Analisis Tafsir, Konteks Historis, dan Hikmah Mendalam Surat Nasroh (Surah ke-110)
Surah An-Nasr, atau dikenal juga dengan nama Surah Idha Jaa’a, merupakan surah ke-110 dalam urutan mushaf Al-Qur’an. Ia menduduki posisi yang sangat penting, bukan karena panjangnya—sebab ia adalah salah satu surah terpendek yang hanya terdiri dari tiga ayat—melainkan karena kandungan pesannya yang monumental. Surah ini secara historis dan tematik berfungsi sebagai puncak dan penutup dari risalah kenabian Muhammad ﷺ.
Meskipun singkat, Surah An-Nasr adalah sebuah deklarasi kemenangan, sebuah janji yang tergenapi, dan sekaligus sebuah isyarat halus mengenai akhir dari tugas besar kenabian. Mayoritas ulama tafsir, termasuk Imam Malik, bersepakat bahwa surah ini tergolong surah Madaniyah, diturunkan di Madinah, atau lebih spesifiknya, pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah ﷺ, setelah Perjanjian Hudaibiyah dan menjelang penaklukan Makkah, atau bahkan sesudahnya.
Penamaan Surah ini, “An-Nasr” (Pertolongan/Kemenangan), secara eksplisit menunjukkan tema utamanya: pertolongan Allah yang paripurna kepada Nabi-Nya, yang diikuti dengan penaklukan mutlak, dan puncaknya adalah masuknya manusia ke dalam agama Islam secara berbondong-bondong. Surah ini memberikan petunjuk spiritual yang abadi: bahwa di tengah puncak kesuksesan dan kejayaan, seorang hamba wajib kembali kepada kerendahan hati, tasbih, dan istighfar.
Kata Idza (إِذَا) dalam bahasa Arab menunjukkan kepastian akan terjadinya suatu peristiwa di masa depan. Penggunaannya di awal surah ini bukan menunjukkan keraguan, melainkan kepastian yang mutlak. Ini adalah gaya bahasa Al-Qur’an yang menegaskan bahwa peristiwa besar yang dijanjikan—yaitu pertolongan dan kemenangan—pasti akan terjadi, dan dampaknya akan segera diikuti oleh perintah yang ada di ayat ketiga.
Nashr (نَصْر) berarti pertolongan. Dalam konteks sejarah Islam, pertolongan Allah selalu menyertai kaum Muslimin sejak permulaan dakwah. Namun, ‘Nashr’ dalam surah ini memiliki dimensi yang lebih besar dan final. Ini adalah pertolongan yang menghilangkan hambatan terakhir bagi penyebaran Islam. Para mufasir sepakat bahwa ‘Nashrullah’ di sini mengacu pada dukungan total dan penghancuran kekuatan musuh yang menghalangi dakwah Nabi ﷺ.
Imam Ar-Razi, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa pertolongan ini bersifat komprehensif. Itu bukan hanya pertolongan militer, tetapi juga pertolongan psikologis, moral, dan spiritual yang mengukuhkan hati kaum Mukminin dan melemahkan tekad orang-orang kafir. Pertolongan ini juga mencakup perlindungan Allah terhadap Rasulullah dari segala upaya pembunuhan dan pengkhianatan yang dilakukan musuh-musuh di Makkah dan sekitarnya.
Kata Al-Fath (الْفَتْح) secara harfiah berarti membuka. Dalam konteks kenabian, ia hampir selalu merujuk pada Fathu Makkah (Penaklukan Makkah) yang terjadi pada tahun 8 Hijriyah. Ini adalah pandangan yang dipegang teguh oleh mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Mujahid. Penaklukan Makkah merupakan titik balik paling menentukan dalam sejarah Islam. Makkah adalah pusat spiritual Arab, tempat Ka'bah berada, dan selama bertahun-tahun menjadi benteng utama kaum musyrikin Quraisy.
