Surat Al-Insyirah, yang juga dikenal dengan sebutan Surat Alam Nasroh, merupakan salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an. Surat ini menempati urutan ke-94 dan terdiri dari delapan ayat. Termasuk dalam golongan surat Makkiyah, Al-Insyirah diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah, sebuah masa yang penuh dengan cobaan, penolakan, dan kesulitan yang luar biasa.
Nama "Al-Insyirah" sendiri bermakna "Melapangkan" atau "Pelepasan", diambil dari kata dasar yang digunakan pada ayat pertama. Sedangkan nama populernya, "Alam Nasroh," diambil dari awal kalimat pembuka surat ini: "Alam Nasyraḥ laka ṣadrak?" (Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?).
Secara umum, Surat Alam Nasroh diturunkan sebagai penghibur dan peneguh hati Nabi Muhammad ﷺ. Pada saat itu, Rasulullah menghadapi tekanan yang sangat berat. Beliau baru saja ditinggalkan oleh istri tercinta, Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib, yang merupakan pelindung utama beliau dari kekejaman kaum Quraisy. Selain itu, upaya dakwah beliau sering kali dibalas dengan penghinaan, penolakan, dan upaya pembunuhan.
Melalui surat ini, Allah SWT memberikan jaminan dan penegasan bahwa meskipun jalan dakwah terasa sulit dan penuh rintangan, Allah telah memberikan bekal yang paling utama kepada Rasulullah, yaitu kelapangan jiwa dan kemudahan. Surat ini adalah manifesto ketenangan ilahi di tengah badai kehidupan, mengajarkan kepada setiap Muslim, baik di masa lalu maupun masa kini, bahwa setiap kesulitan pasti disertai dengan kemudahan.
Para ulama tafsir sepakat bahwa inti sari Surat Alam Nasroh adalah jaminan optimisme. Keutamaan utama surat ini terletak pada pengajaran tauhid dalam menghadapi musibah. Surat ini berfungsi sebagai obat penenang jiwa yang sangat efektif. Ketika seseorang merasa tertekan, terbebani, atau putus asa, merenungkan ayat-ayat surat ini dapat mengembalikan harapan dan keyakinan akan pertolongan Allah. Surat ini menekankan bahwa kesulitan hanyalah bersifat sementara, dan janji kemudahan adalah kepastian yang diulang dua kali, menandakan penegasan yang mutlak.
Berikut adalah teks lengkap Surat Al-Insyirah yang menjadi landasan utama bagi kajian dan perenungan kita:
Untuk memahami kedalaman janji ilahi dalam Surat Alam Nasroh, kita perlu menelaah tafsir dari setiap ayat, menguraikan makna linguistik dan implikasi spiritualnya.
Terjemahan: Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu (Muhammad)?
Ayat ini dibuka dengan pertanyaan retoris (Istifham inkari) yang berfungsi sebagai penegasan mutlak. Allah tidak bertanya untuk mencari jawaban, melainkan untuk menegaskan bahwa peristiwa pelapangan dada itu telah terjadi dan merupakan fakta yang tak terbantahkan. Pelapangan dada (Syaraḥ al-Ṣadr) di sini memiliki dua dimensi utama:
Beberapa riwayat, termasuk dari hadis shahih, menyebutkan peristiwa pembedahan dada Nabi Muhammad ﷺ (Shaqq al-Ṣadr) yang terjadi beberapa kali: saat beliau kanak-kanak, sebelum Isra’ Mi’raj, dan menjelang kenabian. Operasi spiritual ini bertujuan membersihkan hati beliau dari segala kotoran dan keraguan, mempersiapkan jiwa beliau untuk menerima wahyu dan menghadapi beban kenabian yang sangat berat. Pembedahan ini secara harfiah melambangkan pembersihan dan penguatan kapasitas hati.
