Surat Pendek Al-Qadr (Malam Kemuliaan)

Surat ke-97 dalam Al-Qur'an | Terdiri dari 5 Ayat | Golongan Surat Makkiyah

Ilustrasi Malam Lailatul Qadr Gambar bulan sabit, bintang-bintang, dan cahaya kemuliaan

Visualisasi turunnya cahaya dan malaikat pada Malam Al-Qadr.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr).
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِّنْ كُلِّ أَمْرٍ
Pada malam itu turunlah malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur segala urusan.
سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Malam itu (penuh) keselamatan sampai terbit fajar.

I. Pengantar Komprehensif: Menggali Makna Al-Qadr

Surat Al-Qadr, yang secara harfiah berarti "Malam Kemuliaan" atau "Malam Ketetapan," merupakan surat yang sangat fundamental dalam memahami hubungan antara penciptaan Al-Qur'an dan waktu. Meskipun pendek, surat ini membawa kedalaman makna teologis, historis, dan spiritual yang luar biasa, terutama karena ia secara langsung merujuk pada peristiwa paling agung dalam sejarah Islam: permulaan turunnya wahyu Illahi.

1.1. Penamaan dan Klasifikasi Surat

Surat ini adalah surat Makkiyah, yang berarti ia diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Surat-surat Makkiyah umumnya fokus pada dasar-dasar akidah (keimanan), tauhid (keesaan Allah), hari kebangkitan, dan penetapan risalah kenabian. Al-Qadr, dengan penegasannya mengenai kemuliaan Al-Qur'an dan kekuasaan Allah, sangat sesuai dengan karakteristik Makkiyah.

Makna Terminologi "Al-Qadr"

1.2. Hubungan dengan Nuzulul Qur'an

Ayat pertama, “Innaa anzalnaahu fii Lailatil Qadr,” secara tegas menyatakan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada malam ini. Para ulama tafsir sepakat bahwa "menurunkannya" di sini memiliki dua tingkatan makna, yang keduanya terjadi pada malam Al-Qadr di bulan Ramadhan:

  1. Penurunan Total (Jumlatu Wahidatan): Seluruh Al-Qur'an diturunkan sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit dunia. Ini adalah langkah pertama dalam proses pewahyuan.
  2. Permulaan Penurunan Bertahap: Malam ini juga menandai permulaan turunnya wahyu secara bertahap kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui perantaraan Malaikat Jibril di Gua Hira, yang kemudian berlanjut selama kurang lebih 23 tahun.

Penegasan ini menghilangkan keraguan bahwa Ramadhan adalah bulan yang diberkahi bukan hanya karena puasa, tetapi karena ia adalah wadah waktu turunnya petunjuk Illahi. (Lihat juga QS. Al-Baqarah: 185, "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur'an.")

II. Tafsir Ayat per Ayat (At-Tafsir Al-Mufassal)

2.1. Ayat 1: Penegasan Turunnya Wahyu

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan)

Penggunaan kata ganti orang pertama jamak "Innaa" (Sesungguhnya Kami) adalah bentuk keagungan (ta’zhim) yang digunakan Allah. Ini menekankan kebesaran dan kekuasaan Dzat yang menurunkan wahyu tersebut. "Kami" merujuk pada Allah, Dzat Yang Maha Mulia dan Maha Kuasa.

Kata "anzalnaahu" (Kami telah menurunkannya) menggunakan kata kerja lampau yang menunjukkan kepastian dan ketegasan. Objek (ha) merujuk kepada Al-Qur'an, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit. Penghilangan penyebutan Al-Qur'an di sini justru meningkatkan kemuliaannya, mengisyaratkan bahwa keagungan Al-Qur'an sudah maklum (diketahui) oleh pendengar, sehingga tidak perlu disebut lagi.

Detail Linguistik "Fii Lailatil Qadr"

Kata Fii (di dalam) menunjukkan bahwa keseluruhan peristiwa besar penurunan Al-Qur'an ke langit dunia terjadi di dalam bingkai waktu malam tersebut. Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkemuka, menjelaskan bahwa ini menegaskan tanggal dan momentum sakral tersebut. Ayat ini merupakan fondasi teologis mengapa umat Islam sangat memuliakan sepuluh malam terakhir Ramadhan, karena di sanalah malam ini bersemayam.

