Surah Al-Lail dibangun di atas konsep dualitas kosmik dan moral.
Surah Al-Lail (Malam) merupakan surah ke-92 dalam urutan mushaf Al-Qur'an. Ia tergolong sebagai surah Makkiyah, yang berarti mayoritas ayat-ayatnya diturunkan sebelum peristiwa hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Periode Makkiyah dikenal sebagai fase penekanan terhadap dasar-dasar akidah (keimanan), tauhid (keesaan Allah), serta Hari Pembalasan (Yaumul Qiyamah).
Salah satu ciri utama dari surah-surah pendek Makkiyah adalah penggunaan sumpah (qasam) yang kuat yang diambil dari fenomena alam semesta, yang berfungsi untuk menarik perhatian audiens dan menegaskan pentingnya pesan yang disampaikan setelah sumpah tersebut. Surah Al-Lail menggunakan sumpah kosmik yang sangat mendalam.
Secara struktural dan jumlah hitungan, Surat Al-Lail terdiri dari 21 ayat. Namun, substansi yang membentuk surah ini jauh lebih kaya daripada sekadar angka. Surah ini secara fundamental terdiri dari tiga pilar utama yang saling berhubungan, yang keseluruhannya membentuk argumentasi moral yang utuh:
Pesan sentral surah ini berpusat pada konsep sa’ya (upaya atau usaha). Allah menegaskan bahwa meskipun manusia sibuk berusaha, tujuan dan kualitas usaha itulah yang membedakan jalan hidup dan nasib akhir mereka. Ini adalah penegasan bahwa setiap langkah yang diambil oleh manusia di dunia ini memiliki polaritas dan konsekuensi yang pasti di akhirat.
Surah Al-Lail dibuka dengan empat ayat sumpah yang sangat kuat, yang memperkenalkan tema utama dualitas dan kontras yang akan mendominasi seluruh surah.
Penggunaan kata Al-Lail (Malam) sebagai judul surah dan objek sumpah pertama menunjukkan pentingnya fenomena ini. Malam disumpahi ketika ia menutupi (yaghsyā). Ini bukan sekadar deskripsi fisik, melainkan metafora bagi ketenangan, misteri, dan potensi tersembunyi. Sebaliknya, siang (An-Nahār) disumpahi ketika ia terang benderang (tajallā), melambangkan aktivitas, kejelasan, dan keterbukaan.
Dualitas Malam dan Siang adalah dualitas waktu, yang menyiratkan bahwa waktu itu sendiri, yang diciptakan Allah, adalah saksi atas perbuatan manusia. Mereka yang beramal di kegelapan maupun di terang, semuanya disaksikan oleh Tuhan yang menciptakan kontras tersebut.
Sumpah ketiga beralih dari skala kosmik ke skala penciptaan manusia, yaitu dualitas jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Ini menekankan bahwa dualitas tidak hanya ada di alam semesta, tetapi juga melekat pada eksistensi manusia itu sendiri, yang merupakan unit terkecil dari masyarakat.
Setelah tiga sumpah tersebut, sampailah pada inti surah di Ayat 4: “Inna sa’yakum lashatta.” (Sungguh, usaha kamu benar-benar beraneka ragam). Kata sa’yakum (usaha kalian) mencakup seluruh amal perbuatan, niat, dan upaya hidup. Lashattā (beraneka ragam) menunjukkan bahwa usaha manusia terbagi menjadi dua jalur yang sangat berbeda, tidak bercampur, dan menuju tujuan akhir yang berlawanan.
Ayat 5 hingga 11 adalah inti naratif surah Al-Lail. Setelah Allah bersumpah tentang dualitas kosmik, Dia kini menjelaskan dualitas moral yang dihasilkan oleh pilihan manusia dalam hidupnya—yaitu, bagaimana mereka menggunakan upaya (sa’y) mereka.
Jalur pertama adalah jalur yang terpuji, yang terdiri dari tiga karakteristik utama:
Karakteristik pertama adalah kedermawanan, atau memberi (a’thā). Dalam konteks Makkiyah, ini sering merujuk pada pembebasan budak, membantu fakir miskin, atau berkorban untuk mendukung dakwah. Tindakan memberi ini dihubungkan secara langsung dengan ketakwaan (wa’ttaqā). Ketakwaan di sini berarti kesadaran akan pengawasan Allah, yang mendorong seseorang untuk berkorban tanpa mengharapkan pujian manusia.