Secara spiritual, Syaraḥ al-Ṣadr adalah karunia yang paling agung. Ini berarti Allah telah menjadikan hati Nabi Muhammad ﷺ lapang, luas, dan mampu menampung cahaya wahyu (Al-Qur'an), hikmah, dan ilmu pengetahuan yang tak terbatas. Kelapangan hati ini adalah fondasi utama bagi Rasulullah untuk menjalankan tugas dakwahnya, menerima penolakan tanpa putus asa, dan memimpin umat manusia menuju kebenaran. Hati yang lapang membuat beliau sabar menghadapi musuh dan welas asih terhadap pengikutnya. Ini adalah pembeda antara nabi dengan manusia biasa; hati nabi diberikan kapasitas ilahi untuk menahan tekanan yang tidak mampu ditahan oleh manusia lain.
Tafsir Ibn Kathir menekankan bahwa kelapangan hati yang dimaksud adalah penerimaan terhadap Islam, menjadikannya lentur terhadap kebenaran dan menolak kesesatan. Kelapangan hati ini adalah anugerah terbesar sebelum janji kemudahan tiba.
Terjemahan: dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu?
Kedua ayat ini berbicara tentang penghapusan 'Wizr' (beban atau tanggungan) yang sangat berat hingga 'Anqaḍa ẓahrak' (membuat punggung patah atau remuk). Terdapat beberapa interpretasi mendalam mengenai makna 'beban' ini:
Penafsiran yang paling kuat di kalangan ulama kontemporer adalah bahwa Wizr merujuk pada beban psikologis dan tanggung jawab yang sangat besar sebelum dan selama masa awal kenabian. Beban ini meliputi: kekhawatiran atas nasib kaumnya yang sesat; tekanan mental akibat penolakan keras kaum Quraisy; kesedihan melihat praktik jahiliyah yang merajalela; dan ketakutan akan kegagalan dalam menyampaikan risalah yang maha penting. Beban ini begitu besar sehingga Rasulullah merasakan seolah-olah punggungnya terbebani oleh batu raksasa.
Sebagian mufassir terdahulu, seperti Al-Tabari, menafsirkan Wizr sebagai dosa atau kesalahan (meskipun Nabi Muhammad ﷺ dijaga (ma'shum) dari dosa besar). Interpretasi ini harus dilihat dalam konteks spiritual yang lebih tinggi: bahkan kesalahan kecil, atau beban yang dirasakan Nabi sebelum menerima wahyu sempurna, telah diampuni dan diangkat oleh Allah SWT. Ini merupakan jaminan bahwa segala ganjalan masa lalu telah disingkirkan, memastikan fokus penuh pada masa depan dakwah.
Beban juga bisa diartikan sebagai penderitaan fisik akibat boikot, penganiayaan, dan upaya pembunuhan yang dialami beliau di Makkah. Janji penghilangan beban ini adalah janji perlindungan dan pertolongan yang akan datang, yang memungkinkan beliau terus maju tanpa dihancurkan oleh kesulitan.
Penyebutan 'memberatkan punggung' adalah metafora yang kuat, menunjukkan intensitas penderitaan yang hampir tidak tertahankan. Janji Allah untuk menghilangkan beban ini menunjukkan kasih sayang-Nya yang luar biasa terhadap hamba pilihan-Nya.
Gambar 1: Visualisasi Kelapangan Dada (Syaraḥ al-Ṣadr).
Terjemahan: Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu,
Setelah Allah memberikan kelapangan hati dan menghilangkan beban, janji ketiga adalah peninggian status dan kemuliaan. 'Raf'a Dhikr' berarti mengangkat sebutan, nama, atau kemasyhuran Rasulullah ﷺ. Peninggian ini bersifat permanen dan universal, meliputi seluruh aspek kehidupan dan ibadah umat Islam.
Bagaimana Allah meninggikan sebutan Nabi Muhammad ﷺ?
Ayat ini adalah janji kemuliaan abadi. Di saat kaum Quraisy berusaha menghapus nama dan ajaran Nabi, Allah menjamin bahwa sebutan beliau akan tetap kekal, melintasi batas waktu dan ruang. Ini adalah penghormatan tertinggi yang diberikan kepada seorang manusia.
