Surat Al-Lail (Malam)

Teks Latin, Arab, Terjemahan, dan Tafsir Mendalam

Pengantar Mengenai Surat Al-Lail

Surat Al-Lail adalah surat ke-92 dalam Al-Qur'an. Surat ini tergolong dalam kelompok surat Makkiyah, yang berarti diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Surat ini terdiri dari 21 ayat yang pendek namun padat, mengandung sumpah-sumpah kosmik yang kuat untuk menekankan sebuah prinsip moral dan spiritual universal: prinsip dualitas dalam amal perbuatan manusia dan konsekuensinya.

Tema sentral dari Surat Al-Lail adalah kontras yang tajam antara dua jalan hidup yang fundamental—jalan kedermawanan, ketakwaan, dan keimanan versus jalan kebakhilan, kesombongan, dan penolakan kebenaran. Allah ﷻ bersumpah demi fenomena alam yang paling jelas untuk menegaskan bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan dan takdir yang berbeda, yang merupakan hasil langsung dari usaha dan pilihan mereka di dunia.

Sumpah Kosmik dan Dualitas Eksistensi

Surat ini dibuka dengan tiga sumpah yang menciptakan atmosfer kontras yang intens: demi malam yang menutupinya, demi siang apabila terang benderang, dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan. Sumpah ini bukan sekadar retorika, melainkan penegasan bahwa sebagaimana alam semesta tunduk pada dualitas (gelap/terang, maskulin/feminin), demikian pula kehidupan moral manusia tunduk pada dualitas pilihan (baik/buruk, memberi/menahan).

Ilustrasi Dualitas Malam dan Siang Malam Siang

Alt Text: Sketsa sederhana yang menunjukkan dualitas, membagi layar menjadi dua sisi: Malam (gelap, bulan) dan Siang (terang, matahari), melambangkan tema utama Surat Al-Lail.

Teks Surat Al-Lail: Arab, Latin, dan Terjemahan

وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ

Wal-laili iżā yaghsya

1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),

وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ

Wan-nahāri iżā tajallā

2. Dan demi siang apabila menampakkan diri,

وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰٓ

Wa mā khalaqaż-żakara wal-unṡā

3. Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan,

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ

Inna sa'yakum lasyattā

4. Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan.

فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ

Fa ammā man a'ṭā wat-taqā

5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,

وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ

Wa ṣaddaqa bil-ḥusnā

6. Dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (Al-Husna),

فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ

Fa sanuyassiruhū lil-yusrā

7. Maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (Yusrā).

وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسْتَغْنَىٰ

Wa ammā mam bakhila wastaghnā

8. Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh kepada Tuhan),

وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ

Wa każżaba bil-ḥusnā

9. Serta mendustakan (adanya pahala) yang terbaik,

فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ

Fa sanuyassiruhū lil-'usrā

10. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar (Usrā).

وَمَا يُغْنِى عَنْهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰٓ

Wa mā yugnī 'an-hu māluhū iżā taraddā

11. Dan tidaklah bermanfaat baginya hartanya apabila ia telah jatuh ke dalam api neraka.

إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ

Inna 'alainā lal-hudā

12. Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk,

وَإِنَّ لَنَا لَلْـَٔاخِرَةَ وَٱلْأُولَىٰ

Wa inna lanā lal-ākhirata wal-ūlā

13. Dan sesungguhnya milik Kami-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.

فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًۭا تَلَظَّىٰ

Fa anżartukum nāran talaẓẓā

14. Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala (Talaẓẓā).

لَا يَصْلَىٰهَآ إِلَّا ٱلْأَشْقَى

Lā yaṣlāhā illal-asyqā

15. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka (Asyqā).

ٱلَّذِى كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ

Allażī każżaba wa tawallā

16. Yaitu orang yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan).

وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلْأَتْقَى

Wa sayujannabuhal-atqā

17. Dan kelak akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa (Atqā).

ٱلَّذِى يُؤْتِى مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ

Allażī yu'tī mālahū yatazakkā

18. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya),

وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰٓ

Wa mā li'aḥadin 'indahū min ni'matin tujzā

19. Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,

إِلَّا ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ ٱلْأَعْلَىٰ

Illab-tighā'a wajhi rabbihil-a'lā

20. Melainkan (dia memberikan itu) semata-mata mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.

وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ

Wa lasaufa yarḍā

21. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.

