Analisis Tafsir, Sejarah, dan Teologi di Balik Janji Kemenangan Ilahi
Dalam urutan mushaf, Surah Al-Lahab (Al-Masad, Surah 111) menduduki posisi yang unik sebagai satu-satunya surah yang secara eksplisit mengutuk seseorang secara individu dan memprediksi kehancurannya di dunia dan akhirat. Surah ini merupakan puncak dari permusuhan dan penolakan yang dihadapi oleh Rasulullah ﷺ di Mekkah.
Namun, untuk memahami sepenuhnya drama teologis dan historis yang melatarbelakangi kutukan eksplisit tersebut, kita harus terlebih dahulu mengkaji Surah yang mendahuluinya dalam tatanan Al-Qur'an, yaitu Surah An-Nasr (Surah 110), yang berarti 'Pertolongan' atau 'Kemenangan'. Surah An-Nasr bukan sekadar pemisah antarsurah, melainkan sebuah proklamasi ilahi tentang penyelesaian misi, titik balik sejarah, dan penanda bahwa masa-masa sulit (seperti yang dialami dari permusuhan Abu Lahab) telah berakhir dengan kemenangan mutlak.
Artikel ini akan melakukan kajian mendalam terhadap Surah An-Nasr, menelusuri konteks pewahyuannya, analisis linguistik, implikasi teologisnya sebagai tanda perpisahan, dan bagaimana janji kemenangan ini berfungsi sebagai kontras dramatis terhadap Surah Al-Lahab yang berbicara tentang kekalahan abadi individu yang menentang kebenaran.
Surah An-Nasr, bersama dengan surah-surah pendek di akhir Al-Qur'an (seperti Al-Kautsar, Al-Kafirun, dan Al-Ikhlas), seringkali disebut sebagai surah-surah penutup yang padat makna. Meskipun pendek, An-Nasr adalah salah satu surah yang paling menggetarkan hati para Sahabat, karena mengandung isyarat halus mengenai akhir dari masa kenabian. Surah ini adalah penegasan bahwa perjuangan panjang di Mekkah, yang ditandai dengan intimidasi, penganiayaan, dan permusuhan yang brutal (seperti yang dipimpin oleh Abu Lahab), telah mencapai klimaks dan puncaknya: kemenangan total Islam.
Surah An-Nasr terdiri dari tiga ayat yang ringkas namun mendalam:
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
١. إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ
٢. وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا
٣. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا
Terjemahan:
Secara umum, An-Nasr diterima sebagai Surah Madaniyah, turun di Madinah, dan sering dianggap sebagai surah terakhir yang turun secara utuh. Konsensus ulama mengaitkannya dengan peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Mekkah) pada tahun ke-8 Hijriyah. Kemenangan ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga pembuka jalan bagi masuknya bangsa Arab ke dalam Islam secara massal.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Surah ini mengacu langsung pada Fathu Makkah. Mekkah, sebagai pusat spiritual dan kota asal Rasulullah ﷺ, adalah benteng terakhir Quraish dan simbol kekuasaan jahiliyah. Ketika Mekkah takluk tanpa pertumpahan darah yang signifikan, janji "pertolongan" (نَصْرُ ٱللَّهِ) dan "kemenangan" (وَٱلْفَتْحُ) terwujud. Setelah penaklukan, suku-suku Arab yang sebelumnya ragu-ragu karena menunggu hasil konflik antara Quraish dan Muslim, mulai berduyun-duyun memeluk Islam.
Kata Al-Fath (Kemenangan) di sini secara linguistik lebih dari sekadar "kemenangan." Ia berarti "pembukaan," yang dalam konteks dakwah, merujuk pada pembukaan gerbang Mekkah. Penaklukan ini membuka jalan bagi penyebaran Islam ke seluruh Jazirah Arab, yang merupakan prasyarat untuk ayat kedua (masuknya manusia berbondong-bondong).
Penggunaan kata idza (apabila) menunjukkan kepastian mutlak, bukan keraguan. Pertolongan Allah (نَصْرُ ٱللَّهِ) adalah kekuatan pendorong, dan kemenangan (وَٱلْفَتْحُ) adalah hasil nyata. Para mufasir, seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi, menekankan bahwa penyebutan pertolongan Allah mendahului kemenangan bertujuan untuk menanamkan keyakinan bahwa kemenangan material semata tidak berarti tanpa dukungan ilahi.
