Surat Al-Lail, yang berarti 'Malam', adalah salah satu surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah. Surat ini terdiri dari 21 ayat yang fokus pada dualitas fundamental dalam kehidupan manusia: dualitas usaha, niat, dan konsekuensi abadi. Surah ini memberikan penekanan yang luar biasa pada pentingnya amal perbuatan dan menjamin bahwa usaha setiap individu akan berujung pada jalur yang berbeda, menuju kemudahan atau kesulitan.
Kajian berikut akan membedah setiap ayat (1-21) secara terperinci, memberikan transliterasi Latin yang akurat, terjemahan, dan ulasan tafsir yang luas. Pemahaman mendalam ini diharapkan dapat mengungkap kekayaan makna dan petunjuk moral yang terkandung dalam sumpah-sumpah kosmis yang Allah sampaikan di awal surah ini.
I. SUMPAH KOSMIS DAN KONTRAST AMAL (AYAT 1-4)
Surat Al-Lail dimulai dengan serangkaian sumpah (Qasam) yang diambil dari fenomena alam yang paling mendasar. Allah bersumpah demi malam, siang, dan penciptaan makhluk-Nya. Sumpah ini berfungsi untuk menarik perhatian mutlak pembaca atau pendengar terhadap pernyataan agung yang mengikutinya: bahwa usaha manusia terbagi menjadi dua jalur yang saling bertolak belakang.
Ayat 1
Tafsir Mendalam: Sumpah Demi Malam yang Meliputi. Sumpah ini mengacu pada Malam (Al-Lail) ketika ia datang dan menutupi alam semesta, membawa ketenangan, kegelapan, dan waktu istirahat. Makna 'yaghsyā' (menutupi) menunjukkan tindakan penyerapan, di mana kegelapan malam benar-benar melingkupi segala yang ada di bumi. Malam dalam konteks spiritual seringkali dikaitkan dengan misteri, ujian, dan kesempatan untuk beribadah secara tersembunyi. Sumpah ini menekankan keagungan kekuasaan Allah yang mengatur siklus kosmik yang mutlak perlu bagi kehidupan.
Penyebutan malam sebagai sumpah memiliki relevansi mendalam terhadap tema utama surah. Malam mewakili kondisi di mana manusia berhadapan dengan dirinya sendiri, di mana nafsu dan rahasia tersembunyi seringkali muncul. Kontrasnya dengan siang adalah fondasi dari pemahaman dualitas amal. Malam juga merupakan momen di mana orang-orang yang beriman melakukan Qiyamul Lail (shalat malam), yang merupakan tanda ketulusan amal yang luar biasa, berlawanan dengan amalan riya’ yang dilakukan di siang hari.
Ayat 2
Tafsir Mendalam: Sumpah Demi Siang yang Menampakkan. Sumpah ini berlawanan langsung dengan ayat 1. 'An-Nahār' (Siang) disandingkan dengan 'tajallā' (menampakkan diri, menjadi jelas). Siang hari adalah waktu untuk bergerak, bekerja, dan menampakkan amal perbuatan di hadapan publik. Jika malam adalah penutup, siang adalah pembuka. Siang melambangkan kejelasan, aktivitas, dan kesempatan mencari rezeki, baik materi maupun rohani.
Dua sumpah ini—malam yang gelap dan siang yang terang—menciptakan kerangka dualitas. Ini adalah gambaran kosmik tentang pilihan moral manusia. Sebagaimana siang dan malam memiliki fungsi yang berbeda, begitu pula amal manusia. Setiap orang memilih di antara dua jalan yang jelas, satu menuju terang (kebaikan) dan satu menuju kegelapan (keburukan). Kontras yang mutlak ini adalah persiapan logis untuk menyatakan ayat inti surah.
Ayat 3
Tafsir Mendalam: Sumpah Demi Penciptaan Dualitas Hidup. Setelah bersumpah demi dualitas kosmik (siang dan malam), Allah bersumpah demi dualitas biologis dan sosial (laki-laki dan perempuan). 'Mā khalaqa' (dan demi apa yang diciptakan), merujuk pada kekuasaan Allah dalam menciptakan pasangan yang berlawanan. Dualitas ini bukan hanya tentang jenis kelamin, tetapi tentang segala sesuatu yang diciptakan berpasang-pasangan (seperti yang dijelaskan di ayat lain: positif dan negatif, pahit dan manis, surga dan neraka).
