terletak pada definisi *Al-Atqa* (Ayat 19-20). Al-Qur'an secara eksplisit membedakan antara memberi yang biasa (mungkin untuk pamer, politik, atau balasan budi) dan memberi yang murni. Keunggulan *Al-Atqa* adalah bahwa ia memberi tanpa mengharapkan balasan dari manusia, bahkan tanpa ada kewajiban membalas budi. Niatnya tunggal: *Ibtighaa' Wajhi Rabbihi Al-A'laa* (Mencari Wajah Tuhannya Yang Mahatinggi).

Niat yang murni inilah yang memisahkan amal saleh yang diterima dari yang ditolak. Ini adalah konsep sentral dalam Islam dan Al-Lail menyajikannya sebagai kriteria utama keselamatan.

Keterkaitan Surah Al-Lail dengan Surah-Surah Pendek Lain

Surah Al-Lail tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari kelompok surat-surat Makkiyah yang pendek di Juz ‘Amma, yang sering kali memiliki tema yang saling menguatkan, terutama mengenai sumpah, akhirat, dan nasib manusia. Al-Lail berfungsi sebagai kelanjutan dan klarifikasi atas tema yang disajikan dalam Surah Ash-Shams (Matahari, Surah ke-91) dan mendahului Surah Ad-Duha (Waktu Dhuha, Surah ke-93).

Hubungan dengan Surah Ash-Shams (Asy-Syams)

Surah Ash-Shams juga dibuka dengan serangkaian sumpah yang berfokus pada dualitas kosmik: Matahari dan sinarnya, Bulan, Siang, Malam, Langit, dan Bumi. Puncaknya, Ash-Shams menekankan pembersihan jiwa (*Tazkiyah*) dan pengotoran jiwa (*Tadsiya*).

Ash-Shams: "Sungguh beruntung orang yang membersihkannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya."

Al-Lail kemudian datang untuk menjelaskan bagaimana proses pembersihan itu terjadi. Tindakan memberi (*A'taa*) yang tulus, seperti yang dijelaskan dalam Al-Lail, adalah salah satu metode utama *Tazkiyah* (pensucian diri). Dengan demikian, Al-Lail memberikan aplikasi praktis dari prinsip moral yang ditegaskan di Ash-Shams.

Hubungan dengan Surah Ad-Duha

Surah Ad-Duha, meskipun lebih berfokus pada penghiburan Nabi Muhammad ﷺ, diakhiri dengan perintah-perintah moral yang sejalan dengan Al-Lail:

Ad-Duha: “Adapun terhadap anak yatim, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardiknya.”

Kedua perintah ini (berbuat baik kepada anak yatim dan pengemis) adalah manifestasi konkret dari prinsip *A'taa* (memberi) dan menjauhi *Bakhila* (kikir) yang diajarkan dalam Al-Lail. Ad-Duha menegaskan kembali bahwa sikap memberi dan berbagi adalah ciri khas kenabian dan ibadah yang diterima.

Penafsiran Akademik dan Hukum (Tafsir Fiqih)

Dalam tradisi tafsir klasik, setiap kata dalam surat al lail arab telah diurai dengan detail. Beberapa poin penting yang diperdebatkan atau diperkuat oleh ulama meliputi:

Makna Sumpah dengan Makhluk

Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa sumpah Allah ﷻ dengan ciptaan-Nya (Malam, Siang, Laki-laki dan Perempuan) adalah untuk menunjukkan keagungan ciptaan tersebut dan keteraturan sempurna yang menjadi bukti nyata dari adanya pencipta. Keteraturan ini (antara dua pasangan) menuntut bahwa harus ada keteraturan dan konsekuensi dalam tindakan manusia.

Definisi Al-Husna

Meskipun mayoritas mufassirin kontemporer menafsirkan *Al-Husna* sebagai surga atau balasan terbaik, sebagian ulama salaf, seperti Mujahid, menafsirkan *Al-Husna* (Ayat 6) sebagai "kalimat tauhid" (*Laa ilaaha illallah*). Namun, penafsiran ini tidak saling bertentangan; membenarkan tauhid adalah langkah pertama menuju balasan terbaik. Oleh karena itu, *saddaqa bil husna* mencakup pengakuan terhadap kebenaran mutlak (tauhid) dan kepercayaan teguh pada janji konsekuensi (akhirat).

Kekayaan dan Kesombongan (*Istighnaa*)

Kata *Wastaghnaa* (merasa cukup, Ayat 8) adalah kunci untuk memahami kejatuhan si kikir. Para ulama fiqih dan tasawuf melihat ini sebagai peringatan keras terhadap kesombongan yang dihasilkan oleh kekayaan. Kekayaan menjadi dosa ketika ia menumbuhkan ilusi bahwa seseorang mandiri dari Allah dan tidak memerlukan rahmat-Nya atau belas kasihan-Nya. Ini adalah tingkat kekufuran yang terselubung, di mana ketergantungan diletakkan pada harta, bukan pada *Al-Malik* (Pemilik Tunggal).