Tafsir Mendalam dan Analisis Tematik

Pesan inti Surat Al-Lail dapat dipecah menjadi tiga poin utama: penegasan kebenaran melalui sumpah kosmik, perbandingan dua kelompok manusia, dan jaminan konsekuensi abadi.

1. Penegasan Universal melalui Sumpah (Ayat 1-4)

Allah ﷻ memulai surat ini dengan sumpah (Ayat 1-3) yang menarik perhatian pada kontras yang ada di alam semesta. Malam dan siang adalah penanda waktu dan kondisi yang jelas, mewakili siklus kehidupan dan kematian, istirahat dan usaha. Laki-laki dan perempuan mewakili dualitas dalam penciptaan manusia.

Analisis Ayat 3: Dualitas Penciptaan

Frasa وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰٓ (Wa mā khalaqaż-żakara wal-unṡā) telah menjadi subjek tafsir yang kaya. Sebagian besar mufasir, seperti Ibnu Katsir, memandang frasa ini sebagai sumpah yang merujuk kepada Sang Pencipta, yang menciptakan dualitas tersebut. Namun, terlepas dari perbedaan pandangan linguistiknya, pesan yang disampaikannya jelas: keberagaman dan dualitas adalah hukum alam semesta.

Dualitas ini mengarah langsung pada Ayat 4: Inna sa'yakum lasyattā (Sesungguhnya usaha kamu memang berlain-lainan). Karena alam semesta diciptakan dalam dualitas yang seimbang, begitu pula jalan hidup manusia terpecah menjadi jalan yang berlawanan. Ini adalah penegasan bahwa manusia tidak diciptakan untuk memiliki takdir yang seragam; melainkan, hasil akhir mereka ditentukan oleh pilihan dan tindakan (sa'y) yang mereka ambil.

2. Kontras Dua Kelompok Manusia (Ayat 5-10)

Inti etika surat ini terletak pada pemisahan manusia menjadi dua kategori berdasarkan tiga kriteria utama. Bagian ini menjelaskan kontras antara jalan kemudahan (Yusrā) dan jalan kesulitan (Usrā).

Kelompok Pertama: Jalan Yusrā (Kemudahan) (Ayat 5-7)

Kelompok ini ditandai oleh tiga sifat utama:

  1. Memberi (A‘ṭā): Ini bukan sekadar sedekah finansial biasa, tetapi kedermawanan dalam arti luas, mencakup memberi waktu, energi, ilmu, dan harta. Ini menunjukkan pengakuan bahwa harta adalah pinjaman dari Allah.
  2. Bertakwa (Wattaqā): Takwa adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ini adalah pondasi moral yang memastikan bahwa pemberian yang dilakukan didasari oleh motivasi yang murni.
  3. Membenarkan Yang Terbaik (Ṣaddaqa bil-Ḥusnā): Mufasir sepakat bahwa 'Al-Husnā' (Yang Terbaik) merujuk pada beberapa makna: kalimat tauhid (La ilaha illallah), surga, atau janji ganjaran dari Allah. Membenarkan Al-Husnā berarti memiliki keyakinan kokoh terhadap Hari Akhir dan balasan abadi.

Konsekuensi: Fa sanuyassiruhū lil-yusrā (Maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah). Allah menjanjikan kemudahan dalam melaksanakan kebaikan, kemudahan hidup, dan kemudahan saat menghadapi sakaratul maut, serta kemudahan dalam memasuki Surga.

Kelompok Kedua: Jalan Usrā (Kesulitan) (Ayat 8-10)

Kelompok ini melakukan kebalikan dari kelompok pertama:

  1. Kikir (Bakhila): Menahan apa yang seharusnya dikeluarkan, baik itu kewajiban zakat maupun sedekah sunah. Ini menunjukkan keterikatan yang berlebihan pada dunia.
  2. Merasa Cukup (Wastaghnā): Merasa tidak butuh kepada Allah, baik secara materi maupun spiritual. Kesombongan ini adalah inti dari kekafiran, yaitu keyakinan bahwa kesuksesan datang dari dirinya sendiri, bukan dari karunia Tuhan.
  3. Mendustakan Yang Terbaik (Każżaba bil-Ḥusnā): Menolak janji dan pahala dari Allah, termasuk menolak Hari Kebangkitan.