Penyebutan dualitas dalam penciptaan manusia ini menegaskan kembali prinsip bahwa hidup di dunia ini dibangun di atas oposisi yang saling melengkapi. Sebagaimana ada dua jenis manusia, ada pula dua jenis tindakan utama yang dapat dipilih oleh manusia. Sumpah ini memastikan bahwa perbedaan yang terjadi pada amal manusia adalah bagian dari tatanan ciptaan yang lebih besar.
Ayat 4
Tafsir Inti Surah: Perbedaan Mutlak Usaha. Inilah jawaban dari sumpah-sumpah sebelumnya. Kata 'sa‘yakum' (usaha atau amal perbuatanmu) mencakup segala upaya, niat, dan tindakan manusia. Kata 'lashittā' (benar-benar berbeda, beraneka ragam, terpisah) menunjukkan bahwa usaha manusia terbagi menjadi kelompok-kelompok yang sangat berbeda, secara fundamental berlawanan arah. Usaha yang satu menuntun pada jalan kemudahan, dan usaha yang lain menuntun pada jalan kesulitan.
Ayat ini adalah inti teologis Surah Al-Lail. Tidak ada jalan tengah yang netral. Setiap orang berjuang, tetapi perjuangan itu diarahkan pada tujuan yang saling bertentangan. Ayat ini menegaskan kebebasan berkehendak manusia (ikhtiyar) dan konsekuensi logis dari kebebasan tersebut. Jika manusia diciptakan berpasangan (ayat 3) dan alam semesta berpasangan (ayat 1 dan 2), maka tidak mungkin hasil dari upaya manusia itu sama.
Pembedaan ini bukan sekadar variasi kecil; ia adalah jurang pemisah antara amal yang tulus dan amal yang menipu, antara kedermawanan dan kekikiran, antara keimanan dan pendustaan.
II. DUA JALUR HIDUP DAN KONSEKUENSINYA (AYAT 5-11)
Setelah menyatakan bahwa usaha manusia terbagi, Allah kemudian menjelaskan dua jenis kelompok manusia yang muncul dari perpecahan usaha tersebut. Kelompok pertama adalah yang berinfak dan bertakwa, dan kelompok kedua adalah yang bakhil dan mendustakan kebenaran. Untuk setiap kelompok, Allah menjanjikan jalur yang sesuai dengan usaha mereka.
Jalur 1: Sang Pemberi dan Sang Penyelamat (Al-Atqa)
Ayat 5
Tafsir Mendalam: Kombinasi Amal dan Takwa. Ayat ini memperkenalkan karakteristik pertama dari kelompok yang sukses. 'A‘thā' (memberikan) merujuk pada kedermawanan, infak, atau sedekah. Ini adalah manifestasi fisik dari iman. 'Wattaqā' (bertakwa) adalah kondisi spiritual dan moral. Takwa berarti menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, didasari oleh rasa takut dan cinta kepada-Nya.
Penyebutan pemberian dan takwa secara bersamaan sangat penting. Kebaikan yang diterima Allah adalah kedermawanan yang didorong oleh ketakwaan. Seseorang mungkin memberi karena riya' (pamer) atau tekanan sosial; namun, jika ia didasari takwa, pemberiannya murni. Takwa adalah niat, kedermawanan adalah aksi. Kedua elemen ini harus berpadu untuk menciptakan amal yang lurus.
Ayat 6
Tafsir Mendalam: Membenarkan Janji Terbaik. 'Shaddaqa bil-husnā' berarti membenarkan adanya balasan terbaik atau janji baik yang dijanjikan Allah, yang mayoritas ulama tafsir mengartikannya sebagai Surga, atau kalimat tauhid 'Lā ilāha illallāh'. Membenarkan al-Husnā berarti memiliki keyakinan kokoh (iman) bahwa setiap pemberian dan ketakwaan tidak akan sia-sia, melainkan akan dibalas dengan ganjaran tertinggi.