Terjemahan: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Dua ayat ini merupakan puncak sekaligus jantung dari Surat Alam Nasroh. Pengulangan janji ini bukan sekadar retorika, melainkan penegasan teologis dan psikologis yang mendalam, memberikan kepastian mutlak (yaqin) bagi orang yang beriman.
Kekuatan janji ini terletak pada struktur tata bahasa Arab (Nahwu):
Kesimpulan linguistik yang diajukan oleh para ulama (seperti Ibn Mas'ud dan As-Syafi’i) adalah: Satu kesulitan (Al-'Usr) akan diikuti oleh DUA kemudahan (Yusr yang berbeda di ayat 5 dan Yusr yang berbeda lagi di ayat 6).
Ini adalah janji ilahi yang melimpah ruah: kesulitan yang dirasakan hanya satu, namun Allah menyediakan dua kali lipat kemudahan sebagai solusinya. Ini memberikan jaminan bahwa kemudahan akan selalu melebihi dan mengalahkan kesulitan.
Kata kunci di sini adalah 'ma'a' (مع), yang berarti 'bersama' atau 'menyertai', bukan hanya 'sesudah' (ba'da). Ini menunjukkan bahwa kemudahan tidak harus menunggu kesulitan berakhir sepenuhnya, melainkan kemudahan itu sudah terkandung di dalam kesulitan itu sendiri, tumbuh bersamaan, atau bahkan menjadi alasan bagi kesulitan itu ada. Selama kita berada di dalam kesulitan, benih kemudahan sudah mulai disiapkan oleh Allah.
Ayat ini berfungsi sebagai pilar utama dalam akidah Islam mengenai konsep ujian (bala') dan harapan (raja').
Terjemahan: Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Setelah menjamin kelapangan, penghilangan beban, dan janji kemudahan, Allah SWT memberikan perintah aksi (tindakan) dan perintah hati (spiritual).
Kata 'Faraghta' (selesai) dan 'Fanṣab' (berusaha keras/bekerja keras) adalah perintah untuk tidak mengenal lelah. Jika Nabi Muhammad ﷺ telah menyelesaikan tugas dakwah tertentu atau ibadah wajib (seperti shalat), beliau diperintahkan untuk segera beralih dan bekerja keras pada tugas lain. Ayat ini mengajarkan:
Kata 'Farghab' (berharap) harus ditujukan secara eksklusif kepada 'Rabbik' (Tuhanmu). Ini adalah penutup yang sempurna, mengingatkan bahwa meskipun kita diperintahkan untuk bekerja keras (Ayat 7), tujuan akhir dari semua kerja keras tersebut haruslah keridhaan Allah.
Ayat ini mengajarkan prinsip Ikhlas dan Tawakkal: Bekerja keraslah seolah-olah semuanya bergantung padamu, tetapi sandarkanlah harapanmu hanya kepada Allah. Penghargaan, pujian, atau hasil duniawi bukanlah tujuan utama; tujuan utamanya adalah kembali kepada Allah dengan hati yang lapang.
Surat Alam Nasroh bukanlah sekadar penguatan pribadi bagi Nabi Muhammad ﷺ, melainkan blueprint universal bagi setiap Muslim dalam menghadapi tantangan hidup. Filosofi surat ini bertumpu pada beberapa konsep sentral:
Al-Qur'an sering mengajarkan kehidupan dalam pasangan yang kontras (malam dan siang, sehat dan sakit, hidup dan mati). Surat ini menegaskan pasangan yang paling penting bagi psikologi manusia: kesulitan (Usr) dan kemudahan (Yusr). Allah menetapkan kesulitan bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai pra-syarat bagi kemudahan yang lebih besar.
Dalam perspektif tauhid, kesulitan adalah cara Allah menguji iman, memurnikan jiwa, dan meninggikan derajat hamba. Tanpa kesulitan, kemudahan tidak memiliki nilai, dan tanpa ujian, janji pahala tidak akan sempurna.
Ayat 4 tentang peninggian sebutan (Raf'a Dhikr) menunjukkan bahwa kemuliaan sejati bukanlah kekayaan atau kekuasaan duniawi, melainkan posisi spiritual yang diberikan Allah. Bagi mukmin, kemuliaan adalah pengakuan dari Sang Pencipta, yang tecermin dalam keberkahan hidup, ketenangan jiwa, dan diterima di sisi-Nya.
