Iman kepada Qadar (ketetapan) adalah salah satu pilar fundamental dalam akidah Islam. Konsep ini, yang sering kali disebut sebagai Qada dan Qadar, merupakan inti dari pemahaman seorang Muslim tentang kedaulatan Tuhan, keadilan-Nya, dan hakikat eksistensi manusia di alam semesta. Memahami Syurh Qadar—penjelasan mendalam mengenai takdir—bukan hanya sebatas pengakuan lisan, melainkan pengaplikasian keyakinan bahwa segala sesuatu, baik dan buruk, besar maupun kecil, telah ditetapkan dan berada dalam ilmu, kehendak, dan penciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pembahasan mengenai Syurh Qadar telah menjadi fokus utama para ulama dan teolog sepanjang sejarah Islam karena kompleksitasnya dalam mengintegrasikan kedaulatan mutlak Ilahi dengan tanggung jawab moral serta kebebasan memilih (ikhtiyar) yang dimiliki manusia. Artikel ini akan mengupas tuntas dasar-dasar teologis Qadar, empat tingkatan wajib yang harus diyakini, serta bagaimana konsep ini membentuk pola pikir dan tindakan seorang mukmin dalam menjalani kehidupan.
Secara bahasa, Qadar berarti ukuran, takaran, atau penentuan. Sedangkan Qada sering diartikan sebagai keputusan atau pelaksanaan. Dalam terminologi syariat, kedua istilah ini saling terkait, meskipun sebagian ulama membedakannya untuk memudahkan pemahaman.
Qadar: Merupakan ketetapan atau rencana umum yang telah Allah tulis sejak azali (kekal abadi), yaitu sebelum segala sesuatu diciptakan. Ini adalah ilmu Allah yang mendahului seluruh peristiwa dan ukuran bagi setiap entitas.
Qada: Adalah realisasi, penentuan akhir, atau pelaksanaan Qadar pada waktu yang telah ditetapkan. Jika Qadar adalah desain cetak biru alam semesta, maka Qada adalah proses konstruksi dan penampakan cetak biru tersebut di dunia nyata.
Iman kepada Qadar berarti meyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, menuliskannya, menghendakinya, dan menciptakannya sesuai ukuran yang telah ditetapkan-Nya. Keyakinan ini adalah bagian integral dari kesempurnaan iman, sebagaimana dijelaskan dalam Hadis Jibril yang masyhur, di mana Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan iman kepada Qadar sebagai rukun iman keenam.
Konsep Qadar berakar kuat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (Qadar)." (QS. Al-Qamar: 49)
Ayat ini menegaskan prinsip bahwa seluruh ciptaan dan peristiwa diatur dengan perhitungan dan ketetapan yang tepat. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan atau tanpa rencana Ilahi. Segala sesuatu, dari orbit planet hingga jatuhnya sehelai daun, telah diukur dan ditetapkan.
Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda, “Segala sesuatu itu dengan Qadar, bahkan kelemahan dan kecerdasan.” Ini menunjukkan universalitas takdir, mencakup aspek fisik, psikologis, hingga perbuatan manusia.
Pemahaman ini menuntut seorang mukmin untuk mengakui bahwa kekuasaan Allah bersifat total dan menyeluruh, tidak meninggalkan ruang sedikit pun bagi entitas lain untuk bergerak di luar bingkai yang telah ditetapkan-Nya.
Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa keimanan yang benar terhadap Qadar tidak sempurna kecuali dengan meyakini dan mengamalkan empat tingkatan (maratib) utama. Keempat tingkatan ini menjelaskan proses ketetapan Ilahi secara sistematis dan bertahap, mulai dari pengetahuan-Nya yang azali hingga penciptaan aktual di dunia fana.
Tingkatan pertama adalah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu secara rinci, baik yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Ilmu Allah bersifat mutlak, tanpa batas, dan mencakup seluruh pergerakan atom hingga niat yang tersembunyi di dalam hati manusia. Allah mengetahui takdir setiap makhluk sebelum mereka diciptakan.
