Sholat Maghrib adalah salah satu dari lima sholat fardhu yang memiliki kedudukan istimewa. Ia menandai berakhirnya hari dan dimulainya malam, dilakukan tepat setelah terbenamnya matahari. Sholat ini terdiri dari tiga rakaat, menjadikannya sholat wajib yang ganjil dan berbeda dari sholat lainnya (Dzhuhur, Ashar, Isya, Subuh) yang berjumlah empat atau dua rakaat.
Dalam Mazhab Syafi'i, Maliki, maupun Hanbali, terdapat kesepakatan bahwa Rasulullah SAW memiliki kebiasaan (Sunnah) untuk meringankan bacaan pada sholat Maghrib dibandingkan sholat Isya atau sholat Dzhuhur. Keringanan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang utama adalah transisi waktu yang singkat antara Maghrib dan Isya, serta kondisi umum umat saat itu.
Lalu, apa yang dimaksud dengan "surat pendek" (Qishar Al-Mufassal)? Para ulama membagi surat-surat dalam juz 30 menjadi tiga kategori berdasarkan panjangnya: Thawal, Awsath, dan Qishar Al-Mufassal. Surat pendek yang dianjurkan untuk Maghrib umumnya adalah surat-surat yang berada di antara Surah Ad-Dhuha hingga Surah An-Nas. Namun, untuk menjaga sunnah keringanan, fokus utama kita adalah surat-surat yang paling sering diulang dan mudah dihafal.
Meskipun demikian, terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW pernah membaca surah yang agak panjang, seperti Surah At-Thur, di Maghrib. Ini menunjukkan adanya fleksibilitas. Namun, praktik yang paling sering dilakukan dan dianggap sebagai Sunnah yang diutamakan adalah menggunakan surat-surat yang sangat ringkas, terutama di rakaat kedua.
Pasangan surat-surat berikut ini sangat dianjurkan untuk Maghrib, karena kesesuaiannya dengan riwayat Nabi SAW dan fokus tematiknya yang mendalam, meskipun ringkas. Umumnya, pasangan ini dibaca secara berurutan: satu surah di rakaat pertama, dan surah pasangannya di rakaat kedua.
Inilah pasangan yang sering disebut sebagai "surat kesayangan" Rasulullah SAW dalam berbagai sholat, termasuk sholat sunnah fajar dan sholat sunnah tawaf, dan sangat dianjurkan untuk Maghrib. Kedua surah ini fokus pada fondasi utama Islam: penolakan terhadap syirik dan penegasan tauhid (keesaan Allah).
Surat ke-109 ini turun di Mekkah dan memiliki enam ayat. Tema utamanya adalah pemisahan total antara tauhid dan syirik, serta keharusan menjaga akidah Islam dari kompromi dengan praktik kekufuran.
Tafsir Mendalam Ayat ke-6 (Penutup): "Lakum dinukum wa liya din" (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku). Ayat ini bukan hanya pernyataan toleransi ritual, melainkan penegasan batas akidah. Ketika seorang Muslim membacanya dalam Maghrib, ia sedang memperbaharui ikrarnya di penghujung hari bahwa keimanannya murni hanya kepada Allah, tanpa ada unsur kompromi atau keraguan. Ini adalah benteng spiritual saat memasuki waktu malam.
Keutamaan Al-Kafirun: Salah satu hadits menyebutkan bahwa membaca Surat Al-Kafirun sama dengan seperempat Al-Quran. Ini menunjukkan bobot tematiknya yang sangat tinggi dalam menegakkan tauhid uluhiyah (ketuhanan).
Surat ke-112 ini adalah jawaban langsung terhadap pertanyaan kaum musyrikin tentang sifat Allah SWT. Al-Ikhlas tidak hanya menolak syirik, tetapi secara aktif mendefinisikan Keesaan Allah dengan sempurna.