Sebelum Fathu Makkah, Islam tersebar secara terbatas dan terhalang oleh dominasi Quraisy. Setelah Makkah ditaklukkan tanpa pertumpahan darah yang signifikan, status Islam berubah total. Makkah yang telah disucikan dari berhala, menjadi ibu kota spiritual umat Islam. Kemenangan ini bukan sekadar perebutan wilayah, melainkan kemenangan ideologi tauhid atas paganisme di jantung semenanjung Arab. Para ulama juga membahas, meskipun ada pendapat minoritas yang mengartikan Al-Fath sebagai kemenangan secara umum, penafsiran spesifik terhadap Fathu Makkah memiliki bobot historis dan naratif yang paling kuat, karena peristiwa tersebut adalah manifestasi paling agung dari janji Allah ini.
Ayat ini menggambarkan hasil langsung dari Nashr dan Al-Fath. Sebelum penaklukan Makkah, Islam menyebar secara individu atau kelompok kecil. Setelah Makkah jatuh, kabilah-kabilah Arab yang sebelumnya menunda pengakuan mereka, menunggu hasil akhir pertarungan antara Quraisy dan Muhammad ﷺ, segera mengirim delegasi untuk menyatakan keislaman mereka. Fenomena ini dikenal dalam sejarah sebagai ‘Aamul Wufud’ (Tahun Delegasi).
Kata Afwaja (أَفْوَاجًا) adalah jamak dari fauj, yang berarti kelompok besar atau rombongan. Pemilihan kata ini sangat penting. Itu menandakan bahwa keislaman yang terjadi bukan lagi perorangan, melainkan secara kolektif, suku demi suku, kabilah demi kabilah. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam telah mencapai legitimasi politik dan spiritual yang tak terbantahkan di seluruh Jazirah Arab.
Para ulama linguistik menekankan bahwa penggunaan kata Afwaja mengindikasikan kemudahan, kelancaran, dan kecepatan. Halangan-halangan besar yang dulunya menghambat (seperti Quraisy Makkah) telah disingkirkan, memungkinkan cahaya Islam menyebar dengan bebas. Ibnu Katsir menekankan bahwa ini adalah kabar gembira terbesar bagi Rasulullah ﷺ, karena tujuan utama risalahnya telah tercapai: seluruh bangsa Arab kini tunduk pada tauhid.
Hubungan antara ayat pertama dan kedua bersifat kausalitas yang mendalam. Pertolongan Ilahi (ayat 1) menyebabkan terbukanya hambatan (Fath), dan terbukanya hambatan itu memungkinkan manusia untuk melihat kebenaran Islam tanpa takut tekanan atau hukuman dari kekuatan pagan. Dengan kata lain, kemenangan fisik (Fath Makkah) membuka jalan bagi kemenangan spiritual dan demografis (masuknya Afwaja).
Ayat ketiga adalah jantung dari pesan moral Surah An-Nasr. Setelah menggambarkan pencapaian terbesar dalam sejarah risalah, Allah tidak memerintahkan perayaan yang berlebihan, kemegahan, atau arogansi. Sebaliknya, perintahnya adalah merendahkan diri dan bersyukur dalam bentuk yang paling murni.
Perintah untuk bertasbih (Fasabbih - Sucikanlah) yang diikuti dengan memuji (bi Hamdi Rabbika - dengan memuji Tuhanmu) mengandung dua makna fundamental:
Ini mengajarkan adab kemenangan yang agung: semakin besar kemenangan duniawi yang diraih, semakin besar pula kerendahan hati dan pengagungan kita kepada sumber kemenangan tersebut.
Perintah memohon ampunan (Istighfar) setelah kemenangan besar mungkin terdengar paradoks. Mengapa Nabi yang telah sukses sempurna dalam misinya diperintahkan beristighfar?
Para ulama tafsir mengajukan beberapa pandangan mendalam:
Ayat ditutup dengan penegasan nama Allah, At-Tawwab (Maha Penerima Tobat). Penegasan ini berfungsi ganda: ia memotivasi Rasulullah ﷺ untuk terus beristighfar (karena Dia pasti menerima) dan memberikan harapan universal bagi seluruh umat bahwa pintu tobat selalu terbuka, terlepas dari seberapa besar pencapaian atau seberapa berat dosa yang dilakukan.