Iman yang kokoh inilah yang membedakan pemberi sejati. Mereka berinfak, bukan karena melihat imbalan duniawi, tetapi karena percaya sepenuhnya pada janji akhirat. Keyakinan ini memberikan kekuatan untuk terus memberi, bahkan saat menghadapi kesulitan atau keraguan. Ini adalah pilar ketiga dari kelompok sukses: (1) Memberi, (2) Bertakwa, (3) Membenarkan janji Allah.
Ayat 7
Tafsir Mendalam: Kemudahan di Dunia dan Akhirat. Ini adalah konsekuensi ilahi bagi kelompok pertama. 'Fa sanuyassiruhū' (maka Kami akan memudahkan baginya) dan 'lil-yusrā' (jalan kemudahan). Jalan kemudahan ini meliputi kemudahan dalam melakukan kebaikan, kemudahan dalam urusan duniawi, ketenangan hati, dan puncaknya adalah kemudahan melewati jembatan Shirat dan masuk Surga.
Allah memastikan bahwa orang yang berjuang di jalan takwa akan dibimbing dan dimudahkan langkahnya. Hal ini terjadi karena niat baik menarik rahmat, dan tindakan takwa membersihkan hati, sehingga langkah selanjutnya menuju kebaikan terasa lebih ringan. Ini adalah prinsip kausalitas spiritual: amal baik hari ini memudahkan amal baik esok hari.
Jalur 2: Sang Bakhil dan Pendusta (Al-Ashqa)
Ayat 8
Tafsir Mendalam: Kekikiran dan Kesombongan. Ayat ini memperkenalkan karakteristik kelompok kedua, yang bertolak belakang dengan kelompok pertama. 'Bakhila' (kikir atau bakhil) adalah menahan harta, menolak berinfak, atau enggan memberikan hak orang lain. Ini adalah kebalikan dari 'a‘thā' (memberi).
Namun, kekikiran ini diperparah oleh 'wastaghnā' (merasa dirinya cukup). Ini adalah kesombongan spiritual. Mereka merasa tidak membutuhkan Allah atau balasan-Nya. Mereka yakin bahwa kekayaan duniawi mereka cukup untuk menjamin kebahagiaan, sehingga mereka meremehkan amal akhirat. Perasaan cukup inilah yang mematikan motivasi untuk bertakwa.
Ayat 9
Tafsir Mendalam: Mendustakan Janji Akhirat. Kebalikan dari 'shaddaqa bil-husnā', kelompok ini 'kadzdzaba bil-husnā' (mendustakan janji terbaik). Mereka tidak percaya pada surga, hari kebangkitan, atau ganjaran abadi. Ketidakpercayaan ini adalah akar dari kekikiran mereka. Mengapa harus berinfak jika tidak ada balasan yang lebih besar dari harta yang mereka miliki?
Pendustaan ini bisa berbentuk skeptisisme terbuka atau, lebih halus, berupa perilaku hidup seolah-olah akhirat tidak ada. Kedustaan ini membuat mereka menganggap investasi di jalan Allah sebagai kerugian murni, bukan keuntungan abadi.
Ayat 10
Tafsir Inti Surah: Jalan Menuju Kesulitan. Ini adalah balasan yang setimpal. Jika kelompok pertama dimudahkan menuju 'yusrā' (kemudahan), kelompok kedua dimudahkan menuju '‘usrā' (kesukaran atau kesulitan). Poin pentingnya adalah 'Kami akan memudahkan baginya' (sanuyassiruhū). Ini bukan berarti Allah memaksa mereka, tetapi Allah membiarkan mereka dalam kecenderungan buruk yang mereka pilih sendiri.
Kesulitan ini berupa kesulitan dalam beramal baik (amal yang terasa berat dan membebani), kesulitan dalam hidup (hati yang tidak pernah puas meskipun kaya), dan akhirnya kesulitan terbesar, yaitu siksa di hari akhir. Kekikiran dan kesombongan menjadi selimut tebal yang menghalangi mereka melihat kebenaran dan melakukan kebaikan, sehingga setiap langkah mereka menuju tujuan yang menyengsarakan.
Ayat 11
Tafsir Mendalam: Harta Tak Berguna di Akhir Kematian. Ayat ini menutup perdebatan tentang harta yang menjadi sumber kesombongan (wastaghnā) mereka. Kata 'taraddā' berarti jatuh atau terjerumus (ke dalam lubang atau neraka). Ketika seseorang menemui ajalnya, atau ketika ia terjerumus ke dalam siksa, seluruh harta yang ia kumpulkan dengan kikir, yang ia banggakan, tidak akan berguna sedikit pun untuk menahannya dari azab.
