Al-Qur'an, sebagai petunjuk abadi, seringkali menggunakan fenomena alam yang luar biasa—baik yang tampak terang benderang maupun yang tersembunyi dalam kegelapan—sebagai sumpah dan alat argumentasi untuk menyampaikan kebenaran fundamental tentang manusia dan takdirnya. Dua surat yang mencontohkan pendekatan ini dengan sangat indah adalah Surat Asy-Syams (Matahari) dan Surat Al-Lail (Malam). Kedua surat ini, yang terletak berdekatan dalam Juz 30, membentuk pasangan tematik yang membahas dikotomi abadi dalam kehidupan: cahaya dan kegelapan, kesuksesan dan kegagalan, pemberian dan kekikiran, serta pemurnian dan kekotoran jiwa.
Artikel ini akan menyajikan kajian mendalam (tafsir) terhadap kedua surat Makkiyah ini, menelusuri konteks wahyu, analisis linguistik, dan pelajaran spiritual yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, membongkar bagaimana Allah SWT menggunakan alam semesta sebagai saksi atas pilihan moral yang menentukan nasib kekal manusia.
Surat Asy-Syams, yang berarti ‘Matahari’, terdiri dari 15 ayat. Surat ini dinamakan berdasarkan sumpah pertamanya. Ia termasuk surat Makkiyah, yang berfokus pada Tauhid (Keesaan Allah), hari kebangkitan, dan yang paling penting, pertarungan spiritual di dalam diri manusia: Tazkiyatun Nafs (pemurnian jiwa).
Inti dari Surat Asy-Syams dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling terkait erat:
Allah SWT bersumpah dengan empat entitas yang mewakili siklus cahaya dan waktu. Ini adalah sumpah yang luar biasa, menunjukkan keagungan Pencipta atas alam semesta yang teratur. Sumpah (Al-Aqsām) dalam Al-Qur'an menunjukkan bahwa apa yang disumpahkan itu adalah bukti terbesar bagi topik yang akan dibahas.
Sumpah 1 & 2 (Asy-Syamsi wa Dhuhaha): Matahari, sumber energi dan kehidupan, dan waktu Dhuha, saat cahayanya mencapai puncak kejayaan. Ini melambangkan kejelasan, kejujuran, dan kebenaran yang tidak dapat disangkal. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ‘Dhuhaha’ adalah sinarnya saat Matahari terbit sepenuhnya.
Sumpah 3 (Al-Qamari Idzā Talāhā): Bulan yang mengiringi Matahari. Tafsir kontemporer melihat ini sebagai penekanan pada keteraturan astronomi, di mana Bulan mengambil cahayanya dari Matahari, menandakan sistem yang terikat dan saling bergantung.
Sumpah 4 & 5 (Wa an-Nahāri Idzā Jallāhā & Wa al-Laili Idzā Yaghsāhā): Siang yang menampakkan Matahari, dan Malam yang menutupinya. Ini adalah kontras yang sempurna antara keterbukaan (siang, yang memudahkan pekerjaan) dan penutupan (malam, yang memudahkan istirahat). Keberadaan kedua kutub ini adalah karunia dan bukti kekuasaan ilahi.
Sumpah berlanjut ke dimensi spasial dan internal. Setelah bersumpah dengan waktu, Allah bersumpah dengan ruang (langit dan bumi), dan kemudian, puncak dari semua ciptaan fisik, yaitu Jiwa (Nafs).
Sumpah 6 & 7 (Wa as-Samā'i wa Mā Banāhā): Langit dan konstruksinya yang megah. Ini merujuk pada kekokohan, ketinggian, dan keajaiban arsitektur kosmik yang tak tertandingi.
Sumpah 8 & 9 (Wa al-Ardhi wa Mā Thahāhā): Bumi dan penghamparannya. Kata Thahāhā (menghamparkannya) mencerminkan kebijaksanaan Allah dalam menjadikan Bumi layak huni, landai, dan menyediakan sumber daya.
Sumpah 10 & 11 (Wa Nafsin wa Mā Sawwāhā, Fa-Alhamahā Fujūrahā wa Taqwāhā): Ini adalah sumpah puncak, yang menjadi jembatan menuju inti pesan surat ini. Allah bersumpah dengan 'Jiwa' dan penyempurnaannya, serta fakta bahwa Allah telah menanamkan dalam jiwa manusia potensi untuk berbuat kebaikan (Taqwa) dan potensi untuk berbuat kejahatan (Fujur).
