Surat Al-Lail Artinya: Kajian Tuntas Dualitas Usaha Manusia

Surat Al-Lail (Arab: الّيل) merupakan surah ke-92 dalam Al-Qur'an. Nama ‘Al-Lail’ sendiri memiliki arti 'Malam'. Surah ini tergolong sebagai surah Makkiyah, yang berarti diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah, pada periode awal Islam yang sangat menekankan pada konsep tauhid, akhirat, dan pertanggungjawaban amal.

Inti dari Surat Al-Lail adalah penegasan terhadap dualitas fundamental dalam kehidupan dan amal manusia, serta janji pasti Allah ﷻ mengenai balasan yang setimpal. Surah ini membagi manusia menjadi dua kelompok yang sangat kontras: orang yang dermawan dan bertakwa, serta orang yang kikir dan mendustakan kebenaran. Melalui serangkaian sumpah kosmik—demi malam, siang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan—Allah menegaskan bahwa usaha (amal) setiap manusia benar-benar berbeda, dan perbedaan inilah yang menentukan jalan hidup dan nasib mereka di akhirat.

Simbol Dualitas Malam dan Siang (Al-Lail) Ilustrasi bulan sabit dan bintang di sisi gelap, dan matahari di sisi terang, melambangkan sumpah dualitas. Al-Lail (Malam) vs An-Nahar (Siang)

Struktur Utama dan Teks Arab Surat Al-Lail

Surat Al-Lail terdiri dari 15 ayat. Strukturnya dapat dibagi menjadi tiga bagian besar:

  1. Sumpah Kosmik (Ayat 1-4): Allah bersumpah untuk menegaskan kebenaran bahwa amal manusia itu berbeda.
  2. Dua Kelompok Manusia dan Janji Balasan (Ayat 5-11): Kontras tajam antara orang yang memberi (dermawan) dan orang yang menahan (kikir), serta janji kemudahan (al-yusra) atau kesulitan (al-'usra).
  3. Penegasan Kuasa dan Peringatan (Ayat 12-15): Allah memiliki petunjuk, kendali atas awal dan akhir, dan peringatan tentang Api Neraka yang menyala-nyala.

Kajian Tafsir Mendalam Surat Al-Lail (Ayat 1-15)

Untuk memahami kedalaman pesan Al-Lail, kita perlu merenungkan setiap ayat, baik dari segi makna bahasa, konteks tafsir klasik, maupun relevansi spiritualnya dalam kehidupan modern. Konten ini bertujuan mengurai setiap diksi yang digunakan Allah ﷻ.

Ayat 1: Sumpah Demi Malam

وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ

Wa-al laili iżā yaghsyā.

Artinya: Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).

Analisis dan Tafsir:

Allah ﷻ memulai surah ini dengan sumpah (Wawu Qasam). Sumpah ini sangat penting karena ia menunjukkan betapa besar nilai sesuatu yang dijadikan sumpah di sisi-Nya, dan digunakan untuk menegaskan kebenaran yang akan diungkapkan setelahnya.

Kata وَالَّيْلِ (Wa-al lail) berarti 'Demi Malam'. Malam adalah fenomena kosmik yang universal, yang melambangkan ketenangan, istirahat, misteri, dan masa di mana manusia bersembunyi dari pandangan umum. Malam juga waktu untuk ibadah rahasia, seperti Qiyamul Lail. Kata يَغْشَىٰ (yaghsyā) berarti 'menutupi' atau 'meliputi'. Ini menggambarkan bagaimana kegelapan malam secara perlahan menyelimuti bumi dan menutupi cahaya siang.

Tafsir Imam Al-Qurtubi dan Ibn Katsir menjelaskan bahwa malam memiliki kekuatan menenangkan. Sumpah ini mengingatkan manusia akan kebesaran Pencipta yang mampu mengatur transisi dari terang ke gelap, sebuah perubahan yang terjadi secara teratur dan tak terhindarkan, layaknya janji balasan di akhirat. Sumpah ini mengindikasikan bahwa meskipun amal perbuatan dilakukan di malam hari (secara tersembunyi), ia tetap dicatat.

Ayat 2: Sumpah Demi Siang

وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ

Wan nahāri iżā tajallā.

Artinya: Dan demi siang apabila terang benderang.

Analisis dan Tafsir:

Ayat ini menyandingkan sumpah malam dengan sumpah siang. وَالنَّهَارِ (Wan nahāri) berarti 'Demi Siang'. Siang melambangkan aktivitas, usaha, kejelasan, dan pergerakan. Di siang hari, amal perbuatan terlihat jelas. Kata تَجَلَّىٰ (tajallā) berarti 'menjadi terang' atau 'terang benderang'. Ini kontras langsung dengan 'menutupi' (yaghsyā) pada ayat sebelumnya.