Ketakwaan adalah fondasi moral. Memberi tanpa ketakwaan bisa menjadi riya’ (pamer). Ketika tindakan memberi didasari ketakwaan, ia menjadi murni dan diterima di sisi Allah. Ketakwaan dalam surah ini adalah perisai yang menjaga hati dari sifat kikir dan sombong.
Kata Al-Husna (yang terbaik) memiliki interpretasi yang luas di kalangan mufassirin:
Membenarkan Al-Husna adalah motivasi terdalam; ia adalah keyakinan bahwa pengorbanan di dunia ini tidak sia-sia, melainkan disimpan sebagai bekal abadi.
Bagi mereka yang menempuh jalan ini, Allah menjanjikan Al-Yusrā (kemudahan). Ini bukan berarti hidup mereka bebas dari kesulitan, tetapi bahwa Allah akan memudahkan mereka dalam melakukan kebaikan, dalam urusan agama mereka, dan memudahkan mereka saat menghadapi kematian dan saat di Hari Perhitungan. Kemudahan terbesar adalah kemudahan menuju Surga.
Kontras total dengan jalan pertama, jalan kedua adalah jalur kesengsaraan, yang juga terdiri dari tiga karakteristik:
Karakteristik pertama adalah sifat kikir (bakhila), yaitu menahan harta yang seharusnya disumbangkan atau digunakan di jalan Allah. Kikir ini diperparah dengan perasaan cukup (istaghnā). Perasaan cukup di sini adalah kesombongan rohani, keyakinan bahwa dirinya telah mandiri, tidak memerlukan pertolongan atau rahmat Allah.
Istighnā adalah penyakit hati yang parah. Orang yang merasa cukup akan berhenti beribadah dengan khusyuk dan berhenti beramal karena merasa bahwa ia telah mengumpulkan segala yang dibutuhkan oleh usahanya sendiri, menafikan peran Allah dalam rezekinya.
Seseorang yang pelit biasanya mendustakan Al-Husna (janji balasan terbaik). Jika ia benar-benar yakin akan balasan berlipat ganda di akhirat, niscaya ia akan beramal dan memberi. Dengan mendustakan Al-Husna, ia menjadikan dunia sebagai satu-satunya tujuan dan keuntungan materi sebagai tolok ukur satu-satunya.
Bagi mereka yang memilih jalan ini, Allah menjanjikan Al-‘Usrā (kesukaran). Mereka akan menemukan kesulitan dalam menjalani kehidupan, merasa tertekan dalam kesenangan duniawi mereka, dan yang terpenting, Allah mempersulit jalan mereka menuju kebaikan dan hidayah. Kesukaran terbesar adalah kesulitan dalam menghadapi kematian dan siksa api Neraka.
Ayat ini berfungsi sebagai penutup dualitas upaya, mengingatkan bahwa harta yang dikumpulkan dengan kikir, yang menjadi sumber kesombongan (istighnā), sama sekali tidak berguna ketika ajal menjemput dan seseorang terjatuh (taraddā) ke dalam lubang kubur atau kehancuran.
Untuk mencapai pemahaman komprehensif tentang Surah Al-Lail, kita harus menggali lebih dalam makna linguistik dari beberapa kata kunci yang menjadi poros surah ini. Kedalaman makna inilah yang memperkaya kandungan Surat Al-Lail yang terdiri dari prinsip-prinsip moral abadi.
Kata Sa’y (سعي) bukan sekadar kerja fisik, melainkan segala upaya yang dilakukan manusia, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Dalam Al-Qur'an, Sa’y seringkali diposisikan sebagai penentu nasib akhir seseorang. Surah Al-Lail membagi kualitas Sa’y menjadi dua:
Ini menunjukkan bahwa Allah tidak menolak usaha, tetapi menilai niat yang mendorong usaha tersebut. Dua orang mungkin bekerja keras, tetapi yang satu mendapatkan pahala berlimpah karena niatnya di jalan Allah, sementara yang lain hanya mendapatkan kepuasan duniawi yang fana.
Pasangan kata ini menggambarkan puncak kebaikan. Al-Husnā (Yang Terbaik) adalah janji atau keyakinan yang harus dibenarkan (iman), sedangkan Al-Yusrā (Kemudahan) adalah hasil yang dijanjikan di dunia dan akhirat. Keyakinan akan janji Allah (Al-Husnā) menghasilkan tindakan memberi, dan tindakan memberi tersebut dibalas dengan kemudahan hidup (Al-Yusrā).