Salah satu aspek paling mendalam dari Surah An-Nasr, yang mengangkatnya menjadi surah yang paling agung dalam Juz Amma, adalah interpretasinya sebagai isyarat mengenai akhir hayat Rasulullah ﷺ. Para sahabat besar, khususnya Umar bin Khattab dan Abdullah bin Abbas, memahami surah ini sebagai surat perpisahan (Suratul Wada’).
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada para sahabat senior mengenai tafsir surah ini. Sementara banyak yang menafsirkannya secara harfiah (bahwa ketika kemenangan datang, kita harus beristighfar), Ibnu Abbas, yang saat itu masih muda, memberikan penafsiran yang berbeda dan diterima oleh Umar. Ibnu Abbas berkata: "Surah ini adalah pemberitahuan ajal Rasulullah ﷺ. Kemenangan (Fath) dan masuknya manusia berbondong-bondong menandai bahwa tugas beliau di dunia telah selesai. Maka, beliau diperintahkan untuk mempersiapkan diri dengan tasbih dan istighfar, sebagai penutup tugas kenabian."
Pemahaman ini menunjukkan kedalaman ilmu Ibnu Abbas. Kemenangan Makkah adalah finalisasi misi: agama telah sempurna, tugas telah tersampaikan. Dalam hukum kenabian, setelah risalah selesai, perpisahan adalah langkah berikutnya. Perintah istighfar di akhir surah berfungsi sebagai penekanan untuk meningkatkan persiapan spiritual menjelang pertemuan dengan Allah SWT.
Secara spiritual, pesan ini sangat menyentuh. Ketika seorang hamba mencapai puncak keberhasilan terbesar dalam hidupnya (selesainya misi kenabian), ia diperintahkan untuk tidak larut dalam kegembiraan duniawi, melainkan untuk meningkatkan penghambaan. Ini adalah model ideal bagi setiap Mukmin: semakin tinggi kedudukan atau pencapaian kita, semakin besar pula kewajiban kita untuk bersikap rendah hati dan meningkatkan ibadah.
Surah An-Nasr menyajikan sebuah doktrin etika kemenangan yang unik. Ketika peradaban lain merayakan kemenangan dengan arogansi, penjarahan, dan penindasan terhadap yang kalah, Islam melalui surah ini menetapkan standar yang berbeda.
Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Makkah, kemenangan yang paling agung, beliau tidak datang dengan kemegahan seorang penakluk. Beliau memasuki kota dengan kepala tertunduk, bersujud di atas untanya, hingga janggut beliau hampir menyentuh pelana, sebagai simbol kerendahan hati dan pengakuan mutlak bahwa kemenangan ini semata-mata berasal dari Allah. Surah An-Nasr adalah landasan teologis dari tindakan ini.
Kemenangan besar seringkali memunculkan sifat ujub (bangga diri) atau kesombongan, yang merupakan racun bagi hati. Perintah tasbih dan istighfar berfungsi sebagai obat penawar instan terhadap penyakit spiritual ini. Dengan bertasbih, hamba menyatakan keagungan Allah; dengan beristighfar, ia mengakui kekurangannya sendiri. Hal ini memastikan bahwa fokus selalu tertuju pada Sang Pemberi Kemenangan, bukan pada upaya penerima kemenangan.
Meskipun singkat, Surah An-Nasr adalah mahakarya retorika Al-Qur'an (I’jaz). Struktur kalimat, pemilihan kata, dan susunan perintahnya mengandung lapisan makna yang sangat kaya.
Struktur surah ini mengikuti urutan logis yang sempurna:
Kata hubung fa’ (فَ) pada awal ayat ketiga (“Maka...”) menunjukkan bahwa perintah tasbih dan istighfar harus segera dilaksanakan begitu kondisi kemenangan dan masuknya manusia berbondong-bondong itu terwujud. Ini menunjukkan bahwa ibadah (tasbih dan istighfar) adalah respons yang tak terhindarkan dan segera dari seorang Mukmin atas karunia Ilahi.