Prinsip *Tazkiyah* (Penyucian)

Ayat 18: *Al-ladhii yu’tiy maalahu yatazakkaa* (Yang menafkahkan hartanya untuk membersihkannya). Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa *Tazkiyah* dalam ayat ini adalah tujuan dari zakat dan sedekah. Tujuan utamanya bukanlah sekadar membantu orang lain, melainkan membersihkan jiwa orang yang memberi dari dosa dan penyakit hati, terutama kekikiran (*Bukhul*). Oleh karena itu, infak adalah ibadah yang bersifat interpersonal (kepada sesama) dan intrapersonal (kepada diri sendiri).

Implementasi Praktis dan Pelajaran Spiritual Abadi

Pesan dari Surat Al-Lail tetap relevan dan mendesak bagi umat manusia, di mana pun dan kapan pun. Surat ini memberikan peta jalan yang jelas untuk meraih keselamatan abadi, yang dapat disimpulkan dalam tiga prinsip utama:

1. Prioritas Pemberian (Infak)

Surat ini menempatkan tindakan memberi sebagai elemen pertama, mendahului takwa dalam urutan narasi Ayat 5. Ini menekankan pentingnya amal fisik sebagai bukti nyata dari keimanan. Dalam kehidupan modern, ini berarti:

2. Menguatkan Keyakinan pada Akhirat (*Tasdiq bil Husna*)

Jika seseorang mendustakan *Al-Husna* (balasan terbaik), ia akan didorong menuju *Al-'Usra*. Oleh karena itu, kunci untuk menjalani jalan kemudahan adalah keyakinan total bahwa janji Allah tentang surga dan balasan itu nyata. Keyakinan ini menghilangkan rasa takut akan kehilangan harta ketika berinfak, karena ia tahu bahwa investasinya akan kembali berlipat ganda di akhirat.

3. Menjaga Keikhlasan (*Ibtighaa' Wajhi Rabbihi*)

Pelajaran terpenting dari kisah *Al-Atqa* (Abu Bakar) adalah keikhlasan mutlak. Seluruh amal saleh menjadi sia-sia jika ternoda oleh riya' (pamer) atau mencari pujian. Keikhlasan adalah menjaga niat agar hanya ditujukan untuk mencari Wajah Allah ﷻ. Jika tindakan kita didasarkan pada keinginan untuk dibalas atau dipuji, kita telah memasuki wilayah kekikiran spiritual, bahkan jika kita memberikan banyak harta.

Surat Al-Lail mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati (*Yardhaa* - akan puas) tidak didapatkan dari apa yang kita kumpulkan, tetapi dari apa yang kita lepaskan dengan niat tulus. Jalan menuju kemudahan (*Al-Yusra*) adalah jalan pengorbanan, takwa, dan keyakinan, yang dijamin oleh Allah ﷻ.

Dengan menelaah surat al lail arab dari perspektif linguistik, historis, dan spiritual, kita mendapatkan pemahaman yang lengkap tentang bagaimana dualitas yang ada di alam semesta ini tercermin dalam etika moral manusia, dan bagaimana setiap individu diarahkan menuju nasib yang telah ia pilih melalui upayanya sendiri yang beraneka ragam.

***

Mengupas Lebih Jauh Konsep *Sa'yakum Lasyatta* (Usaha yang Beraneka Ragam)

Ayat keempat, إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ, merupakan poros yang menghubungkan sumpah kosmik dengan hukum sebab-akibat. Penekanan pada kata *sa'y* (usaha/upaya keras) menunjukkan bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh kekayaan, ras, atau keturunan, melainkan oleh kualitas dan arah dari upayanya. Frasa ini membuka pintu pembahasan tentang kebebasan berkehendak (ikhtiar) dalam Islam. Manusia dibekali kemampuan untuk memilih, dan pilihan inilah yang membuat usahanya terbagi menjadi dua jalur yang jelas.

Dalam konteks modern, *sa'yakum lasyatta* dapat diartikan dalam berbagai dimensi pekerjaan dan kehidupan. Ada upaya yang diarahkan untuk membangun kemanfaatan abadi (seperti beramal jariyah, menyebar ilmu, atau berjuang demi keadilan) dan ada upaya yang hanya diarahkan pada pengumpulan kekayaan fana dan pemuasan ego (seperti korupsi, penipuan, atau eksploitasi). Kedua jenis upaya ini, meskipun sama-sama membutuhkan energi, akan menghasilkan hasil yang bertolak belakang.

Jika kita membandingkan kembali Ayat 5-7 dan Ayat 8-10, kita melihat bagaimana upaya menuju kemudahan (*Al-Yusra*) melibatkan tiga pilar: memberi (tindakan), takwa (batin), dan pembenaran (keyakinan). Sementara upaya menuju kesulitan (*Al-'Usra*) melibatkan tiga pilar negatif: kikir (tindakan), merasa cukup (batin), dan mendustakan (keyakinan). Kesimetrisan ini dalam teks arab Surah Al-Lail merupakan keindahan retoris yang luar biasa, menekankan keadilan dan keseimbangan dalam penetapan hukum ilahi.