Kontras dengan Al-Yusrā, Al-’Usrā adalah jalan yang dipersulit. Para mufassir menjelaskan bahwa kesukaran ini meliputi tiga aspek:
Surah ini mengajarkan bahwa kesukaran (Al-’Usrā) adalah konsekuensi logis dari kekikiran dan penolakan iman, yang menutup pintu rezeki spiritual.
Bagian penutup Surah Al-Lail kembali ke penegasan kekuasaan Allah, menekankan bahwa petunjuk adalah hak Allah semata, dan pembalasan atas kedua jalan yang telah dijelaskan adalah pasti.
Ayat 12 adalah pernyataan tegas (hasr) bahwa hak untuk menunjukkan jalan yang benar (Al-Hudā) ada pada Allah. Ini adalah penghiburan bagi Rasulullah dan para pengikutnya bahwa tugas mereka hanyalah menyampaikan, sedangkan hidayah adalah urusan Allah. Ayat 13 menegaskan kepemilikan total (lilanā) atas dunia dan akhirat, menyiratkan bahwa pembalasan di akhirat adalah hak mutlak Pemilik keduanya.
Setelah menyatakan kepemilikan, Allah memperingatkan tentang konsekuensi dari jalan Al-’Usrā:
Neraka yang disebut nāran talaẓẓā (api yang menyala-nyala) adalah nasib bagi al-asyqā (orang yang paling celaka). Siapakah orang yang paling celaka ini? Surah ini mendefinisikannya dengan jelas: mereka yang mendustakan (każżaba) ajaran Allah dan berpaling (tawallā) dari kedermawanan dan ketakwaan. Ini adalah sintesis dari ciri-ciri jalan kesukaran yang dijelaskan sebelumnya (kikir, merasa cukup, dan mendustakan Al-Husna).
Sebagai kontras, Allah menyajikan nasib bagi al-atqā (orang yang paling bertakwa). Ayat penutup ini memberikan definisi yang sangat spesifik dan agung tentang siapa sebenarnya orang yang bertakwa itu.
Al-Atqā adalah bentuk superlative (paling) dari takwa, mengindikasikan tingkat ketakwaan tertinggi, yang dicapai melalui tindakan amal yang murni.
Ayat 18 hingga 20 adalah deskripsi tentang motivasi murni dalam beramal. Orang yang paling bertakwa memiliki dua ciri fundamental dalam tindakannya:
Poin 20 menekankan bahwa satu-satunya tujuan (ibtighaa’a wajhi Rabbihil A’laa) adalah mencari Wajah Tuhannya Yang Mahatinggi. Ini menghilangkan seluruh motivasi duniawi—pujian, imbalan politik, atau status sosial—menjadikan amal tersebut sebagai ibadah murni (Ikhlas).
Ikhlas (Ayat 20) adalah kunci pembeda antara amal yang diterima dan yang ditolak.
Ayat penutup ini adalah janji absolut. Kata wa lasawfa yarḍā menggunakan penegas yang kuat (lam taukid dan sawfa) yang berarti "pasti dan sungguh-sungguh akan ridha/puas". Kepuasan ini adalah puncak dari Al-Yusrā dan Al-Husnā. Kepuasan tertinggi ini adalah melihat Wajah Allah (sebagaimana dipahami dari Ayat 20) dan menikmati Surga abadi, yang membuat segala pengorbanan di dunia ini terasa ringan dan terbayarkan sepenuhnya.
Surah Al-Lail, meskipun singkat (terdiri dari 21 ayat), memuat pelajaran moral yang sangat padat dan relevan sepanjang zaman. Fokus utamanya adalah pada motivasi di balik amal perbuatan, bukan sekadar kuantitasnya.
Surah ini menggunakan metode perbandingan (qiyas) yang tajam. Dengan membandingkan empat dualitas (malam/siang, laki-laki/perempuan, memberi/kikir, kemudahan/kesukaran), Al-Lail mengajarkan bahwa kehidupan adalah serangkaian pilihan biner yang pasti memiliki konsekuensi berbeda. Tidak ada jalur tengah yang abu-abu dalam hal niat dasar; setiap upaya pasti mengarah pada salah satu ujung spektrum: keselamatan atau kecelakaan.
