Sūrah Al-Baqarah (سورة البقرة), yang berarti "Sapi Betina," adalah surah terpanjang dalam Al-Qur’an, menduduki urutan kedua setelah Al-Fātihah. Surah Madaniyyah ini—diturunkan setelah hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah—memainkan peran monumental dalam pembentukan masyarakat Islam awal. Isinya merupakan fondasi komprehensif yang mencakup akidah (keyakinan), syariat (hukum), sejarah umat terdahulu, dan tatanan sosial ekonomi yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah negara berbasis prinsip tauhid.
Keagungan Sūrah Al-Baqarah tidak hanya terletak pada panjangnya, tetapi pada kedalaman dan keluasan cakupan materinya. Ia adalah "Fusthathul Qur’an" (Tenda Al-Qur’an) karena menaungi sebagian besar hukum dan perintah yang mengatur kehidupan seorang Muslim, mulai dari ibadah individu hingga transaksi muamalah yang kompleks. Memahami surah ini berarti memahami cetak biru peradaban Islam.
*Ilustrasi ini melambangkan Sūrah Al-Baqarah sebagai sumber utama Huda (Petunjuk Ilahi).
Ayat-ayat pembuka Al-Baqarah segera membagi manusia menjadi tiga kategori fundamental, sebuah pola yang menjadi ciri khas surah-surah Madaniyyah: orang beriman (Al-Muttaqin), orang kafir (Al-Kāfirūn), dan orang munafik (Al-Munāfiqūn). Pemaparan ini berfungsi sebagai peta jalan spiritual bagi pembaca.
Ayat 2-5 menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Kriteria utama ketakwaan dijelaskan secara eksplisit, tidak hanya mencakup keyakinan internal (iman kepada yang gaib) tetapi juga tindakan nyata (mendirikan salat dan menginfakkan rezeki). Iman kepada yang gaib (seperti akhirat, malaikat, dan takdir) menjadi pondasi karena ia menuntut penundukan diri kepada realitas yang melampaui indera manusiawi.
Sūrah ini dengan tegas menyatakan bahwa orang kafir, yang hatinya telah dikunci Allah akibat kesombongan mereka, tidak akan mendapatkan petunjuk. Namun, pembahasan terpanjang dalam bagian awal ini ditujukan kepada Al-Munāfiqūn (orang munafik, Ayat 8-20). Kelompok ini adalah ancaman terbesar bagi komunitas baru Madinah. Al-Qur’an menggambarkan hipokrisi mereka sebagai penyakit hati yang terus meningkat, di mana mereka berpura-pura beriman untuk mendapatkan keuntungan duniawi, tetapi di dalam hati mereka menyimpan niat buruk dan keraguan.
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Q.S. Al-Baqarah: 10)
Penggambaran kemunafikan ini sangat rinci, menggunakan perumpamaan api dan hujan badai untuk menunjukkan bahwa meskipun mereka mendapatkan cahaya atau manfaat sementara dari keimanan, mereka tidak dapat mempertahankannya, dan kegelapan akan meliputi mereka di akhirat. Analisis mendalam terhadap sifat kemunafikan ini memakan banyak porsi, menunjukkan betapa krusialnya pengenalan bahaya internal ini bagi stabilitas umat.
Bagian terbesar kedua Surah Al-Baqarah didominasi oleh narasi panjang mengenai Bani Israel (keturunan Ya’qub/Israel). Pengulangan kisah ini, yang memakan ratusan ayat, memiliki tujuan ganda: sebagai pengingat bagi kaum Yahudi di Madinah (untuk menerima kenabian Muhammad ﷺ) dan sebagai peringatan bagi umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan fatal yang sama.
Allah secara berulang kali menyebutkan nikmat yang telah diberikan kepada Bani Israel (penyelamatan dari Firaun, manna dan salwā, diangkatnya Gunung Thur), namun setiap nikmat diikuti oleh pengkhianatan dan penolakan. Beberapa contoh detail yang dijelaskan panjang lebar adalah:
Al-Baqarah mengkritik praktik Ahli Kitab yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri dan mengklaimnya berasal dari Allah demi keuntungan yang sedikit (Ayat 79). Ini adalah fondasi penting dalam ilmu perbandingan agama, memaparkan perbedaan mendasar antara wahyu yang murni dan tradisi yang diubah oleh manusia. Bagian ini memperkuat status Al-Qur’an sebagai wahyu terakhir yang dilindungi dari distorsi serupa.
