Lima surat yang terletak di penghujung Mushaf Al-Quran—Surat An-Nas (114), Al-Falaq (113), Al-Ikhlas (112), Al-Masad atau Al-Lahab (111), dan An-Nasr (110)—memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam kerangka teologis dan praktis Islam. Secara kolektif, tiga surat pertama sering disebut sebagai Al-Mu’awwidzat (surat-surat perlindungan) bersama dengan Al-Ikhlas, menunjukkan fokus utama pada Tauhid (keesaan Tuhan) dan isti’adzah (memohon perlindungan).
Meskipun kelimanya tergolong surat pendek, kandungan maknanya merangkum seluruh prinsip dasar akidah dan syariat: menegaskan keesaan Allah, memberikan perlindungan dari segala bentuk kejahatan (lahiriah dan batiniah), menggambarkan konsekuensi kekafiran, dan menetapkan pedoman setelah meraih kemenangan besar. Mengkaji kelima surat ini secara mendalam bukan sekadar memahami terjemahan harfiah, melainkan menelisik setiap kata dan konteks turunnya (Asbabun Nuzul) yang memperkaya pemahaman kita tentang keutuhan risalah kenabian.
Kajian ini akan menyingkap dimensi linguistik, tafsir tahlili (analitis), serta implikasi spiritual dan hukum dari masing-masing surat, menawarkan pemahaman komprehensif yang melampaui pembacaan biasa, meresapi esensi perlindungan ilahi dan pemurnian akidah.
Surat An-Nas, yang terdiri dari enam ayat, adalah surat terakhir dalam susunan mushaf. Meskipun statusnya diperselisihkan antara Makkiyah dan Madaniyah, pendapat mayoritas cenderung menggolongkannya sebagai Madaniyah, atau setidaknya diturunkan pada fase akhir kenabian, sebagai bagian integral dari upaya perlindungan (ruqyah) Nabi Muhammad ﷺ dari pengaruh sihir dan kejahatan.
Terjemahan: Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.”
Permohonan perlindungan dalam An-Nas didasarkan pada tiga atribut utama Allah, sebuah struktur yang unik dan menunjukkan kedalaman relasi antara Pencipta dan ciptaan:
Penyebutan ketiga sifat ini secara berurutan mengajarkan bahwa kita harus mencari perlindungan kepada-Nya karena Dia adalah Pencipta kita (Rabb), Penguasa kita (Malik), dan satu-satunya yang kita sembah (Ilah). Ketiga dimensi ini harus utuh dalam hati seorang mukmin saat memohon perlindungan.
Surat An-Nas secara spesifik memohon perlindungan dari *syarril waswasil khannas* (kejahatan pembisik yang bersembunyi). Kata kunci di sini adalah:
Ayat 5 menjelaskan bahwa waswas ini bekerja *fī ṣudūrin nās* (di dalam dada manusia). Dada (ṣudūr) adalah pusat emosi, niat, dan pengambilan keputusan spiritual. Ini menunjukkan bahwa musuh utama yang dihadapi oleh seorang mukmin dalam An-Nas adalah musuh internal—keraguan, hawa nafsu yang menyesatkan, dan bisikan yang menghalangi ketaatan.
Ayat 6 menutup dengan penjelasan mengenai sumber waswas: *min al-jinnati wan nās* (dari golongan jin dan manusia). Ini mengajarkan bahwa waswas tidak hanya datang dari syaitan yang berwujud jin, tetapi juga dari manusia yang berperan sebagai syaitan, yaitu orang-orang yang mengajak kepada keburukan dan menyesatkan orang lain dengan tipu daya dan ucapan manis.
An-Nas adalah panduan spiritual untuk mengelola kesehatan mental dan spiritual. Dengan memahami bahwa bisikan itu bersifat *khannas*, kita diajarkan bahwa obatnya adalah zikir, kesadaran ilahi, dan peningkatan ibadah. Setiap kali keraguan menyerang atau hawa nafsu membisikkan kemaksiatan, menyebut nama Allah dan memohon perlindungan kepada Rabb, Malik, dan Ilah An-Nas akan mengusir bisikan tersebut, mengembalikan fokus pada tujuan hidup yang hakiki.