Peringatan ini sangat tajam, ditujukan kepada kaum Quraisy yang seringkali menimbun kekayaan. Harta hanya bernilai jika digunakan sebagai alat untuk taqwa ('a‘thā wattaqā'). Jika harta menjadi tujuan dan sumber kesombongan, ia akan menjadi beban dan saksi memberatkan bagi pemiliknya pada hari perhitungan.
III. KEKUASAAN ALLAH DAN KEPASTIAN BALASAN (AYAT 12-16)
Setelah menguraikan dua jalur yang berbeda, surah ini beralih ke penegasan mutlak tentang otoritas Allah dalam memberikan petunjuk dan memegang kendali atas balasan di dunia dan di akhirat. Ayat-ayat ini memberikan motivasi dan peringatan keras.
Ayat 12
Tafsir Mendalam: Otoritas Petunjuk. Ayat ini menegaskan bahwa Allah-lah yang memiliki otoritas mutlak untuk menetapkan jalan kebenaran (Al-Hudā). Maknanya: Allah telah menjelaskan kedua jalan tersebut (kemudahan dan kesulitan) melalui wahyu dan utusan-Nya. Tugas manusia adalah memilih, namun penjelasan tentang jalan itu sendiri adalah tugas dan rahmat Allah.
Penegasan ini menghilangkan alasan bagi siapa pun untuk mengatakan bahwa mereka tidak tahu jalan yang benar. Dengan Al-Qur'an dan Sunnah, petunjuk telah sempurna dan jelas. Keberadaan dua jalur yang berbeda (ayat 4) sudah diumumkan, dan rambu-rambu menuju surga dan neraka telah dipasang. Ini menunjukkan keadilan ilahi; balasan hanya datang setelah peringatan yang jelas.
Ayat 13
Tafsir Mendalam: Kepemilikan Mutlak. Ayat ini memperluas klaim kepemilikan. Bukan hanya jalan petunjuk yang milik Allah, tetapi juga seluruh dimensi waktu dan ruang—akhirat (Al-Ākhirah) dan dunia (Al-Ūlā). Ini adalah penegasan kedaulatan (Rubūbiyah) Allah yang tak terbatas.
Implikasi bagi manusia yang kikir (yang merasa cukup dengan hartanya di dunia) sangat jelas: jika harta dan kekuasaan duniawi adalah milik Allah, dan harta serta ganjaran akhirat juga milik Allah, maka tidak ada gunanya menimbun harta dari karunia-Nya sambil menolak perintah-Nya. Manusia sejati yang cerdas adalah yang menginvestasikan apa yang dimiliki di dunia demi keuntungan yang abadi di akhirat, karena kedua alam itu berada di bawah kendali Yang Sama.
Ayat 14
Tafsir Mendalam: Peringatan Api yang Berkobar. Sebagai konsekuensi dari kepemilikan mutlak (ayat 13), Allah berhak memperingatkan (andzartukum) hamba-hamba-Nya. Peringatan itu berupa 'Nāran talazzā' (api yang berkobar, menyala-nyala). Kata 'talazzā' menggambarkan api yang bergerak, bergejolak, dan sangat panas, jauh melebihi api dunia.
Peringatan ini ditujukan secara spesifik kepada mereka yang menolak berinfak dan mendustakan akhirat. Peringatan ini adalah bagian dari petunjuk (hudā) Allah (ayat 12). Peringatan yang jelas ini memastikan bahwa ketika kelompok 'al-‘usrā' (kesulitan) jatuh ke dalamnya, mereka tidak dapat mengklaim ketidaktahuan. Neraka adalah balasan bagi mereka yang memilih jalan kesukaran, yaitu menjauhi takwa dan kedermawanan.
Ayat 15
Tafsir Mendalam: Identitas Penghuni Neraka. Ayat ini mengidentifikasi secara tegas siapa yang akan menjadi penghuni api yang berkobar: 'Al-Ashqā' (yang paling celaka, yang paling sengsara, yang paling durhaka). Ini adalah kebalikan dari 'Al-Atqa' (yang paling bertakwa) yang akan dibahas nanti. Ashqa adalah individu yang telah memilih jalur 'al-‘usrā' (kesulitan) secara konsisten dalam hidupnya.