Penyandingan Malam dan Siang ini adalah contoh sempurna dari dualitas (Pasangan) dalam penciptaan. Siang adalah waktu untuk mencari nafkah dan menampakkan kebaikan, sementara malam adalah waktu untuk refleksi dan ibadah sunyi. Kedua fenomena ini, yang secara siklus berganti, menunjukkan ketetapan hukum alam dan ketetapan hukum balasan Allah ﷻ.

Makna terdalam sumpah ini adalah bahwa Allah bersaksi atas semua keadaan manusia—baik dalam kegelapan (rahasia) maupun dalam terang (terang-terangan). Tidak ada satu pun perbuatan yang luput dari pandangan-Nya, terlepas dari kapan dan di mana ia dilakukan.

Ayat 3: Sumpah Demi Penciptaan Pasangan

وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ

Wa mā khalaqaż-żakara wal-unṡā.

Artinya: Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan.

Analisis dan Tafsir:

Sumpah ketiga ini bergerak dari skala kosmik ke skala makhluk. وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ (Wa mā khalaqaż-żakara wal-unṡā) berarti 'Demi Dia yang menciptakan laki-laki dan perempuan'. Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai makna 'Maa Khalaqa' (apakah bersumpah atas Pencipta atau atas proses penciptaan itu sendiri), makna utamanya adalah penegasan terhadap dualitas dalam spesies manusia.

Tafsir Razi dan Zamakhshari menekankan bahwa penciptaan pasangan, laki-laki dan perempuan, adalah bukti nyata kekuasaan Allah dan merupakan fondasi bagi kelangsungan hidup manusia. Sama seperti malam dan siang, laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang berlawanan namun saling melengkapi.

Korelasi antara sumpah kosmik (malam/siang) dan sumpah biologis (laki-laki/perempuan) adalah untuk menunjukkan bahwa prinsip dualitas (pasangan, oposisi, kontras) merasuk ke seluruh alam semesta. Dan dualitas paling penting bagi manusia adalah dualitas amal: kebaikan vs. keburukan.

Ayat 4: Dualitas Usaha Manusia

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ

Inna sa'yakum lasyattā.

Artinya: Sesungguhnya usaha kamu memang berlainan.

Analisis dan Tafsir:

Inilah yang disebut Jawab Al-Qasam (jawaban dari sumpah). Setelah bersumpah demi tiga pasang hal yang berlawanan (Malam/Siang, Laki-laki/Perempuan), Allah ﷻ menyatakan kebenaran fundamental: إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ (Inna sa'yakum lasyattā), yang berarti 'Sesungguhnya usaha kalian benar-benar berbeda/bermacam-macam'.

Kata سَعْيَكُمْ (sa'yakum) merujuk pada segala bentuk upaya, pekerjaan, niat, dan perjuangan hidup. Sedangkan لَشَتَّىٰ (lasyattā) menunjukkan keragaman yang ekstrem—benar-benar terpisah dan tidak serupa. Usaha ini bukan hanya berbeda dalam wujud (kerja fisik vs. ibadah), tetapi terutama berbeda dalam orientasi dan tujuan akhir.

Tafsir ini menegaskan: ada yang berusaha menuju kebahagiaan sejati di Akhirat, dan ada yang berusaha hanya untuk kenikmatan duniawi yang fana. Ada yang orientasi hidupnya memberi dan bertakwa, dan ada yang orientasi hidupnya menahan dan mendustakan. Allah ﷻ menyajikan gambaran jelas bahwa manusia, meskipun diciptakan dari pasangan yang sama dan hidup di bawah siklus kosmik yang sama, memilih jalan yang benar-benar terpisah, dan balasan mereka akan mengikuti jalan yang mereka pilih.

Ayat 5: Orang yang Memberi dan Bertakwa

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ

Fa ammā man a‘ṭā wattaqā.

Artinya: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.

Analisis dan Tafsir:

Ayat ini memulai deskripsi kelompok pertama, kelompok yang usahanya menuju kebaikan. Dua kriteria utama disebutkan di sini:

  1. أَعْطَىٰ (a‘ṭā): Memberi atau dermawan. Ini mencakup zakat, sedekah, dan segala bentuk kedermawanan finansial maupun non-finansial (seperti ilmu, bantuan tenaga).
  2. وَاتَّقَىٰ (wattaqā): Bertakwa. Takwa adalah fondasi, yaitu takut kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedermawanan ini harus dilandasi ketakwaan, bukan riya’ (pamer).

Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa surah ini turun berkenaan dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang membebaskan budak-budak lemah yang disiksa karena keimanan mereka. Namun, tafsir ini bersifat umum; ia berlaku untuk siapa pun yang menggabungkan keimanan (takwa) dan perbuatan nyata (memberi). Memberi di sini adalah manifestasi keimanan yang paling sulit, karena melibatkan pengorbanan harta yang dicintai.

