Menganalisis Urutan Pewahyuan, Asbabun Nuzul, dan Perlindungan Spiritual
Surat Al-Falaq, bersama dengan Surat An-Nas, dikenal sebagai Al-Mu'awwidzatain, dua surat perlindungan yang memiliki kedudukan luar biasa dalam tradisi Islam. Keduanya adalah benteng spiritual yang diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ kepada umatnya sebagai penangkal segala bentuk bahaya, mulai dari kejahatan fisik hingga bahaya spiritual yang tidak terlihat.
Pertanyaan mengenai surat Al-Falaq diturunkan setelah surat apa merupakan inti dari studi kronologi Al-Qur'an, yang dikenal sebagai *Tartib Nuzul*. Pemahaman mengenai urutan wahyu tidak hanya memenuhi rasa ingin tahu historis, tetapi juga memberikan konteks mendalam mengenai situasi psikologis, sosial, dan spiritual yang dihadapi Rasulullah ﷺ pada saat wahyu tersebut diturunkan. Dalam kasus Al-Falaq dan An-Nas, kronologi pewahyuan secara langsung terikat pada salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kenabian.
Secara umum, surat-surat dalam Al-Qur'an diklasifikasikan menjadi Makkiyah (diturunkan sebelum Hijrah) dan Madaniyah (diturunkan setelah Hijrah). Meskipun secara gaya bahasa Al-Falaq dan An-Nas memiliki karakteristik Makkiyah (pendek, ritmis, fokus pada tauhid dan ancaman spiritual), studi Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) menunjukkan bahwa konteks operasional dan pendorong utama pewahyuannya terjadi pada periode Madaniyah, yakni dalam situasi krisis yang ekstrem.
Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa Tartib Mushafi (urutan dalam mushaf standar yang kita gunakan saat ini, yaitu setelah Al-Ikhlas) berbeda dengan Tartib Nuzul (urutan kronologis wahyu). Para ulama memiliki perbedaan pandangan minor mengenai penempatan pasti Al-Falaq dan An-Nas dalam daftar kronologis yang panjang. Mayoritas ulama, terutama yang mengikuti metodologi modern (seperti yang digunakan oleh Universitas Al-Azhar), menempatkan kedua surat ini di posisi sangat akhir dalam daftar kronologi, yaitu setelah periode yang melibatkan surat-surat yang mengatur hukum dan peperangan, karena keduanya terkait erat dengan peristiwa sihir di Madinah.
Jawaban paling definitif mengenai kronologi Al-Falaq dan An-Nas tidak terletak pada penomoran urutan di awal masa kenabian, melainkan pada peristiwa sejarah spesifik yang memicu turunnya wahyu ini. Peristiwa ini dikenal sebagai Insiden Sihir Labid bin Al-A'sham.
Pada suatu periode di Madinah, Rasulullah ﷺ mulai mengalami gejala-gejala yang sangat aneh. Beliau merasa dirinya melakukan sesuatu padahal Beliau tidak melakukannya, atau merasa telah pergi ke suatu tempat padahal Beliau tetap berada di rumah. Gangguan ini, yang secara spesifik dijelaskan dalam riwayat Shahih dari Aisyah radhiyallahu 'anha, menunjukkan bahwa beliau telah terpengaruh oleh semacam sihir atau guna-guna.
Sihir ini dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Labid bin Al-A'sham, dengan bantuan anak-anak perempuannya, menggunakan sisir dan rambut Rasulullah ﷺ yang diikatkan pada sebelas simpul dan diletakkan di dalam sumur tua bernama Dharwan (atau Dzarwan), di bawah sebuah batu besar.
Setelah mengalami penderitaan selama beberapa waktu, Nabi ﷺ berdoa kepada Allah SWT. Kemudian, Beliau didatangi oleh Jibril dan Mikail (atau Jibril saja dalam riwayat lain) yang memberi tahu Beliau tentang keberadaan simpul sihir tersebut dan lokasinya. Ketika simpul-simpul itu berhasil ditemukan dan dibawa keluar dari sumur, saat itulah dua surat perlindungan ini diturunkan.
Dikatakan bahwa Surat Al-Falaq terdiri dari lima ayat, dan Surat An-Nas terdiri dari enam ayat. Totalnya sebelas ayat. Setiap kali Nabi ﷺ atau para sahabat membacakan satu ayat dari kedua surat tersebut, satu simpul dari sebelas simpul sihir tersebut terlepas. Ketika semua sebelas ayat selesai dibacakan, sebelas simpul telah terlepas, dan Rasulullah ﷺ pulih sepenuhnya seolah-olah Beliau baru saja terbebas dari ikatan.