Narasi bergeser ke Nabi Ibrahim as. dan putranya Ismail as., sebagai arsitek monoteisme sejati. Kisah pembangunan Ka’bah dan doa Ibrahim untuk menjadikan keturunannya umat yang tunduk (Muslim) berfungsi sebagai legitimasi kenabian Muhammad ﷺ, yang merupakan keturunan langsung Ismail. Ini secara efektif merelokasi otoritas keagamaan dari Bani Israel yang gagal memegang amanah, kepada umat yang baru.
Bagian ini sangat vital bagi transisi dan konsolidasi identitas Muslim. Keputusan untuk memindahkan arah salat (Qibla) dari Baitul Maqdis (Yerusalem) ke Ka’bah di Mekkah adalah titik balik keagamaan dan politik yang kontroversial.
Ayat 142-150 membahas polemik seputar perubahan Kiblat. Kaum munafik dan Ahli Kitab menggunakannya sebagai alasan untuk menuduh umat Islam tidak konsisten. Al-Qur’an menjawab bahwa Kiblat hanyalah arah fisik; yang penting adalah ketaatan kepada perintah Allah. Perubahan ini berfungsi sebagai ujian: siapa yang benar-benar mengikuti Rasul, dan siapa yang hanya mengikuti kebiasaan lama.
Penetapan Ka’bah sebagai Kiblat permanen menandai kemerdekaan umat Islam dari tradisi Yahudi dan Nasrani, serta mengukuhkan identitas baru sebagai Ummatan Wasatan (Umat Pertengahan, Ayat 143)—umat yang adil, seimbang, dan menjadi saksi atas semua manusia.
Mengiringi ujian Kiblat, Allah memerintahkan umat untuk bersabar (sabr) dan shalat sebagai sarana utama untuk meminta pertolongan (Ayat 153). Bagian ini juga memuat hukum tentang syuhada (orang yang gugur dalam perjuangan) dan penolakan terhadap konsep kematian spiritual mereka, menegaskan bahwa mereka hidup di sisi Tuhan.
Ayat tentang Sa’i (berlari antara Safa dan Marwah, Ayat 158) diintegrasikan di sini, meskipun berkaitan dengan ibadah Hajj dan Umrah, menegaskan bahwa ritual tersebut adalah bagian dari syiar (simbol) Allah dan tidak boleh diabaikan karena anggapan jahiliah sebelumnya.
Sejak titik ini, Sūrah Al-Baqarah mulai menjabarkan serangkaian hukum praktis (Fiqh) yang akan menjadi kerangka masyarakat Madinah. Hukum ini mencakup ibadah (puasa, haji), pidana (qisas), wasiat, dan hukum keluarga (pernikahan dan perceraian).
Ayat 177 sering disebut sebagai ayat komprehensif yang merangkum esensi kebajikan. Kebajikan sejati bukan hanya tentang ritual wajah (menghadap Kiblat), tetapi perpaduan antara iman (kepada Allah, Malaikat, Kitab, Nabi), etika finansial (infak kepada yang membutuhkan), dan sosial (menepati janji, sabar dalam kesulitan). Ayat ini menyajikan pandangan holistik Islam yang mengintegrasikan akidah dan amalan.
Bagian ini adalah salah satu yang paling rumit dan membutuhkan pemahaman kontekstual yang mendalam. Al-Qur’an menetapkan batas-batas yang jelas untuk memastikan kehormatan dan hak-hak semua pihak—terutama wanita—dalam konteks pernikahan dan perpisahan.
Setelah menetapkan hukum domestik, surah ini beralih ke hukum yang mengatur hubungan Muslim dengan dunia luar, yaitu mengenai perjuangan (Jihad) dan perlunya kepemimpinan yang berani.
Kisah Raja Thalut (Saul) dan nabi Daud as. melawan Jalut (Goliath) disajikan sebagai studi kasus tentang pentingnya kualitas daripada kuantitas (Ayat 249). Ketika Thalut menguji pasukannya di sungai (ujian kesabaran), hanya sedikit yang lulus. Namun, sedikit yang lulus ini, dipimpin oleh iman yang kokoh, mampu mengalahkan musuh yang jauh lebih besar. Pelajaran ini sangat penting bagi komunitas Muslim Madinah yang sering menghadapi musuh dengan jumlah yang lebih besar.
Bagian penutup ini adalah jantung teologis dan sosiologis Sūrah Al-Baqarah, memuat ayat teragung (Ayatul Kursi) dan detail hukum muamalah (transaksi) yang paling ketat.