Para ulama tafsir menekankan bahwa peninggian ini adalah hadiah atas kesabaran yang tak tergoyahkan. Nabi Muhammad ﷺ menanggung beban yang tak terperikan, dan balasannya adalah kemuliaan yang abadi. Hal ini mengajarkan kita bahwa semakin berat perjuangan dalam ketaatan, semakin besar pula kemuliaan yang menanti.
Gambar 2: Kontras antara Al-'Usr (simpul merah) dan Yusr (garis hijau).
Surat Alam Nasroh secara indah menyatukan dua konsep yang sering dianggap berlawanan: kerja keras dan penyerahan diri. Ayat 7 dan 8 adalah pasangan yang tidak terpisahkan. Islam menolak fatalisme (pasrah tanpa usaha) sekaligus menolak arogansi (mengandalkan kekuatan diri sendiri semata).
Inilah metodologi hidup seorang Muslim: selalu bergerak maju dengan semangat juang, namun tetap mengikatkan hatinya pada tali harapan ilahi.
Meskipun surat ini ditujukan pertama-tama kepada Nabi Muhammad ﷺ, pesannya bersifat abadi. Di era modern, tantangan hidup mungkin berbeda bentuknya (stres pekerjaan, masalah ekonomi, krisis mental), namun esensi bebannya tetap sama. Surat Alam Nasroh menawarkan panduan praktis dan spiritual untuk menghadapi segala bentuk kesulitan.
Kelapangan dada (Ayat 1) adalah kunci utama dalam kesehatan mental. Dalam menghadapi tekanan, seorang mukmin diajarkan untuk mencari kelapangan hati dari Allah. Kelapangan ini dicapai melalui dzikir, shalat, dan tilawah Al-Qur'an. Kelapangan hati adalah benteng pertahanan pertama melawan kecemasan dan keputusasaan.
Jika beban terasa sangat berat (Ayat 2-3), Islam mengajarkan konsep "berbagi beban" melalui doa, meminta pertolongan Allah, dan mencari nasihat dari sesama. Pengakuan bahwa beban itu memberatkan punggung adalah pengakuan akan kelemahan manusiawi yang justru membuka pintu bagi pertolongan Allah.
Janji "Inna ma'al 'usri yusra" adalah penangkal utama terhadap pesimisme ekonomi. Ketika seseorang diuji dengan kemiskinan, hutang, atau kegagalan bisnis, pengulangan janji ini mengingatkan bahwa krisis tidak akan bertahan selamanya. Keyakinan ini mendorong individu untuk bangkit dan mencari solusi, bukannya menyerah. Ini adalah keyakinan yang menggerakkan para sahabat Nabi dalam menghadapi kelaparan dan boikot di masa Makkah.
Ayat 7 (Fa idza faraghta fanṣab) menjadi dasar etos kerja yang produktif. Seorang Muslim dilarang terjebak dalam zona nyaman setelah mencapai kesuksesan. Selesai dari satu tugas (misalnya, menamatkan pendidikan), dia harus segera beralih kepada tugas besar berikutnya (misalnya, berkhidmat kepada masyarakat atau mencari nafkah yang halal). Kehidupan adalah rangkaian tak berujung dari usaha dan ibadah.
Penting untuk dicatat bahwa para mufassir juga menafsirkan ayat 7 sebagai anjuran agar setelah menyelesaikan ibadah fardhu (seperti shalat), kita tidak langsung menganggur, tetapi beranjak untuk memulai ibadah sunnah, berdzikir, atau melanjutkan perjuangan hidup. Siklus ini memastikan bahwa hati dan pikiran selalu tertuju pada produktivitas yang diridhai.
Karena janji ini adalah inti teologis surat ini, perluasan pemahaman mengenai hubungan antara kesulitan dan kemudahan harus dibahas secara ekstensif dari berbagai sudut pandang keilmuan Islam.