Kesimpulan Kronologis dari Asbabun Nuzul: Karena insiden sihir ini terjadi di Madinah, beberapa waktu setelah Hijrah (beberapa ulama menyebutkan pada tahun ketujuh Hijriyah atau setelahnya), maka secara kronologis, Surat Al-Falaq diturunkan di masa akhir periode kenabian. Ini menempatkannya setelah banyak surat-surat Madaniyah lainnya yang mengatur perang, hukum, dan interaksi sosial.
Meskipun demikian, dalam daftar kronologi baku yang digunakan secara luas (seperti daftar yang disusun berdasarkan laporan Jabir bin Zaid atau daftar resmi Kairo), Al-Falaq dan An-Nas sering ditempatkan pada urutan ke-113 dan ke-114 dalam total 114 surat, hanya didahului oleh Surat Al-Ikhlas (urutan ke-112). Jika kita berpegangan pada skema kronologi ini, maka surat yang secara kronologis mendahului Al-Falaq adalah Surat Al-Ikhlas (At-Tauhid). Namun, penting untuk dicatat bahwa para ulama berdebat apakah Al-Ikhlas diturunkan di Mekkah awal ataukah di Madinah. Mayoritas cenderung Makkiyah, tapi fungsinya di akhir wahyu tetap penting.
Dengan demikian, jawaban atas surat alfalaq diturunkan setelah surat adalah: berdasarkan peristiwa pemicu (Asbabun Nuzul), ia adalah salah satu wahyu terakhir yang diturunkan di Madinah, berfungsi sebagai solusi langsung terhadap masalah spiritual-fisik yang menimpa Nabi ﷺ. Jika dilihat dari urutan kronologis yang diterima secara luas, ia diturunkan setelah Surah Al-Ikhlas (walaupun konteks penyatuan *Mu'awwidzatain* adalah unik).
Surat Al-Falaq adalah permohonan perlindungan total kepada Allah, Tuhan semesta alam, yang dikenal sebagai Tuhan Fajar, Pemecah Kegelapan. Surat ini menuntut kita untuk mencari perlindungan dari empat jenis kejahatan utama.
Artinya: Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar)."
Kata Al-Falaq secara literal berarti "pecahan" atau "membelah". Secara umum, kata ini diinterpretasikan sebagai subuh atau fajar, momen di mana cahaya memecah kegelapan malam. Ini melambangkan kekuasaan Allah yang mutlak untuk memecahkan dan menghilangkan bahaya. Jika Allah mampu memecahkan kegelapan kosmik yang luas (malam), maka Dia pasti mampu menghilangkan kegelapan spiritual, sihir, dan bahaya terkecil yang mengancam hamba-Nya.
Beberapa mufassir memberikan makna yang lebih luas untuk Al-Falaq, yaitu segala sesuatu yang dibelah atau diciptakan dari tidak ada menjadi ada: biji-bijian yang pecah untuk menumbuhkan tanaman, atau bahkan segala sesuatu di alam semesta yang diciptakan dan dibelah keluar dari ketiadaan atau kegelapan rahim.
Artinya: "Dari kejahatan makhluk-Nya."
Permintaan perlindungan ini bersifat universal. Mencakup segala sesuatu yang Allah ciptakan dan memiliki potensi bahaya: manusia, jin, binatang buas, racun, bencana alam, bahkan nafsu buruk diri sendiri. Ini adalah permohonan perlindungan yang paling luas, mengakui bahwa kejahatan (syarr) adalah potensi inheren dalam ciptaan, dan hanya Sang Pencipta yang dapat menanggulanginya.
Konsep *syarr* dalam konteks ini sangat luas. Ia tidak hanya mencakup kejahatan yang disengaja (seperti pembunuhan atau perampokan) tetapi juga potensi bahaya yang tidak disengaja atau yang berasal dari alam semesta. Sebagai contoh, gempa bumi adalah *syarr* dari sudut pandang manusia, meskipun ia merupakan proses alami yang ditetapkan oleh Allah. Dengan memohon perlindungan dari *min syarri ma khalaq*, kita mengakui kelemahan kita di hadapan seluruh ciptaan, baik yang kita pahami maupun yang tidak.
Artinya: "Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita."
Kata Ghasik merujuk pada malam yang gelap atau bulan ketika ia terbenam, tetapi interpretasi yang paling umum adalah kegelapan malam. Malam adalah waktu di mana kejahatan seringkali bersembunyi atau menjadi lebih berani. Itu adalah waktu bagi jin untuk bergerak, waktu bagi pelaku maksiat untuk beroperasi tanpa terlihat, dan waktu di mana ketakutan psikologis memuncak.
Frasa Idza Waqab (apabila telah gelap gulita) menekankan bahwa perlindungan dicari pada puncak kegelapan, saat malam benar-benar mencapai intensitasnya, ketika potensi bahaya dan makhluk-makhluk malam (seperti serangga berbisa atau binatang pemangsa) aktif. Ini adalah penekanan spesifik setelah permohonan umum di Ayat 2, menunjukkan urgensi perlindungan dari kegelapan.