Penyebutan 'Al-Ashqā' (superlatif) menunjukkan bahwa hanya mereka yang benar-benar kukuh dalam kekafiran, kekikiran, dan pendustaan yang akan kekal di dalamnya. Ini adalah penguatan janji dan ancaman: jalan menuju api neraka hanya dilalui oleh orang yang sengaja memilih jalur terburuk, jalur yang dibangun atas tiga pilar negatif: kikir, sombong/merasa cukup, dan mendustakan janji Allah.
Ayat 16
Tafsir Mendalam: Definisi Orang Celaka. Ayat ini mendefinisikan 'Al-Ashqā' melalui dua tindakan utama: 'Kadzdzaba' (mendustakan) dan 'Tawallā' (berpaling). Mendustakan adalah penolakan internal terhadap kebenaran yang datang dari Allah (menyangkut janji akhirat, tauhid, dan kenabian). Berpaling adalah penolakan eksternal, yaitu menolak untuk mempraktikkan ajaran tersebut (menolak beramal, menolak berinfak).
Seseorang bisa mendustakan tetapi tidak mampu beramal. Namun, orang yang celaka adalah yang menggabungkan keduanya: penolakan hati terhadap akidah dan penolakan anggota badan terhadap syariah. Mereka menolak kebenaran yang dibawa Nabi dan secara aktif menjauhi panggilan untuk berbuat baik. Inilah formula sempurna untuk 'jalan kesulitan' (al-‘usrā).
IV. KEJAYAAN SANG PALING BERTAKWA (AYAT 17-21)
Setelah mengancam orang-orang yang celaka, surah ini kembali menyajikan gambaran indah mengenai kelompok pertama, 'Al-Atqa' (yang paling bertakwa). Ayat-ayat penutup ini menjelaskan siapa mereka, motivasi amal mereka yang murni, dan balasan tertinggi yang menanti mereka.
Ayat 17
Tafsir Mendalam: Jaminan Penjagaan. Kontras yang kuat dengan ayat 15. 'Sayujannabuhā' (akan dijauhkan darinya). Dijauhkan dari api neraka adalah janji bagi 'Al-Atqa' (orang yang paling bertakwa), yang merupakan kebalikan dari 'Al-Ashqā'. Jika Ashqā terjerumus, Atqa akan diselamatkan. Gelar ‘Atqa’ menunjukkan level tertinggi dalam takwa, melampaui takwa biasa, yang mencakup keikhlasan dan konsistensi.
Menurut banyak riwayat tafsir, 'Al-Atqa' dalam konteks spesifik surah ini merujuk pada Abu Bakar As-Shiddiq, yang dikenal karena kedermawanan luar biasa dan keikhlasan niatnya. Namun, maknanya tetap umum: setiap individu yang mencapai tingkat ketakwaan tertinggi, terutama dalam hal kedermawanan, akan mendapat perlindungan ini.
Ayat 18
Tafsir Mendalam: Motivasi di Balik Infak. Ayat ini menjelaskan sifat Al-Atqa: mereka memberi ('yu’tī mālahū') bukan untuk mendapatkan pujian atau imbalan duniawi, tetapi untuk 'yatazakkā' (membersihkan dirinya, menyucikan jiwanya). 'Tazakkā' menunjukkan proses pemurnian spiritual.
Infak di sini dilihat sebagai alat pembersih. Harta duniawi bisa menjadi kotoran hati jika dicintai secara berlebihan. Dengan menginfakkan sebagiannya secara ikhlas, seorang hamba menyucikan hatinya dari kekikiran (bakhila) dan kesombongan (istaghnā), serta memurnikan niatnya, sehingga ia menjadi layak di hadapan Allah.
Ayat 19
Tafsir Mendalam: Infak Tanpa Harapan Balasan Duniawi. Ayat ini menyingkap tingkat keikhlasan tertinggi dari Al-Atqa. Pemberian mereka bukan karena kewajiban membalas budi ('tujzā'), atau karena imbalan timbal balik. Mereka memberi karena murni mencari keridaan Allah, tanpa hutang jasa kepada siapa pun di dunia yang harus dilunasi melalui pemberian tersebut.
