Pertanyaan mengenai jumlah ayat dalam setiap surat Al-Qur'an merupakan hal mendasar dalam studi Al-Qur'an. Mengenai surat yang mulia ini, para ulama Qira’at dan ahli hitungan ayat (‘Ilm Al-‘Adad) telah mencapai kesepakatan yang bulat. Surat Al-Lail terdiri dari:
Penghitungan ini didasarkan pada metode penghitungan Kufah, yang merupakan standar yang digunakan dalam Mushaf Utsmani modern yang tersebar luas di seluruh dunia Islam. Jumlah 21 ayat ini mencerminkan struktur naratif yang ringkas namun padat, membagi pesan utama menjadi beberapa sumpah, pernyataan, dan penegasan takdir abadi.
Al-Lail terletak di juz ke-30, bagian akhir Al-Qur'an (Juz 'Amma), tepat setelah Surat Asy-Syams (Matahari) dan sebelum Surat Adh-Dhuha (Waktu Dhuha). Ketiga surat ini seringkali dipelajari bersama karena memiliki korelasi tematik yang kuat, khususnya dalam penggunaan sumpah-sumpah kosmis untuk menegaskan kebenaran spiritual.
Surat ini termasuk kelompok Al-Mufassal, yakni surat-surat pendek yang diturunkan di Mekkah pada masa awal kenabian. Dilihat dari konteks nuzulnya, Al-Lail diperkirakan diturunkan setelah Surat Al-A’laa dan sebelum Surat Al-Fajr. Periode ini adalah periode dakwah yang penuh tekanan, di mana Nabi Muhammad ﷺ berusaha menanamkan nilai-nilai tauhid dan moralitas di tengah masyarakat Mekkah yang kental dengan materialisme dan penyembahan berhala.
Memahami jumlah 21 ayat menjadi krusial ketika kita melihat bagaimana surat ini membangun argumennya secara bertahap. Surat Al-Lail dapat dibagi menjadi tiga segmen utama: Sumpah Kosmis dan Proklamasi Dualitas (Ayat 1-4), Klarifikasi Jalan Hidup (Ayat 5-11), dan Penegasan Takdir Abadi (Ayat 12-21).
Surat ini dibuka dengan tiga sumpah kosmis yang kuat, menandai pentingnya pesan yang akan disampaikan. Ayat-ayat ini mengaitkan ciptaan alam semesta—malam, siang, dan pencipta manusia—dengan dualitas perbuatan manusia.
Analisis Linguistik dan Spiritual: Sumpah pertama demi malam (Al-Lail) yang menutupi adalah gambaran kekuasaan yang mutlak dan misteri yang meliputi. Malam adalah waktu istirahat dan introspeksi. Sumpah kedua demi siang (An-Nahar) yang terang benderang adalah waktu aktivitas dan manifestasi yang jelas. Dualitas Malam dan Siang ini merujuk pada dualitas yang ada di bumi: kontras antara kegelapan dan cahaya, antara kebatilan dan kebenaran.
Sumpah ketiga, demi penciptaan laki-laki dan perempuan (Az-Zakari wal Untsa), menegaskan bahwa dualitas tidak hanya ada di alam semesta, tetapi juga pada esensi penciptaan manusia itu sendiri. Ini bukan hanya dualitas fisik, tetapi juga spiritual; sejak lahir, manusia dihadapkan pada dua pilihan, dua jalan.
Ayat ke-4, إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ (Sesungguhnya usaha kamu benar-benar berlainan), adalah jawaban atas sumpah-sumpah tersebut. Ini adalah proklamasi teologis. Meskipun manusia diciptakan dari satu sumber (Nafs Wahidah), usaha (Sa’y) dan tujuan mereka berbeda-beda. Ini menetapkan premis utama surat: semua tindakan manusia, betapapun kecilnya, jatuh ke dalam salah satu dari dua kategori yang saling bertentangan—kebaikan menuju surga, atau keburukan menuju neraka.
Bagian ini menguraikan dua jenis manusia berdasarkan respons mereka terhadap bimbingan ilahi. Ini adalah inti narasi surat yang memperluas kontras yang sudah diperkenalkan.