Kata afwajan (أَفْوَاجًا) berarti dalam kelompok-kelompok besar atau berbondong-bondong. Ini kontras dengan periode Mekkah, di mana orang-orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, dan dengan risiko besar. Setelah Fathu Makkah, rintangan sosial dan politik utama telah runtuh. Penglihatan ini (ورأيت – dan engkau melihat) adalah pemenuhan nubuat. Inilah bukti fisik bahwa misi telah berhasil dan risalah telah tersampaikan sepenuhnya.
Ayat ketiga adalah titik fokus teologis Surah ini. Setelah mencapai puncak kesuksesan, perintah yang diberikan bukanlah perayaan atau kesenangan duniawi, melainkan: Tasbih (menyucikan Allah), Tahmid (memuji Allah), dan Istighfar (memohon ampunan).
Surah An-Nasr, bagi para Sahabat yang mendalam pemahamannya, bukan hanya lagu kemenangan; itu adalah mars perpisahan. Khalifah Umar bin Khattab, ketika menafsirkan surah ini, menyatakan bahwa An-Nasr mengindikasikan akhir dari kehidupan Rasulullah ﷺ.
Meskipun Surah An-Nasr dan Surah Al-Lahab (Al-Masad) terpisah secara kronologis pewahyuan (An-Nasr turun di Madinah/pasca-Hijrah, sementara Al-Lahab turun sangat awal di Mekkah), penempatannya yang berdampingan dalam Mushaf memberikan kontras teologis dan naratif yang luar biasa kuat, yang harus kita pahami untuk menghabiskan pembahasan yang dituntut dari topik ini.
1. Al-Lahab (Mekkah Awal): Mewakili periode permusuhan paling intens, ketika satu-satunya harapan yang dimiliki kaum Muslim adalah perlindungan Allah. Ini adalah masa di mana kegagalan dakwah secara kasat mata sangat mungkin terjadi, dan penentangan keras dari keluarga terdekat (Abu Lahab) berada di puncaknya.
2. An-Nasr (Madinah Akhir): Mewakili konfirmasi bahwa penentangan yang begitu hebat (seperti yang diwakili oleh Abu Lahab) telah gagal total. Risalah telah menang, dan para penentang (meskipun Abu Lahab sudah wafat sebelum Fathu Makkah) telah dikalahkan secara ideologis dan politis.
Penempatan Surah An-Nasr tepat sebelum Al-Lahab berfungsi sebagai kesimpulan historis: keganasan permusuhan individu (Al-Lahab) tidak berarti apa-apa di hadapan kepastian janji kemenangan ilahi (An-Nasr). Kemenangan adalah hasil akhir yang abadi, sedangkan kekejaman penentang hanyalah episode sementara yang berujung pada kehancuran diri sendiri.
Surah Al-Lahab turun sebagai respons langsung terhadap penentangan Abu Lahab, paman Rasulullah ﷺ, pada saat dakwah publik pertama di Bukit Safa. Ketika Rasulullah ﷺ memanggil kaumnya dan bertanya, "Jika saya katakan ada pasukan kuda di balik bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian percaya?" Mereka menjawab, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong." Kemudian beliau menyampaikan risalah. Abu Lahab segera menyela dengan makian, "Celakalah kamu sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami?"
Peristiwa ini adalah momen krusial. Penolakan bukan hanya datang dari luar, tetapi dari inti keluarga. Al-Lahab mengabadikan balasan ilahi atas penolakan frontal tersebut, menyatakan bahwa harta dan jerih payahnya (yang digunakan untuk menentang dakwah) tidak akan menolongnya. Ia dan istrinya (Ummu Jamil, pembawa kayu bakar fitnah) dikutuk untuk Neraka.
An-Nasr menjanjikan kepastian kemenangan bagi pihak yang beriman dan berjuang di jalan Allah. Al-Lahab menjanjikan kepastian kehancuran bagi pihak yang menentang Allah, bahkan jika ia adalah kerabat terdekat Nabi. Keduanya menegaskan sifat mutlak kekuasaan Allah: janji-Nya pasti terwujud, baik sebagai pertolongan maupun sebagai hukuman.