Konsekuensi: Fa sanuyassiruhū lil-'usrā (Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar). Jalannya dipersulit di dunia (hati yang selalu gelisah), dan di akhirat ia akan menghadapi kesulitan yang kekal (Neraka).

3. Tafsir Kontekstual: Asbabun Nuzul dan Kisah Abu Bakar

Meskipun surat ini bersifat universal, banyak mufasir menyebutkan konteks penurunan (Asbabun Nuzul) yang terkait dengan dua individu yang bertolak belakang.

Sisi Positif: Figur Abu Bakar Ash-Shiddiq

Ayat 17-21 sering dikaitkan dengan sahabat besar, Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang kaya raya dan sering membebaskan budak-budak yang disiksa karena keimanan mereka, tanpa mengharapkan balasan apa pun dari para budak tersebut. Ketika ayahnya, Abu Quhafah, bertanya mengapa ia tidak membebaskan budak yang lebih kuat untuk membantunya, Abu Bakar menjawab bahwa ia hanya mencari Wajah Allah Yang Maha Tinggi.

Kisah ini menyoroti poin kunci dalam Ayat 19 dan 20: pemberian yang paling mulia adalah yang dilakukan tanpa mengharapkan balasan jasa atau ucapan terima kasih dari pihak yang menerima. Motivasi murni ini membedakan infak seorang mukmin dari transaksi bisnis duniawi.

Sisi Negatif: Ubay bin Khalaf atau Tokoh Kikir

Sebaliknya, kelompok yang kikir dan sombong (Ayat 8-10) diyakini merujuk pada tokoh-tokoh Quraisy yang menentang Nabi, seperti Ubay bin Khalaf atau Walid bin Mughirah, yang merasa kekayaan mereka sudah cukup untuk menandingi kekuatan Allah.

4. Analisis Mendalam tentang Konsep 'Tazkiyah' (Penyucian Diri) (Ayat 18)

Ayat 18 menyatakan, Allażī yu'tī mālahū yatazakkā (Yang menafkahkan hartanya untuk membersihkan dirinya). Konsep Tazkiyah adalah sentral. Infak dalam Islam bukan hanya transfer kekayaan, melainkan proses penyucian:

  • Penyucian Harta: Zakat dan sedekah membersihkan harta dari hak orang lain yang mungkin melekat padanya.
  • Penyucian Jiwa: Tindakan memberi menghilangkan sifat bakhil (kikir), iri hati, dan keterikatan berlebihan terhadap dunia. Jiwa yang dibersihkan akan siap menerima cahaya ilahi.
  • Fokus Vertikal: Tindakan infak yang sejati (seperti yang dilakukan Abu Bakar) fokus pada tujuan vertikal: mencari keridaan Allah (Ibtighā'a Wajhi Rabbihil-A‘lā), bukan balasan horizontal (dari manusia).

Ilustrasi Pemberian dan Kebaikan Harta A'tā (Memberi) Mencari Keridaan Allah

Alt Text: Ilustrasi tangan yang memberi koin emas dan tangan yang menerima. Melambangkan kedermawanan dan infak yang murni (A'ta) sebagai jalan menuju kemudahan.

5. Konsekuensi Kekal: Talaẓẓā, Asyqā, dan Atqā (Ayat 14-21)

Ayat-ayat penutup Surat Al-Lail memberikan peringatan keras dan janji agung. Allah ﷻ bersumpah dengan kekuasaan-Nya atas dunia dan akhirat (Ayat 12-13) untuk memastikan keadilan yang absolut.

Neraka Talaẓẓā dan Orang yang Paling Celaka (Asyqā)

Neraka disebut Nāran Talaẓẓā, yaitu api yang menyala-nyala dengan hebat (Ayat 14). Yang ditekankan oleh Al-Qur'an adalah bahwa neraka ini hanya dihuni oleh Al-Asyqā (orang yang paling celaka/sengsara). Siapakah mereka?

Ayat 16 mendefinisikan Asyqā sebagai: Orang yang mendustakan dan berpaling. Kecelakaan bukanlah karena kesalahan kecil, melainkan karena kombinasi dua dosa besar:

  1. Dusta (Każżaba): Penolakan secara kognitif terhadap kebenaran yang dibawa oleh wahyu.
  2. Berpaling (Tawallā): Penolakan secara praktis, enggan mengikuti perintah, yang mencakup keengganan untuk memberi dan bertakwa.
Kekayaan tidak akan menyelamatkan mereka (Ayat 11). Harta yang mereka kumpulkan dengan kikir, dan yang mereka banggakan, akan sia-sia saat mereka "terjatuh" (Taraddā) ke dalam api.