Analisis Mendalam tentang *Taraddaa* (Jatuh atau Binasa)

Ayat 11: وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰ (Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh). Kata kerja *Taraddaa* (تَرَدَّىٰ) sering diartikan secara literal sebagai "terjun" atau "jatuh dari tempat tinggi." Para mufassir memberikan beberapa interpretasi yang kaya makna:

  1. Jatuh ke Neraka: Makna yang paling umum. Ketika seseorang dilemparkan ke dalam api neraka, hartanya tidak memiliki daya tawar atau perlindungan.
  2. Jatuh ke Kematian: Kematian adalah titik di mana kekayaan duniawi benar-benar berakhir fungsinya. Di ambang kematian, si kikir menyadari bahwa ia telah menyia-nyiakan kekayaannya untuk sesuatu yang tidak dapat ia bawa.
  3. Jatuh ke Dalam Keburukan Permanen: *Taraddaa* juga bisa merujuk pada kejatuhan moral atau spiritual yang tidak bisa dibenahi lagi, di mana harta justru menjadi penyebab utamanya (QS. At-Takatsur).

Pilihan kata *Taraddaa* sangat kuat karena melukiskan gambaran visual tentang kehancuran total, berlawanan dengan kepuasan abadi yang dijanjikan bagi *Al-Atqa* di akhir surah (*Yardhaa*).

Peran Allah sebagai Pemberi Petunjuk (*Inna 'Alayna Lalhuda*)

Pernyataan إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ (Ayat 12) memiliki implikasi yang dalam mengenai konsep takdir dan kebebasan. Allah menegaskan bahwa Dia telah menyediakan petunjuk—melalui para nabi, kitab suci, dan akal—sehingga manusia tidak memiliki alasan untuk tersesat. "Kewajiban Kami" di sini adalah kewajiban yang Allah tetapkan atas diri-Nya sendiri untuk menunjukkan jalan yang benar. Setelah petunjuk diberikan, pilihan untuk mengikuti jalan *Al-Yusra* atau *Al-'Usra* sepenuhnya ada di tangan manusia, yang bertanggung jawab atas *sa'yakum* (upaya mereka).

Penguatan ini dilanjutkan dengan Ayat 13, yang menegaskan kedaulatan universal Allah, وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَٱلْأُولَىٰ (Dan sesungguhnya milik Kami-lah akhirat dan dunia). Orang yang kikir (*Istaghnaa*) bertindak seolah-olah dunia adalah miliknya sepenuhnya. Ayat ini menghantam ilusi tersebut, mengingatkan bahwa penguasa sejati atas kedua alam adalah Allah, dan oleh karena itu, hanya Dia-lah yang dapat memberikan balasan di kedua alam tersebut.

Pentingnya Kata Superlatif (*Al-Asyqa* dan *Al-Atqa*)

Penggunaan bentuk superlatif (paling celaka dan paling bertakwa) dalam Ayat 15 dan 17 menyiratkan bahwa hukuman neraka bukan hanya untuk orang celaka biasa, tetapi untuk yang paling parah, dan keselamatan dari neraka adalah hak istimewa bagi yang paling tinggi tingkat ketakwaannya. Ini mendorong umat Muslim untuk tidak hanya menjadi *taqiy* (bertakwa) tetapi berjuang menuju tingkat *Al-Atqa* (yang paling bertakwa), yang didefinisikan secara unik oleh keikhlasan mereka dalam memberi.

Definisi *Al-Atqa* dalam Al-Lail sangat spesifik: dia adalah orang yang memberi tanpa pamrih, semata-mata mencari keridhaan Allah. Ini adalah standar keunggulan moral yang ditawarkan Al-Qur'an.

***

Ringkasan dan Epilog Spiritual

Surat Al-Lail, meskipun singkat dalam jumlah ayat, adalah salah satu surat Makkiyah yang paling padat makna. Struktur retorikanya, dimulai dengan sumpah alam semesta yang terbagi menjadi dua dan diakhiri dengan nasib manusia yang terbagi menjadi dua, secara efektif menggarisbawahi bahwa kehidupan adalah serangkaian pilihan biner. Pilihan-pilihan ini, yang dicerminkan dalam tindakan memberi versus kikir, secara kumulatif menentukan arah abadi jiwa manusia.

Kajian mendalam terhadap surat al lail arab mengajarkan bahwa keseimbangan kosmik menuntut keseimbangan moral. Malam dan Siang harus ada; demikian pula, kedermawanan dan kekikiran akan selalu menjadi pilihan bagi manusia. Keselamatan terletak pada penolakan terhadap kesombongan dan kekikiran, dan penyerahan diri secara total kepada jalan takwa, yang dibuktikan dengan keikhlasan yang murni. Janji yang menanti adalah kepuasan abadi, janji yang Allah tetapkan bagi mereka yang berhasil melewati ujian dualitas kehidupan.

Surat ini adalah panggilan universal untuk menilai kembali motif di balik setiap usaha kita (*sa'yakum*). Apakah kita bekerja untuk menimbun harta yang akan binasa saat kita *taraddaa*, atau apakah kita berinfak dengan ikhlas untuk mencari *Wajhi Rabbihi* dan meraih *Yardhaa* abadi?

🏠 Homepage