Ayat 6: Membenarkan Kebenaran

وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ

Wa ṣaddaqa bil-ḥusnā.

Artinya: Dan membenarkan adanya balasan yang terbaik (Al-Husna).

Analisis dan Tafsir:

Kelompok pertama tidak hanya beramal, tetapi juga memiliki keyakinan kokoh. وَصَدَّقَ (Wa ṣaddaqa) berarti 'membenarkan' atau 'mempercayai dengan sungguh-sungguh'. بِالْحُسْنَىٰ (bil-ḥusnā) adalah balasan yang terbaik. Mayoritas mufasir, termasuk Mujahid, menafsirkan Al-Husna sebagai 'La ilaha illallah' (kalimat tauhid) atau 'Surga', atau 'balasan terbaik dari Allah ﷻ'.

Konteksnya: Orang ini memberi bukan karena diiming-imingi keuntungan duniawi, melainkan karena ia yakin seyakin-yakinnya bahwa ada balasan yang jauh lebih mulia di akhirat. Keyakinan (tauhid) dan amal (memberi) adalah dua sayap yang harus dimiliki untuk terbang menuju keridhaan Allah.

Ayat 7: Janji Kemudahan

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ

Fa sanuyassiruhū lil-yusrā.

Artinya: Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (Al-Yusra).

Analisis dan Tafsir:

Ini adalah janji balasan untuk kelompok pertama. Kata فَسَنُيَسِّرُهُ (Fa sanuyassiruhū) berarti 'Maka Kami akan mudahkan baginya'. Ini adalah janji masa depan yang pasti. لِلْيُسْرَىٰ (lil-yusrā) berarti 'kemudahan' atau 'jalan yang mudah'.

Kemudahan ini ditafsirkan dalam dua dimensi:

  1. Kemudahan di Dunia: Allah akan memudahkan urusannya, hatinya condong pada kebaikan, amal shaleh terasa ringan, dan dijauhkan dari kemaksiatan.
  2. Kemudahan di Akhirat: Dimudahkan hisabnya, dimudahkan melewati sirath, dan dimudahkan masuk Surga.

Syeikh Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan, kemudahan (Al-Yusra) adalah jalan amal shaleh itu sendiri. Ketika seorang hamba memilih jalan takwa dan memberi, Allah akan melunakkan hatinya, sehingga ketaatan tidak terasa membebani, tetapi menjadi kebutuhan dan kenikmatan. Balasan dari usaha yang baik adalah bimbingan untuk terus melakukan kebaikan, menciptakan lingkaran kebahagiaan yang berkelanjutan.

Ayat 8: Orang yang Kikir dan Merasa Cukup

وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ

Wa ammā man bakhila wastaghnā.

Artinya: Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup.

Analisis dan Tafsir:

Ini adalah deskripsi kelompok kedua, yang usahanya menuju kehancuran, berbanding terbalik dengan kelompok pertama. Dua kriteria utama disebutkan:

  1. بَخِلَ (bakhila): Kikir atau menahan harta. Ini adalah penyakit spiritual yang menyebabkan seseorang enggan mengeluarkan hak orang lain atau menahan sedekah sunnah.
  2. وَاسْتَغْنَىٰ (wastaghnā): Merasa dirinya cukup. Artinya, merasa tidak membutuhkan pertolongan Allah, atau tidak membutuhkan balasan akhirat. Kekikiran ini lahir dari kesombongan, di mana ia bergantung pada hartanya sendiri, bukan pada rezeki dari Allah.

Perasaan cukup (istighna) ini sangat berbahaya, karena ia menolak untuk mengakui bahwa ia adalah hamba yang lemah yang selalu bergantung kepada Allah ﷻ. Sifat kikir dan merasa cukup ini menghalangi mereka dari memandang pentingnya amal di jalan Allah.

Ayat 9: Mendustakan Kebenaran

وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ

Wa każżaba bil-ḥusnā.

Artinya: Serta mendustakan balasan yang terbaik (Al-Husna).

Analisis dan Tafsir:

Kelompok ini tidak hanya kikir harta, tetapi juga kikir keyakinan. وَكَذَّبَ (Wa każżaba) berarti 'mendustakan'. Mereka tidak percaya pada Surga, atau pada janji pahala Allah, atau pada kebenaran tauhid. Mereka tidak melihat adanya nilai jangka panjang dalam pengorbanan (infaq) di jalan Allah. Mereka hanya berpegangan pada apa yang kasat mata di dunia.

Ayat ini menunjukkan bahwa kekikiran materi (bakhila) sering kali berakar pada kekikiran spiritual (kazzaba). Jika seseorang benar-benar yakin akan Al-Husna (Surga/balasan terbaik), mustahil ia akan menahan hartanya.

Ayat 10: Janji Kesulitan

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ

Fa sanuyassiruhū lil-‘usrā.