Tafsir: Ayat 5, 6, dan 7 menjelaskan ciri-ciri orang yang memilih jalan kebenaran (Yusra). Mereka dicirikan oleh tiga hal: Memberi (A’ṭā), Bertakwa (Ittaqā), dan Membenarkan Al-Husna (Aṣdaqā bil Ḥusnā). Al-Husna secara umum ditafsirkan sebagai “balasan yang terbaik” yaitu Surga, atau dapat juga merujuk pada kalimat tauhid (Lā ilāha illallāh). Orang ini adalah prototipe orang dermawan yang mencari keridaan Allah semata. Allah menjanjikan kemudahan (Yusrā) bagi mereka. Ibn Kathir menjelaskan bahwa “kemudahan” di sini berarti kemudahan dalam menjalani hidup, menjalankan ibadah, dan kelak kemudahan dalam menghadapi hisab.
Tafsir: Sebaliknya, kelompok kedua dicirikan oleh Kekikiran (Bakhila), Merasa Cukup (Istaghnā) dari Allah, dan Mendustakan Al-Husna (Kadzdhaba bil Ḥusnā). Orang ini adalah prototipe materialis yang percaya bahwa kekayaan dan kekuatan pribadinya adalah segalanya, menolak kebenaran wahyu dan akhirat. Sebagai balasan, Allah menjanjikan kesukaran (Usrā) bagi mereka—kesulitan dalam hidup, kekerasan hati, dan kesulitan dalam hisab.
Ayat ke-11 memberikan pukulan telak: harta yang mereka kumpulkan tidak akan berguna ketika mereka binasa (Tāraddā). Para mufasir menafsirkan *Tāraddā* sebagai kejatuhan ke dalam api neraka. Intinya, fondasi materialis yang mereka bangun akan hancur total pada hari perhitungan.
Bagian terakhir dari 21 ayat ini mengalihkan fokus dari tindakan manusia kepada kekuasaan Allah dan jaminan akhirat, menutup surat dengan janji keselamatan bagi yang paling bertakwa (Al-Atqa).
Inti Ayat 12-13: Allah menegaskan kekuasaan mutlak-Nya: bimbingan (Al-Huda) adalah kewajiban-Nya, dan kepemilikan dunia dan akhirat adalah milik-Nya. Ini mengakhiri ilusi orang kikir yang merasa dirinya mandiri (Istaghna) dari Allah. Karena Allah pemilik segalanya, kikir adalah tindakan bodoh.
Inti Ayat 14-16: Peringatan neraka yang menyala-nyala (Nāran Talaẓẓā). Hanya orang yang paling celaka (Al-Ashqā) yang akan memasukinya. Al-Ashqā didefinisikan secara eksplisit sebagai orang yang mendustakan dan berpaling—yaitu, orang yang memiliki kekikiran spiritual dan material.
Inti Ayat 17-21: Kontras terakhir dan janji kebahagiaan. Orang yang paling bertakwa (Al-Atqā) akan dijauhkan dari neraka. Ayat 18-20 mendefinisikan Al-Atqā sebagai seseorang yang berderma bukan karena ingin membalas budi atau mencari imbalan duniawi, tetapi semata-mata mencari wajah Tuhannya (Ibtighā’a Wajhi Rabbihi Al-A’lā). Ayat ke-21 menutup dengan janji kepuasan (Yarḍā), kepuasan yang abadi dan tak terhingga di sisi Allah.
Surat Al-Lail sering dikaitkan dengan sebuah kisah yang melibatkan dua tokoh, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq (sebagai prototipe Al-Atqā) dan seorang tokoh Quraisy yang kikir, sering disebut sebagai Umayyah bin Khalaf atau salah satu penentang utama Islam di Mekkah (sebagai prototipe Al-Ashqā). Meskipun konteks nuzul (Asbabun Nuzul) bersifat umum—mengenai dualitas perilaku manusia—kisah Abu Bakar memberikan contoh nyata dari kedermawanan yang murni.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa ayat-ayat 5-7 dan 8-10 diturunkan mengenai perbedaan antara Abu Bakar yang membebaskan budak-budak Muslim yang disiksa tanpa mengharapkan imbalan, dan seorang musyrik yang kikir. Tindakan Abu Bakar adalah manifestasi sempurna dari ‘memberi karena takwa’ dan membenarkan Al-Husna.