Menariknya, Surah An-Nasr menggunakan kata kerja lampau (madhi), seperti jaa’a (telah datang) dan ra-aita (engkau telah lihat), meskipun konteks penurunannya adalah janji yang akan terjadi. Ini adalah gaya balaghah yang digunakan untuk menegaskan kepastian mutlak. Apa yang Allah janjikan dianggap sudah pasti terjadi, seolah-olah telah menjadi masa lalu. Ini memberikan keyakinan yang luar biasa kepada para sahabat saat itu, bahkan sebelum Fathu Makkah benar-benar terjadi.
Para ahli linguistik dan tafsir mendalami mengapa perintah tasbih (menyucikan Allah dari kekurangan) dan istighfar (memohon ampun atas kekurangan diri) digabungkan. Imam Al-Qurtubi dan lainnya menjelaskan bahwa keduanya adalah dua sisi mata uang penghambaan:
Gabungan keduanya menciptakan keseimbangan teologis yang sempurna. Kemenangan besar adalah manifestasi keagungan Allah (yang menuntut tasbih), namun dalam prosesnya, manusia pasti tidak luput dari kekurangan (yang menuntut istighfar). Dengan demikian, seorang hamba berdiri di tengah, antara keagungan Tuhannya dan kelemahan dirinya.
Penting untuk dicatat bahwa dalam kitab-kitab tafsir kontemporer, penekanan diletakkan pada aspek bahwa tasbih adalah simbol pengagungan atas kesempurnaan nikmat, sementara istighfar adalah pengakuan atas kegagalan dalam menunaikan hak kesyukuran yang sempurna atas nikmat tersebut. Semakin besar nikmat, semakin besar rasa malu dan semakin kuat dorongan untuk beristighfar.
Ayat kedua menggunakan frasa "dīnillahi" (agama Allah) bukan sekadar "al-Islam". Penggunaan dīnillahi menekankan bahwa subjek yang dimasuki oleh manusia berbondong-bondong adalah sebuah sistem hidup dan keyakinan yang bersumber langsung dari Allah, yang otentik dan universal. Ini membedakan Islam dari sistem atau kepercayaan lain yang mungkin bersifat buatan manusia atau terbatas pada suku tertentu. Kemenangan ini adalah kemenangan ajaran Ilahi di bumi, bukan kemenangan suku Quraisy atas suku lain.
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya yang terkenal, sangat menekankan kesatuan antara ayat pertama dan konteks sejarah Fathu Makkah. Beliau meriwayatkan hadits dari Ahmad bin Hanbal yang menyebutkan bahwa surah ini diturunkan pada hari-hari tasyriq di Mina, pada Haji Wada’ (Haji Perpisahan), yang semakin menguatkan statusnya sebagai penanda akhir risalah.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa setelah Fathu Makkah, Rasulullah ﷺ secara rutin mengulang-ulang zikir tasbih dan istighfar ini, mengamalkan perintah dari surah tersebut. Riwayat dari Aisyah RA menyebutkan bahwa setelah Surah An-Nasr diturunkan, Rasulullah ﷺ sering membaca: “Subhanaka Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfirli” (Maha Suci Engkau, ya Tuhan kami, dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku), sebagai tafsir praktis dari perintah Ilahi.
Imam Al-Qurtubi memberikan dimensi fiqh (hukum) pada surah ini. Ia membahas status Fathu Makkah: apakah Makkah ditaklukkan dengan paksa (sehingga tanahnya menjadi ghanimah/rampasan) atau dengan damai. Mayoritas ulama, berdasarkan peristiwa yang mendahului dan menyertai penaklukan, menyimpulkan bahwa Makkah ditaklukkan secara paksa (‘anwah), namun Nabi ﷺ memilih untuk memperlakukannya dengan cara damai. Surah An-Nasr memvalidasi tindakan Nabi ﷺ, menunjukkan bahwa tujuan Ilahi bukanlah kekerasan, melainkan pembebasan spiritual, yang difasilitasi oleh kemenangan yang diberikan Allah.