Setelah sebelas sumpah agung, inilah jawaban yang ditunggu-tunggu (Jawab al-Qasam). Segala keteraturan kosmik, dari Matahari yang bersinar hingga Bumi yang terhampar, menjadi saksi bahwa nasib manusia di Akhirat tidak ditentukan oleh harta, kedudukan, atau ras, melainkan oleh satu faktor tunggal: Tazkiyatun Nafs (Pemurnian Jiwa).
Af-laha Man Zakkāhā: Merujuk pada kesuksesan abadi, yang dicapai melalui proses menyucikan jiwa. Tazkiyah melibatkan pembersihan diri dari penyakit hati (dengki, sombong, riya’) dan mengisinya dengan sifat-sifat mulia (tawakkal, ikhlas, sabar).
Khāba Man Dassāhā: Merujuk pada kerugian, kehancuran, atau kegagalan. Kata Dassāhā secara harfiah berarti 'menyembunyikannya' atau 'menenggelamkannya' dalam kotoran. Ini adalah tindakan menyembunyikan fitrah kebaikan yang telah Allah tanamkan, membiarkan jiwa tenggelam dalam dosa dan kefasikan.
Setelah memberikan hukum universal, Al-Qur'an memberikan contoh historis yang kuat: kisah kaum Tsamud, umat Nabi Saleh AS, yang dihancurkan karena keengganan mereka untuk menyucikan jiwa.
Kaum Tsamud hidup dalam kemewahan dan kekuatan, mampu memahat rumah di gunung. Namun, kekayaan ini justru menumbuhkan kesombongan dan kedurhakaan (Thughwān). Ketika Nabi Saleh AS membawa unta betina mukjizat (Naqatullah) sebagai ujian dan tanda, mereka menolaknya.
Ayat 12: ‘Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka’—Ini merujuk pada Qudar bin Salif. Meskipun hanya satu orang yang membunuh unta, seluruh kaum Tsamud dianggap bertanggung jawab karena mereka semua setuju dan mendukung tindakan tersebut. Ini menunjukkan prinsip kolektif dalam kejahatan.
Ayat 14 & 15: Akhir yang tragis. Allah membinasakan mereka, meratakan mereka dengan tanah. Pernyataan penutup, "Wa lā yakhāfu ‘uqbāhā" (Dan Dia tidak takut terhadap akibatnya), adalah penekanan kekuasaan mutlak Allah. Allah adalah Hakim yang adil; tidak ada yang dapat meminta pertanggungjawaban atas keputusan-Nya, dan tidak ada konsekuensi negatif bagi-Nya, sebab Dia adalah Yang Maha Kuasa.
Surat Asy-Syams mengajarkan bahwa alam semesta ini teratur, dan keteraturan kosmik harus tercermin dalam keteraturan moral dalam jiwa manusia. Jika Matahari dan Bulan patuh pada sistemnya, mengapa manusia, yang dianugerahi akal dan kebebasan, memilih untuk durhaka?
Surat Al-Lail, yang berarti ‘Malam’, terdiri dari 21 ayat. Surat ini segera mengikuti Asy-Syams dan berfungsi sebagai pelengkap tematik. Jika Asy-Syams menekankan pentingnya pemurnian jiwa (mengapa kita harus beramal), maka Al-Lail berfokus pada manifestasi pemurnian jiwa tersebut melalui perbuatan: kontras antara memberi (kedermawanan) dan menahan (kekikiran).
Al-Lail terkenal karena menetapkan dua jalur yang berbeda dalam kehidupan, yang masing-masing memiliki akhir yang berbeda pula. Surat ini diperkirakan turun di Makkah pada periode awal, mengomentari karakter-karakter yang kontras di kalangan masyarakat Quraisy.
Secara umum, surat ini terbagi menjadi tiga segmen:
Allah bersumpah dengan fenomena alam dan sosial yang menunjukkan dualitas (pasangan yang berlawanan). Sumpah ini menggarisbawahi kebenaran bahwa segala sesuatu di alam semesta ini diciptakan berpasangan. Kontras yang paling nyata adalah Malam dan Siang, serta laki-laki dan perempuan.
Ayat 4 (Inna Sa’yakum La Syattā): Inilah jawab dari sumpah. Setelah menunjukkan dualitas yang teratur di alam, Allah menyatakan bahwa usaha dan amal manusia tidaklah seragam, melainkan terpecah menjadi dua kategori yang sangat berbeda dan berlawanan (Syattā).
Ini adalah potret karakter pertama yang memilih Taqwa, sebagaimana disinggung dalam Asy-Syams. Karakter ini diidentifikasi oleh tiga ciri utama:
1. A’thā (Memberi/Kedermawanan): Orang yang mau mengeluarkan hartanya tanpa rasa takut kekurangan. Kedermawanan di sini bukan hanya finansial, tetapi juga memberikan waktu, tenaga, dan ilmu.