Secara linguistik, akar kata *ghasik* juga bisa berarti 'mengalir' atau 'menetes', yang kadang dihubungkan dengan air mata atau bahkan bisikan yang meresap. Namun, dalam konteks Al-Falaq, ia hampir selalu dikaitkan dengan kegelapan yang menutupi dan menyelimuti, menyembunyikan ancaman dari pandangan mata manusia. Ini adalah perlindungan fundamental dari ketidakmampuan manusia untuk melihat ancaman di sekitarnya pada saat mata fisik tidak berfungsi optimal.
Artinya: "Dan dari kejahatan wanita-wanita penyihir yang menghembus pada buhul-buhul."
Ayat ini adalah poin paling sentral yang mengaitkan surat ini secara langsung dengan Asbabun Nuzul insiden sihir Nabi Muhammad ﷺ. An-Naffatsat merujuk pada para penyihir (biasanya dalam bentuk jamak feminin, karena pada masa itu sihir sering dilakukan oleh wanita, meskipun mencakup semua tukang sihir) yang meniupkan mantera pada simpul-simpul ikatan (Al-'Uqad) sebagai bagian dari ritual sihir mereka.
Ayat ini berfungsi sebagai bukti Al-Qur'an tentang realitas sihir dan bahayanya, serta pengakuan bahwa sihir adalah bentuk kejahatan yang memerlukan intervensi ilahi. Ini adalah inti perlindungan yang Nabi ﷺ perlukan saat itu: perlindungan dari sihir yang telah membelenggu Beliau secara spiritual dan psikologis. Kehadiran ayat ini menegaskan bahwa sihir bukanlah sekadar takhayul, melainkan kekuatan spiritual destruktif yang harus ditanggulangi dengan perlindungan Ilahi yang lebih kuat.
Artinya: "Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki."
Permintaan perlindungan ini adalah yang terakhir dan sering dianggap yang paling berbahaya di antara semua kejahatan manusiawi, karena dengki (Hasad) adalah akar dari banyak kejahatan lain. Hasad didefinisikan sebagai keinginan agar nikmat yang dimiliki orang lain hilang, bahkan jika si pendengki tidak mendapatkan nikmat itu sendiri.
Frasa Idza Hasada (apabila ia dengki) menyiratkan bahwa perlindungan diperlukan ketika kedengkian itu berubah menjadi tindakan nyata, baik melalui kata-kata, tindakan fisik, atau melalui mata jahat (Al-'Ain), yang merupakan bentuk transmisi energi negatif yang diakui dalam ajaran Islam.
Hasad adalah dosa spiritual yang pertama kali terjadi di langit (kedengkian Iblis kepada Adam) dan di bumi (kedengkian Qabil kepada Habil). Ayat ini menempatkan kejahatan dengki sejajar dengan kejahatan sihir dan kegelapan, menggarisbawahi betapa destruktifnya penyakit hati ini. Dalam banyak riwayat, dengki dianggap dapat 'memakan' kebaikan seseorang sebagaimana api memakan kayu bakar. Perlindungan dari hasad adalah perlindungan dari energi negatif murni yang diarahkan kepada kita tanpa alasan yang jelas selain karena kemuliaan atau nikmat yang kita terima dari Allah.
Tidak mungkin membahas kronologi Al-Falaq tanpa membahas An-Nas, karena keduanya diturunkan secara bersamaan dalam konteks yang sama, dan digunakan secara sinergis oleh Nabi ﷺ sebagai satu kesatuan perlindungan (*Al-Mu'awwidzatain*). Oleh karena itu, jika Surat Al-Falaq diturunkan setelah Surat Al-Ikhlas (menurut urutan Kairo), maka Surat An-Nas diturunkan segera setelah Al-Falaq.
Meskipun diturunkan bersamaan, fokus perlindungan kedua surat ini berbeda secara signifikan, dan ini menunjukkan kesempurnaan perlindungan yang Allah sediakan:
Dengan menggabungkan keduanya, seorang Muslim mencari perlindungan dari segala sisi: dari kejahatan yang datang dari luar (Al-Falaq) dan dari kejahatan yang merusak dari dalam (An-Nas). Oleh karena itu, konteks pewahyuan gabungan ini menempatkan mereka sebagai "penutup" yang sempurna untuk kitab suci, memberikan benteng pertahanan terakhir bagi orang beriman di dunia.
Surat An-Nas memulai permohonan kepada tiga sifat ketuhanan (Rabb/Tuhan, Malik/Raja, Ilah/Sembahan) dan puncaknya adalah memohon perlindungan dari *Al-Waswas Al-Khannas* (bisikan jahat yang bersembunyi). Bisikan ini terutama datang dari jin (setan) dan juga manusia yang mengajarkan kejahatan.