Ini mencakup pengetahuan tentang pilihan yang akan diambil oleh hamba-Nya. Bahkan jika manusia diberi kebebasan mutlak untuk memilih, Allah sudah mengetahui pilihan apa yang akan mereka jatuhkan. Pengetahuan ini adalah sifat azali Allah yang tidak bertambah atau berkurang.
Jika seseorang menolak tingkatan ini, ia pada hakikatnya telah menafikan kesempurnaan ilmu Allah, yang merupakan sifat wajib bagi-Nya. Keyakinan pada Al-Ilmu memberikan kepastian teologis bahwa tidak ada peristiwa mendadak atau kejutan dalam pandangan Ilahi.
Elaborasi tentang Ilmu Ilahi: Pengetahuan Allah tidak seperti pengetahuan manusia yang didapat melalui pengalaman, observasi, atau belajar. Ilmu Allah adalah esensial, mendahului waktu dan ruang. Ini berarti, ketika manusia sedang berpikir untuk melakukan suatu tindakan, Allah telah mengetahui tidak hanya tindakan itu tetapi juga motivasi di baliknya, konsekuensinya, dan tempat tindakan itu dalam skema kosmik yang lebih besar. Penolakan terhadap ilmu Allah yang azali sering kali menjadi akar dari penyimpangan dalam memahami takdir, karena ia menyiratkan bahwa Allah 'belajar' dari peristiwa yang terjadi, yang mustahil bagi Dzat Yang Maha Sempurna.
Tingkatan kedua adalah meyakini bahwa Allah telah menuliskan seluruh ketetapan bagi makhluk-Nya di suatu tempat yang disebut Lauh Mahfuzh (Papan yang Terpelihara). Penulisan ini terjadi 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Hal pertama yang Allah ciptakan adalah pena (Al-Qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ Maka pena itu menuliskan segala sesuatu yang akan terjadi hingga Hari Kiamat.”
Kitabah ini adalah catatan lengkap takdir, mencakup rezeki, ajal, kebahagiaan, kesengsaraan, dan semua detail kehidupan. Penting untuk dipahami bahwa Kitabah ini merupakan manifestasi dari Ilmu Allah; penulisan ini tidak 'memaksa' tindakan, melainkan mencatat apa yang sudah diketahui Allah akan terjadi.
Jenis-Jenis Kitabah: Ulama membagi penulisan takdir menjadi beberapa jenis, meskipun yang fundamental adalah Kitabah di Lauh Mahfuzh (takdir umum). Ada juga Kitabah 'Umuri (takdir seumur hidup, ketika ruh ditiupkan ke janin), dan Kitabah Yaumi (takdir harian, yang diubah dan dilaksanakan berdasarkan kondisi atau doa, namun semua perubahan ini telah tercatat sebelumnya di Lauh Mahfuzh).
Perbedaan antara Kitabah di Lauh Mahfuzh dan catatan yang bisa berubah (seperti yang disebutkan dalam hadis tentang silaturahmi yang memanjangkan umur) terletak pada status ketetapan. Lauh Mahfuzh adalah ketetapan akhir yang tidak berubah (al-qadar al-mu'allaq), sementara catatan malaikat (yang diistilahkan sebagai al-qadar al-mubram) dapat berubah sesuai sebab akibat yang telah ditetapkan oleh Allah sebelumnya. Misalnya, "Si Fulan akan hidup 60 tahun kecuali ia bersilaturahmi, maka ia akan hidup 70 tahun." Kedua skenario 60 dan 70 tahun telah tertulis di Lauh Mahfuzh.
Tingkatan ketiga adalah meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta—perbuatan Allah maupun perbuatan makhluk—hanyalah terjadi dengan kehendak (Masyi'ah) Allah. Tidak ada sesuatu pun yang dapat bergerak atau diam kecuali atas izin dan kehendak-Nya yang menyeluruh.