2. Ittaqā (Bertakwa): Orang yang berhati-hati dalam tindakannya, menjauhi larangan Allah dan menjalankan perintah-Nya, didorong oleh kesadaran ilahi.
3. Shaddaqā bil-Husnā (Membenarkan Al-Husna): 'Al-Husna' sering ditafsirkan sebagai janji Allah tentang surga (pahala terbaik) atau Kalimah Tauhid (La Ilaha Illallah). Orang ini memiliki keyakinan kokoh pada balasan Akhirat.
Konsekuensi (Ayat 7): Fasanuyassiruhu lil-Yusrā (Kami akan mudahkan baginya jalan kemudahan). Allah menjamin bahwa jalan menuju kebahagiaan (dunia dan akhirat) akan dimudahkan baginya. Kebaikan akan melahirkan kebaikan, dan ketaatan akan terasa ringan. Ini adalah hukum sebab-akibat spiritual.
Ini adalah potret karakter kedua yang memilih Fujur (kekotoran jiwa). Karakter ini merupakan kebalikan sempurna dari yang pertama:
1. Bakhila (Kikir): Orang yang menahan hartanya karena takut miskin atau enggan berkorban. Kekikiran adalah manifestasi terbesar dari cinta dunia (hubbud dunya).
2. Istaghnā (Merasa Cukup Diri): Orang yang merasa tidak membutuhkan Allah atau balasan-Nya. Sikap ini adalah akar kesombongan spiritual; ia merasa sukses semata-mata karena usahanya sendiri, melupakan anugerah Ilahi.
3. Kadzdzabā bil-Husnā (Mendustakan Al-Husna): Orang yang tidak yakin atau menolak janji Akhirat. Karena tidak ada keyakinan, tidak ada motivasi untuk memberi.
Konsekuensi (Ayat 10): Fasanuyassiruhu lil-‘Usrā (Kami akan mudahkan baginya jalan kesukaran). Jalan hidupnya, baik di dunia maupun akhirat, akan dipenuhi kesulitan. Pilihan untuk berbuat dosa menjadi mudah, tetapi hasil akhirnya adalah kepedihan dan kesusahan (Usra).
Sisa surat ini memberikan penegasan kuat dan peringatan terakhir.
Peringatan Harta (Ayat 11): Kekayaan orang kikir tidak akan menyelamatkannya ketika dia jatuh (ke dalam neraka atau kehancuran). Harta yang ditahan tidak memiliki nilai penebusan di sisi Allah.
Jaminan Ilahi (Ayat 12-13): Allah menegaskan bahwa petunjuk (Al-Hudā) adalah hak dan tanggung jawab-Nya. Dia yang menunjukkan jalan kebenaran. Selain itu, Dia menguasai dunia dan akhirat, sehingga janji-janji pahala dan ancaman hukuman-Nya adalah pasti.
Penyelamatan Mutlak (Ayat 17-21): Ayat-ayat penutup secara spesifik menggambarkan orang yang paling bertakwa (Al-Attaqā). Tafsir klasik menyebutkan bahwa ayat-ayat ini turun terkait Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq RA, yang dikenal sangat dermawan memerdekakan budak-budak Muslim yang disiksa tanpa mengharapkan balasan dari budak tersebut.
Al-Lail menggeser fokus dari potensi jiwa (Asy-Syams) menjadi tindakan nyata. Ia menetapkan bahwa Taqwa dan Fujur diwujudkan dalam dua bentuk perilaku yang kontras: memberi versus menahan diri.
Surat Asy-Syams dan Al-Lail sering dipandang sebagai surat kembar (an-nazam) dalam tata letak Al-Qur'an. Keduanya memiliki hubungan tematik, linguistik, dan struktural yang erat, membentuk satu kesatuan ajaran fundamental tentang moralitas dan konsekuensi.
Baik Asy-Syams maupun Al-Lail sangat bergantung pada konsep dualitas, menggunakan oposisi sebagai alat retorika:
| Surat Asy-Syams | Surat Al-Lail |
|---|---|
| Cahaya (Syams/Dhuha) vs. Kegelapan (Lail/Ghasyā) | Cahaya (Nahār/Tajallā) vs. Kegelapan (Lail/Yaghsā) |
| Taqwa (Pemurnian) vs. Fujur (Pengotoran) | Memberi (A'thā) vs. Kikir (Bakhila) |
| Kemenangan (Aflaha) vs. Kerugian (Khaba) | Kemudahan (Yusrā) vs. Kesukaran (Usrā) |
Dualitas ini menekankan bahwa hidup adalah arena pilihan yang jelas. Sama seperti alam semesta terbagi menjadi pasangan yang berlawanan, nasib spiritual manusia juga terbagi menjadi dua jalan yang berlawanan.