Al-Qurtubi juga membahas bahwa istighfar adalah ibadah yang paling utama, yang diperintahkan bahkan kepada manusia paling mulia. Ini mengajarkan bahwa Istighfar bukan sekadar penghapusan dosa, tetapi juga peningkatan derajat dan manifestasi kesempurnaan tauhid.
Imam Ar-Razi, yang dikenal dengan pendekatan rasionalnya, mengaitkan surah ini dengan konsep teologis yang lebih besar. Beliau berpendapat bahwa Surah An-Nasr adalah bukti dari janji Allah. Jika janji Allah mengenai kemenangan terbukti benar, maka janji Allah mengenai kebangkitan dan hari akhir juga pasti benar. Surah ini menjadi argumen rasional (burhan) terhadap kebenaran mutlak Al-Qur’an.
Dalam kaitannya dengan istighfar, Ar-Razi mendalami bahwa istighfar di sini adalah bentuk syukur atas nikmat terbesar (tauhid yang menyeluruh). Beliau mengatakan, seseorang yang bersyukur atas nikmat yang sangat besar akan merasa dirinya tidak layak, dan rasa ketidaklayakan ini termanifestasi dalam permohonan ampunan, seolah-olah mengatakan: "Ya Allah, aku telah lalai dalam menunaikan hak-Mu yang sempurna atas nikmat yang agung ini."
Surah An-Nasr tidak hanya memberikan perintah teoritis, tetapi juga menghasilkan praktik sunnah yang dihidupkan oleh Rasulullah ﷺ di sisa hidupnya.
Aisyah RA meriwayatkan bahwa setelah turunnya Surah An-Nasr, Rasulullah ﷺ semakin sering membaca dalam ruku’ dan sujudnya: “Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfirli” (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu, Ya Allah, ampunilah aku). Beliau menginterpretasikan perintah tasbih dan istighfar dalam surah tersebut untuk diamalkan secara khusus di momen-momen paling mulia dalam shalat, yaitu ruku’ dan sujud.
Meskipun zikir penutup majelis sudah ada sebelumnya, perintah dalam An-Nasr semakin menegaskan pentingnya istighfar untuk menutupi kekurangan atau kekhilafan selama berinteraksi. Zikir yang berbunyi “Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilayka” memiliki kemiripan struktur dengan perintah dalam Surah An-Nasr (Tasbih, Hamd, Istighfar).
Penempatan Surah An-Nasr di ujung Al-Qur’an (Juz Amma) adalah penempatan yang strategis. Juz Amma sebagian besar terdiri dari surah-surah Makkiyah yang pendek, yang berfokus pada fondasi tauhid dan hari akhir. An-Nasr, yang merupakan Madaniyah akhir, berfungsi sebagai penutup naratif yang mengukuhkan bahwa semua perjuangan dan pengajaran tauhid di Makkah telah membuahkan hasil kemenangan yang agung.
Surah-surah berikutnya—Al-Masad (tentang kehancuran musuh Nabi), Al-Ikhlas (tentang kemurnian tauhid), Al-Falaq dan An-Nas (perlindungan)—secara tematis melengkapi Surah An-Nasr. An-Nasr menyatakan kemenangan risalah di dunia; surah-surah penutup mengajarkan bagaimana menjaga kemenangan spiritual dan tauhid murni hingga akhir hayat.
Meskipun Surah An-Nasr diturunkan untuk menandai peristiwa besar pada abad ke-7, pesan moralnya bersifat abadi dan relevan bagi setiap individu Mukmin, terlepas dari zaman dan tempat.