2.2. Ayat 2: Pertanyaan yang Mengagungkan

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?)

Gaya bahasa ini dalam retorika Arab (Balaghah) disebut sebagai pertanyaan retoris yang bertujuan untuk membangkitkan perhatian dan menunjukkan keagungan luar biasa dari subjek yang dibicarakan. Ketika Allah menggunakan frase, "Wa maa adraaka..." (Dan tahukah kamu...), hal ini mengindikasikan bahwa subjek tersebut sangat penting sehingga manusia tidak mungkin bisa mengukurnya kecuali diberitahu oleh Allah sendiri.

Ini adalah persiapan psikologis bagi pendengar. Setelah mendengarkan ayat pertama yang penuh penegasan, ayat kedua ini menantang akal dan imajinasi manusia, mempersiapkan mereka untuk menerima fakta luar biasa di ayat berikutnya.

2.3. Ayat 3: Keunggulan Tak Terhingga

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ (Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan)

Ini adalah inti dari keistimewaan Malam Al-Qadr. Seribu bulan setara dengan kurang lebih 83 tahun 4 bulan. Umur rata-rata manusia saat ini mendekati angka tersebut. Ini berarti satu malam ibadah yang ikhlas dan diterima oleh Allah setara dengan ibadah sepanjang hidup seseorang, atau bahkan lebih, dilakukan secara terus menerus.

Analisis Numerik dan Kualitatif

Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai makna tepat dari "lebih baik dari seribu bulan" (khairun min alfi syahr):

  1. Keutamaan Kuantitatif: Maknanya adalah kebaikan amal pada malam itu benar-benar melebihi kebaikan amal yang dikumpulkan selama 1000 bulan (sekitar 83 tahun) yang tidak termasuk Lailatul Qadr.
  2. Keutamaan Kualitatif: Angka 1000 (alf) di sini tidak harus dipahami secara harfiah, melainkan digunakan dalam bahasa Arab untuk menunjukkan kelipatan yang sangat besar, keunggulan yang tidak terhingga, dan kemuliaan yang tak dapat diukur oleh akal manusia.
  3. Latar Belakang Sejarah: Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ merasa sedih karena umur umatnya lebih pendek dibandingkan umat terdahulu yang bisa beribadah ratusan tahun. Maka, Allah menganugerahkan malam ini sebagai kompensasi, memberikan umatnya kesempatan meraih pahala yang melampaui usia panjang tersebut.

Penting untuk dipahami bahwa ini bukan hanya tentang jumlah pahala, tetapi juga tentang kualitas berkah (barakah) spiritual yang ditanamkan pada malam itu, yang akan mempengaruhi kehidupan seorang mukmin sepanjang sisa tahunnya.

2.4. Ayat 4: Turunnya Malaikat dan Ruh

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِّنْ كُلِّ أَمْرٍ (Pada malam itu turunlah malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur segala urusan)

Ayat ini menggambarkan aktivitas supernatural yang terjadi pada malam tersebut. Kata tanazzalu (turun) menggunakan bentuk kata kerja berulang, mengisyaratkan bahwa malaikat turun dalam jumlah yang sangat banyak dan bergelombang, bukan hanya satu kali.

Malaikat dan Ruh (Jibril)

Penyebutan "Malaikat-malaikat" (jamak) diikuti secara terpisah oleh "Ruh" menunjukkan keistimewaan dan kedudukan agung Malaikat Jibril. Dalam banyak penafsiran, "Ar-Ruh" secara spesifik merujuk kepada Jibril, pemimpin para malaikat yang bertugas membawa wahyu. Penyebutan beliau secara terpisah menunjukkan bahwa beliau memimpin rombongan agung tersebut.