Artinya: Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesulitan (Al-‘Usra).

Analisis dan Tafsir:

Ini adalah balasan setimpal. Allah ﷻ menggunakan diksi yang sama dengan Ayat 7: فَسَنُيَسِّرُهُ (Fa sanuyassiruhū - Kami akan mudahkan baginya). Namun, yang dimudahkan adalah لِلْعُسْرَىٰ (lil-‘usrā), yang berarti 'kesulitan' atau 'jalan yang sukar'.

Ini adalah peringatan yang sangat tajam. Allah tidak memaksa mereka ke jalan yang sulit, tetapi karena pilihan mereka sendiri (kikir dan mendustakan), Allah akan membiarkan mereka dalam pilihan tersebut, dan memudahkan mereka untuk terus melakukan perbuatan yang mengarah pada kesulitan. Mereka akan merasa senang dengan kekikiran mereka, dan hati mereka akan semakin mengeras untuk menerima kebenaran. Dalam terminologi tafsir, ini disebut takhliyah atau membiarkan hamba jatuh ke dalam pilihan buruknya.

Kesulitan (Al-'Usra) berarti: amal shaleh terasa berat, maksiat terasa mudah, kehidupan menjadi sempit, dan puncaknya adalah kesulitan hisab dan azab Neraka di akhirat.

Simbol Tangan Memberi dan Menerima Ilustrasi dua tangan, satu terbuka ke atas (menerima atau kikir), dan satu terbuka ke bawah memberikan koin emas, melambangkan dualitas memberi dan menahan. Kedermawanan vs Kekikiran

Ayat 11: Kekayaan Tidak Bermanfaat

وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ

Wa mā yughnī ‘anhu māluhū iżā taraddā.

Artinya: Dan hartanya tidak akan memberi manfaat kepadanya apabila ia telah binasa.

Analisis dan Tafsir:

Ayat ini berfungsi sebagai pukulan telak terhadap orang kikir yang berpegangan pada harta mereka. وَمَا يُغْنِي (Wa mā yughnī) berarti 'dan tidak akan bermanfaat/menolong'. Hartanya (māluhū) yang dibanggakan tidak akan berguna إِذَا تَرَدَّىٰ (iżā taraddā), yaitu ketika ia telah binasa, mati, atau jatuh ke dalam Neraka.

Kata 'taraddā' memiliki konotasi 'jatuh dari ketinggian' atau 'terjerumus'. Tafsir yang paling umum adalah ia merujuk pada kebinasaan di Neraka Jahanam. Ayat ini menekankan bahwa harta yang dikumpulkan dengan susah payah dan ditahan dengan kekikiran akan menjadi sia-sia pada saat yang paling genting, yaitu kematian dan hari perhitungan. Satu-satunya harta yang 'bermanfaat' adalah yang telah dikirimkan ke Akhirat melalui infaq dan sedekah.

Ayat 12: Kuasa Petunjuk

إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ

Inna ‘alainā lal-hudā.

Artinya: Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberikan petunjuk.

Analisis dan Tafsir:

Setelah menggambarkan dua jalur yang berbeda, Allah ﷻ menegaskan kembali kekuasaan-Nya. إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ (Inna ‘alainā lal-hudā) menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan diri-Nya untuk menjelaskan jalan yang benar (petunjuk, Al-Huda) melalui para Nabi dan Kitab suci. Allah telah menyediakan peta dan kompas (syariat) agar manusia bisa memilih jalur Al-Yusra (kemudahan).

Ayat ini membantah alasan orang kafir yang mungkin berdalih bahwa mereka tidak tahu jalan yang benar. Petunjuk telah datang. Pilihan untuk mengikuti atau menolak petunjuk itulah yang menciptakan dua kelompok manusia tadi (orang yang memberi dan orang yang kikir).

Ayat 13: Kendali Awal dan Akhir

وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ

Wa inna lanā lal-ākhirata wal-ūlā.

Artinya: Dan sesungguhnya milik Kami-lah Akhirat dan dunia (yang pertama).

Analisis dan Tafsir:

Penegasan tentang kedaulatan universal. Allah ﷻ menggarisbawahi bahwa Dia menguasai الْآخِرَةَ (Al-Ākhirah) (Akhirat) dan الْأُولَىٰ (Al-Ūlā) (Dunia/Yang Pertama). Jika Allah menguasai keduanya, maka janji pahala dan ancaman siksa adalah keniscayaan yang mutlak. Tidak ada seorang pun yang dapat lari dari kekuasaan-Nya, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan mendatang.

Implikasi: Mengapa manusia harus kikir di dunia (Al-Ūlā) padahal Allah yang memilikinya? Mengapa manusia tidak beramal untuk Akhirat (Al-Ākhirah) padahal Allah yang menguasainya? Ayat ini menghancurkan logika materialis yang hanya fokus pada pengumpulan harta fana.