Jika kita kembali ke Asbabun Nuzul, sihir yang menimpa Nabi ﷺ tidak hanya mempengaruhi tubuh Beliau, tetapi juga pikiran Beliau (Beliau merasa telah melakukan sesuatu padahal tidak). Ini menunjukkan serangan yang bersifat fisik-psikologis. Dengan diturunkannya kedua surat, Nabi ﷺ mendapatkan perlindungan total dari gangguan fisik (Al-Falaq) dan gangguan pikiran/mental (An-Nas).
Dalam sejarah studi Al-Qur'an, tidak ada konsensus tunggal yang absolut mengenai urutan pasti setiap surat diturunkan, karena Rasulullah ﷺ tidak pernah secara eksplisit mendiktekan daftar kronologis tersebut. Penentuan kronologi didasarkan pada Hadis Asbabun Nuzul, Hadis riwayat para sahabat, dan gaya bahasa.
Para ulama klasik, seperti yang mengikuti urutan yang dicatat oleh Ibnu Abbas dan riwayat dari Mushaf Ibnu Mas'ud (yang berbeda dari Mushaf Utsmani), seringkali menempatkan surat-surat pendek, seperti Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas, di antara surat-surat Makkiyah awal. Alasannya adalah fokus pada Tauhid dan ancaman spiritual yang merupakan ciri khas ajaran awal di Mekkah.
Dalam beberapa skema kronologi awal, Al-Falaq dan An-Nas bahkan mungkin diletakkan di urutan ke-20 atau ke-30, jika ulama tersebut mengabaikan insiden sihir di Madinah dan hanya berpegangan pada *gaya bahasa* dan *pendekatan tematik* (yaitu, mereka dianggap sebagai Makkiyah).
Namun, setelah studi mendalam yang dilakukan oleh para ulama era modern (yang menghasilkan daftar kronologis baku Kairo/Mesir), Asbabun Nuzul dianggap lebih kuat daripada gaya bahasa. Karena insiden sihir adalah peristiwa yang terdokumentasi dengan baik di Madinah, ini memaksa penempatan Al-Falaq dan An-Nas di periode Madaniyah yang terlambat.
Jika kita menggunakan daftar Kairo, Surah Al-Ikhlas (At-Tauhid) berada di urutan ke-112, Al-Falaq di urutan ke-113, dan An-Nas di urutan ke-114 (terakhir). Ini berarti, secara kronologis menurut urutan Kairo, surat-surat yang mengatur hukum dan peperangan (seperti Al-Ma'idah atau At-Taubah) sudah diturunkan jauh sebelum Al-Falaq.
Surat Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) merupakan deklarasi murni tentang Tauhid. Dalam konteks penempatan kronologis, meskipun terjadi perdebatan apakah ia Makkiyah atau Madaniyah, penempatan Al-Ikhlas sebelum Al-Falaq dan An-Nas sangat simbolis. Ia mengajarkan dasar spiritual: bahwa Allah adalah Esa, tempat bergantung. Baru setelah fondasi Tauhid ini kokoh, manusia diajarkan bagaimana mencari perlindungan kepada Tuhan yang Esa tersebut, melalui Al-Falaq dan An-Nas. Ini adalah struktur spiritual yang sempurna: keyakinan dasar (Al-Ikhlas) diikuti dengan implementasi pertahanan (Al-Mu'awwidzatain).
Jika kita simpulkan, surat yang secara kronologis mendahului Al-Falaq, dalam urutan penempatan akhir (yang relevan dengan Asbabun Nuzul sihir), adalah Surat Al-Ikhlas.
Kekuatan Al-Falaq dan An-Nas tidak hanya terletak pada kronologi penurunannya, tetapi pada efektivitas spiritualnya yang abadi. Tafsir kontemporer menekankan bahwa ancaman yang disebutkan dalam Al-Falaq adalah ancaman yang terus relevan bagi umat manusia di setiap zaman.
Meskipun kita memiliki penerangan listrik, kegelapan yang dimaksud dalam ayat 3 tetap relevan. Kegelapan hari ini bisa diartikan sebagai:
Memohon perlindungan kepada Tuhan Fajar berarti memohon agar cahaya keimanan dan kejelasan menghilangkan segala bentuk kegelapan, baik yang bersifat fisik maupun psikologis.
Dalam konteks modern, ‘meniup pada buhul-buhul’ (An-Naffatsat fil 'Uqad) tidak hanya merujuk pada praktik sihir tradisional. Para ulama modern mengaitkannya dengan segala bentuk manipulasi psikologis, hipnotis, atau kampanye disinformasi yang bertujuan mengikat dan membingungkan pikiran orang lain. Ini mencakup:
Inti dari perlindungan ini adalah memohon agar ikatan-ikatan kejahatan yang membelenggu kehendak bebas kita dilepaskan oleh kuasa Allah SWT.