Ini adalah poin pembeda krusial antara kedermawanan sejati dan transaksi sosial. Orang mungkin memberi karena ingin dipuji atau berharap balasan. Al-Atqa memberi karena motivasi transendental. Ini adalah definisi puncak dari 'Lillahi Ta'ala' (hanya karena Allah), yang merupakan kebalikan total dari orang kikir yang hanya mementingkan keuntungan dirinya sendiri.
Ayat 20
Tafsir Mendalam: Tujuan Tertinggi. Inilah inti dari motivasi Al-Atqa: 'Ib-tighā’a wajhi rabbihil-a‘lā' (semata-mata mencari wajah Tuhannya Yang Mahatinggi). 'Mencari wajah Allah' adalah kiasan untuk mencari keridaan dan pahala tertinggi di sisi-Nya. Ini mengikat semua amal mereka pada tujuan akhirat, bukan tujuan fana dunia.
Ayat ini mengajarkan bahwa tujuan dari setiap amal saleh, terutama yang sulit dilakukan seperti berinfak saat dibutuhkan, haruslah murni keikhlasan. Kedermawanan mereka adalah ekspresi ibadah yang paling tulus, menjauhkan mereka dari godaan riya’ dan kekikiran. Mereka menukar harta yang fana dengan pahala abadi, sebuah perdagangan yang paling menguntungkan.
Ayat 21
Tafsir Penutup: Kepuasan Abadi. 'Wa lasawfa yarḍā' (dan kelak dia benar-benar akan puas) adalah janji pamungkas yang menyimpulkan ganjaran bagi Al-Atqa. Kepuasan ini (Ar-Ridwan) mencakup masuknya mereka ke Surga, kebahagiaan abadi, dan yang paling utama, mereka akan mendapatkan keridaan Allah. Kepuasan ilahi ini melampaui segala bentuk kebahagiaan duniawi.
Penyebutan kepuasan sebagai balasan sangat penting karena menanggapi dua sifat buruk Ashqā: kekikiran (tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki) dan kesombongan (merasa puas dengan diri sendiri). Sebaliknya, Al-Atqa yang rendah hati dan dermawan akan dianugerahi kepuasan sejati yang tidak ada akhirnya. Ini adalah penutup sempurna yang menegaskan bahwa investasi terbaik adalah investasi pada akhirat, karena balasannya adalah kekayaan spiritual dan material yang tidak terhingga.
V. KAJIAN TEMATIK DAN INTEGRASI AJARAN AL-LAIL
Surat Al-Lail, meskipun singkat, memuat ajaran moral dan teologis yang sangat padat. Inti dari surah ini adalah menegakkan prinsip keadilan dan kebebasan memilih, serta memperingatkan tentang dampak abadi dari pilihan-pilihan kecil yang kita ambil setiap hari.
1. Filosofi Dualitas (Sumpah Kosmik)
Penggunaan sumpah (qasam) di awal surah—demi malam, siang, dan penciptaan berpasangan—bukanlah sekadar retorika. Ia adalah penegasan filosofis bahwa alam semesta ini dibangun di atas dualitas yang saling kontras: kegelapan vs. cahaya, istirahat vs. kerja, pria vs. wanita. Dengan menetapkan dualitas ini sebagai fondasi kosmik, Allah memastikan bahwa dualitas amal manusia ('sa‘yakum lashittā') adalah cerminan dari tatanan alam semesta.
Konsep dualitas ini memberikan perspektif yang jelas: manusia tidak bisa hidup dalam abu-abu moralitas. Setiap keputusan, baik kikir atau dermawan, membenarkan atau mendustakan, secara pasti menempatkan individu pada jalur menuju kemudahan (yusrā) atau kesulitan (‘usrā). Tidak ada usaha yang sia-sia, tetapi setiap usaha memiliki arah yang berlawanan.
2. Hakikat Kekikiran (Bakhila) dan Kesombongan (Istaghnā)
Surah Al-Lail secara khusus menargetkan kekikiran, karena sifat ini adalah penghalang terbesar menuju kebahagiaan. Kekikiran (bakhila) bukan hanya menahan harta, tetapi juga menahan kebaikan. Kekikiran adalah perwujudan fisik dari penyakit hati, yaitu kesombongan spiritual (istaghnā).