Dalam konteks kehidupan individu, Surah An-Nasr dapat ditafsirkan sebagai panduan ketika seorang Mukmin mencapai tujuan besar dalam hidupnya, baik itu lulus pendidikan tinggi, mendapatkan pekerjaan impian, mencapai prestasi olahraga, atau menyelesaikan proyek besar. Perintahnya adalah:
Prinsip ini sangat penting dalam menghadapi mentalitas modern yang seringkali mengagungkan ‘self-made man’ dan mengabaikan peran Ilahi dalam keberhasilan. Surah An-Nasr mengoreksi mentalitas ini dengan mengajarkan bahwa kesuksesan sejati adalah kesuksesan yang diiringi dengan kerendahan hati kepada Sang Pencipta.
Dari Surah An-Nasr dan konteks Fathu Makkah, umat Islam belajar bahwa tujuan perang atau konflik dalam Islam bukanlah penaklukan demi penaklukan, melainkan untuk menciptakan lingkungan di mana manusia bebas memilih ‘dīnillahi’ (agama Allah) tanpa paksaan. Setelah kemenangan dicapai, prinsip pengampunan dan rekonsiliasi harus diutamakan, sebagaimana Nabi ﷺ memberikan amnesti umum kepada penduduk Makkah. Kemenangan harus mengarah pada penyucian spiritual, bukan balas dendam fisik.
Dalam hiruk pikuk kehidupan kontemporer, yang seringkali dipenuhi dengan pencapaian yang bersifat fana, istighfar menjadi jangkar spiritual. Perintah wastaghfirhu adalah pengingat bahwa tujuan hidup bukanlah menumpuk pencapaian duniawi, melainkan mempersiapkan diri untuk pertemuan abadi. Dengan demikian, Surah An-Nasr berfungsi sebagai lensa yang mengoreksi pandangan duniawi kita, mengalihkan fokus dari kemuliaan diri kepada kemuliaan Ilahi.
Konversi massal yang digambarkan oleh Afwaja (berbondong-bondong) memerlukan analisis lebih lanjut mengenai faktor pendorongnya. Hal ini bukan hanya didorong oleh kekuatan militer, tetapi oleh pengamatan mendalam masyarakat Arab terhadap integritas Nabi ﷺ dan janji-janji Allah.
Para sejarawan Islam mencatat bahwa sebelum Fathu Makkah, suku-suku Arab menganggap Quraisy sebagai barometer kebenaran. Mereka percaya bahwa jika Muhammad ﷺ berhasil menaklukkan Quraisy di Makkah, itu adalah tanda pasti bahwa dia benar-benar seorang Nabi yang didukung Ilahi. Kemenangan ini memecahkan keraguan terakhir yang tertanam di hati banyak kabilah. Kualitas dari konversi Afwaja ini adalah hasil dari demonstrasi mukjizat yang nyata: Janji yang terpenuhi.
Fenomena Afwaja ini mengajarkan bahwa terkadang, Allah menampakkan dukungan-Nya dalam bentuk yang sangat jelas dan masif, sehingga kebenaran dapat dilihat oleh semua orang, memaksa hati yang keras untuk terbuka dan membiarkan cahaya Islam masuk tanpa paksaan, melainkan melalui keyakinan yang terpancar dari keberhasilan Risalah yang sempurna.
Peristiwa ini, yang diramalkan dan dicatat dalam Surah An-Nasr, menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang ditakdirkan untuk kemenangan dan penyebaran global. Ia memberikan visi jangka panjang kepada umat, bahwa meskipun ada masa-masa kesulitan, hasil akhirnya telah dijamin oleh Allah, asalkan umat tetap teguh dalam prinsip tauhid dan mengikuti petunjuk Nabi ﷺ. Setiap langkah perjuangan menuju kebenaran adalah manifestasi dari janji Nashrullah yang lebih kecil, yang mengarah pada Fath yang lebih besar.