Kehendak Allah (Al-Masyi'ah) dibedakan menjadi dua jenis yang penting untuk menghindari kekeliruan teologis:
a. Al-Masyi'ah Al-Kauniyyah Al-Qadariyyah (Kehendak Kosmis/Penciptaan): Ini adalah kehendak yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan. Segala sesuatu yang Allah kehendaki terjadi pasti akan terjadi, terlepas dari apakah Allah mencintai perbuatan itu atau tidak. Contoh: Terjadinya kekufuran, kelaparan, atau sakit. Allah menghendaki kejadiannya secara kosmis (penciptaan), meskipun Dia membenci kekufuran itu secara syar'i.
b. Al-Masyi'ah Asy-Syar'iyyah Ad-Diniyyah (Kehendak Syariat/Agama): Ini adalah kehendak yang dicintai dan diridhai Allah, namun pelaksanaannya bergantung pada pilihan hamba. Contoh: Allah menghendaki semua manusia beriman dan taat (secara syar’i), namun tidak semua manusia beriman (secara kosmis). Allah memerintahkan keimanan, tetapi keimanan itu tidak terjadi pada semua orang kecuali atas kehendak-Nya yang kosmis.
Intinya, tidak ada perbuatan yang dilakukan oleh manusia, baik ketaatan maupun kemaksiatan, yang dapat keluar dari bingkai kehendak-Nya yang kosmis. Allah berfirman: "Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-Takwir: 29).
Tingkatan keempat adalah meyakini bahwa Allah adalah Pencipta tunggal (Al-Khaliq) dari segala sesuatu, termasuk perbuatan hamba. Ini adalah titik yang paling sering disalahpahami dalam diskusi Qadar.
Iman kepada Al-Khaliq menuntut keyakinan bahwa:
a. Allah Pencipta Esensi: Allah menciptakan manusia dan seluruh komponen fisik serta non-fisik alam semesta.
b. Allah Pencipta Tindakan: Allah menciptakan gerakan dan perbuatan manusia, baik gerakan tubuh, kemampuan, maupun niat. Manusia adalah pelaku perbuatan (fa'il) dan bertanggung jawab, tetapi Allah adalah Pencipta (khaliq) dari perbuatan itu sendiri.
Perbedaan antara Pencipta dan Pelaku: Manusia memiliki ikhtiyar (pilihan) dan kasb (usaha/perolehan). Ketika seseorang memilih untuk shalat, gerakan shalat itu adalah usaha dan pilihan manusia, namun kemampuan untuk menggerakkan badan dan menciptakan gerakan itu sendiri datang dari Allah. Tanpa penciptaan Allah, pilihan manusia hanyalah niat kosong yang tak mampu terwujud.
Oleh karena itu, Ahlus Sunnah berpendapat bahwa manusia adalah pelaku hakiki (pelaku yang bertanggung jawab), sementara Allah adalah Pencipta hakiki (sumber segala daya dan kejadian). Ini menyeimbangkan antara kedaulatan Tuhan dan keadilan hukuman/pahala bagi manusia.
Salah satu simpul paling pelik dalam teologi Islam adalah bagaimana mendamaikan takdir yang telah tertulis (Qadar) dengan kebebasan memilih (Ikhtiyar) yang menjadi dasar bagi pertanggungjawaban manusia di Hari Kiamat. Jika segala sesuatu telah ditetapkan, mengapa manusia dihukum atas perbuatannya?
Islam menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak dan pilihan yang nyata (Ikhtiyar). Kebebasan ini bukan kebebasan mutlak yang menandingi kehendak Allah, melainkan kebebasan yang diberikan, diizinkan, dan diciptakan oleh-Nya.
Kehadiran Ikhtiyar dibuktikan oleh:
Manusia memilih perbuatannya, dan dengan pilihan itu, ia "memperoleh" atau "mengakuisisi" (Kasb) tindakan tersebut. Perolehan ini yang menjadi dasar pertanggungjawaban. Meskipun Allah adalah Pencipta perbuatan, manusia adalah pemilih dan pelaku tindakan tersebut.
Untuk menghindari pemahaman fatalistik (Jabbariyah) dan pemahaman deterministik manusia (Qadariyah), Ahlus Sunnah (khususnya Mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah) mengembangkan konsep *Kasb*.
Kasb (Perolehan): Ini adalah upaya manusia untuk mengarahkan kehendaknya pada salah satu kemungkinan tindakan. Allah menciptakan kemampuan (qudrat) dan menciptakan perbuatan itu pada saat manusia memilih dan mengarahkan kehendaknya. Perbuatan itu terjadi karena kekuatan dan pilihan manusia, meskipun kekuatan itu dan penciptaan perbuatannya berasal dari Allah.