Untuk melengkapi analisis kontekstual antara An-Nasr dan Al-Lahab, perluasan kajian terhadap tiga surah yang mengelilingi mereka (Al-Kautsar, Al-Kafirun, dan Al-Ikhlas) akan memberikan pemahaman utuh mengenai fase akhir wahyu, yang berfokus pada pemisahan identitas dan jaminan ilahi.
Surah ini, yang sering disalahpahami sebagai ajakan sinkretisme, justru merupakan proklamasi pemisahan yang tegas. Surah ini turun di Mekkah, ketika kaum Quraish mengusulkan kompromi: "Kami akan menyembah Tuhanmu setahun, dan kamu akan menyembah tuhan kami setahun."
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Artinya: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Al-Kafirun adalah penolakan mutlak terhadap negosiasi prinsip. Ini mengajarkan bahwa dalam masa-masa permusuhan dan ujian (seperti yang dihadapi di awal dakwah yang memicu Al-Lahab), integritas akidah tidak boleh dikorbankan. Kemenangan (An-Nasr) hanya dapat diraih setelah pemisahan akidah ini dipertahankan secara kokoh.
Jika Al-Kafirun menetapkan batas-batas teologis (prinsip yang tidak bisa dinegosiasikan), maka An-Nasr menetapkan hasil historis dari pemeliharaan batas-batas tersebut: kemenangan yang meluas dan massal.
Surah terpendek dalam Al-Qur'an ini turun ketika Rasulullah ﷺ diejek oleh musuhnya (termasuk Al-'As bin Wa'il dan Abu Lahab) dengan sebutan al-abtar (orang yang terputus keturunannya/terputus rezekinya) setelah putranya meninggal dunia. Surah ini adalah respons yang sangat menghibur dan jaminan ilahi.
إِنَّآ أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ
Artinya: "Sungguh, Kami telah memberimu Al-Kautsar (nikmat yang banyak)."
Al-Kautsar menjamin bahwa para penentanglah yang akan terputus dan dilupakan (syani’aka huwal abtar). Surah ini mengatasi duka pribadi Nabi dan serangan psikologis musuh, memberikan jaminan ilahi di tengah penderitaan. Jaminan inilah yang menopang dakwah hingga mencapai kemenangan yang diumumkan dalam An-Nasr.
Meskipun secara urutan surah berada setelah Al-Lahab, Surah Al-Ikhlas memiliki kaitan tematik yang mendasar. Surah ini mendefinisikan kemurnian Tauhid, esensi dari risalah yang diperjuangkan Nabi. Ketika Abu Lahab dan yang lainnya menentang, mereka menentang Tauhid yang disucikan oleh Al-Ikhlas.
Keseluruhan kelompok surah penutup (Al-Kautsar, Al-Kafirun, An-Nasr, Al-Lahab, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas) membentuk narasi yang koheren:
Surah sebelum Al-Lahab (An-Nasr) karenanya berfungsi sebagai proklamasi klimaks bahwa semua perjuangan yang dimulai dari tantangan di Bukit Safa (yang memicu Al-Lahab) kini telah diakhiri dengan kemenangan yang tak terbantahkan. Hal ini merupakan penyelesaian narasi kenabian.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang memadai, kita harus mengkaji pilihan kata dalam An-Nasr yang menunjukkan urgensi dan makna profetik yang luar biasa.
Surah An-Nasr menggunakan struktur gramatikal bersyarat (idza – apabila) diikuti oleh jawaban bersyarat (fa – maka).
Idza jaa’a nasrullahi wal fathu wa ra’aitan naasa yadkhuluna fi dinillahi afwajan (Apabila datang pertolongan Allah, kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk agama Allah berbondong-bondong).
Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu (Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya).
Kondisi yang disyaratkan (kemenangan dan masuknya massa) adalah peristiwa besar yang bersifat definitif dan bersejarah. Jawaban bersyarat yang dituntut (Tasbih, Tahmid, Istighfar) adalah respons spiritual yang bersifat pribadi dan esensial. Ini mengajarkan bahwa kesuksesan terbesar harus dibalas dengan kerendahan hati terbesar, bukan euforia duniawi.
Sebelum Fathu Makkah, keislaman individu seperti Bilal, Ammar, atau bahkan Hamzah, adalah peristiwa penting yang memerlukan keberanian pribadi yang luar biasa. Setelah Fathu Makkah, Islam menjadi kekuatan politik, sosial, dan agama yang dominan. Kata afwajan (kelompok-kelompok besar) mencerminkan perubahan paradigma total dalam penerimaan dakwah. Ini adalah bukti bahwa misi telah bertransisi dari penanaman benih yang sulit menjadi panen raya.