Jalan Kemenangan: Orang yang Paling Bertakwa (Atqā)

Di sisi lain, Al-Atqā (orang yang paling bertakwa) akan dijauhkan dari api neraka. Perhatikan bahwa di sini digunakan bentuk superlatif ('paling'), menunjukkan bahwa yang dijamin masuk surga tanpa hisab adalah mereka yang mencapai tingkat takwa tertinggi, yaitu mereka yang memberi dengan niat murni.

Klimaks surat ini adalah janji: Wa lasaufa yarḍā (Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan). Kepuasan ini meliputi:

  • Kepuasan atas amalannya diterima.
  • Kepuasan atas balasan di Surga.
  • Kepuasan terbesar (keridaan Allah) yang melebihi segala nikmat dunia.

Pelajaran Filosofis dan Implementasi Surat Al-Lail

Surat Al-Lail, meskipun singkat, berfungsi sebagai manual ringkas mengenai ekonomi moral dan takdir manusia. Pelajarannya melampaui sekadar anjuran untuk bersedekah; ia menyentuh psikologi motivasi dan konsekuensi jangka panjang dari setiap pilihan.

1. Kejelasan Pilihan (Najda)

Surat ini memberikan kejelasan mutlak mengenai dua jalur (disebut Najda dalam Surah Al-Balad, dua jalan yang curam). Tidak ada jalan tengah. Setiap tindakan, besar atau kecil, membawa kita lebih dekat kepada Yusrā (kemudahan) atau Usrā (kesulitan). Kehidupan adalah arena ujian di mana setiap individu terus menerus memilih jalannya.

2. Kritik terhadap Materialisme dan Kesombongan

Ayat 8-10 secara khusus mengkritik mentalitas materialistis yang merasa dirinya kaya dan tidak membutuhkan Tuhannya (wastaghnā). Di masa Makkiyah, masyarakat Quraisy sangat bangga dengan kekayaan dan silsilah mereka. Al-Qur'an menegaskan bahwa kekayaan tersebut justru menjadi penghalang spiritual jika digunakan sebagai alasan untuk kikir dan menolak kebenaran. Kekayaan, dalam pandangan Al-Lail, harus menjadi alat untuk tazkiyah (pemurnian).

3. Hubungan antara Infak dan Takwa

Surat ini menempatkan 'memberi' (a‘ṭā) dan 'bertakwa' (wattaqā) sebagai satu kesatuan. Infak yang diterima di sisi Allah harus berakar pada ketakwaan. Jika seseorang memberi tetapi tidak bertakwa (misalnya, memberi karena riya atau untuk kepentingan politik), ia tidak termasuk dalam kelompok Yusrā. Sebaliknya, orang yang bertakwa pasti memiliki kecenderungan untuk memberi, karena ia membenarkan adanya pahala abadi (Al-Husna).

4. Nilai Keikhlasan Murni (Ibtighā'a Wajh)

Puncak dari ajaran moral surat ini adalah penekanan pada ikhlas. Seorang Al-Atqā adalah orang yang memberi tanpa ada niat membalas budi atau mencari pujian. Infak yang paling tinggi adalah yang dilakukan semata-mata mencari keridaan Wajah Allah (Illab-tighā'a Wajhi Rabbihil-A‘lā). Kriteria keikhlasan ini menjadi pemisah utama antara amal kebaikan yang diterima dan yang ditolak di Hari Kiamat.

Ini mengajarkan bahwa motivasi internal jauh lebih penting daripada jumlah harta yang diberikan. Bahkan sumbangan kecil yang dilakukan dengan ikhlas murni bernilai lebih besar daripada sumbangan besar yang didasari riya atau kepentingan duniawi.

5. Tafsir Kontemporer: Ekonomi dan Sosial

Dalam konteks sosial modern, Surat Al-Lail relevan sebagai landasan etika ekonomi Islam. Sistem ekonomi yang ideal adalah yang mendorong a‘ṭā dan tazkiyah, menolak akumulasi kekayaan yang kikir (bakhila) dan kesombongan yang mengarah pada eksploitasi (istaghnā).

