Dalam lautan ayat-ayat suci Al-Qur'an, setiap surah dan ayat menyimpan kedalaman makna yang tak terhingga. Salah satunya adalah Surat At-Tin, yang diakhiri dengan sebuah penegasan Ilahi yang sarat akan hikmah. Ayat terakhir dari Surat At-Tin, yaitu ayat ke-8, sering kali menjadi titik renungan bagi kaum Muslimin untuk memahami hakikat diri dan tujuan penciptaan.
Surat At-Tin sendiri, yang berarti "Buah Tin", dibuka dengan sumpah Allah SWT atas dua buah yang diberkahi, yaitu buah tin dan buah zaitun. Sumpah ini kemudian dilanjutkan dengan sumpah atas Gunung Sinai dan negeri Mekah yang aman. Allah SWT ingin menegaskan pentingnya sesuatu yang akan disampaikan setelah sumpah-sumpah tersebut. Sebagian besar ulama menafsirkan bahwa sumpah ini adalah untuk membuktikan kebenaran risalah kenabian dan kesempurnaan agama Islam.
Setelah mengisahkan tentang penciptaan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, Al-Qur'an kemudian memberikan peringatan mengenai potensi manusia untuk menjadi hina. Namun, di akhir surah, terdapat penegasan yang sangat fundamental. Ayat terakhir dari Surat At-Tin berbunyi:
Pertanyaan retoris yang diajukan dalam ayat terakhir ini bukanlah pertanyaan yang memerlukan jawaban verbal, melainkan sebuah penegasan dan keyakinan yang harus tertanam dalam hati setiap insan. Kalimat "Bukankah Allah adalah Hakim yang paling adil?" merupakan pukulan telak bagi keraguan dan kebimbangan. Ia mengingatkan kita bahwa di alam semesta ini, terdapat Kekuatan Tertinggi yang mengatur segala urusan dengan kebijaksanaan dan keadilan yang sempurna. Tidak ada satu pun keputusan-Nya yang luput dari kesempurnaan.
Dalam konteks ayat-ayat sebelumnya, penegasan ini menjadi sangat krusial. Setelah manusia diciptakan dalam bentuk yang paling baik dan diberi kemampuan akal serta pilihan, manusia juga dihadapkan pada pilihan untuk tetap dalam kebaikan atau terjerumus dalam kehinaan. Di sinilah peran Allah sebagai Hakim yang paling adil menjadi jelas. Dia tidak akan menghukum hamba-Nya tanpa bukti, tanpa peringatan, dan tanpa memberikan kesempatan untuk bertaubat. Keadilan-Nya terwujud dalam sistem balasan (pahala dan siksa) yang pasti akan diterima oleh setiap individu sesuai dengan amal perbuatannya.
Penafsiran mengenai "Hakim yang paling adil" ini sangat luas. Ia mencakup keadilan dalam pemberian rezeki, keadilan dalam ujian hidup, keadilan dalam penetapan takdir, dan yang terpenting, keadilan dalam penilaian terhadap seluruh perbuatan manusia di akhirat kelak. Dengan menegaskan bahwa Allah adalah Hakim yang paling adil, kita diajak untuk tidak merasa putus asa ketika menghadapi kesulitan atau ketidakadilan di dunia. Keyakinan ini memberikan ketenangan batin, karena kita tahu bahwa ada Keadilan Tertinggi yang akan ditegakkan.
Ayat terakhir Surat At-Tin memiliki implikasi yang mendalam bagi cara pandang dan tindakan seorang Muslim:
Dengan merenungkan ayat terakhir Surat At-Tin, kita diajak untuk senantiasa menjaga hubungan baik dengan Sang Pencipta, memperbaiki diri, dan menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan pengawasan dan keadilan-Nya. Segala sesuatu yang terjadi, baik suka maupun duka, adalah bagian dari skema keadilan-Nya yang sempurna. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berpegang teguh pada keyakinan ini dan menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk hidup yang abadi.