Tujuan Penurunan: Ketetapan dan Pengaturan Urusan

"Bi idzni Rabbihim min kulli amr" (Dengan izin Tuhan mereka, untuk mengatur segala urusan). Ini kembali ke makna "Al-Qadr" sebagai ketetapan. Malaikat turun membawa catatan dan perintah Allah mengenai segala urusan yang akan terjadi di bumi selama setahun ke depan:

Ini bukan berarti Allah baru menentukan takdir pada malam itu, karena Takdir telah ditetapkan di Lauhul Mahfuzh sejak azali. Malam Al-Qadr adalah waktu manifestasi atau penulisan ulang ketetapan tersebut dari Lauhul Mahfuzh ke catatan para malaikat pelaksana (Al-Malā'ikah Al-Kātibūn).

2.5. Ayat 5: Kedamaian Abadi

سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ (Malam itu (penuh) keselamatan sampai terbit fajar)

Ayat penutup ini memberikan suasana spiritual yang menenangkan. "Salaamun hiya" berarti malam itu adalah keselamatan dan kedamaian murni. Kedamaian ini mencakup beberapa aspek:

  1. Kedamaian dari Siksa: Malam di mana Allah menghindarkan para hamba-Nya yang beribadah dari api neraka.
  2. Kedamaian dari Syaitan: Syaitan dan pasukannya pada malam itu tidak memiliki daya upaya untuk berbuat keburukan atau mencelakai orang-orang mukmin.
  3. Salam dari Malaikat: Para malaikat yang turun senantiasa memberikan salam dan mendoakan keselamatan bagi orang-orang yang beribadah.
  4. Kedamaian Kosmik: Suasana malam yang sunyi, tenang, dan bercahaya, tanpa gejolak alam yang keras, berlangsung hingga terbitnya fajar (mathla'il fajr).

Frasa "hingga terbit fajar" menunjukkan batas waktu keutamaan ini. Segala keagungan, penurunan malaikat, dan kemuliaan pahala berlangsung intensif dari matahari terbenam hingga shalat Subuh.

III. Dimensi Teologis: Mengapa Lailatul Qadr Begitu Mulia?

Lailatul Qadr bukan hanya sekadar malam di mana Al-Qur'an diturunkan, tetapi merupakan manifestasi nyata dari rahmat Allah yang tak terbatas kepada umat Muhammad. Keutamaannya terletak pada interaksi unik antara langit dan bumi.

3.1. Hubungan antara Ramadhan, Puasa, dan Malam Qadr

Ramadhan adalah bulan pelatihan spiritual. Puasa berfungsi membersihkan jiwa, mengendalikan hawa nafsu, dan meningkatkan kesiapan spiritual untuk menerima anugerah besar. Lailatul Qadr adalah puncak dari pelatihan ini. Jika Ramadhan adalah lintasan maraton, Lailatul Qadr adalah garis finish yang memberikan hadiah terbesar.

Tanpa persiapan spiritual melalui puasa dan shalat tarawih, seorang mukmin mungkin tidak akan mampu merasakan atau memanfaatkan keutamaan malam tersebut secara maksimal. Oleh karena itu, para ulama menekankan bahwa orang yang mencari Lailatul Qadr harus menjalani seluruh proses Ramadhan dengan penuh kesungguhan.

3.2. Tafsir Mengenai "Alfi Syahr" (Seribu Bulan)

Untuk memahami mengapa seribu bulan dipilih, kita harus melihat konteks narasi dalam sumber-sumber tafsir. Beberapa riwayat (meski tidak semua memiliki tingkatan sahih yang sama) menyebutkan bahwa Nabi ﷺ teringat kepada para nabi Bani Israil yang berdakwah dan berjihad selama ratusan tahun. Kesedihan Nabi terhadap usia pendek umatnya dijawab oleh Allah dengan memberikan malam yang nilainya melebihi masa ibadah para nabi terdahulu tersebut.

Seribu bulan, yaitu 83 tahun, juga sering dihubungkan dengan usia rata-rata yang dicapai seseorang tanpa beribadah. Dengan memberikan keutamaan ini, Allah memberikan kesempatan kepada umat ini untuk 'mengejar ketertinggalan' spiritual dari umat-umat yang lebih panjang umurnya.