Analisis Konsep Ash-Shamad: Salah satu kata kunci terpenting adalah Ash-Shamad. Secara bahasa, Ash-Shamad berarti yang dituju. Dalam konteks teologi, Ash-Shamad memiliki makna ganda yang mendalam: Pertama, Dia adalah tempat bergantungnya segala sesuatu. Kedua, Dia adalah yang tidak membutuhkan apa-apa, baik makanan, minuman, maupun tempat. Dengan membaca ini di rakaat kedua Maghrib, seorang hamba mengakhiri sholatnya dengan deklarasi bahwa segala daya dan upaya kembali hanya kepada Dzat Yang Maha Tunggal.
Keutamaan Al-Ikhlas: Rasulullah SAW bersabda bahwa Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Quran. Jika Al-Kafirun setara seperempat, maka membaca keduanya dalam Maghrib memberikan pahala yang sangat besar, mengukuhkan Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah secara sekaligus.
Meskipun sedikit lebih panjang daripada pasangan Ikhlas-Kafirun, kedua surat ini juga termasuk dalam kategori Al-Mufassal dan diriwayatkan sering dibaca oleh Nabi SAW dalam sholat 'Id, Jumat, dan terkadang Maghrib.
Surat ke-87 ini berisi perintah untuk memuji Allah SWT yang Maha Tinggi dan Dzat yang menyempurnakan segala penciptaan. Ia juga memuat pembahasan tentang prioritas kehidupan: mengutamakan akhirat atas dunia.
Surat ke-88 ini mendeskripsikan secara rinci keadaan Hari Kiamat (Al-Ghasyiyah, yang menutupi). Dengan membaca Al-Ghasyiyah setelah Al-A’la, seorang Muslim diajak untuk merenungkan keagungan penciptaan (Al-A’la) dan konsekuensi dari amal perbuatan di hari perhitungan (Al-Ghasyiyah). Tema ini sangat relevan dibaca saat senja hari, mengingatkan bahwa waktu terus berjalan menuju pertemuan dengan Rabb.
Kedua surat ini dikenal sebagai *Al-Mu’awwidzatain* (dua surat perlindungan). Penggunaannya dalam Maghrib, meskipun kurang umum dibanding Kafirun-Ikhlas, sangat bermanfaat karena Maghrib adalah gerbang menuju malam hari, waktu di mana perlindungan dari kejahatan sangat dibutuhkan.
Permintaan perlindungan dari kejahatan makhluk (ghasiq), sihir, dan kedengkian.
Permintaan perlindungan dari bisikan (waswas) syaitan, baik dari golongan jin maupun manusia, yang merupakan kejahatan yang paling dekat dengan hati manusia.
Signifikansi Bacaan di Maghrib: Membaca Mu’awwidzatain di Maghrib berfungsi sebagai benteng spiritual sebelum tidur. Ini adalah praktik Ruqyah (perlindungan) yang dibaca oleh Nabi SAW sebelum beliau tidur, dan membacanya dalam sholat Maghrib memperkuat perlindungan ini.
Para Fuqaha (ahli fiqh) dari berbagai mazhab sepakat bahwa yang wajib hanyalah membaca Surat Al-Fatihah. Namun, membaca surat tambahan (surah Ba'da Al-Fatihah) adalah Sunnah. Batasan minimal untuk sholat Maghrib adalah satu ayat yang sempurna, meskipun yang paling sempurna adalah satu surat pendek penuh.
Mazhab Hanafi: Menganjurkan surat yang berada di kategori Al-Qishar (pendek) agar tidak memanjangkan sholat secara berlebihan, namun membolehkan surat yang lebih panjang selama jamaah tidak merasa terbebani.
Mazhab Maliki: Menganggap Sunnah untuk membaca surat pendek, tetapi menganggap makruh (tidak disukai) jika imam membaca surat yang sangat panjang (seperti Al-Baqarah) di Maghrib, karena ini menyalahi kebiasaan Nabi SAW dan mempersulit makmum yang mungkin lapar atau terburu-buru.
Apakah boleh membaca surat yang sama di rakaat pertama dan rakaat kedua Maghrib? Hukumnya adalah boleh, dan sholat tetap sah, terutama jika seseorang baru menghafal sedikit surat. Namun, yang lebih utama (Sunnah) adalah membedakan surat di rakaat pertama dan kedua. Jika harus diulang, Al-Ikhlas adalah surat yang paling sering diulang, bahkan dianjurkan.
