Dalam Al-Qur'an, surat Al-Baqarah menempati posisi yang sangat istimewa sebagai surat terpanjang sekaligus yang pertama kali diturunkan secara lengkap di Madinah. Di dalamnya terkandung berbagai ajaran, hukum, dan kisah yang menjadi pedoman umat Islam dalam menjalani kehidupan. Salah satu ayat yang sarat makna dan menjadi landasan penting dalam pemahaman keimanan adalah ayat kedua dari surat ini, yaitu firman Allah SWT:
Frasa pembuka, "Dzalikal kitabu" (ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ), secara harfiah berarti "Itulah kitab". Penggunaan kata "dzalika" (itu) seringkali mengindikasikan sesuatu yang agung, mulia, dan berada di tempat yang tinggi. Dalam konteks ini, "kitab" merujuk pada Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kata "dzalika" juga bisa diartikan untuk menunjukkan penekanan dan kemuliaan kitab tersebut. Allah SWT menegaskan bahwa Al-Qur'an bukanlah sembarang perkataan atau tulisan, melainkan sebuah kitab suci yang memiliki kedudukan luar biasa. Ia bukan sekadar kumpulan ayat, tetapi sebuah petunjuk hidup yang utuh dan sempurna dari Sang Pencipta.
Pemilihan kata "kitab" sendiri menunjukkan bahwa Al-Qur'an memiliki fungsi yang lebih dari sekadar bacaan. Kitab dalam pengertian luas adalah sesuatu yang ditulis dan dikumpulkan, yang mengandung ilmu, hikmah, dan petunjuk. Al-Qur'an adalah kitab yang paling lengkap, mencakup segala aspek kehidupan, dari akidah, ibadah, muamalah, hingga akhlak. Ia mencakup kisah umat terdahulu, gambaran akhirat, dan solusi bagi berbagai persoalan manusia.
Selanjutnya, ayat ini menegaskan, "la raiba fiih" (لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ), yang berarti "tidak ada keraguan padanya". Kalimat ini merupakan bantahan tegas terhadap keraguan atau syubhat yang mungkin muncul mengenai keaslian, kebenaran, dan sumber Al-Qur'an. Allah SWT menjamin bahwa kitab suci ini adalah wahyu-Nya yang murni, tidak tercampur dengan kebohongan atau kesalahan.
Dalam dunia yang penuh dengan informasi dan pandangan yang beragam, penegasan ini sangat penting. Al-Qur'an berdiri tegak sebagai sumber kebenaran mutlak yang bebas dari keraguan. Para ulama menafsirkan "keraguan" di sini mencakup beberapa aspek. Pertama, keraguan terhadap kebenaran isi Al-Qur'an sebagai firman Allah. Kedua, keraguan terhadap keasliannya dari penyusupan atau perubahan. Ketiga, keraguan terhadap kemampuannya untuk memberikan petunjuk yang benar. Semua keraguan ini ditiadakan oleh Allah SWT.
Penafian keraguan ini bukan berarti tidak akan ada orang yang meragukannya. Namun, Allah menegaskan bahwa bagi orang yang mencari kebenaran dengan hati yang tulus, mereka tidak akan menemukan celah untuk meragukan Al-Qur'an setelah memahami dan merenungkannya. Keraguan justru seringkali datang dari orang-orang yang memiliki prasangka buruk, kesombongan, atau tidak memiliki niat yang jernih untuk mencari kebenaran.
Bagian terpenting dari ayat ini adalah penegasannya sebagai "hudallil-muttaqiin" (هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ), yaitu "petunjuk bagi mereka yang bertakwa". Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah sumber hidayah atau petunjuk. Namun, hidayah ini tidak diberikan secara merata kepada semua orang, melainkan dikhususkan bagi "muttaqiin" (orang-orang yang bertakwa).
Siapakah "muttaqiin" itu? Dalam berbagai tafsir, muttaqiin adalah orang-orang yang senantiasa menjaga diri dari murka Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah, namun ketakutan itu mendorong mereka untuk berbuat baik dan berhati-hati dalam setiap langkah. Ketakwaan bukanlah sekadar rasa takut tanpa tindakan, melainkan sebuah kesadaran mendalam yang terinternalisasi dalam diri, termanifestasi dalam perilaku sehari-hari.
Ayat ini secara implisit menjelaskan bahwa untuk mendapatkan manfaat penuh dari Al-Qur'an sebagai petunjuk, seseorang harus memiliki sifat takwa. Tanpa takwa, Al-Qur'an mungkin hanya akan dibaca sebagai teks tanpa mampu meresap ke dalam hati dan mengubah arah kehidupan. Sifat takwa inilah yang membuka pintu hati untuk menerima petunjuk ilahi, merenungkan maknanya, dan mengamalkannya.
Jadi, Al-Qur'an adalah kitab yang sempurna, bebas dari keraguan, dan memiliki potensi luar biasa sebagai petunjuk. Namun, untuk dapat menerima petunjuk tersebut, diperlukan adanya kualitas diri berupa ketakwaan. Ini adalah sebuah lingkaran yang saling melengkapi: Al-Qur'an menuntun pada ketakwaan, dan ketakwaan membuka pintu untuk menerima petunjuk Al-Qur'an.
Memahami Surat Al-Baqarah ayat 2 memberikan perspektif yang mendalam tentang nilai Al-Qur'an. Di era modern yang serba cepat dan penuh tantangan, penegasan tentang Al-Qur'an sebagai kitab yang tidak diragukan dan sebagai petunjuk bagi orang bertakwa menjadi semakin relevan. Ia menawarkan jangkar kebenaran yang kokoh di tengah arus informasi yang seringkali membingungkan dan penuh keraguan.
Bagi setiap Muslim, ayat ini adalah sebuah undangan untuk memperdalam pemahaman terhadap Al-Qur'an, bukan hanya sebagai bacaan ritual, tetapi sebagai sumber petunjuk hidup yang otentik. Ini juga merupakan dorongan untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas ketakwaan diri, agar senantiasa berada dalam bimbingan Ilahi. Dengan demikian, kita dapat memanfaatkan karunia Al-Qur'an ini untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.