Seperti yang telah disinggung, Abdullah bin Mas'ud, salah satu sahabat Nabi yang paling faqih, menjelaskan bahwa penggunaan kata sandang 'al' pada 'Usr menjadikan kesulitan itu tunggal, sementara 'Yusr' yang nakirah menjadi jamak (lebih dari satu) ketika diulang. Beliau bahkan bersumpah, "Satu kesulitan tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan."
Pernyataan ini memiliki konsekuensi iman yang besar. Ini berarti Allah tidak sekadar menjanjikan solusi, tetapi menjanjikan kelimpahan solusi. Jika masalah Anda adalah A, solusi yang diberikan adalah B dan C. Jika masalah Anda terkait rezeki, kemudahan yang datang mungkin berupa kesehatan dan ketenangan jiwa—dua kemudahan yang lebih berharga daripada rezeki itu sendiri.
Dalam ilmu tauhid, setiap ujian (kesulitan) adalah ujian yang terukur. Allah berfirman di tempat lain bahwa Dia tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Surat Alam Nasroh melengkapi prinsip ini dengan mengatakan bahwa kemudahan yang menyertai ujian itulah yang memberikan makna dan nilai bagi kesulitan tersebut. Kesulitan adalah wadah, dan kesabaran di dalamnya adalah ibadah, yang pada akhirnya memunculkan kemudahan.
Bayangkan seorang atlet yang berlatih keras (kesulitan). Rasa sakit dan lelah itu mustahil ditanggung tanpa adanya harapan akan kemenangan (kemudahan) dan peningkatan performa. Demikian pula, kesulitan hidup akan menjadi tak tertahankan tanpa keyakinan mutlak akan janji Yusr dari Allah SWT.
Dalam tradisi sufi (tasawuf), kesulitan diartikan sebagai proses pemurnian (tazkiyatun nafs). Kesulitan adalah alat yang digunakan Allah untuk menghapus ketergantungan hamba pada dunia dan mengalihkan fokusnya sepenuhnya kepada-Nya. Ketika manusia mencapai titik terendah (kesulitan), ia akan menyadari bahwa tidak ada tempat berlindung kecuali Allah (Ayat 8).
Dalam pandangan ini, kemudahan pertama (Yusr 1) mungkin adalah kesadaran spiritual (makrifat) yang diperoleh dari kesulitan, dan kemudahan kedua (Yusr 2) adalah pahala akhirat atau kelapangan duniawi yang didapatkan setelahnya. Jadi, kesulitan adalah perjalanan yang mematangkan jiwa, dan kemudahan adalah buah dari pematangan tersebut.
Mentadabburi (merenungkan) Surat Alam Nasroh menuntut perubahan radikal dalam cara pandang kita terhadap masalah. Berikut adalah panduan praktis berdasarkan ayat-ayatnya:
Bagaimana kita bisa meniru "kelapangan dada" yang dianugerahkan kepada Nabi? Ini dicapai dengan:
Dalam kehidupan modern, beban sering kali berupa hutang, kewajiban yang menumpuk, atau masalah interpersonal yang tak terselesaikan. Surat ini mengajarkan strategi pengelolaan beban:
Kemuliaan yang dijanjikan Allah bukan hanya untuk Nabi, tetapi juga diberikan kepada setiap hamba yang berusaha mengikuti jalannya. Jika Anda ingin sebutan Anda ditinggikan, Anda harus:
Ayat 7 adalah manifesto bagi orang-orang yang berorientasi pada hasil dan ketekunan. Penerapan konsistensi ini memerlukan:
Mari kita kembali merenungkan janji inti dari Surat Alam Nasroh, janji yang begitu penting sehingga diulang untuk menguatkan hati kita yang sering ragu:
فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا
(Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.)
Dalam kondisi terberat, ketika semua jalan terasa buntu, Surat Alam Nasroh mengajarkan kita untuk mengaktifkan yaqin (keyakinan yang mutlak). Keyakinan ini bukanlah sekadar harapan kosong, tetapi adalah fakta yang dijamin oleh Allah, Pencipta alam semesta. Jika Allah telah menjanjikannya, maka pasti akan terjadi. Keraguan adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap janji ilahi ini.