Ayat 14: Peringatan Api Neraka

فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ

Fa anżartukum nāran talaẓẓā.

Artinya: Maka Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (Neraka).

Analisis dan Tafsir:

Ini adalah peringatan yang keras. فَأَنذَرْتُكُمْ (Fa anżartukum) berarti 'maka Aku peringatkan kalian'. Peringatan ini ditujukan kepada semua manusia. نَارًا تَلَظَّىٰ (nāran talaẓẓā) adalah 'api yang menyala-nyala dengan hebat'.

Neraka di sini digambarkan tidak hanya panas, tetapi berkobar-kobar, menggambarkan intensitas dan keganasan siksanya. Peringatan ini datang setelah janji 'kemudahan' (Al-Yusra) untuk memastikan bahwa manusia memahami konsekuensi nyata dari memilih jalan kesulitan (Al-'Usra).

Ayat 15: Siapa yang Masuk Neraka

لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى

Lā yaṣlāhā illal-asyqā.

Artinya: Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka (Al-Asyqa).

Analisis dan Tafsir:

Ayat ini mendefinisikan siapa yang pantas mendapatkan api yang menyala-nyala itu. Kata الْأَشْقَى (Al-Asyqa) adalah bentuk superlatif yang berarti 'yang paling celaka', 'yang paling sengsara', atau 'yang paling durhaka'. Ini adalah antitesis dari 'Al-Atqa' (yang paling bertakwa) yang akan disebutkan di akhir surah.

Siapakah 'Al-Asyqa'? Dia adalah orang yang menggabungkan dua sifat buruk utama: kekikiran harta dan pendustaan terhadap kebenaran (seperti yang dijelaskan dalam ayat 8 dan 9). Mereka adalah orang-orang yang memilih jalan kesulitan (Al-'Usra) secara permanen, meski petunjuk sudah jelas datang kepada mereka.

Ayat 16: Sifat Orang Celaka

الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ

Al-lażī każżaba wa tawallā.

Artinya: Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan).

Analisis dan Tafsir:

Ayat ini memperjelas identitas 'Al-Asyqa'. Yaitu orang yang كَذَّبَ (każżaba), mendustakan, dan وَتَوَلَّىٰ (wa tawallā), berpaling. Mendustakan adalah penolakan terhadap ajaran dalam hati, sedangkan berpaling adalah penolakan dalam tindakan atau amal.

Mereka mendustakan pesan Rasul, mendustakan janji Akhirat, dan akibatnya mereka berpaling dari ketaatan dan amal shaleh, termasuk berpaling dari kewajiban berinfaq. Ayat 15 dan 16 ini adalah ringkasan sempurna dari jalur Al-'Usra (kesulitan).

Ayat 17: Pengecualian dari Neraka

وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى

Wa sayujannabuhal-atqā.

Artinya: Dan akan dijauhkan darinya (Neraka) orang yang paling bertakwa (Al-Atqa).

Analisis dan Tafsir:

Setelah ancaman bagi yang paling celaka, surah ini kembali memberikan harapan bagi kelompok pertama. وَسَيُجَنَّبُهَا (Wa sayujannabuhā) berarti 'dan pasti akan dijauhkan darinya'. Dijauhkan dari api yang menyala-nyala. Siapa yang dijauhkan? الْأَتْقَى (Al-Atqā), yaitu orang yang paling bertakwa. 'Al-Atqa' adalah bentuk superlatif dari takwa, kontras dengan 'Al-Asyqa'.

Orang yang paling bertakwa adalah mereka yang memenuhi kriteria Ayat 5, 6, dan 7: Memberi, bertakwa, dan membenarkan Al-Husna. Mayoritas mufasir sepakat bahwa meskipun ayat ini berlaku umum, ia menunjuk pada pribadi Abu Bakar Ash-Shiddiq secara khusus, yang merupakan contoh ketakwaan tertinggi dalam infaq.

Ayat 18: Karakteristik Orang Bertakwa

الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ

Al-lażī yu’tī mālahū yatazakkā.

Artinya: Yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya.

Analisis dan Tafsir:

Ayat ini menjelaskan bagaimana 'Al-Atqa' mencapai derajat takwanya. يُؤْتِي مَالَهُ (yu’tī mālahū) berarti 'memberikan hartanya'. Tindakan memberi ini disertai dengan niat yang sangat murni: يَتَزَكَّىٰ (yatazakkā), yaitu 'membersihkan dirinya' atau 'menyucikan jiwanya'.

Infaq di sini bukan hanya transaksi materi, melainkan proses penyucian spiritual. Harta adalah ujian. Dengan mengeluarkannya, ia membersihkan jiwanya dari kekikiran, kesombongan, dan keterikatan duniawi yang berlebihan. Infaq menjadi sarana tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).