Hasad adalah ancaman yang paling konstan. Ia merupakan manifestasi energi negatif murni yang dipancarkan oleh seseorang karena sakit hatinya. Dalam pandangan Islam, hasad dapat menyebabkan Al-'Ain (mata jahat), yang memiliki dampak nyata terhadap kesehatan, rezeki, dan kebahagiaan seseorang. Membaca Al-Falaq dan An-Nas secara teratur berfungsi sebagai perisai spiritual, memblokir gelombang negatif yang mungkin dipancarkan oleh orang-orang yang menyimpan dengki terhadap nikmat yang kita terima.
Karena Surat Al-Falaq dan An-Nas diturunkan dalam konteks krisis yang ekstrem (sihir Nabi ﷺ), keduanya membawa keutamaan yang luar biasa, melampaui surat-surat lain dalam hal perlindungan.
Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, Rasulullah ﷺ bersabda, "Apakah kalian tidak melihat ayat-ayat yang diturunkan malam ini? Ayat-ayat itu tidak pernah dilihat yang semisalnya: Qul A’udzu bi Rabbil Falaq dan Qul A’udzu bi Rabbin Nas." (HR Muslim).
Dalam riwayat lain, Nabi ﷺ bersabda kepada Uqbah, "Tidak ada seorang pun yang meminta perlindungan dengan sesuatu yang semisal dengan keduanya." Ini menunjukkan bahwa Al-Falaq dan An-Nas adalah puncak dari semua bentuk *isti'adzah* (permohonan perlindungan) yang mungkin diucapkan oleh manusia. Setiap Muslim dianjurkan untuk menjadikan keduanya sebagai bagian tak terpisahkan dari ritual perlindungan harian.
Praktik Nabi ﷺ yang diturunkan kepada kita adalah membaca kedua surat ini pada waktu-waktu kritis:
Untuk memahami sepenuhnya kronologi Al-Falaq, kita harus membandingkannya dengan surat-surat Madaniyah lainnya yang diturunkan di sekitar waktu yang sama atau sedikit sebelumnya. Periode Madaniyah akhir ditandai dengan konsolidasi negara Islam, penaklukan Mekkah, dan puncak ketegangan dengan orang-orang munafik dan Yahudi di Madinah.
Banyak surat Madaniyah panjang yang mengatur hukum dan etika, seperti:
Semua surat ini, yang fokus pada regulasi masyarakat dan negara, pasti mendahului Al-Falaq secara kronologis, karena Al-Falaq dan An-Nas adalah respons langsung terhadap krisis pribadi Nabi ﷺ, bukan regulasi publik.
Sebagai contoh, Surat An-Nashr, yang sering dianggap sebagai surat terakhir yang diturunkan secara substansial, memberikan sinyal dekatnya ajal Nabi ﷺ dan kemenangan Islam. An-Nashr diturunkan setelah Penaklukan Mekkah (Fathul Makkah). Insiden sihir Labid bin Al-A'sham yang memicu Al-Falaq dan An-Nas bisa jadi terjadi setelah An-Nashr, atau sangat dekat dengan akhir kehidupan Nabi ﷺ. Hal ini semakin memperkuat penempatan Al-Falaq sebagai salah satu wahyu terakhir yang diterima oleh umat Islam.
Penyebab mengapa perlindungan spiritual yang paling kuat ini diturunkan di akhir periode kenabian adalah penting untuk direnungkan:
Untuk menghindari kebingungan, perlu ditekankan kembali perbedaan antara urutan penulisan dalam mushaf (Tartib Mushafi) dan urutan kronologis (Tartib Nuzul).
| Aspek | Tartib Mushafi (Urutan Kita Baca) | Tartib Nuzul (Urutan Wahyu) |
|---|---|---|
| Surat Al-Falaq | Urutan ke-113 | Urutan ke-113 (menurut Kairo) |
| Surat yang Mendahului | Al-Ikhlas (112) | Al-Ikhlas (112) |
| Dasar Penentuan | Petunjuk Jibril dan Utsman bin Affan (tauqifi) | Asbabun Nuzul, riwayat Sahabat, dan analisis bahasa |
Meskipun terdapat perbedaan signifikan pada sebagian besar surat (misalnya, Surat Al-'Alaq adalah surat pertama yang diturunkan tetapi berada di urutan ke-96 dalam mushaf), keunikan Al-Falaq dan An-Nas adalah bahwa urutan *Nuzul* mereka (sangat akhir) hampir bertepatan dengan urutan *Mushafi* mereka (sangat akhir).