Surah ini mengajarkan bahwa kekayaan (harta) adalah ujian. Penggunaan harta menentukan kemurnian jiwa (tazkiyatun nafs). Kekikiran adalah cerminan dari hati yang sakit, sedangkan kedermawanan (infak) adalah operasi pembersihan rohani yang menjadikan seseorang layak mendapatkan Al-Yusrā.
Orang yang kikir merasa hartanya adalah penjamin hidupnya (istikhnā), tetapi Allah mengingatkan bahwa harta itu tidak akan berguna ketika ia binasa (Ayat 11). Sebaliknya, orang yang memberi tanpa mengharapkan balasan menunjukkan keyakinan penuh pada Allah sebagai penjamin rezeki yang sesungguhnya.
Takwa yang digambarkan dalam surah ini bukanlah sekadar ritual. Takwa yang hakiki adalah takwa yang terwujud dalam tindakan ekonomi dan sosial (memberi). Ia adalah takwa yang murni (ikhlas), tidak tercemar oleh keinginan untuk dipuji atau dibalas budi. Ini menjadi standar tinggi bagi setiap Muslim untuk menilai motivasi di balik amal kebajikannya.
Surah Al-Lail memberikan kepastian mutlak mengenai akhir dari kedua jalur tersebut. Ada penekanan berulang pada kata-kata yang mengandung kepastian: Inna (sungguh), fa-sanuyassiruhu (maka pasti Kami mudahkan), dan wa lasawfa yarḍā (dan sungguh dia pasti akan puas). Hal ini menghilangkan keraguan bahwa amal perbuatan di dunia ini memiliki konsekuensi yang kekal dan abadi.
Untuk memahami sepenuhnya mengapa Surat Al-Lail terdiri dari penekanan ekstrem pada kedermawanan (infak) dan kekikiran, kita perlu menempatkannya dalam konteks Makkiyah awal, periode ketika umat Muslim minoritas mengalami kesulitan ekonomi dan sosial di Makkah.
Pada periode awal, infak sering kali berarti mempertaruhkan sumber daya pribadi untuk mendukung orang-orang yang lemah, seperti budak yang baru masuk Islam atau Muslim miskin yang diboikot. Kekikiran di Makkah seringkali dikaitkan dengan para pemimpin Quraisy yang sombong dan kaya, yang menggunakan kekayaan mereka untuk menentang Nabi Muhammad ﷺ dan menindas kaum fakir.
Ayat-ayat Surah Al-Lail secara spesifik ditafsirkan oleh sebagian ulama merujuk pada dua individu yang mewakili kedua jalur tersebut:
Dengan demikian, Surah Al-Lail bukan hanya teori moral, tetapi sebuah cerminan realitas sosial di Makkah, memberikan garis batas yang jelas antara perilaku kaum mukminin yang berkorban dan kaum musyrikin yang kikir dan sombong.
Dualitas yang menjadi fondasi surah ini melampaui sekadar malam dan siang atau laki-laki dan perempuan. Ini adalah peta spiritual yang membagi seluruh kosmos dan moralitas manusia menjadi kutub-kutub yang berlawanan.
Surah ini secara implisit membedakan antara amal karena Allah (ikhlas) dan amal karena manusia (riya’). Orang yang menempuh jalan Al-Yusrā didorong oleh ibtighaa’a wajhi Rabbihil A’laa (mencari keridhaan Tuhan Yang Mahatinggi). Sebaliknya, orang yang kikir didorong oleh keterikatan pada dunia dan ketakutan kehilangan pujian manusia jika memberi. Dualitas ini adalah ujian tersulit bagi setiap amal.
Orang yang bertakwa menunjukkan tawakkal (ketergantungan penuh pada Allah), karena mereka berani berkorban tanpa imbalan, yakin bahwa Allah akan mengganti apa yang mereka berikan. Sebaliknya, orang yang merasa cukup (istighnā) menunjukkan ketidakpercayaan pada janji Allah, menempatkan keyakinan pada aset material mereka sendiri.
Dalam tafsir kontemporer, Al-Lail juga dilihat sebagai penegasan penting tentang takdir yang bergantung pada usaha. Meskipun Allah yang memiliki hidayah (Ayat 12), manusia tetap diberi pilihan untuk berusaha di salah satu dari dua jalur. Allah tidak memaksa seseorang menjadi kikir atau dermawan, tetapi Allah memastikan bahwa jika seseorang memilih salah satu jalur tersebut, jalannya akan dimudahkan menuju konsekuensi logis dari pilihan tersebut (Al-Yusrā atau Al-‘Usrā).