Surat Al-Falaq, yang terdiri dari lima ayat, secara tematis merupakan pelengkap sempurna bagi Surat An-Nas. Jika An-Nas berfokus pada bahaya internal (waswas syaitan yang bersembunyi), maka Al-Falaq berfokus pada bahaya eksternal yang nyata dan terlihat—mulai dari kegelapan, sihir, hingga kedengkian. Kedua surat ini sering dibaca bersamaan, dikenal sebagai *Al-Mu’awwidzatain* (Dua Surat Perlindungan), dan memiliki keutamaan luar biasa dalam mengusir bala dan menjaga diri dari kejahatan.
Terjemahan: Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar). Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.”
Permulaan surat ini unik: “Aku berlindung kepada Rabb Al-Falaq.” Kata *al-Falaq* (فَلَق) secara harfiah berarti membelah atau memecah. Para ulama tafsir memberikan beberapa makna utama:
Memohon perlindungan kepada Rabb Al-Falaq berarti memohon kepada Dzat yang memiliki kuasa mutlak untuk memunculkan terang dari kegelapan, simbol kemenangan kebaikan atas kejahatan.
Surat Al-Falaq secara eksplisit menyebutkan empat kategori kejahatan yang sering mengancam manusia dari luar:
Ayat ini adalah cakupan umum (universal) untuk semua kejahatan. Mencakup kejahatan yang berasal dari jin, manusia, hewan berbahaya, bencana alam, bahkan kejahatan yang berasal dari potensi buruk dalam diri sendiri. Ini adalah pengakuan bahwa semua ciptaan Allah, meskipun asalnya baik, memiliki potensi kejahatan dalam interaksinya di dunia.
Kata *Ghasiq* merujuk pada malam yang gelap gulita, dan *Waqab* berarti merasuk atau meliputi. Malam adalah waktu di mana kejahatan fisik lebih mudah terjadi (pencurian, serangan), dan juga waktu di mana energi negatif (jin, sihir) lebih aktif. Ini mengajarkan pentingnya memohon perlindungan ketika kegelapan menguasai, baik kegelapan fisik maupun kegelapan spiritual.
Ini merujuk pada sihir, khususnya sihir yang melibatkan menghembuskan (meniupkan) mantra pada buhul atau ikatan tali. Para tukang sihir (biasanya disebutkan dalam bentuk jamak feminin, *Naffatsat*) adalah sumber kejahatan yang bekerja secara tersembunyi untuk merusak hubungan, kesehatan, atau kekayaan seseorang. Dengan memohon perlindungan dari Allah, kita mengakui bahwa hanya Dia yang dapat menolak dampak sihir, yang merupakan salah satu bentuk kekafiran paling berbahaya.
Kedengkian (*Hasad*) adalah sumber spiritual dari banyak kejahatan fisik. Orang yang dengki menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain. Bahaya *hasad* sangat besar karena ia beroperasi tanpa disadari oleh korbannya, melalui pandangan mata (*‘ain*) atau tindakan licik. Allah mengaitkan perlindungan dari pendengki hanya ketika ia benar-benar menampakkan kedengkiannya (*idza hasad*), menunjukkan bahwa niat jahat yang diwujudkan adalah ancaman nyata yang harus dihadapi dengan perlindungan ilahi.
Dua surat perlindungan ini mencakup spektrum penuh ancaman eksistensial manusia. An-Nas mengajarkan kita melawan musuh yang tidak terlihat di dalam hati (ego, syaitan internal), sementara Al-Falaq mengajarkan kita melawan musuh yang terlihat dan terwujud di dunia luar (sihir, kedengkian, kegelapan, dan makhluk jahat lainnya). Mengamalkan keduanya dalam rutinitas harian adalah manifestasi tawakkal (penyerahan diri) yang sempurna kepada Allah sebagai pelindung tunggal.
Surat Al-Ikhlas, yang hanya terdiri dari empat ayat pendek, adalah intisari dari ajaran Islam—Tauhid (Keesaan Allah). Namanya, Al-Ikhlas, berarti 'pemurnian' atau 'ketulusan'. Surat ini diturunkan untuk menjawab tantangan fundamental dari kaum musyrikin dan Yahudi di Makkah yang bertanya tentang hakikat Allah, nasab-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Karena mengandung ringkasan akidah Islam yang paling murni, Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Quran.