Mengapa Nabi yang ma’sum (terjaga dari dosa) diperintahkan beristighfar setelah kemenangan? Para ulama tafsir mengajukan beberapa pandangan mendalam:
Pesan An-Nasr adalah pesan penutup yang sarat dengan kebijaksanaan manajemen keberhasilan: Kesuksesan duniawi harus diakhiri dengan fokus pada spiritualitas dan kerendahan hati.
Analisis yang komprehensif menuntut kita untuk menempatkan An-Nasr dalam konteks sejarah dakwah secara keseluruhan, memahami bagaimana ia menutup babak permusuhan yang diwakili oleh Al-Lahab.
Dakwah Islam dapat dibagi menjadi beberapa fase utama:
An-Nasr hadir di akhir Fase Madinah, menandakan bahwa Islam telah berpindah dari agama yang dianiaya (seperti yang dilakukan Abu Lahab) menjadi kekuatan politik dan spiritual yang tak tertandingi. Seluruh penderitaan yang digambarkan dalam kisah-kisah Mekkah (pemboikotan, penganiayaan, kutukan dari Abu Lahab) kini menjadi bagian dari sejarah yang telah dikalahkan oleh janji Allah.
Surah An-Nasr memuat implikasi hukum yang penting. Perintah untuk bertasbih, tahmid, dan istighfar tidak hanya berlaku bagi Nabi ﷺ. Menurut mazhab Syafi'i dan Hanafi, perintah ini menguatkan praktik zikir dan istighfar setelah kemenangan atau setelah selesainya suatu pekerjaan besar (seperti menunaikan haji). Hal ini juga menguatkan sunnah membaca tasbih dan istighfar setelah shalat wajib, sebagai wujud syukur dan kerendahan hati setelah menyelesaikan ibadah.
Di balik Surah Al-Lahab (kekejaman tanpa henti) dan An-Nasr (kemenangan yang dirayakan dengan ibadah), terdapat pelajaran manajemen konflik Islam: perjuangan dilakukan dengan gigih, tetapi hasil akhir dikembalikan kepada Allah. Reaksi terhadap permusuhan (Al-Lahab) adalah kesabaran dan keimanan, sedangkan reaksi terhadap kemenangan (An-Nasr) adalah ibadah dan kerendahan hati.
Mengingat kembali Al-Lahab: surah ini turun sebagai mukjizat prediktif. Surah tersebut menyatakan bahwa Abu Lahab dan istrinya pasti masuk neraka. Hal ini berarti Abu Lahab tidak akan pernah memeluk Islam. Selama beberapa tahun setelah wahyu ini, Abu Lahab memiliki kesempatan untuk pura-pura masuk Islam, sekadar untuk membuktikan Al-Qur'an salah. Namun, ia tidak melakukannya, dan ia wafat dalam kekafirannya sebelum Fathu Makkah, menggenapi prediksi Al-Qur'an. Kepastian kehancuran ini (Al-Lahab) adalah bagian integral dari skema kemenangan total (An-Nasr).
Keterkaitan kedua surah ini, meskipun terpisah waktu, menunjukkan kesempurnaan narasi ilahi: konflik dan penentangan terhebat (Al-Lahab) hanya akan menghasilkan kemenangan dan penyelesaian yang sempurna (An-Nasr) bagi pihak yang memegang teguh Tauhid.
Kajian mendalam Surah An-Nasr dan kontrasnya dengan Surah Al-Lahab menyajikan fondasi spiritual yang kuat bagi umat Islam sepanjang masa. Nilai-nilai yang terkandung bukan hanya sejarah, melainkan pedoman abadi.
Meskipun Fathu Makkah adalah kemenangan fisik dan politik, perintah An-Nasr fokus pada kemenangan spiritual. Ketika semua musuh telah ditaklukkan dan tujuannya tercapai, tantangan terbesar berikutnya adalah menaklukkan ego dan hati dari kesombongan. Inilah mengapa istighfar dan tasbih menjadi perintah puncak.
Kemenangan eksternal (mengalahkan penentang seperti Abu Lahab) hanya bermakna jika diikuti oleh kemenangan internal (kerendahan hati di hadapan Allah).