Perhatikan kontrasnya: orang celaka (Al-Asyqa) kikir dan binasa bersama hartanya (Ayat 11). Orang bertakwa (Al-Atqa) menginfakkan hartanya dan dengan itu ia menyelamatkan serta menyucikan dirinya.

Ayat 19: Tanpa Mengharapkan Balasan Dunia

وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ

Wa mā li’aḥadin ‘indahū min ni‘matin tujzā.

Artinya: Dan tiada seorang pun memberikan nikmat padanya yang harus dibalasnya.

Analisis dan Tafsir:

Ayat ini menggarisbawahi keikhlasan ekstrem dari 'Al-Atqa'. Tindakan infaq mereka bukan untuk membalas budi atau kebaikan yang pernah diberikan orang lain kepada mereka. مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ (min ni‘matin tujzā) berarti 'nikmat yang harus dibalas'.

Kedermawanan orang bertakwa didorong murni oleh keinginan mencari wajah Allah, bukan karena hutang sosial, tekanan, atau keinginan pujian. Ini adalah standar tertinggi dalam beramal: memberi tanpa mengharapkan timbal balik dari manusia.

Ayat 20: Tujuan Utama Infaq

إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ

Illābtighā’a wajhi rabbihil-a‘lā.

Artinya: Tetapi (dia memberikan itu) semata-mata mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi.

Analisis dan Tafsir:

Ini adalah kesimpulan dan kunci seluruh amal orang bertakwa. Mereka memberi hanya karena ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ (Ibtighā’a wajhi rabbihil-a‘lā), yaitu 'mencari Wajah Tuhannya Yang Mahatinggi'. Wajah Allah (Wajh) di sini ditafsirkan sebagai keridhaan, pahala, dan kedekatan dengan Allah ﷻ.

Ayat ini menempatkan keikhlasan sebagai penentu utama diterima atau ditolaknya sebuah amal. Kualitas infaq bukan ditentukan oleh besarnya jumlah, tetapi oleh murninya niat, yang hanya tertuju kepada Rabb Al-A'la (Tuhan Yang Mahatinggi).

Ayat 21: Kepastian Balasan

وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ

Wa lasaufa yarḍā.

Artinya: Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan (keridhaan Allah).

Analisis dan Tafsir:

Penutup yang indah, menjanjikan kepastian balasan. Kata وَلَسَوْفَ (Wa lasaufa) mengandung penekanan yang kuat, menjamin bahwa janji ini pasti terjadi, meskipun ada jeda waktu (di akhirat). يَرْضَىٰ (yarḍā) berarti 'ia akan ridha' atau 'ia akan puas'.

Ini adalah balasan terbaik: kepuasan dan keridhaan dari Allah ﷻ. Jika di dunia dia berjuang untuk mencari wajah Allah, di akhirat ia akan mendapatkan apa yang dicarinya, yaitu keridhaan yang abadi. Kepuasan ini jauh lebih berharga daripada seluruh harta dan kemewahan yang dipertahankan oleh orang-orang kikir di dunia.

Tema Utama dan Relevansi Surat Al-Lail

Setelah meninjau secara mendalam setiap ayat, kita dapat merangkum tiga pilar utama yang menjadi pondasi pesan Surat Al-Lail. Pemahaman ini sangat vital karena berulang kali menjustifikasi mengapa usaha manusia terbagi menjadi dua jalur yang bertentangan.

1. Penegasan Prinsip Dualitas (Sumpah Kosmik)

Surat Al-Lail membuka dengan tiga sumpah yang saling berpasangan: Malam vs. Siang, Laki-laki vs. Perempuan. Tujuannya bukan sekadar menunjukkan keindahan alam, melainkan untuk menegaskan bahwa dualitas adalah hukum dasar penciptaan. Sama seperti alam semesta terbagi menjadi pasangan yang berlawanan, nasib manusia juga terbagi menjadi dua jalur yang bertolak belakang: jalan kemudahan (Al-Yusra) dan jalan kesulitan (Al-‘Usra).

Sumpah ini mengajarkan bahwa dalam setiap kegelapan (malam), ada kesempatan untuk beramal secara rahasia. Dan dalam setiap terang (siang), ada kesempatan untuk beramal secara terang-terangan. Kualitas iman dan amal kita diukur dalam konteks dualitas ini. Orang yang memilih Al-Yusra melihat dualitas hidup sebagai ujian dan kesempatan; orang yang memilih Al-'Usra melihat dualitas hidup sebagai sumber persaingan materialistik.