3.3. Para Malaikat dan Pengaturan Urusan (Taqdir)

Ayat 4 adalah bukti nyata tentang adanya sistem manajemen kosmik. Meskipun Allah menetapkan takdir secara azali, Malam Al-Qadr adalah momen ketika ketetapan detail tahunan dieksekusi melalui malaikat. Proses ini mengajarkan kita tentang pentingnya:

Sebagian ulama tafsir besar seperti Al-Qurtubi dan Fakhruddin Ar-Razi membahas secara rinci bagaimana mekanisme penurunan takdir ini terjadi, menekankan bahwa meskipun manusia tidak tahu pasti, mereka harus beribadah seolah-olah takdir baik dan rezeki mereka sedang ditentukan pada malam itu.

IV. Fiqh Praktis: Tata Cara Mencari Malam Kemuliaan

Karena kemuliaan Lailatul Qadr tersembunyi, seorang mukmin diperintahkan untuk mencarinya. Penyembunyian ini adalah ujian keimanan dan motivasi bagi umat Islam untuk bersungguh-sungguh beribadah, bukan hanya pada satu malam, melainkan pada periode waktu yang disarankan.

4.1. Kapan Terjadinya Lailatul Qadr?

Hadis-hadis Nabi ﷺ menunjukkan bahwa Lailatul Qadr terletak pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

“Carilah Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Malam-malam ganjil yang dimaksud adalah malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29. Mayoritas ulama, berdasarkan riwayat dari Ubay bin Ka’b, condong bahwa malam ke-27 adalah yang paling mungkin, namun Rasulullah ﷺ sendiri tidak pernah menentukan tanggal pasti, melainkan menganjurkan untuk berburu (taharri) di seluruh sepuluh malam ganjil.

4.2. Amalan Utama dalam Lailatul Qadr

Amalan yang dianjurkan untuk mengisi malam yang penuh kemuliaan ini mencakup tiga pilar utama:

a. Qiyamul Lail (Shalat Malam)

Shalat tarawih dan tahajud pada malam-malam ini harus dilakukan dengan khusyuk dan panjang. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang menghidupkan Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan pengharapan pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari).

Ibadah pada malam itu harus dilakukan dengan kualitas terbaik, seolah-olah itu adalah ibadah terakhir yang dilakukan dalam hidup. Fokus harus diberikan pada tuma'ninah (ketenangan) dalam shalat.

b. I'tikaf (Berdiam Diri di Masjid)

I'tikaf adalah praktik mengisolasi diri secara spiritual di masjid dengan niat beribadah semata, meninggalkan urusan dunia. Rasulullah ﷺ selalu melaksanakan i'tikaf di sepuluh malam terakhir. Ini memastikan bahwa seorang mukmin akan mendapatkan Lailatul Qadr, karena ia secara fisik dan spiritual mengabdikan diri sepenuhnya selama periode tersebut.

c. Memperbanyak Doa Khusus

Doa yang paling dianjurkan oleh Nabi ﷺ kepada istrinya, Aisyah RA, ketika ia bertanya doa apa yang harus diucapkan jika ia mengetahui Lailatul Qadr, adalah:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai maaf, maka maafkanlah aku." (HR. Tirmidzi)

Permintaan maaf (al-'afwu) adalah tujuan tertinggi pada malam ketetapan ini, karena pengampunan dosa adalah kunci kesuksesan di dunia dan akhirat. Selain itu, memperbanyak dzikir, membaca Al-Qur'an, dan merenungkan ayat-ayat Allah juga sangat dianjurkan.

4.3. Tanda-tanda Lailatul Qadr

Walaupun tidak semua orang bisa melihat tanda-tanda khusus, beberapa riwayat menyebutkan indikasi fisik yang dapat diamati:

V. Studi Balaghah (Retorika) Surat Al-Qadr

Surat Al-Qadr, meskipun singkat, menunjukkan puncak keindahan retorika bahasa Arab, yang menegaskan kemukjizatan Al-Qur'an.

5.1. Repetisi yang Penuh Makna

Kata "Lailatul Qadr" diulang sebanyak tiga kali dalam surat yang hanya memiliki lima ayat. Pengulangan ini (Ayat 1, 2, dan 3) berfungsi sebagai penekanan, pengagungan, dan penggalian makna yang lebih dalam.