Asy-Syams memberikan prinsip fundamental: Murni = Sukses (Aflaha). Al-Lail kemudian menjelaskan bagaimana pemurnian jiwa (Tazkiyah) diwujudkan dalam tindakan nyata: Tazkiyah dilakukan melalui memberi, ketakwaan, dan pembenaran Akhirat.
Jika Asy-Syams menetapkan perlunya pemurnian (Taqwa mengalahkan Fujur), maka Al-Lail menunjukkan ujian terberat bagi Taqwa, yaitu harta dan ego (melawan Bakhil dan Istaghnā). Kaum Tsamud dalam Asy-Syams gagal karena mereka mengikuti Fujur; orang kikir dalam Al-Lail mengikuti Fujur.
Kedua surat ini memiliki ritme yang cepat dan tegas (faasilah) yang khas pada surat-surat Makkiyah awal. Asy-Syams diakhiri dengan huruf 'a' (ha) yang melambangkan peringatan keras (Dhuhāhā, Talāhā, Yaghsāhā). Sementara Al-Lail diakhiri dengan suara yang lebih lembut (Yaghsā, Tajallā, Syattā), yang mengarah pada janji kemudahan (Yusrā) dan kesusahan (Usrā). Perbedaan fonetik ini mencerminkan perbedaan fokus: Asy-Syams adalah teguran keras, Al-Lail adalah panduan jalur amal yang jelas.
Untuk memahami kedalaman pesan moral kedua surat ini, penting untuk mengupas lebih lanjut beberapa konsep kunci yang diangkat oleh para mufasir.
Penggunaan sebelas sumpah secara berurutan ini adalah yang terpanjang dalam Al-Qur'an. Para ulama tafsir, seperti Al-Qurtubi dan Fakhruddin Ar-Razi, berpendapat bahwa banyaknya sumpah ini menunjukkan betapa pentingnya isu yang akan disampaikan, yaitu Tazkiyatun Nafs. Jika Allah memerlukan bukti kosmik sebanyak ini, berarti tugas pemurnian jiwa adalah hal yang paling krusial bagi manusia.
Langit, Matahari, dan Bumi semuanya patuh dan berfungsi sesuai dengan hukum Allah. Mereka tidak pernah durhaka. Dengan bersumpah atas keteraturan kosmik, Allah seolah bertanya: Jika seluruh ciptaan yang tidak memiliki kebebasan memilih tunduk, bagaimana mungkin manusia, yang dikaruniai akal, memilih ketidakpatuhan?
Sumpah terakhir kepada Jiwa (Nafs) adalah transisi dari dunia luar ke dunia batin. Jiwa adalah mikrokosmos dari alam semesta. Sama seperti Matahari mengeluarkan cahaya (Taqwa), Jiwa juga bisa mengeluarkan kegelapan (Fujur). Pemurnian adalah memastikan Jiwa memancarkan cahaya Taqwa, bukan kegelapan Fujur.
Mengapa Al-Lail menempatkan ‘Memberi’ (A’thā) sebagai ciri pertama dan utama dari jalan kemudahan? Karena kedermawanan adalah ujian paling nyata dari Iman. Cinta pada harta adalah fitrah. Melepaskan harta demi Allah menunjukkan tiga hal:
Sebaliknya, kekikiran (Bakhila) lahir dari ketidakpercayaan dan ego. Orang kikir merasa "Aku yang mencari uang ini, jadi aku yang berhak penuh atasnya." Ini adalah cerminan dari Istaghnā (merasa cukup diri) yang disebutkan dalam Ayat 8, yaitu merasa tidak membutuhkan Allah.
Kisah Abu Bakar As-Siddiq yang memerdekakan Bilal dan budak-budak lain (disebutkan dalam konteks ayat 17-21) mencontohkan Ikhlas paripurna. Beliau membeli budak-budak ini dari tuannya yang kafir yang menyiksa mereka. Para sahabat lain bertanya, "Apakah engkau sedang membalas budi kepada mereka?" Abu Bakar bersumpah bahwa dia memberi bukan karena budi atau utang, melainkan semata-mata mencari keridhaan Allah (Ibtighā'a wajhi Rabbihil A'lā). Ini adalah definisi Taqwa tertinggi yang membawa kepada kepuasan (Yardhā).