Struktur yang terdiri dari 21 ayat ini dirancang secara retoris untuk mencapai klimaks. Surat ini menggunakan sumpah untuk membangun ketegangan, memberikan definisi yang jelas tentang dua jalur yang berlawanan (masing-masing 3 ayat: 5-7 dan 8-10), dan kemudian menyimpulkan dengan pernyataan kekuasaan ilahi dan janji abadi (12-21).
Jumlah yang ganjil (21) seringkali membawa nuansa kesempurnaan dan penutup yang definitif. Dalam konteks ini, 21 ayat secara total memastikan bahwa pesan tentang keutamaan kedermawanan spiritual dan kehinaan kekikiran disampaikan secara lengkap dan tidak terbatalkan.
Inti dari 21 ayat Surat Al-Lail adalah peperangan abadi antara memberi (Āṭā) dan menahan (Bakhila). Namun, surat ini tidak hanya berbicara tentang uang; ia berbicara tentang kekikiran spiritual dan kedermawanan hati. Seseorang yang kikir secara materi juga cenderung kikir secara spiritual, menahan diri dari ketaatan kepada Allah karena merasa dirinya telah cukup dengan usahanya sendiri.
Dalam ayat 18, kedermawanan Al-Atqā (orang paling bertakwa) digambarkan dengan kata Yatazakkā (membersihkan dirinya). Ini menunjukkan bahwa memberi harta di jalan Allah bukanlah sekadar transfer moneter, tetapi sebuah proses penyucian diri yang mendalam.
Pembersihan Kekayaan: Zakat dan infak membersihkan harta dari hak orang lain. Pembersihan Jiwa: Tindakan memberi, terutama tanpa mengharapkan balasan (Ayat 19), membersihkan jiwa dari penyakit riya’ (pamer), hubbud dunya (cinta dunia), dan kekikiran. Kedermawanan sejati adalah investasi akhirat, menempatkan wajah Allah di atas segala motif duniawi.
Kekuatan 21 ayat ini terletak pada penekanan bahwa amal yang diterima adalah amal yang murni, yang tidak terikat oleh utang budi atau balas jasa duniawi. Ayat 19 secara spesifik menyingkirkan semua motif sekunder:
“Padahal tidak ada seorang pun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya.”
Ini adalah definisi tertinggi dari Ikhlas (ketulusan), menjadikan kedermawanan Abu Bakar (dan semua orang bertakwa sepertinya) sebagai tolok ukur spiritual abadi. Kedermawanan semacam ini menjamin jalan kemudahan (Yusrā).
Di sisi lain, Al-Ashqā (orang paling celaka) dicirikan dengan kekikiran (Bakhila) dan merasa cukup (Istaghna). Istighnā di sini berarti merasa kaya dan mandiri dari kebutuhan akan Allah dan petunjuk-Nya. Ini adalah dosa keangkuhan yang fundamental.
Seseorang yang merasa dirinya tidak membutuhkan Allah akan otomatis mendustakan Al-Husna (akhirat), karena ia meyakini bahwa segala kebutuhannya dipenuhi oleh harta dan kekuatannya di dunia ini. Konsekuensinya adalah Kesukaran (Usrā). Kesukaran bukan hanya berarti kesulitan hidup, tetapi terutama kekakuan hati dan sulitnya menerima kebenaran. Jalan menuju kebatilan menjadi mudah baginya karena hatinya telah memilih jalur tersebut, sesuai janji Allah: فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ (maka Kami akan memudahkan baginya jalan kesukaran).
Ini adalah manifestasi dari keadilan ilahi: bagi yang memilih kebenaran, Allah mudahkan jalannya; bagi yang memilih kebatilan, Allah membiarkan mereka dalam pilihan sulit mereka, yang pada akhirnya membawa mereka pada kebinasaan (Tāraddā) di Neraka.
Untuk memahami kedalaman 21 ayat Al-Lail, penting untuk meninjau posisinya dalam rangkaian surat pendek Juz ‘Amma. Tiga surat berturut-turut—Asy-Syams, Al-Lail, dan Adh-Dhuha—memiliki keterkaitan tema yang sangat erat, membentuk satu kesatuan spiritual.