Terjemahan: Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Perintah 'Qul' (Katakanlah) menandakan jawaban yang tegas dan tak terbantahkan. Sifat utama Allah adalah *Ahad* (أَحَدٌ). Meskipun *Ahad* dan *Wahid* (وَاحِد) sama-sama berarti 'satu', para ulama membedakannya dalam konteks teologis:
Ayat ini menolak konsep politeisme, trinitas, atau segala bentuk pembagian kekuasaan Ilahi. Ini adalah pondasi Islam, yang mewajibkan hati hanya tertuju kepada satu sumber absolut.
Kata *Ash-Shamad* (الصَّمَدُ) adalah salah satu nama dan sifat agung Allah yang maknanya sangat komprehensif. Secara linguistik, ia memiliki beberapa arti, yang dirangkum oleh para mufasir menjadi dua dimensi utama:
Konsep *Ash-Shamad* menolak segala bentuk antropomorfisme (menggambarkan Tuhan seperti manusia) dan menegaskan kemutlakan serta independensi Allah dari ciptaan-Nya.
Ayat 3 (*Lam yalid wa lam yūlad*) secara tegas menolak segala bentuk hubungan silsilah atau kelahiran: “Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan.”
Ayat 4 (*Wa lam yakun lahu kufuwan aḥad*) adalah penegasan final: “Dan tidak ada seorang pun yang setara (sepadan) dengan Dia.” Kata *Kufuwan* (setara/sebanding) mencakup kesetaraan dalam zat, sifat, dan tindakan. Tidak ada ciptaan yang bisa disamakan dengan Allah dalam hal keagungan, kekuasaan, atau eksistensi. Ini menutup pintu bagi segala upaya menyamakan Allah dengan apapun yang ada di alam semesta.
Para ulama menjelaskan bahwa Al-Ikhlas bernilai sepertiga Al-Quran karena Al-Quran secara umum dibagi menjadi tiga tema utama: (1) Kisah dan Sejarah, (2) Hukum dan Syariat, dan (3) Tauhid dan Akidah. Karena Al-Ikhlas merangkum seluruh prinsip akidah dan keesaan Allah, ia menjadi inti dari sepertiga bagian tersebut. Pembacaan Al-Ikhlas dengan pemahaman yang benar adalah bentuk pemurnian niat dan akidah seorang hamba.
Surat Al-Masad, yang lebih dikenal dengan nama Surat Al-Lahab (Gejolak Api), adalah salah satu dari sedikit surat dalam Al-Quran yang secara eksplisit menyebut dan mengutuk individu tertentu yang menentang Nabi Muhammad ﷺ. Surat ini diturunkan di Makkah pada masa-masa awal dakwah, menyusul permusuhan terang-terangan dari paman Nabi sendiri, Abu Lahab, dan istrinya, Ummu Jamil.
Keunikan surat ini terletak pada fungsinya sebagai mukjizat kenabian (nubuwah). Ia meramalkan secara pasti bahwa Abu Lahab dan istrinya akan mati dalam keadaan kufur dan akan binasa di dalam api neraka. Ramalan ini terbukti, sebab Abu Lahab hidup beberapa tahun setelah surat ini turun, namun ia tidak pernah memeluk Islam—suatu pembuktian nyata atas kebenaran wahyu Ilahi.
Terjemahan: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Lahab). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Di lehernya ada tali dari sabut (masad).
Surat ini turun setelah Nabi Muhammad ﷺ menerima perintah untuk berdakwah secara terbuka kepada kaumnya. Beliau naik ke bukit Shafa dan memanggil Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib. Setelah mengumpulkan mereka, beliau bertanya apakah mereka akan mempercayainya jika ia mengabarkan adanya pasukan di balik bukit yang siap menyerang. Mereka menjawab, “Ya, kami tidak pernah mendengar engkau berdusta.”
Nabi kemudian berkata, “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagimu akan azab yang pedih.” Mendengar ini, pamannya, Abu Lahab (yang nama aslinya Abdul Uzza bin Abdul Muththalib), segera menyahut dengan marah, “Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?” Ia kemudian mengambil batu dan hendak melemparkannya kepada Nabi. Setelah kejadian itu, Surat Al-Masad turun, mengutuk perbuatannya.