Struktur ini memaksa pembaca untuk berhenti dan merenungkan bobot spiritual dari frasa tersebut, yang akhirnya ditutup dengan pernyataan yang tidak dapat ditandingi: kebaikan yang melebihi seribu bulan.

5.2. Keindahan Irama (Fawasil)

Seluruh surat ini berakhir dengan irama vokal yang serupa (akhiran 'r' atau 'r'), menghasilkan ritme yang harmonis dan mudah diingat, ciri khas surat-surat Makkiyah pendek.

Keserasian irama ini menambah kekuatan persuasif dan kemudahan penghafalan, yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an bukan sekadar prosa atau puisi, melainkan bentuk sastra ilahiah yang unik.

5.3. Penggunaan Kata Kerja Pasif (Anzalnaahu)

Penggunaan kata kerja 'anzalnaahu' (Kami telah menurunkannya) dalam bentuk muta'alliq (yang objeknya disembunyikan) adalah bentuk I'jaz (kemukjizatan). Biasanya, objek langsung harus disebutkan. Namun, dalam konteks ini, penyebutan Al-Qur'an dihilangkan karena keagungannya sudah terlalu besar. Ini adalah cara Allah memuliakan wahyu-Nya, menempatkannya di atas kebutuhan retoris standar.

VI. Hikmah Tersembunyinya Lailatul Qadr

Jika Malam Al-Qadr begitu mulia, mengapa Allah menyembunyikan tanggal pastinya dari umat manusia? Para ulama tafsir mengajukan beberapa alasan hikmah ilahi yang mendasar:

6.1. Ujian Kesungguhan (Ijtihad)

Penyembunyian malam ini memotivasi umat Islam untuk bersungguh-sungguh (ijtihad) dalam beribadah selama sepuluh malam terakhir Ramadhan. Jika tanggalnya diketahui pasti (misalnya malam ke-27), sebagian besar umat mungkin hanya akan beribadah pada malam itu saja, lalu lalai pada malam-malam lainnya. Kerahasiaan ini memastikan ibadah yang konsisten dan maksimal, sehingga seorang mukmin dapat memperoleh manfaat dari keseluruhan periode sepuluh malam, bukan hanya satu malam.

6.2. Mengangkat Derajat Semua Malam Ramadhan

Dengan mencari Al-Qadr di banyak malam, seorang mukmin secara otomatis meningkatkan kadar ibadahnya di malam-malam yang lain. Allah SWT ingin hamba-Nya menghormati dan menghidupkan sebanyak mungkin malam di bulan Ramadhan, sehingga berkah bulan tersebut merata. Ini adalah bentuk rahmat tambahan, karena ibadah yang dilakukan tanpa disengaja bertepatan dengan Al-Qadr tetap akan mendapatkan pahala malam tersebut.

6.3. Memelihara Niat Ikhlas

Jika malam itu diketahui, ada risiko ibadah yang dilakukan bercampur dengan riya' (pamer) atau motivasi duniawi semata karena besarnya hadiah yang dijamin. Ketika malam itu tersembunyi, ibadah yang dilakukan cenderung lebih murni, didasarkan pada rasa harap dan takut kepada Allah secara umum, bukan hanya karena menjamin pahala 83 tahun.

6.4. Sanksi Bagi Orang yang Lalai

Penyembunyian juga merupakan sanksi bagi orang yang lalai. Jika seseorang melewatkan sepuluh malam terakhir karena kemalasan, kerugiannya jauh lebih besar dibandingkan jika ia hanya melewatkan satu malam yang diketahui. Kerahasiaan ini menambah nilai urgensi dalam beribadah.

VII. Kedalaman Tafsir: Menelusuri Pandangan Mazhab dan Salaf

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk meninjau bagaimana para ahli tafsir salaf dan khalaf (terdahulu dan kontemporer) mengurai detail surat yang agung ini.