Studi mendalam mengenai Surah An-Nasr membuka lembaran-lembaran hikmah yang tak terbatas. Dari segi hukum, ia menegaskan pentingnya ketaatan dan rasa syukur; dari segi sejarah, ia mengabadikan momen paling mulia dalam perjuangan kenabian; dan dari segi spiritual, ia memberikan peta jalan bagi seorang hamba untuk mencapai puncak kesuksesan tanpa jatuh ke dalam jurang kesombongan. Seluruh pesannya dapat diringkas sebagai undangan untuk selalu meningkatkan kualitas ibadah—tasbih, hamd, dan istighfar—ketika kita merasakan limpahan nikmat, sebagai persiapan untuk kembali kepada Allah, Dzat Yang Maha Penerima Tobat.
Kandungan surah ini, yang mencakup sejarah, teologi, fiqh, dan etika, memastikan bahwa ia akan selalu menjadi sumber rujukan utama bagi setiap Mukmin yang mencari pemahaman tentang hubungan antara perjuangan, kemenangan, kerendahan hati, dan persiapan menuju akhirat. Surah An-Nasr adalah penutup risalah yang sempurna, sebuah warisan abadi yang memandu umat menuju puncak penghambaan yang hakiki.
Selain tafsir literal dan historis, para ahli tasawuf dan filosof Muslim menawarkan interpretasi yang lebih esoteris (bathiniyyah) terhadap tiga perintah utama dalam Surah An-Nasr: Tasbih, Hamd, dan Istighfar.
Dalam pandangan sufistik, "Nashr" dan "Fath" tidak hanya merujuk pada kemenangan eksternal (Fathu Makkah), tetapi juga kemenangan internal (Fath Al-Qalb) – terbukanya hati seorang hamba terhadap cahaya Ilahi. Kemenangan ini dicapai melalui perjuangan melawan hawa nafsu (jihad akbar).
Perintah Tasbih (Subhanallah) diartikan sebagai upaya berkelanjutan untuk membersihkan hati (tazkiyatun nafs) dari segala sifat tercela yang dapat mencemari hubungan hamba dengan Tuhannya. Ini adalah penyucian niat, memastikan bahwa kemenangan yang diraih, baik spiritual maupun duniawi, hanya untuk Allah semata. Tasbih adalah penolakan terhadap syirik kecil, yaitu riya' atau sum’ah (ingin dilihat/didengar orang lain).
Hamd (Alhamdulillah) dalam konteks ini melampaui ucapan syukur biasa. Ia adalah keadaan batin (hal) yang menerima dan memuji segala ketentuan Allah (rida), baik dalam kesenangan maupun kesulitan. Ketika kemenangan datang, pujian yang menyertai tasbih adalah pengakuan bahwa seluruh proses perjuangan—dari kesabaran di Makkah hingga penaklukan di Madinah—adalah karunia yang patut disyukuri secara total, tanpa sedikitpun keluhan terhadap takdir sebelumnya.
Filosofi Hamd ini mengajarkan bahwa kesempurnaan seorang hamba adalah ketika ia mencapai tingkat syukur yang sedemikian rupa sehingga ia memuji Allah bahkan ketika ia merasa kurang dalam beribadah. Pujian ini menjadi sebuah cerminan keimanan yang mendalam, di mana segala hasil dinisbatkan kembali kepada sumber kebaikan absolut.
Istighfar di puncak kemenangan diinterpretasikan sebagai puncak kerendahan hati. Bagi kaum sufi, istighfar adalah pengakuan akan kelemahan eksistensial diri di hadapan keagungan Wujud Tunggal. Ini adalah langkah menuju fana’—peleburan kesadaran diri yang terpisah dari Allah.
Mereka berpendapat bahwa Nabi ﷺ, yang merupakan manusia termulia, diperintahkan beristighfar bukan karena dosa, melainkan sebagai penanda bahwa setiap detik perhatian yang tercurah kepada urusan duniawi, meskipun itu adalah urusan dakwah yang mulia, dianggap sebagai ‘kelalaian’ jika dibandingkan dengan kesempurnaan berdzikir kepada Allah. Dengan demikian, istighfar menjadi pengisi kekosongan batin yang mungkin muncul akibat kesibukan risalah.