Asy-Syams dimulai dengan sebelas sumpah kosmis (Matahari, bulan, siang, malam, langit, bumi, dan jiwa). Surat ini mencapai klimaksnya dengan menyatakan dualitas yang ditanamkan dalam jiwa manusia:
“Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.” (Asy-Syams: 8)
Asy-Syams menetapkan premis: jiwa memiliki potensi untuk takwa atau keburukan. Al-Lail, yang terdiri dari 21 ayat, kemudian mengambil premis ini dan mengaplikasikannya, menjelaskan bagaimana pilihan antara takwa (memberi) dan keburukan (kikir) akan menentukan takdir abadi.
Al-Lail berfokus pada hasil dari pilihan jiwa tersebut. Jika Asy-Syams berbicara tentang potensi internal, Al-Lail berbicara tentang manifestasi eksternal (usaha/sa’y) dan konsekuensinya (Yusrā atau Usrā). Al-Lail mengkhususkan pembahasan pada amalan spesifik: kedermawanan yang tulus sebagai tanda takwa tertinggi.
Setelah membahas konsekuensi akhir (Surga dan Neraka), Adh-Dhuha datang untuk memberikan jaminan dan penghiburan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umat mukminin. Adh-Dhuha menggunakan sumpah yang lebih lembut (demi waktu Dhuha dan Malam) dan berfokus pada kasih sayang dan janji Allah, menyeimbangkan ketegasan peringatan dalam Al-Lail dengan janji bantuan ilahi.
Ketiga surat ini bekerja secara sinergis: Asy-Syams (Jiwa dan Pilihan), Al-Lail (Perbuatan dan Konsekuensi), Adh-Dhuha (Rahmat dan Jaminan). Jumlah 21 ayat dalam Al-Lail berfungsi sebagai jembatan yang kuat dan definitif antara konsep spiritualitas internal dan takdir abadi.
21 ayat Al-Lail tidak hanya memberikan peringatan, tetapi juga memberikan cetak biru untuk mencapai tingkat tertinggi ketakwaan, yaitu Al-Atqa (orang yang paling bertakwa). Keutamaan ini dicapai melalui pemahaman bahwa memberi adalah manifestasi tauhid, bukan transaksi sosial.
Ayat 19 dan 20 adalah ayat kunci yang mendefinisikan kualifikasi Al-Atqā:
“Padahal tidak ada seorang pun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, melainkan (dia memberikan itu) semata-mata mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.”
Para ulama, termasuk Imam Fakhruddin Ar-Razi, menekankan bahwa Ikhlas adalah elemen pembeda terbesar. Orang yang memberi karena pamrih duniawi—entah itu pujian, balasan di kemudian hari dari penerima, atau reputasi—mereka tidak mencapai derajat Al-Atqā. Kedermawanan sejati adalah murni vertikal (hubungan dengan Allah), bebas dari pertimbangan horizontal (hubungan dengan manusia).
Kisah Abu Bakar yang membebaskan budak Bilal bin Rabah tanpa diminta, dan tanpa tujuan politik atau sosial, adalah contoh ideal dari “pemberian yang tidak ada budi yang harus dibalas,” menegaskan bahwa 21 ayat ini memberikan kriteria yang sangat tinggi untuk penerimaan amal.
Ayat ke-21, ayat penutup, memberikan puncak janji: وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ (Dan kelak dia benar-benar akan puas). Kepuasan di sini bersifat mutlak dan permanen. Ini melampaui sekadar kenikmatan fisik Surga.
Para mufasir menjelaskan bahwa kepuasan ini mencakup tiga dimensi:
Kontrasnya sangat tajam: Orang kikir binasa (Tāraddā) tanpa manfaat dari harta mereka, sedangkan orang bertakwa mencapai kepuasan abadi (Yarḍā) karena harta mereka telah menjadi sarana penyucian diri.
Struktur 21 ayat Surat Al-Lail telah menjadi subjek analisis mendalam oleh para mufasir sepanjang sejarah. Penafsiran mereka memperluas pemahaman kita tentang bagaimana dualitas ini bekerja dalam kehidupan sehari-hari.