Apabila suatu masyarakat dipenuhi oleh individu-individu yang mengejar Yusrā, maka akan tercipta keseimbangan sosial yang adil dan saling mendukung, di mana kebutuhan dasar terpenuhi bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran spiritual akan janji Al-Husna.

Sebaliknya, masyarakat yang didominasi oleh semangat Usrā—ditandai dengan ketamakan, penimbunan harta, dan penolakan tanggung jawab sosial—akan menghadapi kesulitan, ketidakadilan, dan konflik sosial yang merupakan manifestasi dari kesulitan (Usrā) di tingkat kolektif, sebagaimana dijanjikan oleh Allah.

6. Relasi Intertekstual dengan Surah Lain

Surat Al-Lail sangat berkaitan erat dengan surah-surah Makkiyah yang mendahului atau mengikutinya, terutama yang fokus pada etika dan akhirat:

  • Surah Ad-Duha (93): Juga dibuka dengan sumpah demi waktu (siang dan malam). Ad-Duha memberikan penghiburan kepada Nabi, sementara Al-Lail memberikan prinsip etika universal kepada umatnya, keduanya membahas bagaimana cahaya datang setelah kegelapan.
  • Surah Al-Balad (90): Surat ini menyebutkan An-Najdain (dua jalan yang curam). Al-Lail adalah penjelasan detail dari dua jalan tersebut: jalan A‘ṭā/Taqwā adalah jalan yang curam menuju keselamatan, sedangkan jalan Bakhila/Istaghnā adalah jalan curam menuju kehancuran.

Keseimbangan ini menegaskan bahwa wahyu Al-Qur'an adalah sistem etika yang kohesif. Pelajaran tentang dualitas alam semesta dalam Al-Lail (siang/malam, laki-laki/perempuan) mempersiapkan pendengar untuk menerima dualitas moral yang tak terhindarkan: kemudahan atau kesulitan.

Elaborasi Tafsir Mufasir Klasik terhadap Ayat Kunci

1. Tafsir Al-Qurthubi dan Makna 'Al-Husna'

Imam Al-Qurthubi, dalam tafsirnya, memberikan perhatian khusus pada makna Al-Husna (yang terbaik) dalam Ayat 6 dan 9. Ia merangkum beberapa pandangan:

  1. Tauhid: Al-Husna adalah kalimat La ilaha illallah, yang merupakan inti dari iman.
  2. Jannah (Surga): Al-Husna adalah janji balasan terbaik, yaitu surga itu sendiri.
  3. Kebaikan/Kebenaran: Al-Husna adalah pembenaran atas semua yang baik, janji Allah, dan pahala.

Al-Qurthubi menyimpulkan bahwa membenarkan Al-Husna berarti meyakini bahwa amal saleh akan dibalas dengan balasan yang mulia. Orang yang memberi (A'ta) melakukannya karena keyakinan ini; orang yang kikir (Bakhila) mendustakannya, percaya bahwa memberi adalah kerugian finansial semata.

2. Tafsir At-Thabari tentang 'Yassiruhu' (Memudahkan)

Imam At-Thabari menjelaskan makna Fa sanuyassiruhū lil-yusrā (Kami akan siapkan baginya jalan yang mudah) dan Fa sanuyassiruhū lil-'usrā (Kami akan siapkan baginya jalan yang sukar).

Bagi kelompok Yusrā, 'kemudahan' yang diberikan Allah bukan hanya fasilitas eksternal, tetapi juga kemudahan internal: Allah membimbing hati mereka, menjadikan amal kebaikan terasa ringan, dan menjauhkan mereka dari godaan. Mereka menemukan ketenangan dalam ketaatan.

Sebaliknya, bagi kelompok Usrā, 'kesulitan' mencakup pengerasan hati, rasa keberatan yang terus-menerus terhadap kebaikan, dan kesulitan dalam menjalani kehidupan yang dipenuhi ambisi duniawi tanpa ketenangan spiritual. Kesulitan ini adalah hasil dari pilihan mereka sendiri yang menolak bimbingan Tuhan.

3. Tafsir Ibnu Katsir dan Penjelasan 'Taraddā'

Ibnu Katsir menekankan kebatilan anggapan bahwa kekayaan dapat menyelamatkan seseorang. Mengenai Ayat 11, Wa mā yugnī 'an-hu māluhū iżā taraddā, frasa iżā taraddā memiliki interpretasi yang mengerikan. Secara harfiah berarti 'ketika ia jatuh'.