Pengulangan janji ini juga mengajarkan bahwa kesulitan yang kita hadapi saat ini (Al-Usr) adalah titik balik. Ini adalah momen yang mendefinisikan karakter dan menentukan arah spiritual kita. Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Kemudahan itu tidak akan datang *setelah* kesulitan hilang total, tetapi *bersama* kesulitan itu ada (ma'a).
Para ulama tafsir kontemporer menekankan bahwa kemudahan pertama yang menyertai kesulitan adalah kesabaran itu sendiri. Kesabaran (sabr) adalah karunia. Ketika Allah memberikan kita kekuatan untuk menanggung ujian dengan hati yang teguh dan lisan yang berdzikir, itulah kemudahan terbesar. Kesabaran ini membuahkan ketenangan batin, yang merupakan kemudahan yang lebih hakiki daripada kemudahan materi.
Kemudahan kedua adalah hasil yang diperoleh di dunia (seperti kemenangan, kesuksesan, atau pembebasan dari masalah), dan yang tertinggi adalah pahala di akhirat, di mana kesulitan duniawi akan terasa sangat ringan dibandingkan dengan ganjaran yang abadi.
Siklus hidup manusia adalah rangkaian kesulitan dan kemudahan. Surat Alam Nasroh memberikan perspektif yang mengubah cara kita memandang jatuh bangun kehidupan. Seorang Muslim yang memahami surat ini tidak akan pernah merayakan kesenangan secara berlebihan hingga lupa diri, dan tidak akan terpuruk terlalu dalam ketika ditimpa musibah.
Kita cenderung hanya fokus pada hasil akhir (Yusr), namun surat ini mengajarkan kita untuk menghargai proses kesulitan ('Usr). Kesulitan adalah sekolah. Di sana kita belajar ikhlas, sabar, dan tawakkal. Tanpa 'Usr', karakter tidak terbentuk, dan iman tidak teruji. Proses ini yang membersihkan dan menyiapkan kita untuk menerima kemudahan yang lebih besar.
Kelapangan dada yang diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagian besar dicapai melalui ibadah dan koneksi spiritual yang mendalam. Bagi kita, ibadah adalah sarana pelapangan dada:
Peninggian nama (Ayat 4) datang seiring dengan akhlak yang mulia. Rasulullah ﷺ diangkat derajatnya karena beliau adalah contoh sempurna dari kesabaran, kejujuran, dan belas kasihan. Mengamalkan Surat Alam Nasroh juga berarti meneladani akhlak Nabi dalam menghadapi kesulitan, yaitu dengan kesabaran yang indah (shabr jamil) tanpa mengeluh.
Apabila seseorang mampu melewati kesulitan dengan akhlak yang baik (tidak menyalahkan takdir, tidak mengeluh berlebihan, dan tetap berbuat baik), maka kemudahan yang datang akan terasa jauh lebih manis dan keberkahannya akan meluas.
Akhir dari Surat Alam Nasroh adalah penegasan kembali hakikat tujuan hidup: fokus total kepada Allah SWT. Seluruh rangkaian ayat—dari kelapangan hati, penghilangan beban, peninggian derajat, hingga janji kemudahan—bermuara pada satu titik: wa ilaa Rabbika farghab.
Ini adalah pengingat bahwa semua usaha yang kita lakukan (Ayat 7) harus diarahkan bukan demi kekayaan semata, bukan demi kekuasaan, melainkan demi mencari keridhaan Allah. Ketika harapan kita tertuju pada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka segala kesulitan di dunia ini menjadi kecil dan dapat ditanggung.
Surat Alam Nasroh adalah janji abadi, sumber inspirasi, dan peta jalan menuju ketenangan hati. Ia adalah cahaya di kegelapan, penegasan bahwa setiap tetes air mata dan setiap keringat yang ditumpahkan dalam ketaatan akan dibalas dengan kemudahan ganda yang tiada tara. Marilah kita jadikan Surat Alam Nasroh sebagai mantra hidup: bekerja keras tanpa henti, dan berharap hanya kepada Allah semata.