Interpretasi ini mengangkat Surah An-Nasr dari sekadar dokumen historis menjadi panduan spiritual universal yang mengajarkan bahwa kemenangan tertinggi adalah kemenangan yang mengarahkan hati kembali kepada Allah melalui penyucian diri, pengakuan syukur, dan kerendahan hati yang mendalam.
Kemenangan besar yang digambarkan dalam Surah An-Nasr memiliki dampak yang tak terhitung dalam pembentukan sistem sosial dan politik Islam, sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip keadilan dan kerendahan hati pasca-kemenangan.
Fathu Makkah, yang merupakan manifestasi dari An-Nasr, menghilangkan dualisme kekuasaan di Jazirah Arab. Sebelumnya, Madinah adalah pusat politik dan Makkah adalah pusat spiritual (namun dikuasai pagan). Setelah Fath, kedua pusat tersebut menyatu di bawah otoritas tunggal Islam. Ayat-ayat Surah An-Nasr menjadi dasar teologis bagi sistem negara yang baru ini: sebuah kekuasaan yang tidak boleh otoriter, melainkan harus diwarnai dengan tasbih (pengakuan bahwa kedaulatan mutlak milik Allah) dan istighfar (pengakuan akan potensi kesalahan dalam kepemimpinan manusia).
Dalam politik Islam, kemenangan tidak menghasilkan kediktatoran; ia menghasilkan pertanggungjawaban yang lebih besar kepada Allah. Para pemimpin yang sukses diperintahkan untuk tidak pernah melupakan asal-usul kekuasaan mereka dan untuk senantiasa mencari pengampunan atas kekurangan dalam menjalankan amanah publik.
Secara ekonomi, masuknya Afwaja (manusia berbondong-bondong) ke dalam Islam secara signifikan mengubah lanskap ekonomi Arab. Hal ini membawa stabilitas, menghilangkan praktik riba Makkah yang eksploitatif, dan mengkonsolidasikan sistem zakat sebagai pilar utama keadilan sosial. Surah An-Nasr, melalui perintah tasbih dan hamd, mengajarkan bahwa kekayaan atau sumber daya yang diperoleh pasca-kemenangan harus diperlakukan sebagai amanah Ilahi.
Ketika seorang pedagang atau pengusaha mencapai puncak keberhasilan ekonominya, ia tidak boleh lupa bahwa kekayaan itu adalah nashrullah. Responnya haruslah istighfar atas segala kecurangan atau kelalaian yang mungkin terjadi dalam proses bisnis, dan tasbih atas kemurahan rezeki. Ini adalah fondasi etika bisnis Islam: keuntungan harus disertai kerendahan hati dan kesadaran akan tanggung jawab sosial dan spiritual.
Prinsip ini menegaskan bahwa setiap institusi, baik politik maupun ekonomi, yang dibangun di atas kesuksesan, harus terus-menerus melakukan introspeksi (melalui istighfar) dan penegasan tujuan utama (melalui tasbih), memastikan bahwa tujuan akhirnya adalah melayani Allah dan bukan kepentingan pribadi atau faksi.
Surah An-Nasr adalah salah satu surah yang paling padat makna dalam Al-Qur’an. Ia menutup fase perjuangan yang panjang dengan sebuah pernyataan kemenangan yang jelas, namun segera mengarahkan pandangan Mukmin kepada realitas yang lebih besar: bahwa akhir dari perjuangan duniawi adalah awal dari pertanggungjawaban abadi. Surah ini adalah sebuah pengantar menuju surga dan sebuah pengingat bahwa saat kita mencapai puncak, kita harus segera mencari pijakan spiritual yang paling rendah hati.
Dalam setiap keberhasilan, kecil maupun besar, dalam setiap "fath" personal yang kita raih, perintah Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu adalah kompas yang tidak lekang oleh waktu, memastikan bahwa hati kita tetap suci, niat kita tetap lurus, dan langkah kita senantiasa tertuju kepada keridaan Allah SWT. Inilah warisan agung Surah An-Nasr bagi umat manusia sepanjang zaman.