2. Kekikiran sebagai Penyakit Spiritual

Al-Lail mengidentifikasi kekikiran (Al-Bakhil) bukan hanya sebagai kelemahan moral, tetapi sebagai penyakit spiritual yang fatal. Kekikiran disandingkan dengan istighna (merasa cukup) dan takżīb (mendustakan). Ini menunjukkan bahwa inti kekikiran adalah kesombongan rohani:

Kesulitan (Al-'Usra) yang dijanjikan pada akhirnya merupakan konsekuensi logis dari pilihan ini. Jika seseorang menutup pintu hatinya terhadap memberi dan kebenaran, Allah akan membiarkannya semakin jauh dari kemudahan taufik dan petunjuk. Harta yang mereka kumpulkan di dunia, yang merupakan akar kekikiran mereka, justru tidak berguna ketika mereka terjerumus (taraddā) ke dalam Neraka.

3. Keikhlasan sebagai Kunci Tazkiyatun Nafs

Kontrasnya, Al-Atqa (orang paling bertakwa) dicirikan oleh dua hal: memberi (a'ṭā) dan menyucikan diri (yatazakkā), semata-mata mencari wajah Allah (ibtighā’a wajhi rabbihil-a‘lā).

Ayat 19 dan 20 adalah puncak dari ajaran Al-Lail tentang keikhlasan. Mereka memberi bukan karena membalas budi (tujzā), melainkan karena murni mencari keridhaan Ilahi. Ini mengajarkan bahwa nilai tertinggi dari infaq adalah fungsi penyuciannya bagi jiwa (tazkiyatun nafs). Infaq membersihkan hati dari cinta dunia dan keterikatan pada materi, menjadikan jiwa layak menerima keridhaan (yarḍā) dari Tuhan.

Konteks Sejarah: Asbabun Nuzul (Penyebab Turunnya Surah)

Meskipun ajaran Surat Al-Lail bersifat universal, banyak riwayat yang menghubungkan beberapa ayat terakhir surah ini dengan kisah spesifik yang terjadi di Mekkah, yang memperkuat pemahaman kita tentang kontras antara Al-Atqa dan Al-Asyqa.

Kisah Abu Bakar dan Umayyah bin Khalaf

Sebagian besar mufasir, termasuk Al-Baghawi dan Ibn Kathir, meriwayatkan bahwa ayat-ayat terakhir surah ini turun sebagai perbandingan antara dua figur kontemporer di Mekkah:

  1. Al-Atqa (Yang Paling Bertakwa): Riwayat dari Imam Muslim dan lainnya menunjukkan bahwa ini merujuk kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Bakar terkenal sering membeli dan membebaskan budak-budak yang dianiaya (seperti Bilal bin Rabah, Amir bin Fuhairah) karena keimanan mereka kepada Allah. Dia membebaskan mereka tanpa mengharapkan balasan apa pun dari budak-budak tersebut. Tindakan inilah yang digambarkan oleh Ayat 19: "Dan tiada seorang pun memberikan nikmat padanya yang harus dibalasnya."
  2. Al-Asyqa (Yang Paling Celaka): Riwayat lain menyebutkan bahwa 'Al-Asyqa' merujuk pada salah satu tokoh Quraisy yang sangat kikir dan menentang Islam, seperti Umayyah bin Khalaf atau Abu Jahl. Mereka mendustakan kebenaran (kazzaba) dan menahan harta mereka (bakhila), bahkan berusaha menghentikan orang lain untuk berinfaq.

Kisah ini memberikan konteks yang jelas: di masa-masa sulit Mekkah, pengorbanan harta adalah ujian keimanan yang paling berat. Allah memuji mereka yang berkorban dengan ikhlas tanpa pamrih (Al-Atqa), sementara mencela mereka yang menahan hartanya karena merasa cukup tanpa Allah (Al-Asyqa).

Pelajaran dari Asbabun Nuzul

Inti dari Asbabun Nuzul ini adalah bahwa amal (sa’yakum) sangat bergantung pada niat. Abu Bakar membebaskan budak murni untuk tazkiyatun nafs dan mencari Wajah Allah, bukan untuk kepentingan politik, bisnis, atau balas jasa. Inilah standar keikhlasan yang diminta oleh surah Al-Lail.

Linguistik Mendalam dan Kekuatan Kata (Tafsir Lughawi)

Keindahan Surat Al-Lail juga terletak pada pemilihan kata yang sangat presisi dan kontras yang dibangunnya. Memahami akar kata memperkuat pesan moralnya.