Contoh: Ketika seseorang mengangkat batu. Manusia memilih untuk mengangkat (Ikhtiyar), menggunakan kekuatan yang diberikan (Kasb), dan Allah menciptakan proses pengangkatan itu (Khaliq).
Keadilan Allah di sini terletak pada fakta bahwa Dia tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan mereka, dan Dia hanya menghukum atas pilihan yang mereka ambil dengan kesadaran dan kehendak. Manusia tidak mengetahui takdir yang tertulis di Lauh Mahfuzh, sehingga mereka diwajibkan untuk berikhtiyar berdasarkan syariat yang tampak.
Sejarah teologi Islam dipenuhi dengan perdebatan sengit mengenai Qadar, yang melahirkan beberapa pandangan ekstrem:
1. Jabbariyah (Fatalis): Kelompok ini berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak. Mereka seperti bulu yang ditiup angin, sepenuhnya dipaksa oleh takdir Allah. Konsekuensi dari pandangan ini adalah menafikan keadilan Allah, karena bagaimana mungkin Allah menghukum seseorang atas perbuatan yang sepenuhnya dipaksakan kepada mereka?
2. Qadariyah (Free Will Ekstrem): Kelompok ini berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatan mereka sendiri secara independen dari kehendak atau penciptaan Allah. Mereka menafikan tingkatan Al-Masyi'ah dan Al-Khaliq. Konsekuensi dari pandangan ini adalah menafikan kedaulatan mutlak Allah, seolah-olah ada pencipta lain selain Dia.
3. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Jalan Tengah): Mereka menempuh jalan tengah dengan mengakui Ikhtiyar dan Kasb manusia, tetapi menegaskan bahwa semua itu terjadi dalam kerangka Ilmu, Kehendak, dan Penciptaan Allah. Manusia memilih, tetapi Allah-lah yang menciptakan kemampuan untuk mewujudkan pilihan tersebut. Jalan ini mempertahankan keadilan Allah (karena manusia bertanggung jawab atas pilihannya) dan kedaulatan Allah (karena tidak ada yang terjadi tanpa izin-Nya).
Memahami Syurh Qadar yang benar seharusnya tidak menimbulkan keputusasaan atau kemalasan (fatalisme), tetapi justru memicu optimisme, usaha maksimal, dan ketenangan jiwa.
Setelah memahami bahwa kita tidak tahu apa yang tertulis di Lauh Mahfuzh, maka kewajiban syar’i kita adalah melakukan usaha terbaik. Nabi Muhammad ﷺ sendiri memerintahkan usaha sebelum tawakkal, sebagaimana hadis tentang mengikat unta: “Ikatlah untamu, lalu bertawakkallah.”
Ikhtiyar adalah ujian. Allah menguji kita bukan pada hasil (yang telah ditetapkan), tetapi pada kualitas dan keikhlasan usaha kita. Meninggalkan usaha dengan alasan "sudah takdir" adalah melanggar syariat dan meniru perilaku fatalistik yang dilarang.
Usaha mencakup dua dimensi: usaha fisik (bekerja, belajar, berobat) dan usaha spiritual (beribadah, menghindari maksiat).
Doa adalah salah satu bentuk ibadah yang paling utama dan merupakan sebab yang disyariatkan. Doa tidak berarti kita mencoba 'mengubah' takdir Allah di Lauh Mahfuzh, melainkan doa itu sendiri adalah bagian dari takdir.
Jika seseorang ditakdirkan mendapatkan musibah, ia juga ditakdirkan untuk berdoa memohon perlindungan. Jika doa itu dikabulkan, pengabulan itu juga telah tertulis sejak azali sebagai hasil dari doanya. Doa adalah salah satu sebab yang Allah tetapkan untuk mengubah takdir yang bersifat mu’allaq (takdir yang bergantung pada sebab tertentu, yang telah diketahui Allah sebelumnya).
Nabi ﷺ bersabda, “Tidak ada yang dapat menolak qada (ketetapan) kecuali doa.” Ini menegaskan bahwa doa berfungsi sebagai penangkal atau sebab untuk mengubah detail takdir yang bersifat kondisional, dan semua ini berada dalam kerangka Ilmu Ilahi yang tidak berubah.