Konsekuensi dari amal dalam Al-Lail diungkapkan melalui kata ‘Yusra’ (Kemudahan) dan ‘Usra’ (Kesukaran). Ini tidak hanya berlaku di Akhirat, tetapi juga di dunia:
Yusra (Kemudahan): Allah mempermudah orang bertakwa untuk melakukan kebaikan. Ketaatan terasa ringan, pintu rezeki terbuka, dan masalah hidup dihadapi dengan ketenangan jiwa. Kedermawanan membuka jalan bagi kemudahan. Misalnya, orang yang mudah bersedekah akan dimudahkan Allah untuk bersedekah lagi.
Usra (Kesukaran): Orang kikir dan merasa cukup diri akan menemukan bahwa hidup mereka sulit. Meskipun kaya, mereka selalu khawatir kekurangan, sulit berbagi, dan bahkan ketaatan pun terasa memberatkan. Kekikiran menutup jalan kemudahan dan menjebak mereka dalam lingkaran ketidakpuasan abadi.
Kedua surat ini, meskipun pendek, mengandung cetak biru (blueprint) spiritual yang lengkap. Tugas manusia adalah menggabungkan Tazkiyatun Nafs (pembersihan) dari Asy-Syams dengan A’thā (pemberian) dari Al-Lail.
Bagaimana kita memastikan bahwa kita menyucikan (Zakkāhā) jiwa kita, bukan mengotorinya (Dassāhā)?
Dalam masyarakat kontemporer yang didominasi materialisme, kekikiran (Bakhila) mengambil bentuk baru:
Surat Al-Lail mengingatkan kita bahwa ‘memberi’ adalah sebuah filosofi hidup, bukan sekadar transaksi keuangan. Memberi adalah investasi yang dimudahkan jalannya oleh Allah (Yusrā), sementara menahan adalah pintu menuju kesukaran (Usrā).
Peringatan dalam Asy-Syams tentang kaum Tsamud sangat relevan. Meskipun hanya satu orang yang membunuh unta mukjizat, seluruh kaum dihancurkan karena mereka menyetujui (ridha) dan mendukung perbuatan keji tersebut. Ini mengajarkan bahwa dalam komunitas:
Kehancuran kolektif terjadi ketika masyarakat secara pasif atau aktif menerima kejahatan, baik itu korupsi, penindasan, atau kedurhakaan terang-terangan (Fujur). Untuk mencapai Af-laha (kesuksesan), umat Islam harus aktif dalam mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahi munkar).
Kedua surat ini memberikan pemahaman mendalam tentang hubungan antara ciptaan dan Pencipta, serta aksi dan konsekuensi. Mereka menetapkan bahwa tidak ada yang netral dalam kehidupan spiritual; setiap detik adalah pilihan antara Taqwa dan Fujur, antara A’thā dan Bakhila.
Asy-Syams (ayat 8) secara eksplisit menyebutkan bahwa Allah telah "mengilhamkan" kedua potensi (Fujur dan Taqwa). Ini adalah takdir, yaitu fitrah bawaan. Namun, ayat 9 dan 10 menyatakan bahwa kesuksesan datang dari orang yang aktif memilih untuk menyucikan jiwa (Zakkāhā). Ini menegaskan bahwa takdir menyediakan alat (potensi moral), tetapi pilihan (Zakkāhā atau Dassāhā) adalah sepenuhnya milik manusia.
Surat Asy-Syams memberikan ‘Ilmu’ (pengetahuan) tentang pentingnya Tazkiyah. Surat Al-Lail memberikan ‘Amal’ (tindakan) yang memvalidasi Tazkiyah tersebut. Keduanya tidak terpisahkan:
Seseorang yang mengetahui bahwa kesuksesan ada pada pemurnian jiwa (Asy-Syams), tetapi tidak mau beramal dengan memberi dan bertakwa (Al-Lail), adalah orang yang mendustakan janji Akhirat (Kadzdzabā bil-Husnā). Sebaliknya, amal tanpa ilmu dan niat yang benar (Ikhlas) akan sia-sia.
Surat Asy-Syams dan Al-Lail adalah cermin bagi hati manusia. Mereka memaksa kita untuk melihat ke dalam, di balik tirai kekayaan dan kesibukan duniawi, dan bertanya: Apakah jiwa saya memancarkan cahaya Taqwa, ataukah ia tenggelam dalam kegelapan Fujur dan kekikiran? Jawabannya, menurut Al-Qur'an, akan menentukan apakah kita dimudahkan menuju Yusra atau dipersulit menuju Usra.
Semoga kita termasuk golongan yang menyucikan jiwa, membenarkan Al-Husna, dan dimudahkan jalannya menuju keberuntungan abadi.