7.1. Pandangan Ibnu Katsir mengenai Nuzul Al-Qur'an

Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, sangat menekankan bahwa penurunan Al-Qur'an pada malam ini adalah dari Lauhul Mahfuzh ke langit dunia. Ia mengutip riwayat dari Ibnu Abbas RA yang menegaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan sekaligus, diletakkan di Baitul Izzah (di langit dunia), dan kemudian Jibril menurunkannya secara berangsur-angsur kepada Rasulullah ﷺ selama 23 tahun sesuai dengan peristiwa dan kebutuhan. Pandangan ini menyatukan dua ayat yang tampaknya berbeda (Al-Qadr yang menyebutkan penurunan sekali gus, dan riwayat sejarah yang menyebutkan penurunan bertahap).

7.2. Tafsir Al-Qurtubi: Isu Khilafiyah Takdir

Al-Qurtubi membahas secara luas mengenai konsep "min kulli amr" (segala urusan). Ia menjelaskan bahwa urusan yang ditetapkan pada malam Al-Qadr adalah urusan rinci tahunan yang disampaikan kepada malaikat. Ini membedakan antara Takdir Azali (ketetapan Allah yang tidak berubah, tertulis di Lauhul Mahfuzh) dan Takdir Tahunan (ketetapan yang bersifat operasional bagi para malaikat).

Perbedaan antara dua jenis takdir ini penting untuk menghindari kesalahpahaman bahwa Allah mengubah takdir-Nya, melainkan ini adalah proses transfer dan manifestasi perintah Illahi. Al-Qurtubi juga membahas peran spesifik Ruh (Jibril) dalam mengawasi pelaksanaan ketetapan ini di bumi.

7.3. As-Sa’di: Fokus pada Kualitas Ibadah

Imam Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di dalam tafsirnya, lebih menekankan aspek tarbiyah (pendidikan spiritual). Ia menjelaskan bahwa nilai "lebih baik dari seribu bulan" harus memacu mukmin untuk memaksimalkan kualitas ibadah, bukan hanya kuantitas. Seorang yang shalat satu rakaat dengan khusyuk di Lailatul Qadr bisa jadi lebih bernilai daripada shalat ribuan rakaat tanpa kehadiran hati (khudhurul qalb).

As-Sa'di juga menekankan makna "Salaamun hiya" sebagai manifestasi kasih sayang Allah. Malam itu adalah karunia keselamatan murni, di mana dosa diampuni dan amal dilipatgandakan, memberikan kedamaian total dari permusuhan syaitan dan siksa neraka.

7.4. Perspektif Bahasa Arab Klasik (Lisan Al-Arab)

Penting untuk kembali ke akar bahasa untuk memahami mengapa Al-Qadr memiliki makna ganda (ketetapan dan kemuliaan). Dalam Lisan Al-Arab (kamus klasik), kata Qadr juga diartikan sebagai "ukuran" atau "bobot". Malam ini adalah malam yang diukur bobotnya (keutamaannya) jauh melebihi waktu lainnya, dan malam di mana urusan (ukuran) makhluk diukur dan ditetapkan.

Penggunaan kata Tanazzalu (bentuk tatafa’’alu) menunjukkan proses yang lambat namun berkelanjutan, menekankan betapa padat dan ramainya langit dan bumi oleh para malaikat, seolah-olah mereka "turun perlahan-lahan" karena banyaknya jumlah mereka.

VIII. Penutup: Warisan Spiritual Surat Al-Qadr

Surat Al-Qadr adalah salah satu pilar utama spiritualitas Islam yang menghubungkan waktu (Ramadhan), wahyu (Al-Qur'an), dan takdir (ketetapan). Surat ini memberikan harapan yang monumental bagi umat Islam yang hidup dalam usia relatif pendek. Dengan kesungguhan beribadah dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan, seorang hamba diberi kesempatan untuk meraih keutamaan yang setara dengan seluruh hidupnya.

Keselamatan (Salaam) yang melingkupi malam ini hingga terbit fajar adalah janji Allah akan perlindungan, ampunan, dan kemuliaan bagi mereka yang mencarinya dengan hati yang ikhlas. Oleh karena itu, tugas setiap mukmin adalah tidak hanya membaca dan menghafal surat ini, tetapi meresapi maknanya dan mengaplikasikannya dalam upaya pencarian Lailatul Qadr setiap tahunnya, menjadikannya malam transisi spiritual menuju kehidupan yang lebih bertakwa.

Semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua keberkahan Malam Kemuliaan.

🏠 Homepage