Penempatan yang terlambat ini mengindikasikan bahwa sihir dan kedengkian adalah musuh yang abadi, yang tidak hilang meskipun negara Islam telah mapan. Selama ada manusia yang memiliki hati, akan ada kedengkian (hasad), dan selama ada hasad, akan ada upaya untuk menyakiti, termasuk melalui sihir. Oleh karena itu, kebutuhan akan Al-Mu'awwidzatain tidak akan pernah usang, menjadikannya warisan terakhir dan terpenting dalam pertahanan spiritual.
Berdasarkan bukti kuat dari Asbabun Nuzul dan konsensus ulama yang berpegang pada riwayat peristiwa sihir Labid bin Al-A'sham di Madinah, Surat Al-Falaq dan Surat An-Nas tergolong sebagai wahyu yang diturunkan pada periode Madaniyah akhir.
Dengan menimbang berbagai pandangan kronologi dan riwayat sejarah, dapat disimpulkan bahwa:
Surat Al-Falaq adalah panggilan kepada Tuhan yang Kuasa membelah kegelapan, sebuah janji bahwa tidak peduli seberapa gelap malam spiritual atau fisik kita, selalu ada fajar ilahi yang siap memecahkannya asalkan kita memohon perlindungan hanya kepada-Nya, Tuhan Fajar.
Ayat kedua, "Min syarri ma khalaq" (Dari kejahatan makhluk-Nya), adalah sebuah pernyataan filosofis yang mendalam. Dalam teologi Islam, Allah SWT menciptakan segala sesuatu, termasuk potensi kejahatan. Namun, kejahatan itu sendiri tidak diciptakan untuk kejahatan murni, melainkan tercipta dari penyalahgunaan kehendak bebas makhluk, atau merupakan bagian dari ujian yang harus dihadapi manusia. Ketika kita memohon perlindungan dari kejahatan makhluk, kita mengakui bahwa dunia ini adalah medan ujian yang penuh dengan ancaman, dan bahwa keselamatan hanya dapat dicapai dengan intervensi ilahi.
Para mufassir abad pertengahan sering membagi kejahatan makhluk menjadi beberapa kategori:
Al-Falaq mencakup keseluruhan spektrum ini dalam satu pernyataan universal, sebelum memfokuskan pada tiga ancaman spesifik yang paling mengancam Nabi ﷺ dan umatnya.
Ayat kelima Al-Falaq secara eksplisit menyebutkan kejahatan pendengki (hasid). Penting untuk membedakan hasad yang tercela dari *ghibtah* (iri hati yang sehat atau persaingan yang baik). Ghibtah adalah keinginan untuk memiliki nikmat yang sama seperti yang dimiliki orang lain, tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang dari orang lain. Ghibtah diperbolehkan, bahkan dianjurkan dalam hal kebaikan (seperti ilmu atau sedekah).
Hasad, sebaliknya, adalah murni destruktif. Kejahatan hasad (Idza hasada) muncul ketika hasad tersebut diekspresikan, baik melalui tindakan atau melalui *pandangan mata*. Para ulama tafsir menekankan bahwa hasad adalah manifestasi dari ketidakpuasan terhadap takdir Allah dan merupakan penyakit hati yang perlu disembuhkan, baik oleh penderitanya maupun dihindari oleh korbannya melalui perlindungan Al-Falaq.
Struktur Al-Falaq dimulai dengan 'Qul a’udzu bi Rabbil Falaq' (Aku berlindung kepada Tuhan Fajar). Penggunaan kata Rabb (Tuhan Pemelihara, Pengatur, dan Pendidik) sangat penting. Ini menyiratkan bahwa kita berlindung kepada Allah bukan hanya karena Dia adalah Pencipta (Khaliq), tetapi karena Dia adalah satu-satunya entitas yang memiliki kuasa penuh untuk memelihara dan melindungi kita dari pertumbuhan dan perkembangan kejahatan di sekitar kita. Sebagaimana Dia memelihara biji dan membelahnya menjadi tanaman, Dia memelihara kita dan membelah jalan kita dari bahaya.
Insiden sihir di Madinah yang menjadi Asbabun Nuzul adalah titik balik yang membuktikan kesahihan kenabian dan realitas sihir. Jika Nabi ﷺ, manusia terbaik, dapat diserang oleh sihir, maka perlindungan spiritual adalah kebutuhan universal bagi seluruh umat.
Riwayat-riwayat menyebutkan bahwa setelah simpul sihir ditemukan di sumur Dharwan dan simpul-simpulnya terurai, Nabi ﷺ tidak menunjukkan kemarahan atau dendam. Beliau memerintahkan agar sihir tersebut dihancurkan, sumur itu diratakan, dan Beliau tidak pernah menghukum Labid bin Al-A'sham. Keputusan untuk tidak membalas dendam secara fisik, tetapi mengandalkan perlindungan ilahi dan pemulihan, adalah pelajaran tentang kemuliaan karakter Nabi ﷺ.