Ayat pertama, *Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb*, adalah doa kutukan dan sekaligus pernyataan ilahi. *Tabbat* berarti binasa atau merugi. Ayat ini secara harfiah berarti binasalah kedua tangan Abu Lahab (simbol dari kekuatan dan usahanya), dan ia sungguh telah binasa.
Ayat 2 menegaskan bahwa kekayaan dan usaha Abu Lahab tidak akan menyelamatkannya di akhirat (*Mā aghnā ‘anhu māluhū wa mā kasab*). Abu Lahab adalah orang kaya dan terhormat. Ayat ini merupakan penolakan terhadap pemikiran jahiliyah bahwa status sosial dan kekayaan dapat membeli keselamatan dari murka Ilahi. Dalam Islam, yang menentukan adalah akidah dan amal, bukan harta benda atau nasab.
*Sayaṣlā nāran dhāta lahabin* (Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak). Nama ‘Abu Lahab’ (Ayah Api yang Bergejolak) adalah julukan yang sesuai dengan takdirnya di neraka. Nama ini, yang mungkin diberikan karena wajahnya yang cerah dan berseri-seri, kini menjadi ironi yang merujuk pada api neraka yang sesungguhnya. Ini adalah peringatan keras bahwa hukuman bagi penentang kebenaran adalah setimpal, dan bahkan hubungan darah dengan Nabi tidak dapat memberikan kekebalan.
Istri Abu Lahab, Ummu Jamil (Arwa binti Harb), juga dikutuk. Dia dikenal sangat aktif menyebarkan permusuhan terhadap Nabi. Peranannya di neraka digambarkan dalam dua ayat:
Surat Al-Masad sangat penting karena memberikan legitimasi awal bagi kenabian Muhammad ﷺ di mata para sahabat. Ia membuktikan bahwa wahyu adalah benar dan berasal dari Allah, karena hanya Allah yang dapat meramalkan nasib akhir Abu Lahab tanpa ada kemungkinan ia bertobat, meskipun ia memiliki waktu yang cukup lama untuk menyatakan keislaman demi membantah kebenaran surat tersebut.
Surat An-Nasr (Pertolongan), terdiri dari tiga ayat, adalah salah satu surat Madaniyah terakhir yang diturunkan, menandai klimaks dan penutupan tugas kenabian Nabi Muhammad ﷺ. Surat ini diturunkan setelah Perjanjian Hudaibiyah, dalam konteks persiapan untuk Fathu Makkah (Penaklukan Makkah), dan berfungsi sebagai kabar gembira atas kemenangan yang akan datang dan sekaligus sebagai instruksi spiritual terakhir bagi Rasulullah.
Terjemahan: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan engkau melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.
Ayat 1, *Idhā jā'a naṣrullāhi wal fatḥ*, merujuk pada dua peristiwa besar yang saling berkaitan: Pertolongan Allah (*Nasrullah*) dan Kemenangan (*Al-Fath*).
Sebagian besar mufasir sepakat bahwa *Al-Fath* di sini secara spesifik merujuk pada Fathu Makkah (Penaklukan Makkah) pada tahun ke-8 Hijriyah. Kemenangan ini adalah titik balik sejarah, di mana pusat kekafiran di Jazirah Arab akhirnya tunduk pada Islam, membuka jalan bagi penyebaran dakwah secara massal.
Ayat 2 menjelaskan dampak kemenangan: *Wa ra'aytan nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā* (Dan engkau melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong). Sebelum Fathu Makkah, keislaman seringkali bersifat personal atau kelompok kecil. Setelah Makkah ditaklukkan tanpa pertumpahan darah yang signifikan, suku-suku Arab yang tadinya menunggu hasil akhir antara Nabi dan Quraisy berbondong-bondong datang menyatakan diri masuk Islam. Ini adalah pemenuhan janji Allah kepada Rasul-Nya.
Puncak dari surat ini adalah instruksi Ilahi kepada Nabi dan umatnya setelah meraih kemenangan terbesar: *Fa sabbiḥ biḥamdi rabbika wastaghfirhu, innahū kāna tawwābā*.