Terdapat hadits shahih yang menunjukkan fleksibilitas Nabi SAW. Pernah Nabi SAW membaca Surah At-Thur (Surah ke-52, relatif panjang) di Maghrib, sehingga para sahabat bertanya-tanya. Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa tindakan ini dilakukan sesekali untuk menunjukkan kebolehan, tetapi Sunnah yang sering beliau amalkan adalah membaca surat-surat pendek.
Oleh karena itu, jika seorang imam berada di tengah jamaah yang terdiri dari ahli ilmu dan siap meluangkan waktu, sesekali membaca surah dari Al-Mufassal yang agak panjang (misalnya At-Tin, Ad-Dhuha, atau bahkan Ar-Rahman) hukumnya mubah (boleh) namun bukan praktik utama.
Untuk memahami mengapa surat-surat ini menjadi pilihan utama, kita harus mendalami muatan teologisnya. Surat-surat pendek Maghrib ini berfungsi sebagai intisari ajaran Islam yang dibaca pada transisi waktu.
Surat ke-107 ini adalah kritikan keras terhadap mereka yang mengaku beragama namun lalai terhadap hak-hak sesama. Surat ini sering dipilih untuk Maghrib karena pendek dan padat, tetapi muatannya sangat berat, menghubungkan ibadah ritual dengan ibadah sosial.
Surat ke-106 ini adalah ajakan untuk menyembah Allah karena Dia telah memberi mereka dua nikmat besar: keamanan dari rasa takut dan rezeki dari kelaparan. Surat ini adalah pengingat penting bagi hamba di akhir hari.
Pasangan surat ini, meskipun sedikit lebih panjang, sangat dianjurkan. Kedua surat ini turun saat Rasulullah SAW sedang menghadapi kesulitan berat, menawarkan penghibatan dan janji kemudahan. Membacanya di Maghrib memberikan ketenangan bagi jiwa setelah kesibukan dan tekanan harian.
Ekspansi Tafsir Lisan pada Ad-Dhuha: Ayat-ayat awal Ad-Dhuha (Demi waktu Dhuha dan demi malam apabila telah sunyi) menunjukkan sumpah Allah atas waktu. Ini penting karena Maghrib adalah titik transisi antara Dhuha (terang) dan Lail (malam). Seorang hamba yang membaca ini seolah sedang merangkum siklus harian, meyakini bahwa Allah-lah yang mengatur seluruh waktu dan keadaan dalam hidupnya, dari kesibukan pagi hingga ketenangan malam.
Bagi mereka yang baru mulai menghafal Al-Quran, dianjurkan untuk mendahulukan surat-surat yang paling sering digunakan dalam sholat. Urutan prioritas hafalan untuk sholat Maghrib adalah:
Dengan menguasai enam surat pendek tersebut, seorang Muslim memiliki variasi bacaan yang mencukupi untuk Maghrib sesuai Sunnah Nabi SAW.
Dalam sholat Maghrib (dan sholat fardhu lainnya), Sunnah menganjurkan agar surat yang dibaca di rakaat pertama lebih panjang daripada surat di rakaat kedua. Hal ini untuk mematuhi tartib mushafi (urutan Al-Quran), atau setidaknya sesuai dengan urutan logis tematik.
Ketika seorang Muslim sedang dalam perjalanan (musafir) dan diperbolehkan menjamak sholat Maghrib dengan Isya (Jamak Taqdim atau Jamak Ta'khir), aturan bacaan tetap sama, yaitu meringankan bacaan. Namun, dalam konteks jamak dan qashar, fokus utama adalah pada kecepatan pelaksanaan. Jika Maghrib dijamak dengan Isya, seringkali bacaan dibuat sesingkat mungkin untuk segera menunaikan sholat Isya.
Beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh para imam atau makmum dalam sholat Maghrib terkait bacaan adalah:
Tujuan utama dari pemilihan surat-surat pendek yang padat ini bukan hanya untuk efisiensi waktu, melainkan untuk memastikan bahwa setiap ayat yang dibaca memiliki dampak teologis yang maksimal dalam waktu yang singkat. Maghrib adalah momen refleksi harian, dan surat-surat ini mendukung refleksi tersebut.