Surat Al-Lail, yang terdiri dari 21 ayat yang padat makna, berdiri sebagai salah satu surah paling esensial dalam menjelaskan hubungan antara upaya manusia, niat, dan konsekuensi abadi. Surah ini dapat diringkas sebagai argumentasi yang sempurna tentang etika pengorbanan:
Dengan struktur yang terorganisir, dimulai dari sumpah alam semesta hingga mencapai janji pembalasan tertinggi, Surah Al-Lail mengajarkan bahwa kualitas hidup, baik di dunia maupun di akhirat, ditentukan oleh pilihan moral mendasar: apakah kita memilih menjadi orang yang memberi karena takut akan Tuhan dan percaya pada janji-Nya, atau menjadi orang yang kikir karena kesombongan dan keterikatan pada materi fana.
Pesan utama Surah Al-Lail adalah seruan untuk introspeksi mendalam terhadap niat. Semua orang berusaha, tetapi hanya upaya yang disucikan oleh ketakwaan dan diarahkan untuk mencari keridaan Ilahi yang akan dimudahkan jalannya menuju kebahagiaan sejati dan kepuasan abadi (Wala saufa yardha).
Janji 'Al-Yusrā' (kemudahan) bagi mereka yang memberi dan bertakwa bukanlah sekadar penghiburan pasif. Ini adalah janji transformatif yang melibatkan campur tangan Ilahi dalam memfasilitasi setiap aspek kehidupan seorang mukmin yang taat. Konsep ini memerlukan elaborasi yang ekstensif karena sering disalahpahami sebagai ketiadaan masalah, padahal maknanya jauh lebih dalam.
Kemudahan yang dijanjikan dalam Surah Al-Lail termanifestasi dalam beberapa dimensi di dunia ini, mencerminkan bagaimana Allah mempermudah jalan bagi orang yang bertakwa:
Kemudahan ini adalah hadiah langsung atas proses pemurnian diri (tazkiyah) yang disebutkan dalam Ayat 18. Ketika seseorang menginfakkan hartanya untuk membersihkan diri, ia membuang racun kekikiran. Allah kemudian memudahkan proses pembersihan hati ini, menjadikan sifat kedermawanan sebagai kebiasaan yang menyenangkan, bukan beban. Proses ini merupakan siklus positif: memberi karena takwa, mendapatkan kemudahan, yang kemudian semakin menguatkan takwa.
Di sisi lain, Al-‘Usrā (kesukaran) yang dijanjikan kepada orang kikir dan sombong adalah suatu hukuman spiritual yang dimulai di dunia dan memuncak di akhirat. Kesukaran ini harus dipahami melampaui kesulitan ekonomi; ia adalah kekeringan jiwa.
Bagi Al-Asyqā, kesukaran termanifestasi sebagai:
Kesukaran ini adalah hasil langsung dari mendustakan Al-Husnā (janji terbaik). Karena mereka tidak percaya pada balasan di akhirat, mereka berusaha mengamankan segalanya di dunia. Upaya yang didorong oleh ketakutan ini (bukan harapan) menciptakan lingkungan yang sulit bagi jiwa. Mereka mendustakan cahaya dan Allah membalasnya dengan kegelapan dan kesukaran batin.
Meskipun Surah Al-Lail diturunkan di Makkah, implikasinya sangat penting dalam pembangunan masyarakat yang adil dan beradab. Surah ini menetapkan fondasi ekonomi moral yang berlawanan dengan sistem kapitalis materialistik yang hanya berfokus pada akumulasi kekayaan.
Surah ini mengajarkan bahwa infak (pemberian) harus menjadi katup pengaman sosial. Ayat 19, yang menekankan bahwa pemberian itu dilakukan tanpa adanya tuntutan balas budi dari si penerima, adalah revolusioner. Ini menghancurkan sistem hutang budi (patronase) yang berlaku di masyarakat jahiliyah Makkah. Ketika pemberian murni karena Allah, hubungan antara si pemberi dan si penerima menjadi horizontal di hadapan Tuhan, bukan vertikal (dominasi sosial). Ini menumbuhkan kehormatan di antara fakir miskin dan meruntuhkan kesombongan orang kaya.