Alih-alih memerintahkan perayaan atau penguasaan, Allah memerintahkan dua hal fundamental:
Akhiran *innahū kāna tawwābā* (Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat) memberikan penekanan bahwa bahkan setelah meraih prestasi spiritual dan dakwah yang luar biasa, pintu tobat selalu terbuka, menegaskan sifat Rahmat Allah yang tak terbatas.
Para sahabat besar, seperti Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab, memahami surat ini bukan hanya sebagai kabar gembira kemenangan, tetapi juga sebagai isyarat bahwa tugas Nabi telah selesai dan ajal beliau sudah dekat. Kemenangan dan masuknya manusia ke dalam Islam secara massal berarti risalah telah paripurna. Setelah surat ini turun, Nabi Muhammad ﷺ dilaporkan lebih sering membaca tasbih dan istighfar, sebagai persiapan untuk bertemu dengan Tuhannya.
Meskipun kelima surat ini terpisah dalam susunan mushaf, mereka menyajikan sebuah kurikulum spiritual yang kohesif, membimbing seorang mukmin dari pondasi akidah hingga perlindungan diri, dan berakhir pada kesimpulan misi kenabian. Keterkaitan tematik antara An-Nasr, Al-Lahab, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas adalah sebagai berikut:
Surat Al-Lahab mewakili awal konflik dan permusuhan yang intensif di Makkah, di mana kebenaran ditentang oleh kerabat terdekat Nabi. Sementara itu, Surat An-Nasr melambangkan akhir konflik yang sukses—kemenangan absolut Islam, di mana permusuhan dikalahkan dan kebenasan berbondong-bondong menerima petunjuk. Keduanya membentuk bingkai naratif dari permulaan hingga klimaks risalah.
Tiga surat terakhir secara urutan menyusun benteng spiritual bagi individu:
Dengan demikian, seseorang yang telah mencapai kemurnian Tauhid (Al-Ikhlas) akan otomatis mencari perlindungan yang sempurna dari segala kejahatan yang mengancam keimanannya, baik dari luar (Al-Falaq) maupun dari dalam (An-Nas).
Kelimanya juga sangat relevan dalam praktik ibadah:
Kelima surat ini, meskipun singkat, berfungsi sebagai ringkasan akidah dan etika Islam yang paling esensial. Mereka mengajarkan hamba untuk memahami hakikat Allah (Al-Ikhlas), memahami siklus perjuangan dan kemenangan (Al-Lahab dan An-Nasr), serta membentengi diri secara spiritual dari segala bentuk ancaman internal dan eksternal (An-Nas dan Al-Falaq). Inilah sebabnya mengapa surat-surat ini menjadi bacaan harian yang tak terpisahkan dari kehidupan seorang Muslim, menjadi jaminan perlindungan dan pengingat akan keesaan Ilahi.
Ketinggian nilai kelima surat ini tidak lepas dari keindahan dan presisi bahasanya. Analisis linguistik menunjukkan bagaimana setiap pilihan kata berfungsi untuk menyampaikan makna teologis yang mendalam dan meminimalkan ambiguitas, terutama dalam konteks permohonan perlindungan dan penegasan Tauhid.
Dalam An-Nas, kata *An-Nas* (manusia) diulang sebanyak lima kali (ayat 1, 2, 3, 5, 6). Sementara itu, kata yang mendominasi di awal adalah tiga atribut utama: *Rabb, Malik, Ilah*.
Struktur tiga serangkai ini (*Rabb, Malik, Ilah*) adalah bentuk tadarruj (peningkatan/gradasi). Mulai dari hubungan umum (Pencipta/Rabb) ke hubungan formal (Penguasa/Malik), hingga hubungan tertinggi yang bersifat spiritual (Sembahan/Ilah). Ini menunjukkan bahwa perlindungan paling efektif datang ketika kita mengakui Allah dalam semua dimensi eksistensi kita. Pengulangan kata *An-Nas* menegaskan bahwa perlindungan ini bersifat eksklusif bagi seluruh umat manusia, karena waswas (bisikan) adalah ancaman universal yang menyerang fitrah kemanusiaan.
Al-Falaq menggunakan teknik kontras yang kuat. Permohonan perlindungan kepada *Rabb Al-Falaq* (Tuhan Subuh/Cahaya) segera diikuti oleh permohonan perlindungan dari *Ghasiqin Idza Waqab* (Malam yang gelap gulita). Kontras antara terang dan gelap ini secara retoris menekankan kemahakuasaan Allah untuk menarik keluar makhluk-Nya dari situasi paling berbahaya.