Imam Ibn Katsir, dalam tafsirnya, memperkuat bahwa Al-Husna (balasan terbaik) yang disebutkan dalam ayat 6 dan 9 merujuk pada keyakinan terhadap Surga, Kebaikan, atau bahkan kalimat tauhid itu sendiri. Bagi yang membenarkan Al-Husna, ia akan mendapati bahwa Allah akan memudahkan baginya untuk beramal saleh (Yusrā). Sebaliknya, mendustakannya (Kadzdhaba bil Ḥusnā) adalah akar dari kekikiran dan keangkuhan.
Ibn Katsir menjelaskan, janji kemudahan (Yusrā) dan kesukaran (Usrā) adalah konsekuensi logis dari pilihan hati. Ketika seseorang memilih jalan takwa, Allah secara ilahiah melembutkan hati dan memudahkan langkahnya. Ketika seseorang memilih jalan kekikiran, Allah membiarkannya tenggelam dalam kesulitan dan kekerasan hati, karena ia telah memilih itu.
Imam At-Thabari sangat fokus pada Ayat 12: إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ (Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk). At-Thabari menafsirkan bahwa meskipun Allah telah menciptakan semua jalan dan menunjukkan jalan yang benar (Hidayat Al-Bayan), kewajiban Allah adalah menjamin bahwa setiap manusia yang mencari petunjuk akan menemukannya. Namun, ini tidak menghilangkan pilihan bebas manusia. Sebaliknya, hal ini menegaskan bahwa sumber hidayah hanya dari Allah, sehingga upaya mencari hidayah harus diarahkan sepenuhnya kepada-Nya.
Ayat 13 (kepemilikan akhirat dan dunia) berfungsi sebagai penutup sempurna terhadap kekeliruan materialis. Jika Allah adalah pemilik mutlak segala yang ada, maka menahan harta dari jalan-Nya sama saja dengan menentang pemilik harta yang sesungguhnya. Orang kikir menimbun ilusi kekayaan.
Imam Al-Qurtubi memberikan penekanan khusus pada kata وَاسْتَغْنَىٰ (dan merasa dirinya cukup) dalam Ayat 8. Baginya, ini adalah poin krusial yang membedakan Al-Ashqā. Istighnā berarti merasa diri tidak memerlukan Rahmat, karunia, dan bantuan Allah. Ini adalah pintu gerbang menuju kekafiran.
Al-Qurtubi berpendapat bahwa kekikiran (Bakhila) adalah manifestasi luar, sedangkan Istighnā adalah penyakit hati yang lebih dalam. Orang yang merasa dirinya cukup akan menolak segala bentuk pengorbanan, karena ia menganggap pengorbanan adalah kerugian, bukan investasi. Oleh karena itu, ia akan mendustakan akhirat yang merupakan balasan atas pengorbanan tersebut.
Pesan dari 21 ayat ini bersifat universal dan relevan di setiap zaman. Surat ini mengajarkan umat Islam untuk mengevaluasi kembali motivasi di balik kedermawanan mereka dan bahaya yang mengintai di balik sifat merasa puas diri.
Surat Al-Lail mengubah perspektif tentang harta. Harta bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai penyucian diri (Yatazakkā) dan wajah Allah (Wajhi Rabbihi Al-A’lā). Setiap tindakan memberi yang dilakukan tanpa mengharapkan balas budi adalah transaksi langsung dengan Allah. Ini adalah prinsip Tijāratun lan tabūr (perniagaan yang tidak akan merugi).
Dalam ekonomi modern, godaan untuk Istighnā (merasa cukup) sangat kuat, di mana kesuksesan sering diukur semata-mata oleh akumulasi kekayaan. Al-Lail mengingatkan bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan hati, dan bahwa harta yang ditahan dari jalan Allah adalah beban yang akan menjatuhkan pemiliknya (Tāraddā).
Surat ini memberikan dasar bagi pendidikan moral yang kokoh. Jika kita ingin anak-anak kita menempuh jalan kemudahan (Yusrā), kita harus mengajarkan mereka tiga pilar Al-Atqā sejak dini: memberi, bertakwa, dan meyakini akhirat. Pendidikan yang hanya berfokus pada akumulasi keterampilan materi tanpa menanamkan kedermawanan spiritual akan berisiko menghasilkan generasi Al-Ashqā.
Kedermawanan harus diajarkan sebagai cara hidup, bukan hanya sebagai kewajiban. Ketika kedermawanan dipraktikkan dengan tulus, ia menghasilkan hati yang lapang dan damai, selaras dengan janji kemudahan dari Allah.