Ayat Kursi adalah ayat paling agung dalam Al-Qur’an karena menggambarkan sifat-sifat Allah (Asmā'ul Husna) secara komprehensif dan mendalam. Pembahasannya mencakup poin-poin teologis krusial:
Kajian mendalam terhadap Ayatul Kursi membutuhkan analisis ratusan kata untuk setiap frasa, karena setiap kata mengandung makna teologis yang membentuk fondasi akidah Islam.
Setelah menetapkan keagungan Allah, surah ini beralih ke etika finansial. Islam menempatkan keadilan ekonomi sebagai tuntutan tauhid. Larangan Riba adalah salah satu larangan paling keras dalam Al-Qur’an, dengan ancaman yang tidak ditemukan pada dosa besar lainnya.
Ayat 275 menegaskan bahwa mereka yang memakan Riba akan bangkit seperti orang yang kerasukan setan. Ini menunjukkan bahwa Riba tidak hanya merusak secara ekonomi, tetapi juga secara spiritual dan mental. Secara definitif, Riba adalah setiap kelebihan yang tidak memiliki imbalan yang sah yang diterima dalam pertukaran pinjaman uang atau komoditas tertentu. Riba tidak disamakan dengan perdagangan (bay’), di mana risiko dan keuntungan dibagi.
Filosofi Larangan Riba: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba. Keharaman ini didasarkan pada beberapa prinsip etika dan sosial:
Ayat 279 memberikan peringatan tertinggi, bahwa mereka yang tidak meninggalkan Riba dinyatakan ‘berperang’ melawan Allah dan Rasul-Nya—sebuah ancaman yang menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran ini dalam tatanan sosial Islam.
Kontras dengan Riba, Al-Qur’an mendorong Sadaqah (amal kebajikan). Ayat 261 memaparkan perumpamaan benih yang menumbuhkan tujuh bulir, dan setiap bulir menghasilkan seratus biji (berlipat 700 kali). Ini menegaskan bahwa investasi yang diberkati adalah yang didasarkan pada pengorbanan dan pemberian, bukan eksploitasi dan penimbunan.
*Ilustrasi Timbangan yang membedakan antara Riba dan Perdagangan Halal.
Ayat 282, yang membahas hukum utang-piutang dan transaksi kredit, adalah ayat terpanjang dalam Al-Qur’an. Panjangnya ayat ini mencerminkan betapa pentingnya kejelasan dan kehati-hatian dalam urusan finansial untuk mencegah perselisihan yang dapat merusak tatanan sosial.
Ayat ini menetapkan protokol yang ketat untuk setiap transaksi utang-piutang dengan tempo tertentu (mu’ajjal):
Ayat ini adalah bukti bahwa Islam sangat menekankan akuntabilitas, transparansi, dan pencegahan konflik. Ia menggarisbawahi bahwa menjaga keadilan dalam muamalah adalah bagian integral dari iman itu sendiri.
Sūrah Al-Baqarah ditutup dengan beberapa ayat paling mengharukan dan penting, menegaskan kembali universalitas kekuasaan Allah dan menanamkan rasa harapan di hati orang beriman.
Ayat 285-286, yang dikenal sebagai ‘Amanar-Rasul’, adalah ringkasan sempurna dari akidah yang disajikan dalam surah. Ia menyatakan keimanan total Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya kepada semua yang diturunkan, tanpa membeda-bedakan satu Rasul pun.
Puncak surah ini adalah doa dan penegasan bahwa Allah tidak membebani jiwa melebihi kemampuannya (Lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā). Ini adalah penghiburan teologis terbesar. Ia menjamin bahwa perintah-perintah yang sangat detail dan kompleks yang telah dijabarkan dalam surah ini—dari puasa, haji, perceraian, hingga urusan Riba dan utang—semuanya berada dalam batas kemampuan manusia. Allah Maha Adil dan Maha Tahu akan keterbatasan hamba-Nya.
Doa penutup memohon ampunan, meminta agar Allah tidak membebankan hukuman atas kekhilafan, dan yang paling penting, memohon agar Allah tidak membebankan kepada umat ini beban yang pernah ditanggung oleh umat-umat terdahulu yang gagal. Ini adalah penutup yang sempurna, menghubungkan kembali kisah Bani Israel dengan masa depan umat Islam, sambil menegaskan bahwa jalan kebaikan selalu terbuka melalui ampunan dan pertolongan Allah.
Untuk mencapai pemahaman yang utuh mengenai fungsi Sūrah Al-Baqarah sebagai sumber hukum primer, kita perlu menganalisis lebih jauh bagaimana struktur hukumnya telah membentuk disiplin Fiqh (Yurisprudensi Islam) selama berabad-abad. Sūrah ini secara harfiah adalah inti dari Bab Ibadah dan Muamalah dalam setiap kitab Fiqh.