Selain itu, penggunaan frase seperti *Naffatsat* (bentuk jamak feminin) dalam konteks sihir, secara historis mengacu pada peran dominan wanita tertentu di Arab pra-Islam yang melakukan sihir buhul. Penamaan yang spesifik ini memberikan penegasan historis terhadap ancaman sihir pada masa itu, sementara tetap relevan secara umum sebagai perlindungan dari praktik okultisme.
Al-Ikhlas adalah mahakarya retorika dalam penegasan Tauhid. Penggunaan kata *Ahad* daripada *Wahid* (sebagaimana dibahas sebelumnya) memberikan makna kekal dan tidak terbagi. Selain itu, empat ayat dalam Al-Ikhlas mengikuti prinsip penolakan empat konsep kekafiran:
Susunan ini menyajikan definisi Allah yang komprehensif, murni, dan mutlak, yang tidak mungkin disalahartikan atau disamakan dengan konsep dewa-dewa buatan manusia.
Al-Masad menggunakan struktur prediktif yang agresif. Ayat pertama *Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb* menggunakan kata kerja lampau yang menunjukkan kepastian, meskipun peristiwanya merujuk ke masa depan. Dalam retorika Arab, penggunaan bentuk lampau untuk meramalkan peristiwa masa depan menunjukkan bahwa peristiwa itu sudah pasti terjadi dalam ilmu Allah. Ini memperkuat unsur mukjizat kenabian dalam surat tersebut.
Selain itu, hukuman bagi Abu Lahab dan istrinya disajikan dalam bentuk yang sangat visual dan simbolis: api yang bergejolak (*Lahab*) untuk Abu Lahab, dan tali sabut (*Masad*) untuk istrinya—menghubungkan nama mereka dengan hukuman kekal mereka.
An-Nasr berstruktur pada tiga pilar kata kunci: *Nasr* (Pertolongan), *Al-Fath* (Kemenangan), dan *Afwājā* (Berbondong-bondong). Transisi dari kemenangan militer/politik (*Nasr* dan *Al-Fath*) langsung menuju perintah spiritual (*Tasbīḥ* dan *Istighfār*) mencerminkan etos Islam yang menolak pemisahan antara urusan duniawi dan spiritual. Kemenangan duniawi hanya bernilai jika diikuti dengan penyucian diri dan pengakuan bahwa sumber kemenangan adalah Ilahi.
Kajian mendalam atas lima surat ini menunjukkan bahwa Al-Quran, bahkan dalam bagiannya yang terpendek, menggunakan bahasa yang sangat terstruktur, sengaja, dan sarat makna, memastikan bahwa pesan-pesan Tauhid, perlindungan, dan kenabian tersampaikan dengan kekuatan retorika yang tak tertandingi.
Lima surat penutup ini bukan hanya berisi doktrin teologis, tetapi juga fondasi penting dalam praktik ibadah (fikih) dan pengembangan spiritual (tasawuf). Pengamalannya memiliki keutamaan khusus yang disabdakan langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ.
An-Nas dan Al-Falaq (*Al-Mu’awwidzatain*) memiliki fungsi syar'i yang jelas sebagai doa perlindungan (isti’adzah). Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ sangat jarang meninggalkan kedua surat ini, khususnya saat tidur, setelah salat wajib, dan ketika sakit. Hadits sahih dari Aisyah RA menyebutkan bahwa Nabi ﷺ sering meniupkan kedua surat ini ke tangannya lalu mengusap seluruh tubuhnya yang mampu dijangkau sebelum tidur.
Secara fikih, ini melegitimasi praktik *ruqyah syar'iyyah* (penyembuhan dengan ayat Al-Quran dan doa yang sahih). Al-Mu’awwidzatain secara spesifik digunakan untuk melawan:
Mengamalkan Al-Mu’awwidzatain adalah bentuk konkret dari tawakal, di mana seorang hamba meletakkan perlindungan dirinya sepenuhnya di tangan Allah, menolak bergantung pada azimat atau praktik syirik lainnya.