Fakta bahwa insiden ini terjadi di Madinah (periode konsolidasi) dan bukan di Mekkah (periode ujian awal) mengindikasikan bahwa ujian spiritual tidak pernah berhenti, bahkan ketika seseorang mencapai puncak kedudukan. Ujian-ujian baru, yang bersifat halus dan spiritual, selalu menunggu, dan Al-Falaq adalah jawaban atas ujian tersebut.
Ketiga surat pendek ini (112, 113, 114) membentuk sebuah trilogi spiritual di akhir mushaf, yang secara ringkas merangkum hubungan manusia dengan Tuhannya.
Al-Ikhlas mengajarkan siapa Allah: Dia Esa (Ahad), tempat bergantung (Ash-Shamad), tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Ini adalah fondasi keyakinan yang membersihkan hati dari segala bentuk syirik. Sebelum meminta perlindungan, kita harus tahu kepada siapa kita berlindung.
Setelah fondasi Tauhid kokoh, kita meminta perlindungan kepada Rabbul Falaq (Tuhan Pemelihara Fajar) dari bahaya yang datang dari luar diri (makhluk, kegelapan, sihir, hasad). Ini adalah perisai yang menjaga batas-batas fisik dan spiritual kita dari serangan eksternal.
Terakhir, kita meminta perlindungan dari bahaya internal, yaitu waswas yang merusak iman dan ketenangan hati, yang datang dari bisikan setan, baik dari golongan jin maupun manusia. Ini adalah benteng yang menjaga akal dan jiwa agar tetap murni.
Urutan kronologis ketiga surat ini (112, 113, 114) dalam daftar modern sangat masuk akal secara spiritual. Ia menandai penyempurnaan ajaran Islam: dari pengenalan yang benar tentang Tuhan, menuju pertahanan total dari segala kejahatan di dunia.
Ayat 3 dari Al-Falaq seringkali menjadi fokus perdebatan linguistik mendalam, terutama tentang makna harfiah "Ghasik." Meskipun konsensusnya adalah "malam ketika ia datang," para ulama seperti Mujahid dan Ibnu Zaid pernah menafsirkannya sebagai bulan atau bintang yang tenggelam. Namun, interpretasi yang mengaitkannya dengan malam hari adalah yang paling kuat karena korelasi antara malam dan peningkatan aktivitas kejahatan.
Momen Ghasik Idza Waqab adalah periode senja hingga tengah malam, saat perubahan cahaya menjadi kegelapan total. Ini adalah momen yang rawan secara spiritual. Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk menutup pintu dan menahan anak-anak di rumah pada waktu ini, karena setan cenderung bergerak bebas saat matahari terbenam dan kegelapan mulai menyelimuti.
Oleh karena itu, ketika kita membaca Al-Falaq, kita secara khusus mengarahkan perhatian pada kerentanan kita selama masa transisi dan kegelapan, dan mengakui bahwa hanya Tuhan yang dapat membawa cahaya fajar kembali.
***
Perluasan detail yang sangat mendalam pada setiap kata kunci dan konsep, termasuk perbandingan antara hasad dan ghibtah, serta implikasi teologis dari *Rabbil Falaq*, menegaskan pentingnya kedua surat perlindungan ini sebagai solusi akhir terhadap masalah spiritual umat manusia. Kronologi yang menempatkan Al-Falaq setelah Al-Ikhlas dan di akhir wahyu adalah penegasan atas fungsi vitalnya sebagai perisai spiritual yang tak tergantikan.
Dengan demikian, pertanyaan mengenai surat alfalaq diturunkan setelah surat dijawab melalui pemahaman yang holistik, tidak hanya berdasarkan nomor urut, tetapi berdasarkan pemicu historis yang menempatkannya sebagai salah satu wahyu paling berharga dan penutup dalam kitab suci. Ia merupakan penegasan bahwa perang terbesar seorang Muslim bukanlah dengan pedang, melainkan dengan benteng spiritual melawan sihir, kegelapan, dan hasad—perang yang dijamin kemenangannya oleh Tuhan Fajar.
***
Ayat keempat Surat Al-Falaq ("Dan dari kejahatan wanita-wanita penyihir yang menghembus pada buhul-buhul") memiliki konsekuensi signifikan dalam hukum dan etika Islam. Pengakuan Al-Qur'an terhadap realitas sihir sebagai kejahatan yang mematikan dan terorganisir (*An-Naffatsat*—para peniup simpul) memposisikan sihir bukan sebagai ilusi semata, melainkan sebagai praktik haram yang memerlukan hukuman keras dalam yurisprudensi Islam.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa praktik sihir yang melibatkan bantuan jin atau pengingkaran terhadap Allah dapat dikategorikan sebagai perbuatan kufur (kekafiran). Hal ini didasarkan pada ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an (seperti dalam Al-Baqarah, 102) yang menyebutkan bahwa setanlah yang mengajarkan sihir dan bahwa orang yang mengamalkannya tidak akan mendapat bagian di akhirat. Dengan memohon perlindungan dari sihir dalam Al-Falaq, kita secara fundamental menolak segala bentuk praktik yang mencari kekuatan di luar Allah.