Ibnu Katsir menafsirkan 'jatuh' sebagai:

  • Jatuh ke Neraka: Ketika ia dilemparkan ke dalam api, hartanya sama sekali tidak dapat menahannya.
  • Jatuh ke Kematian: Ketika ruhnya sampai di tenggorokan, hartanya tidak dapat menunda kematiannya, apalagi membelikannya tempat di Surga.
Penafsiran ini adalah pukulan telak bagi mentalitas yang mengandalkan kekayaan sebagai sumber kekuatan dan keamanan abadi.

Kesimpulan dan Peringatan Moral

Surat Al-Lail menyajikan salah satu perbandingan moral yang paling tegas dalam Al-Qur'an. Ini bukan hanya cerita tentang akhirat, tetapi petunjuk praktis untuk mengarungi kehidupan dunia.

Bagi yang ingin meraih Yusrā (kemudahan), resepnya sederhana namun mendalam: kedermawanan (A‘ṭā) harus dibingkai oleh kesadaran spiritual (Taqwā), yang didorong oleh keyakinan pada janji ilahi (Ṣaddaqa bil-Ḥusnā). Ini adalah jalan pembersihan diri (Yatazakkā) yang menghasilkan keridaan abadi (Yarḍā).

Sebaliknya, jalan menuju Usrā (kesulitan) adalah penolakan terhadap kebenaran (Każżaba) yang dimanifestasikan dalam kebakhilan (Bakhila) dan kesombongan spiritual (Istaghnā). Konsekuensinya adalah api yang menyala-nyala, di mana harta yang dikumpulkan dengan susah payah tidak memiliki nilai sedikit pun.

Surat Al-Lail mengingatkan kita bahwa takdir kita dibentuk oleh tangan kita sendiri melalui pilihan yang kita buat setiap hari, terutama dalam hal bagaimana kita mengelola harta dan memenuhi kewajiban spiritual kita. Kemudahan atau kesulitan di dunia dan akhirat adalah hasil logis dari 'sa'y' (usaha) yang kita kerahkan.

Penjabaran Detail Motivasi Amal dan Konsekuensi

Untuk memahami sepenuhnya pesan Al-Lail, kita perlu mendalami psikologi di balik tindakan memberi dan menahan. Surat ini mengajarkan bahwa motivasi adalah segalanya.

1. Kedermawanan sebagai Investasi Vertikal

Ayat 19 dan 20 adalah inti dari teologi infak. Kedermawanan yang sejati, yang layak mendapatkan gelar Al-Atqā, adalah pemberian yang tidak terikat oleh utang sosial. Ini bukan "jual-beli" kebaikan antar manusia, melainkan "investasi" langsung kepada Tuhan.

Wa mā li'aḥadin 'indahū min ni'matin tujzā (Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya). Kalimat ini menegaskan bahwa orang yang bertakwa tidak mencari kesempatan untuk membalas budi. Pemberiannya murni proaktif, bukan reaktif. Tujuan mereka hanya satu: mencari Wajah Allah. Ini adalah tingkat keikhlasan tertinggi.

Jika seseorang memberi kepada orang yang pernah berbuat baik padanya, itu adalah balasan. Meskipun baik, tingkat pahalanya berbeda dengan memberi kepada orang yang tidak memiliki hubungan atau jasa apa pun padanya, hanya karena ingin menyenangkan Allah.

2. Peran 'Istaghnā' (Merasa Cukup) dalam Kerusakan Spiritual

Lawan dari A‘ṭā dan Taqwā bukanlah sekadar kemiskinan, melainkan Bakhila dan Istaghnā. Istaghnā (merasa cukup) adalah penyakit hati yang parah. Ini adalah keyakinan bahwa sumber daya dan kesuksesan yang dimiliki berasal sepenuhnya dari keahlian atau usaha sendiri, menafikan peran ilahi.

Mufasir modern sering mengaitkan Istaghnā dengan:
1. Otonomi Mutlak: Kepercayaan bahwa manusia adalah otonomi penuh dan tidak tunduk pada kekuatan metafisik.
2. Kesesatan Etika: Karena merasa tidak membutuhkan Tuhan, ia tidak merasa perlu mengikuti etika dan tanggung jawab sosial yang ditetapkan oleh wahyu.
3. Penolakan Akibat: Jika ia merasa sukses adalah hasil kerja kerasnya, maka kegagalan orang lain dianggap sebagai akibat kemalasan mereka, menghilangkan rasa empati dan kewajiban untuk memberi.