- Kekikiran: Menunjukkan ketidakpercayaan kepada Allah (bahwa Dia tidak mampu mengganti apa yang diinfakkan).
- Kesombongan: Merasa diri cukup, tidak membutuhkan rahmat Allah, sehingga merasa tidak perlu beramal atau bertakwa.
Kedua sifat ini berujung pada mendustakan janji terbaik (akhirat). Jika seseorang kikir dan sombong, ia secara otomatis memilih ‘usrā, karena ia telah memutuskan hubungan ketergantungan spiritual kepada Sang Pencipta. Sifat-sifat inilah yang membuat semua urusan dunia dan akhirat terasa sulit dan membebani.
3. Keutamaan Memberi dan Menyucikan Diri (Yatazakkā)
Sebaliknya, kelompok Al-Atqa dicirikan oleh tiga hal: memberi, bertakwa, dan membenarkan janji terbaik. Fokus pada 'yu’tī mālahū yatazakkā' menekankan bahwa infak bukan hanya transfer dana, tetapi transfer spiritual. Proses penyucian diri (tazkiyah an-nafs) adalah tujuan tertinggi di balik pemberian.
Ketika seseorang memberi, terutama tanpa mengharapkan balasan dari manusia (Ayat 19), ia melepaskan ikatan hatinya dari harta dan mengikatkannya pada Allah. Kedermawanan, yang didasari takwa, adalah kunci pembuka menuju ‘yusrā’ (kemudahan). Allah berjanji akan mempermudah jalannya, yang mencakup kemudahan dalam menghadapi kesulitan dunia, kemudahan dalam beramal shaleh, dan kemudahan dalam mencapai rida-Nya.
4. Pelajaran dari Kisah Abu Bakar As-Shiddiq
Walaupun Al-Lail memiliki makna universal, banyak ulama tafsir mengaitkan ayat 17-21 secara spesifik dengan Abu Bakar As-Shiddiq. Diriwayatkan bahwa surah ini turun sebagai tanggapan atas tindakan mulia Abu Bakar yang membebaskan banyak budak Muslim yang disiksa oleh majikan-majikan musyrik di Makkah. Ketika ia ditanya mengapa ia melakukan itu, ia berkata ia hanya mencari wajah Allah, bukan mengharapkan balasan dari budak-budak yang dibebaskannya.
Kisah ini menegaskan pesan utama surah: keikhlasan absolut adalah standar tertinggi dalam amal. Jika amal dilakukan untuk mencari ridha Allah saja, tanpa mencari pujian atau balasan dunia, maka pelakunya layak mendapat gelar Al-Atqa dan dijanjikan kepuasan abadi (Wa lasawfa yarḍā).
5. Kontras Antara Dunia dan Akhirat
Surat Al-Lail mengingatkan bahwa dunia (Al-Ūlā) dan akhirat (Al-Ākhirah) adalah milik Allah (Ayat 13). Orang kikir (Ashqā) fokus pada dunia dan menahan hartanya. Mereka gagal memahami bahwa sumber kekayaan dan ganjaran abadi berada di tangan yang sama. Kekayaan duniawi mereka tidak akan menyelamatkan mereka saat mereka jatuh ('idzā taraddā').
Sebaliknya, orang bertakwa (Atqa) menggunakan karunia duniawi (harta) sebagai jembatan menuju akhirat. Dengan berinfak, mereka tidak kehilangan harta, melainkan mentransfernya ke rekening abadi di sisi Allah. Oleh karena itu, Surah Al-Lail adalah seruan yang kuat untuk menggeser fokus nilai: nilai sejati terletak pada apa yang diberikan secara ikhlas, bukan pada apa yang ditimbun.
VI. PENGULANGAN DAN PENAJAMAN MAKNA AYAT 1-21
Untuk memahami kedalaman pesan Al-Lail, perlu kiranya kita kembali merenungkan setiap frase utama, melihat bagaimana komponen-komponen ini saling terkait dan membentuk struktur argumen yang kohesif tentang nasib amal manusia.
Analisis Rantai Logika Ilahi
Surat ini membentuk rantai sebab-akibat yang sempurna, didukung oleh sumpah-sumpah kosmik:
- Sumpah Kosmik (1-3): Mengatur panggung dualitas universal (Malam/Siang, Laki-laki/Perempuan).