Pewahyuan Al-Falaq memberikan solusi yang damai dan berbasis iman terhadap ancaman sihir: bukan dengan sihir balasan, atau dengan kekerasan langsung terhadap si penyihir (seperti yang ditunjukkan oleh Nabi ﷺ terhadap Labid), tetapi dengan berlindung kepada Allah. Ini mengajarkan umat bahwa senjata terkuat melawan kegelapan adalah cahaya Tauhid dan doa.
Al-Falaq mendidik kita tentang etika mencari perlindungan (*isti'adzah*). Isti'adzah adalah tindakan mengakui kelemahan mutlak kita dan kekuatan mutlak Allah. Dengan menyebut "Rabbil Falaq," kita tidak hanya meminta perlindungan fisik, tetapi juga kekuatan untuk menghadapi kejahatan secara moral dan spiritual, memastikan bahwa kita tidak menyimpang ke dalam praktik terlarang (seperti menggunakan jimat atau mantra yang mengandung syirik) dalam upaya untuk melindungi diri.
Jika kita kembali ke makna linguistik yang lebih dalam dari Al-Falaq sebagai "membelah" atau "pecahan," maka surat ini membawa makna kosmik yang lebih luas daripada hanya fajar. Ini terkait dengan bagaimana Allah mengeluarkan kehidupan dari materi tak bernyawa, dan cahaya dari kekosongan.
Para mufassir kontemporer dan filsuf Islam melihat Al-Falaq sebagai manifestasi dari kuasa Allah dalam menciptakan kontras dan kehidupan:
Semua proses ini adalah kemenangan cahaya atas kegelapan, kehidupan atas kematian, dan keteraturan atas kekacauan. Ketika kita menyebut "Rabbil Falaq," kita memanggil Tuhan yang menguasai semua proses kosmik penciptaan dan pembaruan ini, menegaskan bahwa Dia memiliki kuasa mutlak untuk memutus belenggu sihir dan kegelungan kesulitan hidup kita.
Dengan demikian, perlindungan yang dicari dalam Al-Falaq bukanlah perlindungan dari dewa lokal, melainkan dari Penguasa semesta yang secara aktif mengelola kontras antara terang dan gelap, hidup dan mati, kebaikan dan kejahatan. Kekuatan ini jauh melampaui kemampuan sihir manapun.
Untuk mengakhiri pembahasan kronologi yang detail ini, kita perlu mengulang kembali struktur pemikiran yang membawa kita pada kesimpulan bahwa Al-Falaq diturunkan setelah Al-Ikhlas dan di akhir periode Madaniyah:
Basis utama penentuan kronologi akhir Al-Falaq dan An-Nas adalah narasi Shahih dari Aisyah mengenai sihir Labid bin Al-A'sham. Tidak ada Asbabun Nuzul lain yang sejelas ini dalam mengaitkan surat tertentu dengan krisis spesifik yang membutuhkan solusi perlindungan langsung. Karena insiden sihir ini terjadi di Madinah (beberapa tahun setelah Hijrah), penempatan surat ini di urutan akhir tidak terhindarkan bagi mereka yang memprioritaskan Asbabun Nuzul.
Penempatan Al-Falaq setelah Al-Ikhlas (Tauhid) menunjukkan struktur ajaran yang logis: Fondasi teologi yang murni (Al-Ikhlas) harus mendahului penggunaan perlindungan spiritual dari-Nya (Al-Falaq dan An-Nas). Sekalipun Al-Ikhlas mungkin diturunkan secara terpisah dan lebih awal, fungsinya sebagai surat yang mendahului Al-Falaq dalam konteks perlindungan akhir sangat kohesif.
Meskipun gaya bahasa Al-Falaq (ritmis, pendek, fokus pada spiritualitas) mirip surat Makkiyah, fungsinya adalah Madaniyah. Di Mekkah, ancaman utama adalah penindasan fisik dan penganiayaan. Di Madinah, setelah kekuatan fisik Islam berkembang, ancaman bergeser ke ranah yang lebih halus dan mematikan: konspirasi, sihir, dan kedengkian. Al-Falaq adalah senjata ilahi melawan musuh-musuh batin dan spiritual dari Madinah hingga hari Kiamat.
Dengan demikian, Al-Falaq berdiri sebagai monumen perlindungan, yang kronologi penurunannya menegaskan bahwa krisis spiritual memerlukan solusi yang paling mendalam, yang hanya dapat disediakan oleh Allah, Rabbil Falaq.