Penggunaan sumpah (Qasam) di awal Surat Al-Lail (Ayat 1-3) adalah teknik retorika Qur’ani yang sangat kuat. Dalam 21 ayat ini, Allah bersumpah demi tiga aspek fundamental alam semesta: malam, siang, dan penciptaan manusia. Mengapa sumpah-sumpah ini digunakan untuk menegaskan bahwa usaha manusia berlainan?
Malam dan Siang adalah dualitas yang paling jelas dan tak terhindarkan dalam pengalaman manusia. Keduanya diciptakan sempurna namun berlawanan. Malam menutupi, siang menampakkan. Ini mengajarkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu berpasangan dan berlawanan (Dualitas Fisik).
Penciptaan laki-laki dan perempuan adalah dualitas yang mendasar bagi eksistensi manusia, mencerminkan pasangan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup dan pemenuhan. (Dualitas Biologis).
Dengan bersumpah demi dualitas kosmis dan biologis, Allah menegaskan bahwa dualitas moral (kebaikan dan keburukan, Al-Atqā dan Al-Ashqā) adalah sama pasti dan fundamentalnya. Sebagaimana malam dan siang pasti ada, maka perbedaan antara dua jalan usaha manusia juga pasti ada. Pesan ini harus ditanggapi dengan keseriusan mutlak.
Sebanyak 21 ayat ini membentuk argumen yang tak terbantahkan: kebenaran spiritual tentang takdir manusia adalah sejelas kontras antara malam dan siang, dan sejelas perbedaan antara seorang laki-laki dan perempuan.
Jalan kemudahan (Yusrā) dan jalan kesukaran (Usrā) adalah pusat dari 21 ayat Surat Al-Lail. Ini bukan sekadar deskripsi nasib di akhirat, tetapi deskripsi realitas psikologis dan spiritual di dunia.
Bagi Al-Atqā, kemudahan berarti:
Kemudahan ini adalah hadiah Allah atas ketulusan hati dan kedermawanan. Mereka yang bertakwa dimudahkan untuk terus bertakwa; sebuah siklus positif spiritual yang menguatkan.
Bagi Al-Ashqā, kesukaran berarti:
Kesukaran ini adalah konsekuensi dari pilihan hatinya untuk merasa cukup dan menolak petunjuk. Kekakuan hati ini membuat setiap langkahnya menuju kebaikan terasa terjal dan sulit, karena Allah memudahkan jalan yang ia pilih (yaitu jalan kesukaran).
Surat Al-Lail, meskipun pendek dengan 21 ayat, menawarkan pelajaran yang tak terhingga tentang prioritas hidup yang benar. Keutamaan membaca, menghafal, dan memahami surat ini terletak pada pengingat konstan bahwa motivasi murni adalah mata uang di hadapan Allah.
Imam Ja'far Ash-Shadiq pernah berkata, barang siapa sering membaca Surat Al-Lail, ia akan diberi kemudahan dalam hidupnya, dan Allah akan mempermudah jalannya di akhirat. Walaupun riwayat keutamaan spesifik mungkin diperdebatkan, pelajaran universalnya sangat jelas: mengamalkan surat ini berarti mengamalkan kedermawanan tulus.
Di akhirat, tidak ada yang lebih berharga dari kedermawanan yang dilakukan semata-mata mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Semua harta, kedudukan, dan pujian akan hilang, menyisakan hanya amal yang murni dari niat.
Kesimpulan dari 21 ayat Al-Lail adalah seruan abadi kepada manusia: Pilihlah jalan takwa dan kedermawanan tulus, agar Allah mempermudah hidupmu menuju kepuasan abadi (Yarḍā). Hindari kekikiran dan keangkuhan merasa diri cukup, agar kamu tidak tergelincir ke dalam kesukaran dan kebinasaan abadi (Tāraddā).
Oleh karena itu, setiap ayat dari 21 ayat ini adalah batu bata spiritual yang membangun pemahaman kita tentang keadilan, rahmat, dan sistem balasan ilahi yang sempurna. Surat ini adalah pengingat bahwa dualitas moral adalah realitas hakiki, dan setiap manusia harus memilih di sisi mana ia berdiri: antara memberi dan kikir, antara Yusrā dan Usrā.