Kata Kunci Akar Kata Implikasi Makna
يَغْشَىٰ (Yaghsyā) غ-ش-و (Ghayn-Shin-Waw) Meliputi, menutupi secara keseluruhan. Menekankan kekuatan malam yang menelan cahaya.
تَجَلَّىٰ (Tajallā) ج-ل-و (Jim-Lam-Waw) Menjadi jelas, tersingkap, terang benderang. Kontras sempurna dengan yaghsyā.
سَعْيَكُمْ (Sa'yakum) س-ع-ي (Sin-Ayn-Ya) Usaha, perjuangan, gerakan. Mencakup semua upaya duniawi dan spiritual.
لَشَتَّىٰ (Lasyattā) ش-ت-ت (Shin-Ta-Ta) Terpisah, bercerai berai, sangat berbeda. Menegaskan bahwa jalur manusia terbagi menjadi dua kutub.
الْيُسْرَىٰ (Al-Yusra) ي-س-ر (Ya-Sin-Ra) Kemudahan, kelapangan, jalan yang ringan. Janji Allah untuk mempermudah ketaatan.
الْعُسْرَىٰ (Al-‘Usra) ع-س-ر (Ayn-Sin-Ra) Kesulitan, kesukaran, jalan yang berat. Kekerasan hati sebagai balasan dari kekikiran.
يَتَزَكَّىٰ (Yatazakkā) ز-ك-و (Za-Kaf-Waw) Menyucikan, membersihkan, menumbuhkan kebaikan. Infaq adalah sarana pertumbuhan spiritual.

Penggunaan kata 'Al-Yusra' dan 'Al-'Usra' dalam bentuk superlatif (paling mudah vs. paling sulit) menunjukkan bahwa kedua jalur ini bukan hanya sekadar berbeda, tetapi mewakili ekstrem yang menentukan nasib kekal. Manusia tidak hanya akan melalui jalan yang sulit, tetapi akan diarahkan menuju 'kesulitan' itu sendiri.

Hikmah Spiritual dan Implementasi Praktis

Pesan Surat Al-Lail, meskipun singkat, sarat dengan pelajaran yang sangat praktis bagi kehidupan seorang Muslim.

1. Pentingnya Niat di Atas Jumlah Harta

Surah ini tidak mengukur kekayaan atau jumlah sedekah yang diberikan, tetapi mengukur niat dan kualitas takwa di baliknya. Orang yang memberi (a'ṭā) dihargai karena tindakannya didasari keimanan (wa taqqā) dan ditujukan untuk membersihkan diri (yatazakkā). Seseorang mungkin memiliki harta yang sedikit namun niatnya murni, dan ia akan digolongkan sebagai Al-Atqa, melebihi orang kaya yang berinfaq karena riya atau tuntutan sosial.

2. Kedermawanan adalah Investasi Masa Depan

Surah Al-Lail mengajarkan ekonomi spiritual yang berlawanan dengan ekonomi duniawi. Ekonomi duniawi mengajarkan: menahan = untung. Ekonomi spiritual mengajarkan: memberi = untung. Harta yang disimpan akan sirna dan tidak menolong saat mati (Ayat 11), sementara harta yang diinfakkan adalah tabungan yang pasti kembali dalam bentuk keridhaan Allah (Ayat 21) dan kemudahan hidup.

3. Keterkaitan Iman dan Amal

Jalur Al-Yusra membutuhkan tiga komponen yang tidak terpisahkan: memberi (amal), bertakwa (kondisi hati), dan membenarkan Al-Husna (keimanan). Kekurangan salah satu komponen ini akan merusak seluruh amal. Seseorang yang memberi tanpa bertakwa (hanya untuk pamer) atau memberi tanpa membenarkan hari akhir (hanya untuk popularitas), tidak akan mendapatkan janji kemudahan sejati.

4. Mencari Keridhaan Allah di Segala Aspek

Puncak surah ini adalah mencari Wajah Allah (Ayat 20). Dalam segala usaha dan perjuangan kita (sa'yakum), tujuan akhir kita haruslah keridhaan-Nya, bukan pujian manusia atau keuntungan materi. Ayat ini menjadi parameter universal untuk mengukur keikhlasan setiap amal, baik itu dalam pekerjaan, ibadah, maupun hubungan sosial.

Penutup: Janji Kepuasan Abadi

Surat Al-Lail menutup siklus dualitas dengan janji yang menenangkan: وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ (Wa lasaufa yarḍā). Bagi mereka yang telah berjuang di jalan takwa, yang dengan ikhlas mengorbankan apa yang mereka cintai di dunia untuk membersihkan jiwa mereka, hasilnya bukan hanya Surga, melainkan sebuah kepuasan (keridhaan) yang paripurna dari Tuhan Yang Mahatinggi.

Surah ini berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa hidup adalah pilihan. Setiap hembusan napas dan setiap usaha yang kita lakukan adalah penentu apakah kita sedang berjalan menuju Al-Yusra (kemudahan abadi) atau Al-‘Usra (kesulitan yang tidak berakhir). Pilihan tersebut diukur dari seberapa besar hati kita mampu melepaskan keterikatan duniawi dan seberapa yakin kita terhadap janji balasan yang terbaik, Al-Husna, di sisi Allah ﷻ.

Semoga kita digolongkan sebagai Al-Atqa, yang dimudahkan jalannya menuju keridhaan Ilahi.

🏠 Homepage