- Kesimpulan Universal (4): Karena adanya dualitas, maka usaha manusia (sa‘yakum) pasti terpecah (lashittā).
- Jalur Kebaikan dan Imbalannya (5-7):
- Sebab (Sifat): Memberi (a‘thā), Bertakwa (wa ttaqā), Membenarkan (shaddaqa bil-husnā).
- Akibat (Balasan): Dimudahkan menuju kemudahan (sanuyassiruhū lil-yusrā).
- Jalur Keburukan dan Hukuman (8-10):
- Sebab (Sifat): Kikir (bakhila), Sombong (wastaghnā), Mendustakan (kadzdzaba bil-husnā).
- Akibat (Balasan): Dimudahkan menuju kesulitan (sanuyassiruhū lil-‘usrā).
- Penegasan Kekuatan (11-13): Harta dunia tidak berguna (11). Allah adalah pemilik petunjuk (12) dan pemilik segala alam (13).
- Peringatan dan Identitas (14-16): Api berkobar menanti (14), hanya untuk yang paling celaka (15), yaitu yang mendustakan dan berpaling (16).
- Pahala dan Identitas (17-21): Yang paling bertakwa (17) akan dijauhkan. Motivasi mereka murni menyucikan diri (18-20). Ganjaran mereka adalah kepuasan abadi (21).
Perhatikan penggunaan kata ‘memudahkan’ (sanuyassiruhū) pada kedua jalur (7 dan 10). Ini adalah puncak keajaiban bahasa Al-Qur'an dalam surah ini. Allah tidak mengatakan ‘Kami akan menyulitkan’ orang yang celaka, melainkan ‘Kami akan memudahkan baginya jalan kesulitan’. Artinya, ketika seseorang memilih jalan keburukan (kekikiran, pendustaan), Allah membiarkan kecenderungan itu berkembang, membuat jalan kejahatan terasa mulus baginya, hingga ia terjerumus ke dalam balasan yang sesuai.
Sebaliknya, ketika seseorang memilih takwa dan memberi, Allah membantunya (memudahkannya) sehingga amal saleh yang berat itu terasa ringan. Pemudahan ini adalah bentuk rahmat ilahi yang diberikan sebagai respons terhadap ikhtiar dan niat baik hamba.
Implikasi Sosial dan Ekonomi Surat Al-Lail
Meskipun Surah Al-Lail membahas takwa pribadi, implikasinya sangat besar terhadap pembentukan masyarakat yang adil. Di Makkah, kekayaan seringkali digunakan sebagai alat penindasan dan kesombongan. Surah ini menentang keras mentalitas 'wastaghnā' (merasa cukup/sombong) yang melahirkan kelas-kelas sosial kikir yang menolak membantu yang lemah.
Ajaran ini membalikkan nilai: kedermawanan bukan kerugian, melainkan investasi dan penyucian. Infak, dalam pandangan Islam, adalah hak sosial fakir miskin atas harta orang kaya, bukan sekadar belas kasihan. Dengan menyucikan diri melalui infak, Al-Atqa tidak hanya menyelamatkan dirinya dari neraka, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang saling tolong-menolong.
Pelajaran yang terkandung dalam Al-Lail (1-21) melampaui perintah ibadah ritual; ia adalah cetak biru etika sosial dan ekonomi yang berbasis pada keikhlasan hati dan keyakinan mutlak pada Hari Pembalasan. Setiap muslim diundang untuk merenungkan: apakah usahaku hari ini mengarah pada 'yusrā' (kemudahan) atau '‘usrā' (kesulitan)? Jawabannya terletak pada tindakan memberi versus menahan, dan membenarkan versus mendustakan janji Allah.
Pemahaman mendalam terhadap Surat Al-Lail, melalui transliterasi Latin dan tafsirnya, memperkuat keyakinan bahwa setiap napas, setiap tindakan, dan setiap rupiah yang dikeluarkan adalah penentu jalur kehidupan abadi. Kemudahan yang dijanjikan Allah bagi Al-Atqa adalah penghargaan tertinggi bagi mereka yang telah menukar kesenangan fana dengan keridaan Ilahi.