Keutamaan Al-Ikhlas setara sepertiga Al-Quran tidak hanya berhenti pada pemahaman akidah. Para sufi dan ulama menekankan bahwa seringnya membaca dan merenungkan Al-Ikhlas membantu memurnikan niat (*ikhlas*) seseorang. Ketika hati benar-benar memahami bahwa Allah adalah *Ash-Shamad* (tempat bergantung mutlak) dan *Ahad* (Maha Esa), segala amal perbuatan akan diarahkan hanya kepada-Nya, membebaskan diri dari riya (pamer) dan syirik kecil.
Dalam fikih jenazah, Al-Ikhlas sering dibaca untuk mendoakan almarhum, menekankan bahwa di akhirat, yang menyelamatkan hanyalah Tauhid yang murni.
Dari An-Nasr: Surat ini menetapkan etika pasca-kemenangan. Dalam hukum perang dan kepemimpinan Islam, kemenangan tidak boleh diikuti oleh euforia, kesombongan, atau tirani. Sebaliknya, ia harus diikuti oleh Tasbih (pengagungan Allah) dan Istighfar (pengakuan kelemahan diri). Ini adalah landasan spiritual bagi para pemimpin Muslim agar tetap rendah hati dan adil setelah meraih kekuasaan atau keberhasilan besar.
Dari Al-Lahab: Surat ini mengajarkan konsep walā’ wa barā’ (loyalitas dan penolakan), meskipun dalam konteks yang sangat spesifik. Surat ini menunjukkan bahwa hubungan akidah harus diutamakan di atas hubungan darah. Meskipun Abu Lahab adalah paman Nabi, kekufurannya yang terang-terangan menyebabkan ia dikutuk. Ini memperkuat bahwa tidak ada kompromi dalam masalah Tauhid, bahkan dengan kerabat terdekat.
Di era modern, di mana manusia menghadapi tekanan psikologis dan keraguan (waswas) yang intens, An-Nas dan Al-Falaq berfungsi sebagai terapi spiritual. Bisikan syaitan seringkali bermanifestasi sebagai OCD (Obsessive Compulsive Disorder) berbasis agama, keraguan yang tidak berdasar, atau kecemasan yang berlebihan. Dengan secara sadar menyerahkan diri kepada *Rabb An-Nas* yang merupakan Raja dan Sembahan, seorang mukmin melatih dirinya untuk melepaskan kecemasan dan mengembalikan kendali emosi dan pikiran kepada Allah.
Kesimpulannya, kajian fikih dan spiritual dari lima surat ini membuktikan relevansinya yang tak lekang oleh waktu. Mereka adalah panduan komprehensif untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat, menyempurnakan Tauhid, dan membentengi jiwa dari segala bentuk kejahatan.
Surat An-Nasr, Al-Masad (Al-Lahab), Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas—lima mutiara penutup Al-Quran—merupakan warisan spiritual yang padat dan abadi. Setiap kata di dalamnya adalah instruksi, peringatan, dan jaminan. Mereka adalah kunci untuk memahami keseluruhan pesan Al-Quran karena menyinggung tiga dimensi eksistensi manusia: akidah (hubungan dengan Allah), muamalah (hubungan dengan sesama, baik musuh maupun teman), dan tazkiyatun nufus (penyucian jiwa).
Jika seseorang merenungkan mengapa Al-Quran ditutup dengan dua surat perlindungan (Al-Falaq dan An-Nas), ia akan menyadari bahwa perjuangan terbesar manusia adalah menjaga kemurnian iman hingga akhir hayat. Setelah Tauhid ditegaskan (Al-Ikhlas) dan nasib para penentang disimpulkan (Al-Lahab), serta kemenangan absolut diumumkan (An-Nasr), tantangan terakhir adalah mempertahankan keselamatan diri dari bisikan dan kejahatan yang tidak pernah berhenti mengintai.
Oleh karena itu, kelima surat ini melampaui sekadar bacaan ritual; mereka adalah manual pertahanan spiritual yang harus dihayati dalam setiap aspek kehidupan. Mengingat kedudukannya yang vital, pengkajian yang berkelanjutan terhadap makna mendalam (tafsir tahlili) dari setiap ayat adalah suatu keharusan bagi setiap Muslim yang ingin mencapai derajat iman yang sempurna dan ketulusan (ikhlas) yang sejati.