Dalam samudra ajaran Islam yang luas, setiap ayat Al-Qur'an memuat hikmah mendalam yang senantiasa relevan bagi kehidupan manusia. Salah satu ayat yang seringkali menjadi perenungan adalah Surat Al-Baqarah ayat 18. Ayat ini menggambarkan sebuah kondisi spiritual dan mental yang dihadapi oleh sebagian orang, terutama terkait respons mereka terhadap kebenaran dan petunjuk ilahi. Memahami ayat ini bukan hanya sekadar mengetahui terjemahannya, melainkan juga menyelami nuansa makna yang terkandung di dalamnya, serta bagaimana kita dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai ketakwaan yang lebih hakiki.
Mari kita perhatikan lafal ayat tersebut dalam Bahasa Arab beserta terjemahannya.
(Mereka) tuli, buta, dan bisu, maka mereka tidak dapat kembali.
Ayat ini, meskipun ringkas, sarat akan makna simbolis. Kata "tuli" (بُكْمٌ), "buta" (عُمْيٌ), dan "bisu" (صُمٌّ) di sini tidak semata-mata merujuk pada keterbatasan fisik. Dalam konteks spiritual, ketulian berarti ketidakmampuan mendengar dan menerima kebenaran Al-Qur'an atau nasihat-nasihat yang baik. Kebutaan diartikan sebagai ketidakmampuan melihat tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta maupun dalam ayat-ayat-Nya. Sementara kebisuannya mencerminkan ketidakmampuan untuk berbicara membela kebenaran, bahkan terkadang ketidakmampuan untuk mengakui kesalahan atau berucap kata yang bermanfaat.
Kondisi ini menggambarkan mereka yang telah menutup hati dan akal mereka dari cahaya petunjuk. Seolah-olah indra mereka tidak berfungsi untuk menerima kebaikan. Al-Qur'an seringkali menggunakan perumpamaan indra untuk menggambarkan keadaan rohani seseorang. Orang yang tuli dari kebenaran, buta dari tanda-tanda kebesaran-Nya, dan bisu dari ucapan yang bermanfaat, maka mereka akan kesulitan untuk kembali ke jalan yang lurus. Frasa "maka mereka tidak dapat kembali" (فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ) menunjukkan adanya ketidakmampuan untuk kembali kepada fitrahnya yang suci atau kepada jalan kebenaran yang telah ditunjukkan. Ini bukanlah ketidakmampuan karena kurangnya kemampuan, melainkan sebuah pilihan sadar untuk mengabaikan dan menolak petunjuk, yang akhirnya membawa mereka pada kondisi stagnasi spiritual.
Surat Al-Baqarah ayat 18 ini merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang orang-orang munafik. Ayat-ayat sebelumnya menggambarkan sifat-sifat mereka, salah satunya adalah perumpamaan yang Allah berikan seperti orang yang menyalakan api, lalu ketika api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa orang munafik terkadang tampak memiliki pemahaman atau bahkan melakukan kebaikan, namun pada hakikatnya hati mereka tertutup dari kebenaran hakiki.
Dalam ayat 18, Allah lebih menegaskan lagi dampak dari penolakan dan ketertutupan hati tersebut. Mereka telah sampai pada level di mana "ketulian, kebutaan, dan kebisuannya" menjadi ciri dominan. Ini adalah kondisi yang sangat disayangkan, karena ketika seseorang telah berada dalam fase ini, hidayah akan sangat sulit untuk menembusnya. Mereka seolah-olah berjalan tanpa arah, terperangkap dalam kegelapan keraguan dan kebatilan, dan tidak memiliki kemampuan untuk mencari jalan keluar karena indra rohani mereka telah lumpuh.
Penting untuk dicatat bahwa Allah SWT tidak pernah menutup pintu taubat bagi hamba-Nya. Namun, ayat ini menggambarkan kondisi ekstrem bagi mereka yang terus-menerus menolak dan mengabaikan petunjuk-Nya. Ini menjadi peringatan keras agar kita senantiasa menjaga hati dan pikiran kita agar tetap terbuka terhadap kebenaran, selalu berusaha mendengar, melihat, dan berbicara demi kebaikan, serta tidak terjebak dalam kesombongan diri atau keraguan yang berlebihan.
Dari Surat Al-Baqarah ayat 18, kita dapat mengambil beberapa hikmah penting:
Setiap Muslim diperintahkan untuk senantiasa memohon petunjuk kepada Allah SWT agar terhindar dari kesesatan. Surat Al-Baqarah ayat 18 adalah cerminan dari kondisi spiritual yang harus kita hindari. Dengan merenungi makna ayat ini, semoga kita semakin termotivasi untuk menjadi pribadi yang senantiasa peka terhadap kebenaran, terbuka terhadap kebaikan, dan mampu menggunakan indra serta anugerah akal dan hati kita untuk meraih keridhaan Allah SWT. Marilah kita berdoa agar Allah senantiasa membukakan hati kita, menerangi pandangan kita, dan mengarahkan lisan kita untuk senantiasa berbuat kebaikan, agar kita tidak termasuk dalam golongan yang digambarkan dalam ayat yang penuh makna ini.