Ketika membaca Al-Ikhlas di rakaat kedua, hamba sedang mendeklarasikan Tawakal murni. Setelah seharian penuh berinteraksi dengan dunia, Maghrib menjadi saat untuk menyadari bahwa Allah adalah Ash-Shamad (Tempat Bergantung) dan bahwa semua hasil usaha di siang hari kembali kepada kehendak-Nya.
Penggunaan surat seperti At-Tin (jika dibaca), yang berbicara tentang penciptaan manusia dalam bentuk terbaik dan kemudian dikembalikan ke tempat yang paling rendah (neraka) kecuali yang beriman, sangat kuat saat dibaca di Maghrib. Senja hari adalah metafora untuk usia manusia yang beranjak menuju penutup, mengingatkan kita pada janji akhirat.
Kesimpulannya, praktik membaca surat-surat pendek dalam sholat Maghrib adalah Sunnah yang sangat ditekankan. Ia adalah perwujudan dari keseimbangan Islam: ibadah yang khusyuk, tetapi tidak memberatkan, berlandaskan pada tauhid murni, dan diakhiri dengan permohonan perlindungan dari segala bentuk kejahatan, baik yang kasat mata maupun yang tersembunyi. Dengan memahami makna mendalam dari setiap surat pendek tersebut, sholat Maghrib kita akan menjadi lebih bermakna dan diterima di sisi Allah SWT.
Untuk melengkapi pembahasan mengenai surat pendek Maghrib, penting untuk menelusuri lebih jauh rincian fiqh, terutama dari sudut pandang ulama klasik mengenai kategori Al-Mufassal dan penerapannya secara luas dalam sholat-sholat harian.
Al-Mufassal adalah bagian terakhir dari Al-Quran, dimulai dari Surah Qaaf (atau terkadang Al-Hujurat) hingga An-Nas. Para ulama membaginya menjadi tiga:
Maghrib, dengan anjuran keringanan, berada pada puncak preferensi untuk Qisār Al-Mufassal. Membaca surat-surat yang sangat panjang, seperti Al-Baqarah atau Ali Imran, di Maghrib dianggap bertentangan dengan Sunnah yang bersifat rutin, meskipun secara hukum sah dilakukan.
Surat Al-Ikhlas sering diulang karena kandungan tauhidnya yang murni, terlepas dari pendeknya. Analisis tata bahasanya (nahwu dan sharaf) menunjukkan kepadatan makna yang luar biasa:
Pembacaan Al-Ikhlas di rakaat kedua Maghrib, setelah rakaat pertama yang mungkin membaca Al-Kafirun (deklarasi penolakan), menciptakan pasangan teologis yang sempurna: menolak syirik, kemudian menegaskan tauhid murni.
Penggunaan Mu’awwidzatain sangat relevan dengan waktu Maghrib dan masuknya malam (waktu ghasiq). Secara spesifik, Surat Al-Falaq meminta perlindungan dari:
Sementara An-Nas lebih fokus pada kejahatan psikologis dan spiritual, yaitu waswasah (bisikan jahat) yang seringkali menguat saat seseorang sendiri atau dalam keadaan lelah di malam hari. Membaca dua surat ini dalam sholat Maghrib adalah cara formal dan ritualistik untuk memohon benteng Ilahi sebelum memulai malam.
Hadits dari Zaid bin Tsabit r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah SAW terkadang membaca dua surat panjang dari Al-Mufassal di Maghrib. Para ulama menafsirkan bahwa "panjang" dalam konteks Maghrib tetaplah surat yang lebih pendek dibandingkan sholat Subuh atau Isya. Contoh surat yang mungkin beliau baca dalam konteks ini adalah Surah Ash-Shaffat atau Surah At-Thur, yang masih termasuk di awal Al-Mufassal. Ini menegaskan bahwa variasi diizinkan, tetapi keringanan tetap menjadi kaidah umum (al-ghalib).