Oleh karena itu, Allah menjanjikan kesulitan bagi mereka, karena mereka telah memilih jalan yang memutuskan hubungan mereka dengan Sang Sumber Kemudahan.

3. Jalan yang Dijamin: Petunjuk dan Kepemilikan (Ayat 12-13)

Ayat 12 dan 13 berfungsi sebagai penutup klaim kikir dan sombong. Ketika orang kikir bertanya, "Mengapa saya harus memberi?" Jawabannya terletak pada kekuasaan Allah yang mutlak:

Inna 'alainā lal-hudā (Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk). Allah telah mengirimkan petunjuk (wahyu) untuk menjelaskan dua jalan tersebut. Tidak ada alasan bagi manusia untuk tersesat.

Wa inna lanā lal-ākhirata wal-ūlā (Dan sesungguhnya milik Kami-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia). Peringatan ini menegaskan bahwa kepemilikan mutlak adalah milik Allah. Orang yang kikir lupa bahwa harta yang ia genggam adalah milik sementara di dunia yang juga dimiliki Allah. Jika Allah menguasai keduanya, Dia berhak meminta pertanggungjawaban atas bagaimana harta itu digunakan.

Penyebutan kepemilikan dunia dan akhirat di sini secara strategis diletakkan setelah peringatan tentang harta. Ini adalah cara Al-Qur'an untuk meralat pandangan materialistik bahwa kekayaan duniawi adalah aset abadi atau jaminan keselamatan.

4. Derajat Kebaikan dan Kecepatan Amal

Ayat 7: Fa sanuyassiruhū lil-yusrā menggunakan bentuk future tense yang menekankan kesinambungan. Allah akan terus memfasilitasi jalan kemudahan bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa ketaatan menciptakan momentum. Ketika seseorang memilih untuk memberi dan bertakwa, Allah membuka pintu ketaatan berikutnya. Kebaikan melahirkan kebaikan. Proses ini dikenal sebagai tawfiq (bantuan ilahi).

Sebaliknya, bagi orang yang kikir, setiap tindakan ketaatan terasa berat, hati mereka tertutup, dan mereka mendapati diri mereka semakin sulit melakukan hal yang benar. Keburukan melahirkan keburukan lain, yang merupakan manifestasi dari lil-'usrā (kesulitan).

5. Tafsir Linguistik: Implikasi Pilihan Kata

Pilihan kata dalam Surat Al-Lail sangat tepat:

  • Ghasya (يَغْشَىٰ): Digunakan untuk malam, artinya menutupi atau menyelimuti. Ini menunjukkan sifat malam yang menyembunyikan dan memberikan ketenangan serta misteri.
  • Tajallā (تَجَلَّىٰ): Digunakan untuk siang, artinya menampakkan diri atau menjadi jelas. Ini menunjukkan kejelasan dan transparansi. Kontras ini mencerminkan kejelasan janji dan ancaman ilahi.
  • Yatazakkā (يَتَزَكَّىٰ): Bukan hanya 'memberi zakat', tetapi proses 'membersihkan diri'. Kata ini menunjukkan bahwa pemberi Al-Atqā sadar bahwa tujuan pemberian adalah pemurnian pribadinya, bukan hanya bantuan eksternal.

Penutup: Janji Kepuasan Abadi (Yarḍā)

Surat Al-Lail ditutup dengan janji tertinggi bagi Al-Atqā: Wa lasaufa yarḍā (Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan). Kata ini melampaui kebahagiaan. Ar-Riḍā (keridaan/kepuasan) adalah kondisi tertinggi di Surga, di mana seorang hamba tidak hanya senang dengan nikmat yang ia terima, tetapi juga merasa sepenuhnya puas dan tenang dengan takdirnya dan hubungannya dengan Sang Pencipta. Ini adalah puncak dari Yusrā.

Surat ini mengajarkan bahwa kepuasan sejati tidak ditemukan dalam akumulasi kekayaan (Istaghnā), tetapi dalam pembersihan jiwa (Tazkiyah) melalui tindakan yang ikhlas dan bertakwa. Dengan memilih jalan memberi di dunia, seorang mukmin menjamin kepuasan abadi di Akhirat.

🏠 Homepage