Detail pada Ayat 282 tidak sekadar anjuran moral; ia menciptakan landasan hukum formal. Para Fuqaha (ahli hukum Islam) menggunakannya untuk menetapkan standar bukti (bayyinah) dalam perselisihan keuangan. Kewajiban mencatat di sini dianggap sebagai mandub (dianjurkan kuat) dalam banyak kasus, tetapi menjadi wajib jika kerahasiaan atau potensi perselisihan sangat tinggi. Pembahasan mengenai saksi perempuan (satu laki-laki dan dua perempuan) telah melahirkan diskursus panjang dalam Ushul Fiqh mengenai status kesaksian dalam berbagai konteks sosial dan ekonomi.
Larangan Riba yang sangat keras (Ayat 275-281) adalah mesin penggerak di balik seluruh industri Keuangan Islam modern. Fiqh Muamalah menetapkan dua kategori Riba utama berdasarkan surah ini:
Analisis hukum Riba dalam Sūrah Al-Baqarah telah diperluas untuk mencakup instrumen keuangan modern seperti obligasi berbunga, deposito, dan derivatif, memastikan bahwa semua transaksi ekonomi umat tetap berada dalam kerangka keadilan dan tanpa eksploitasi.
Bagian Talaq (perceraian) adalah revolusioner pada masanya. Sebelum Islam, perceraian bisa dilakukan tanpa batas, membuat wanita terperangkap dalam ketidakpastian. Al-Baqarah membatasi Talaq menjadi tiga, memberikan hak rujuk yang terbatas, dan menetapkan hak finansial bagi istri yang diceraikan (Mut’ah, Ayat 241). Ketentuan ini memastikan bahwa perpisahan dilakukan dengan martabat dan keadilan, menempatkan beban moral dan material yang lebih besar pada pihak laki-laki yang memulai perpisahan tersebut, yang harus memimpin proses secara adil dan bertakwa. Studi komparatif fiqh menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Baqarah ini menjadi sumber utama perbedaan mazhab dalam penetapan masa Iddah dan hak asuh anak.
Sūrah Al-Baqarah bukan hanya kitab hukum; ia adalah dokumen sejarah yang relevan. Kisah Bani Israel berfungsi sebagai 'cermin' bagi umat Islam. Setiap pengkhianatan, setiap penolakan, setiap kali mereka memilih duniawi daripada Akhirat, adalah peringatan keras bagi umat Nabi Muhammad ﷺ.
Ayat-ayat Al-Baqarah diturunkan di Madinah, saat umat Islam berjuang menyatukan Muhajirin (pendatang) dan Ansar (penolong) di tengah tekanan dari luar (Mekkah) dan intrik dari dalam (kaum munafik). Hukum-hukum sosial (seperti infak wajib dan larangan Riba) berfungsi sebagai perekat sosial yang kuat, memastikan bahwa perbedaan kekayaan tidak akan menciptakan keretakan yang dapat dieksploitasi musuh. Intinya, Sūrah Al-Baqarah menciptakan masyarakat yang bertanggung jawab secara kolektif terhadap nasib anggotanya.
Dalam tradisi Islam, Al-Baqarah memiliki fadhilah yang luar biasa. Ia dikenal memiliki dua ayat terakhir (Amanar-Rasul) yang membawa pahala besar dan berfungsi sebagai perlindungan. Selain itu, surah ini mengandung Ayatul Kursi, yang secara luas diyakini sebagai perlindungan terkuat dari godaan setan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa rumah yang dibacakan Sūrah Al-Baqarah tidak akan dimasuki setan. Keutamaan ini menunjukkan bahwa selain berfungsi sebagai panduan hidup, surah ini juga merupakan benteng spiritual yang menjaga keutuhan akidah dan jiwa seorang Muslim.
Secara keseluruhan, Sūrah Al-Baqarah adalah universitas Islam lengkap. Ia dimulai dengan prinsip fundamental iman, bergerak ke studi sejarah dan psikologi manusia (Bani Israel dan kemunafikan), menetapkan fondasi ibadah dan hukum personal, mengukuhkan etika perang dan kepemimpinan, dan mencapai puncaknya dengan aturan finansial yang ketat, ditutup dengan pengakuan total akan kedaulatan Allah. Kedalaman dan keluasan materinya menegaskan mengapa ia adalah tonggak utama dalam Al-Qur'an dan referensi abadi bagi setiap Muslim yang mencari petunjuk komprehensif menuju kehidupan yang diridhai.