Surat At-Tin dan Artinya Per Ayat

Ilustrasi daun dan buah yang melambangkan kesuburan dan kekayaan alam.

Surat At-Tin merupakan surat ke-95 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 8 ayat dan termasuk dalam golongan surat Makkiyah. Nama "At-Tin" diambil dari kata pertama surat ini yang berarti "buah tin". Buah tin memiliki banyak manfaat dan sering dikaitkan dengan kesuburan serta kekayaan alam yang melimpah. Surat ini secara umum menjelaskan tentang kesempurnaan penciptaan manusia dan konsekuensi dari perbuatan mereka, serta menegaskan keagungan Allah sebagai hakim yang paling adil. Mari kita simak arti dari setiap ayat dalam Surat At-Tin.

Arti Surat At-Tin Per Ayat

وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِۙ

1. Demi (buah) tin dan (buah) zaitun.

Ayat pertama ini diawali dengan sumpah Allah menggunakan dua jenis buah yang sangat penting dan memiliki nilai gizi tinggi, yaitu buah tin dan zaitun. Sumpah ini seringkali menandakan pentingnya hal yang akan dijelaskan setelahnya. Buah tin dan zaitun disebutkan karena merupakan simbol kesuburan, kesehatan, dan kekayaan alam, khususnya di wilayah tempat diutusnya para nabi. Ada juga yang menafsirkan bahwa tin adalah nama gunung tempat Nabi Musa menerima wahyu, dan zaitun adalah pohon tempat Nabi Isa menerima wahyu.

وَطُوْرِ سِيْنِيْنَۙ

2. dan demi gunung Sinai.

Selanjutnya, Allah bersumpah demi Gunung Sinai. Gunung Sinai merupakan tempat bersejarah di mana Nabi Musa 'alaihissalam menerima wahyu dari Allah SWT, yaitu kitab Taurat. Sumpah ini semakin memperkuat penekanan pada keagungan ajaran-ajaran ilahi yang diturunkan kepada para nabi.

وَّهٰذَا الْبَلَدِ الْاَمِيْنِۙ

3. dan demi negeri (Mekah) yang aman ini.

Ayat ketiga bersumpah demi "negeri yang aman ini", yang mayoritas mufasir menafsirkan sebagai kota Mekah. Mekah adalah tanah haram yang aman, tempat suci umat Islam, pusat ibadah haji dan umrah, serta tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Keamanan dan kesucian Mekah menjadikannya tempat yang istimewa dan patut disumpah.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۗ

4. Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Setelah mengawali dengan sumpah-sumpah, Allah kemudian menjelaskan salah satu bukti kebesaran-Nya, yaitu penciptaan manusia. Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk fisik dan akal yang paling sempurna dan indah. Manusia dianugerahi akal untuk berpikir, hati untuk merasa, dan fisik yang memungkinkan mereka untuk beraktivitas serta beribadah. Kesempurnaan ini menjadi dasar bagi tanggung jawab manusia.

ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سَافِلِيْنَۙ

5. kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.

Namun, kesempurnaan penciptaan itu tidak otomatis menjamin kebahagiaan abadi. Jika manusia tidak bersyukur dan menolak kebenaran Allah, serta berlaku durhaka, maka mereka akan dikembalikan ke derajat yang paling rendah. Ini bisa diartikan sebagai kemerosotan moral, kehinaan di dunia, atau bahkan siksa neraka di akhirat. Pengingkaran terhadap nikmat Allah akan berujung pada kehinaan.

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍۗ

6. kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.

Ayat ini memberikan pengecualian dan harapan. Bagi mereka yang beriman kepada Allah, membenarkan rasul-Nya, dan senantiasa mengerjakan amal-amal shalih, mereka akan mendapatkan balasan yang berlimpah dan tidak akan pernah terputus. Pahala ini adalah anugerah dari Allah yang tidak dapat diukur dan akan mereka nikmati selamanya di surga. Keimanan dan amal shalih menjadi kunci untuk meraih kebahagiaan hakiki.

فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّيْنِۗ

7. Maka apakah yang membuatmu mendustakan (hari) Pembalasan setelah (keterangan) ini?

Setelah penjelasan mengenai penciptaan manusia yang sempurna, konsekuensi dosa, dan balasan bagi orang beriman, ayat ini memunculkan pertanyaan retoris. Allah menantang manusia, "Apa lagi yang membuatmu terus-menerus mendustakan hari pembalasan?" Dengan segala bukti keesaan, keadilan, dan kekuasaan-Nya yang telah ditunjukkan, sungguh tidak ada alasan bagi seseorang untuk meragukan atau mengingkari adanya hari kiamat dan perhitungan amal.

اَلَيْسَ اللّٰهُ بِاَحْكَمِ الْحٰكِمِيْنَ ࣖ

8. Bukankah Allah adalah hakim yang paling adil?

Ayat terakhir ini menegaskan kembali keagungan dan keadilan Allah SWT. Allah adalah hakim yang paling bijaksana dan paling adil. Di hari kiamat, setiap amal akan diperhitungkan dengan sempurna, tidak ada yang terlewat, dan setiap orang akan menerima balasan sesuai dengan perbuatannya. Keyakinan bahwa Allah adalah hakim yang paling adil seharusnya mendorong manusia untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhi larangan-Nya, agar selamat di dunia dan akhirat.

Surat At-Tin mengingatkan kita akan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan terbaik, sekaligus tanggung jawab moral yang menyertainya. Pentingnya keimanan dan amal shalih menjadi penekanan utama agar manusia tidak terjebak dalam kehinaan akibat kedurhakaan, melainkan meraih kemuliaan abadi di sisi Allah SWT.

🏠 Homepage