Tawakkal adalah menyerahkan segala urusan dan hasil setelah melakukan Ikhtiyar yang maksimal. Tawakkal bukanlah pasif, melainkan sebuah sikap hati yang aktif.
Urutan yang Benar: Ilmu -> Usaha (Ikhtiyar) -> Tawakkal -> Qana’ah (Penerimaan)
Ketika hasil yang didapat tidak sesuai dengan harapan, seorang mukmin sejati menyadari bahwa hasil tersebut adalah Qada (pelaksanaan) yang terbaik dan telah ditetapkan. Ini menghasilkan Qana’ah (kepuasan) dan ketenangan jiwa, menghilangkan rasa penyesalan yang berlebihan, dan mencegah kesombongan saat meraih keberhasilan.
Keyakinan yang teguh pada Syurh Qadar memberikan manfaat psikologis dan spiritual yang mendalam, membentuk kepribadian seorang mukmin yang seimbang, optimis, dan resilient.
Ketika seseorang meraih kesuksesan, iman kepada Qadar mengingatkannya bahwa keberhasilan itu bukanlah murni hasil kecerdasannya atau kekuatannya semata, melainkan karunia dan penciptaan Allah. Hal ini mencegah kesombongan dan mendorong rasa syukur (syukur) yang berkelanjutan. Ia menyadari bahwa jika Allah tidak menghendaki, usahanya akan sia-sia. Dengan demikian, ia memuji Penciptanya, bukan dirinya sendiri.
Ketika ditimpa musibah atau kegagalan, seorang mukmin tidak akan berkata, “Seandainya aku melakukan ini, pasti tidak akan terjadi itu.” Nabi ﷺ melarang ucapan "seandainya" karena ia membuka pintu syaitan. Sebaliknya, ia mengucapkan, “Ini adalah Qadarullah (ketetapan Allah), dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” Keyakinan ini memberikan kekuatan untuk bangkit kembali, karena ia tahu bahwa apa yang luput darinya bukanlah takdirnya untuk didapatkan, dan apa yang menimpanya bukanlah takdirnya untuk dielakkan.
Iman kepada Qadar menanamkan keberanian, terutama dalam konteks jihad atau menghadapi bahaya. Seorang mukmin tahu bahwa ajalnya telah ditetapkan. Jika ia mati di medan perang, itu adalah takdirnya. Jika ia selamat, itu juga takdirnya. Rasa takut akan kematian (yang sudah pasti datang) menjadi tidak relevan, karena fokusnya beralih pada pelaksanaan perintah Ilahi (Ikhtiyar) daripada khawatir tentang hasil (Qada).
Qadar menempatkan semua peristiwa dalam perspektif yang lebih besar, di mana segala sesuatu memiliki tujuan Ilahi. Meskipun kita mungkin tidak memahami hikmah di balik musibah, kita yakin bahwa Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana. Ketenangan ini (Sakinah) adalah buah dari penyerahan diri total kepada Sang Pencipta, yang mengetahui yang terbaik bagi hamba-Nya.
Bagian yang paling menantang dalam Syurh Qadar adalah memahami bagaimana Allah menciptakan keburukan (kejahatan, kemaksiatan) dan sekaligus menghukum pelakunya, padahal Dia adalah Dzat Yang Maha Baik.
Dari segi perbuatan Allah, seluruh ciptaan-Nya adalah kebaikan dan hikmah. Tidak ada keburukan murni dalam perbuatan Allah (misalnya, Allah menciptakan bencana alam, yang mengandung hikmah bagi manusia lain dan pelajaran). Allah adalah Hakim Yang Maha Adil.
Keburukan muncul dari sisi makhluk, sebagai hasil dari penyalahgunaan kehendak bebas (Ikhtiyar) yang diberikan Allah, dan dari sudut pandang hasil yang tidak disukai oleh manusia (misalnya sakit, kemiskinan).
Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk kejahatan (seperti kekufuran atau pembunuhan), dalam arti bahwa Dia memberikan daya dan izin kosmis agar perbuatan itu dapat terwujud. Namun, Allah tidak merestui atau mencintai kejahatan itu (secara syar'i). Perbedaan antara Iradah Kauniyyah (Kehendak Penciptaan) dan Iradah Syar’iyyah (Kehendak Syariat) sangat krusial di sini.
Penciptaan vs. Keridhaan: Allah menciptakan kekufuran karena Dia mengizinkan kehendak makhluk untuk memilih jalan tersebut sebagai ujian, tetapi Dia membenci dan murka terhadap kekufuran itu.
Penganut Qadariyah dan Mu’tazilah (yang fokus pada keadilan rasional) sering kali menolak bahwa Allah menciptakan perbuatan buruk manusia, karena menurut mereka, hal itu akan menafikan keadilan Allah. Namun, Ahlus Sunnah berargumen bahwa keadilan Allah tidak harus tunduk pada batasan pemahaman rasional manusia.
Keadilan Allah ditegakkan karena:
Setelah membahas sisi teologis dan praktis, penting untuk menyentuh dimensi yang lebih metafisik: misteri takdir yang melampaui kemampuan nalar manusia.
Meskipun kita diperintahkan untuk mengimani Qadar dalam empat tingkatan, detail dari takdir individu dan keseluruhan skema kosmik (Lauh Mahfuzh) adalah rahasia Allah yang tidak diizinkan untuk diusik atau dicari tahu oleh manusia.
Nabi ﷺ pernah mengingatkan para sahabat untuk menghindari debat yang mendalam dan berlarut-larut tentang Qadar, karena hal itu bisa menyebabkan kebingungan dan penyimpangan. Tugas manusia adalah menerima takdir yang telah terjadi dan mengupayakan takdir yang lebih baik untuk masa depan berdasarkan syariat.
Untuk memahami Qadar secara utuh, kita dapat membaginya dalam tiga fase interaksi manusia dengannya:
Filosofi modern seringkali berhadapan dengan kecemasan eksistensial, yaitu kekhawatiran tentang makna hidup dan kontrol atas masa depan. Iman kepada Syurh Qadar menawarkan solusi mendalam atas kecemasan ini. Dengan mengetahui bahwa takdir diatur oleh Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Bijaksana, manusia dibebaskan dari beban untuk mengontrol hasil yang berada di luar kuasanya. Fokusnya beralih dari kekhawatiran takdir (yang tersembunyi) kepada pemenuhan tanggung jawab (yang tampak).
Keimanan ini menyiratkan bahwa setiap detik kehidupan, setiap ujian, dan setiap nikmat adalah bagian yang terencana dari perjalanan menuju keabadian. Tidak ada yang sia-sia, dan semua memiliki tujuan Ilahi yang sempurna, bahkan jika mata manusia tidak mampu melihat keseluruhan gambar tersebut.
Syurh Qadar (penjelasan tentang takdir) adalah doktrin yang mengajarkan kedaulatan Tuhan secara total, namun tidak menihilkan peran manusia sebagai subjek moral yang bertanggung jawab. Ia adalah keseimbangan sempurna antara Jabr (paksaan) dan Tafwidl (penyerahan mutlak kendali kepada manusia).
Mengimani Qadar secara benar menuntut hati yang lapang, akal yang tunduk pada wahyu, dan tubuh yang aktif berikhtiyar. Ia mengingatkan kita bahwa kita adalah hamba yang terbatas dalam ilmu dan daya, namun diberi kehormatan untuk memilih jalan ketaatan. Setiap tarikan nafas, setiap pencapaian, dan setiap kerugian adalah goresan pena takdir yang telah disiapkan di Lauh Mahfuzh, diwujudkan oleh kehendak Allah, dan dijalankan dengan pilihan manusia.
Ketenangan sejati datang dari kesadaran bahwa kita hanya bertanggung jawab atas Ikhtiyar dan Kasb kita, sementara hasil akhir sepenuhnya adalah milik Sang Pencipta. Inilah esensi Syurh Qadar: landasan akidah yang membebaskan jiwa dari belenggu kecemasan dan mengarahkannya pada kepasrahan yang aktif (Tawakkal) kepada Allah, Dzat Yang Maha Menentukan lagi Maha Bijaksana.