Karena bacaan Maghrib pendek, imam memiliki tanggung jawab lebih besar untuk memastikan bahwa ia membaca dengan tartil (perlahan, jelas, dan sesuai tajwid). Jika imam membaca Surah Al-Ikhlas terlalu cepat, ia kehilangan kesempatan untuk merenungkan makna Ash-Shamad, padahal inilah esensi sholat Maghrib yang ringkas. Kekuatan bacaan Maghrib terletak pada kualitas penghayatan, bukan sekadar jumlah ayat.
Bagi makmum (orang yang bermakmum), setelah menyelesaikan Al-Fatihah, dianjurkan untuk mendengarkan bacaan imam dengan khusyuk. Jika imam membaca surat yang tidak dikenal, makmum harus tetap fokus pada tajwid dan maknanya, bukan mencoba menebak surat apa itu. Tugas utama makmum adalah mengikuti imam, dan dalam Mazhab Syafi’i, membaca Al-Fatihah secara mandiri adalah wajib.
Dengan demikian, surat-surat pendek sholat Maghrib bukan sekadar 'pengisi rakaat', melainkan kapsul spiritual yang mengandung intisari ajaran Islam, benteng dari kejahatan, dan pengingat akan keesaan Allah, yang disajikan dalam format yang paling sesuai dengan ritme waktu senja.
Selain alasan transisi waktu yang sempit, keringanan bacaan Maghrib juga mengandung hikmah psikologis dan sosial. Maghrib adalah waktu umat Islam baru saja kembali dari aktivitas harian yang melelahkan. Waktu ini juga sering bertepatan dengan waktu makan (iftar) bagi yang berpuasa sunnah atau waktu berkumpul keluarga.
Rasulullah SAW, dengan Sunnah meringankan Maghrib, menunjukkan empati dan pemahaman terhadap kondisi umatnya. Hal ini memastikan bahwa sholat tidak menjadi beban berat yang menghalangi seorang Muslim untuk menunaikannya secara tepat waktu, tetapi tetap menawarkan pahala maksimal melalui fokus pada kualitas bacaan tauhid (seperti Ikhlas dan Kafirun).
Sebaliknya, Sholat Subuh memiliki anjuran membaca surat-surat yang relatif panjang (Thiwāl Al-Mufassal), seperti Ad-Dukhan, Al-Waqi’ah, atau surah-surah dari awal juz 30. Ini menunjukkan perbedaan mendasar dalam suasana spiritual: Subuh adalah awal hari, membutuhkan bekal spiritual yang kuat dan panjang. Maghrib adalah penutup hari, membutuhkan fokus singkat pada tauhid dan syukur.
Jika imam Maghrib konsisten membaca Al-Qishar Al-Mufassal (surat pendek), ini mencerminkan pemahaman yang benar atas Sunnah dan fiqh prioritas waktu sholat.
Meskipun Qisār Al-Mufassal adalah yang paling dianjurkan, beberapa surat dari kelompok Awsath Al-Mufassal (yang sedikit lebih panjang) sesekali dapat digunakan, seperti:
Penggunaan surat-surat ini menunjukkan variasi yang pernah diamalkan, namun penting untuk memastikan bahwa jamaah tidak terbebani oleh panjangnya bacaan.
Setelah sholat fardhu Maghrib selesai, Sunnah yang sangat ditekankan adalah melaksanakan dua rakaat Sholat Sunnah Rawatib Ba'diyah Maghrib. Dalam sholat sunnah ini, ulama juga sangat menganjurkan penggunaan kembali Surat Al-Kafirun dan Surat Al-Ikhlas. Ini menciptakan kesinambungan tematik di mana seluruh rangkaian ibadah Maghrib (fardhu dan sunnah) ditegakkan di atas pilar Tauhid (Al-Ikhlas) dan Baro'ah (penolakan syirik, Al-Kafirun). Ini berfungsi sebagai penutup akidah yang sempurna untuk hari itu.
Dengan memadukan pengetahuan fiqh, tafsir, dan riwayat otentik, setiap Muslim dapat memastikan bahwa pilihan surat pendek dalam sholat Maghribnya tidak hanya sah, tetapi juga paling sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, memaksimalkan pahala dari setiap rakaat yang ditunaikan saat senja.