Perasaan merasa cukup (Istighnā) adalah akar dari kekikiran dan penindasan. Surah Al-Lail memerangi Istighnā dengan menekankan bahwa Allah-lah Pemilik mutlak dunia dan akhirat (Ayat 13). Manusia hanyalah pemegang amanah. Dengan menghilangkan Istighnā, Surah Al-Lail menyeru pada kerendahan hati dan pengakuan bahwa semua upaya dan kekayaan berasal dari Rahmat Allah. Tanpa pengakuan ini, manusia akan jatuh ke dalam lubang kesukaran.
Surah Al-Lail (92) memiliki kesinambungan tematik yang erat dengan surah-surah yang mendahuluinya, yaitu Asy-Syams (91) dan Adh-Dhuha (93), membentuk trilogi yang berfokus pada dualitas, pemurnian jiwa, dan hubungan antara amal dan balasan.
Surah Asy-Syams dibuka dengan sumpah-sumpah kosmik (matahari, bulan, siang, malam, langit, bumi, dan jiwa) dan berujung pada dualitas moral yang sama: jiwa yang suci dan jiwa yang kotor. Asy-Syams menyatakan: "Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa) dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." Al-Lail kemudian memberikan petunjuk praktis bagaimana tazkiyah (pemurnian) itu dicapai: yaitu melalui infak yang ikhlas (Ayat 18), sebagai kebalikan dari kekikiran.
Adh-Dhuha (93) memberikan janji penghiburan bagi Nabi ﷺ setelah periode vakum wahyu, menekankan bahwa Allah tidak meninggalkan Nabi. Al-Lail menegaskan kembali prinsip pembalasan, yaitu bahwa setiap usaha, termasuk usaha Nabi dan para pengikutnya, pasti menuju kepada salah satu konsekuensi. Adh-Dhuha berfokus pada hubungan Nabi dengan Allah, sementara Al-Lail berfokus pada hubungan mukmin dengan sesama melalui harta.
Dengan demikian, Surat Al-Lail yang terdiri dari 21 ayat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan konsep pemurnian jiwa dengan tindakan nyata kedermawanan, memastikan bahwa iman (Asy-Syams) harus diterjemahkan menjadi amal (Al-Lail) untuk mencapai ketenangan yang dijanjikan (Adh-Dhuha).
Secara keseluruhan, Surah Al-Lail adalah peringatan yang sangat jelas dan definitif bahwa kehidupan adalah medan amal yang terpolarisasi. Tidak ada ruang untuk ketidakjelasan moral. Setiap individu diperintahkan untuk menguji motivasinya: apakah usahanya diarahkan untuk mengumpulkan harta secara egois dan sombong, ataukah untuk menginfakkan harta demi mencari keridhaan Wajah Tuhannya Yang Mahatinggi. Pilihan inilah yang secara abadi akan menentukan apakah seseorang akan menuju kepada kemudahan (Al-Yusrā) atau kesukaran (Al-‘Usrā), dan pada akhirnya, mendapatkan kepuasan penuh dari Allah (Ayat 21).
Struktur naratif surah yang ringkas namun eksplosif ini memastikan bahwa pesan tentang integritas niat dan kedermawanan yang mutlak tertanam kuat dalam hati pembaca, menjadikannya salah satu surah yang paling sering digunakan untuk menggarisbawahi pentingnya infak dan ketakwaan dalam kehidupan seorang Muslim.
Puncak dari Surah Al-Lail terletak pada Ayat 20, yang mendefinisikan kualifikasi tertinggi bagi Al-Atqā: “Illā ibtighaa’a wajhi Rabbihil A’laa” (kecuali karena mencari Wajah Tuhannya Yang Mahatinggi). Frasa ini bukan sekadar niat yang baik; ini adalah filosofi hidup yang membedakan ibadah dari transaksional.
Dalam terminologi Al-Qur'an, kata Wajh (Wajah) sering digunakan untuk merujuk pada hakikat Dzat Allah dan keridhaan-Nya. Ketika seseorang beramal untuk mencari Wajah Allah, ia berarti bahwa:
Ayat ini secara efektif menafsirkan ulang seluruh konsep 'memberi'. Memberi bukan lagi tentang membantu sesama, melainkan tentang berinteraksi dengan Tuhan melalui kebutuhan sesama. Fakir miskin menjadi 'pintu' menuju keridhaan Ilahi. Ini adalah standar keikhlasan tertinggi yang harus dicapai oleh setiap Muslim.