An-Nasr berfungsi sebagai penghargaan terhadap para Sahabat yang menderita di Mekkah. Kisah Bilal, Sumayyah, dan yang lainnya yang menghadapi kekejaman di tengah permusuhan Abu Lahab, kini diakhiri dengan proklamasi kemenangan universal. Surah ini menguatkan janji bahwa kesabaran dalam menghadapi penindasan pasti akan berbuah manis di akhir perjalanan.
Siklus dakwah yang tercermin dalam urutan kronologis ini mengajarkan umat bahwa ada fase-fase dalam perjuangan:
Pentingnya Surah An-Nasr sebagai 'surat sebelum Al-Lahab' (dalam urutan mushaf) adalah penegasan bahwa setiap penganiayaan, setiap penolakan, dan setiap kata-kata kasar yang dilontarkan oleh musuh (seperti Abu Lahab) pada akhirnya adalah hal yang fana. Yang abadi adalah pertolongan dan janji Allah.
Untuk melengkapi pembahasan panjang ini, kita perlu mengaitkan konsep Fath (kemenangan) dalam An-Nasr dengan konsep takdir ilahi yang mengatasi segala upaya permusuhan.
Meskipun Fathu Makkah adalah puncak perjuangan Nabi Muhammad ﷺ di Arab, An-Nasr menyiratkan bahwa ini hanyalah permulaan dari penyebaran Islam ke seluruh dunia. Kemenangan ini membuka dunia baru. Keberhasilan yang diumumkan dalam An-Nasr adalah pintu gerbang, bukan garis finish. Ini memberikan tugas baru bagi umat: melanjutkan penyebaran risalah dengan semangat tasbih dan istighfar.
Perintah Istighfar pada saat kemenangan adalah penyeimbang teologis yang sangat penting. Kemenangan besar seringkali dapat menimbulkan kelalaian dan keangkuhan. Islam mengajarkan bahwa bahkan dalam momen paling gemilang, seorang mukmin harus selalu waspada terhadap kekurangan dirinya dan senantiasa kembali kepada Allah. Ini adalah inti dari kepemimpinan spiritual yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, menanggapi kemenangan dengan kerendahan hati yang sama seperti beliau menanggapi fitnah dan permusuhan di fase Al-Lahab.
Setiap detail dalam Surah An-Nasr, mulai dari kepastian kedatangan pertolongan hingga tuntutan untuk beristighfar, merupakan penutup yang mulia bagi era kenabian dan penegasan bahwa janji Allah bagi para pejuang kebenaran akan selalu terwujud, mengalahkan setiap intrik dan permusuhan yang dihadapi, bahkan dari kerabat terdekat sekalipun seperti yang dicontohkan dalam Surah Al-Lahab.
Kajian terhadap "Surat sebelum Al-Lahab," yaitu Surah An-Nasr, membawa kita pada kesimpulan bahwa Al-Qur'an memiliki arsitektur yang sengaja dirancang untuk memaksimalkan pesan. Meskipun kronologi pewahyuan memisahkan An-Nasr (akhir Madinah) dan Al-Lahab (awal Mekkah), penempatan keduanya secara berdampingan dalam Mushaf memberikan kesimpulan teologis yang definitif dan kuat.
An-Nasr adalah proklamasi kemenangan ilahi atas semua bentuk penolakan dan permusuhan, yang paling ekstrem di antaranya adalah penolakan Abu Lahab yang diabadikan dalam Surah berikutnya. Kemenangan yang dijanjikan dalam An-Nasr adalah pembenaran akhir bagi semua kesulitan yang dihadapi dalam perjalanan dakwah.
Tugas terakhir yang diberikan kepada Nabi ﷺ (Tasbih dan Istighfar) menggarisbawahi ajaran Islam: puncak keberhasilan duniawi harus menjadi jembatan menuju kerendahan hati dan persiapan spiritual untuk akhirat. Surah An-Nasr adalah simbol penyelesaian misi kenabian, dan secara retrospektif, memproklamirkan kekalahan abadi bagi setiap individu yang memilih jalan Abu Lahab.
Dengan demikian, An-Nasr bukanlah sekadar surah yang mengumumkan kemenangan, tetapi sebuah piagam kerendahan hati dan kepastian abadi bahwa pertolongan Allah selalu mengakhiri penderitaan hamba-hamba-Nya yang setia.