Ayat 19 secara eksplisit menyebutkan bahwa orang bertakwa memberi tanpa mengharapkan ni’matun tujzā (nikmat yang harus dibalas). Ini adalah penolakan terhadap konsep hutang budi (patronage). Dalam masyarakat yang didominasi oleh sistem barter dan balas jasa, memberi tanpa ingin dibalas adalah tindakan yang radikal. Ini membuktikan bahwa motivasi orang tersebut tidak berasal dari perhitungan manusia, melainkan dari keyakinan pada perhitungan yang tidak terbatas (Al-Husnā) di sisi Allah.
Inilah yang membuat Surat Al-Lail terdiri dari petunjuk yang melampaui etika sosial biasa; ia adalah cetak biru untuk mencapai spiritualitas tertinggi melalui pengorbanan material yang murni.
Sebagai penyeimbang dari janji Al-Yusrā, surah ini memberikan ancaman yang sangat menakutkan tentang api yang menyala-nyala (Nāran Talaẓẓā). Peringatan ini ditujukan hanya kepada Al-Asyqā (orang yang paling celaka), yang definisinya harus kita pahami secara komprehensif.
Kata Al-Asyqā adalah bentuk superlatif dari Syaqā’ (celaka atau sengsara). Surah ini tidak mengatakan "tidak masuk Neraka kecuali orang celaka," melainkan "kecuali orang yang paling celaka" (Ayat 15). Ini adalah penunjukan pada level kesengsaraan yang ekstrem.
Ayat berikutnya mendefinisikan Al-Asyqā sebagai orang yang każżaba wa tawallā (mendustakan dan berpaling). Ini adalah kombinasi dosa intelektual dan dosa praktis:
Dengan demikian, Al-Asyqā adalah orang yang menggabungkan penolakan hati (kufur) dengan keengganan beramal (kekikiran), menjadikannya figur yang paling jauh dari konsep memberi dan bertakwa yang ditekankan surah ini.
Neraka yang disebut Talaẓẓā menggambarkan sifat api yang sangat marak, berkobar-kobar, dan siap menelan. Ini adalah kontras yang ekstrem dengan janji kepuasan (Yarḍā) yang diberikan kepada Al-Atqā. Sementara Al-Atqā akan menikmati keridhaan tertinggi, Al-Asyqā akan menghadapi kemarahan Ilahi dalam bentuk api yang tak terpadamkan.
Konsep dualitas yang mendominasi Surah Al-Lail bukanlah hal unik dalam Al-Qur'an, tetapi surah ini menyajikan dualitas dengan fokus yang sangat tajam pada isu harta dan niat. Konsep ini mendukung pilar-pilar teologis Islam secara luas.
Surah Al-Lail meletakkan dasar bagi pemahaman Zakat, Infak, dan Sedekah. Meskipun Zakat adalah kewajiban formal (rukun Islam), Surah Al-Lail mendorong sedekah dan infak di luar kewajiban (Nawafil), terutama yang didorong oleh motivasi murni (ibtighaa’a wajhi Rabbihil A’laa). Ini menunjukkan bahwa ibadah tidak hanya tentang memenuhi kewajiban minimal, tetapi mencapai kesempurnaan melalui kesukarelaan yang didasari keikhlasan.
Pesan sentral surah ini selaras dengan Hadis terkenal, “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya.” Surah Al-Lail adalah penafsiran operasional dari hadis tersebut. Ia menunjukkan bagaimana niat yang buruk (istikhnā, kekikiran) merusak amal, sementara niat yang murni (ibtighaa’a wajhi Rabbihil A’laa) menyucikan amal. Niat adalah pemisah yang memastikan usaha manusia benar-benar beraneka ragam (lashattā).
Sumpah pertama Surah Al-Lail mengingatkan manusia bahwa alam semesta sendiri diatur oleh kontras dan keseimbangan. Sebagaimana ada waktu untuk beristirahat (malam) dan waktu untuk bekerja (siang), demikian pula ada jalan untuk kebaikan dan jalan untuk kejahatan. Dualitas ini bersifat universal dan abadi, menegaskan bahwa pilihan moral adalah bagian integral dari hukum ciptaan.
Dengan demikian, Surah Al-Lail bukan hanya sebuah surah, melainkan sebuah instrumen Ilahi yang membelah kehidupan manusia menjadi dua jalur yang jelas, menuntut kejujuran maksimal dalam mengelola harta dan, yang paling penting, dalam mengelola hati dan niat.