Ghawth al-A'zam (Penolong Agung), Pemimpin Spiritual Sepanjang Masa
Kitab, melambangkan sumber utama ajaran Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Syekh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Musa Zangi Dost Al-Jaelani Al-Hasani wal-Husaini—nama lengkap seorang tokoh sentral dalam sejarah Sufisme dan hukum Islam. Beliau dikenal luas dengan gelar kehormatan seperti Ghawth al-A'zam (Penolong Agung) dan Sultan al-Awliya (Rajanya Para Wali). Kelahiran beliau pada abad ke-11 Masehi, di wilayah Gilan, Persia (sekarang Iran), menandai munculnya seorang pembaharu spiritual yang ajarannya akan menyebar melintasi benua, membentuk salah satu tarekat Sufi tertua dan paling berpengaruh di dunia: Tariqah Qadiriyyah.
Kehadiran Syekh Abdul Qadir Jaelani dalam konteks sejarah Islam tidak hanya terbatas pada dimensi spiritual. Beliau adalah seorang ulama fikih Mazhab Hanbali yang sangat mumpuni, seorang orator yang khutbahnya menggetarkan ribuan jamaah, dan seorang pendidik yang berhasil mendirikan pusat keilmuan di Baghdad, jantung peradaban Islam saat itu. Kontribusinya mencakup penulisan karya-karya monumental yang membahas kedalaman tauhid, zuhud (asketisme), etika Islam, hingga tingkatan-tingkatan tertinggi dalam makrifat (pengenalan ilahi).
Artikel komprehensif ini akan mengurai secara rinci kehidupan, perjuangan spiritual, kontribusi keilmuan, serta warisan abadi Syekh Abdul Qadir Jaelani. Kami akan menelusuri bagaimana beliau berhasil menyelaraskan syariat yang ketat dengan hakikat Sufi yang mendalam, menjadikannya model sempurna bagi seorang muslim yang meniti jalan ketakwaan, baik secara zahir (lahiriah) maupun batin (spiritual).
Syekh Abdul Qadir Jaelani dilahirkan sekitar tahun 470 H (1077 M) di Nif, sebuah distrik di wilayah Gilan, yang terletak di selatan Laut Kaspia. Nama "Jaelani" atau "Gilani" merujuk kepada tempat kelahirannya tersebut. Keunikan beliau terletak pada garis keturunannya yang suci, menjadikannya Sayyid, yaitu keturunan langsung dari Nabi Muhammad ﷺ melalui dua jalur sekaligus.
Dari sisi ayah, Abu Shalih Musa Zangi Dost, beliau memiliki silsilah yang tersambung kepada Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu tertua Nabi. Sementara itu, dari sisi ibu, Sayyidah Fathimah binti Abdullah al-Sauma'i, beliau bersambung kepada Imam Husain bin Ali, cucu kedua Nabi. Pewarisan nasab Hasani dan Husaini ini menambah dimensi spiritual dan historis yang signifikan terhadap persona beliau, menegaskan kedudukan beliau sebagai pewaris darah kenabian.
Kisah-kisah masa kecil beliau, meskipun dipenuhi nuansa karamah dan keajaiban (yang akan dibahas kemudian), menunjukkan lingkungan keluarga yang sangat saleh dan berpendidikan. Ayahnya adalah seorang ulama terkemuka di Gilan, sementara ibunya dikenal sebagai seorang wanita ahli ibadah yang mendidik beliau sejak dini tentang pentingnya kejujuran, integritas, dan ketaatan mutlak kepada syariat. Pendidikan awal inilah yang membentuk pondasi karakter Syekh Abdul Qadir Jaelani sebelum beliau memulai perjalanan intelektualnya yang monumental.
Keputusan Syekh Abdul Qadir untuk hijrah ke Baghdad pada usia muda (sekitar 18 tahun) tidak lepas dari situasi Baghdad saat itu. Baghdad, meskipun secara politik telah mengalami penurunan kekuasaan Bani Abbas (Abbasiyah) dan berada di bawah dominasi dinasti-dinasti non-Arab (seperti Seljuk), tetap merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam yang tiada tandingannya. Madrasah Nizamiyyah, yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, merupakan mercusuar pendidikan tinggi yang menarik ribuan pelajar dari seluruh penjuru dunia Islam.
Namun, Baghdad juga sarat dengan kekacauan sosial dan spiritual. Konflik mazhab sering terjadi, korupsi merajalela di kalangan elit, dan masyarakat umum terombang-ambing antara legalisme yang kaku dan ekstremisme spiritual yang melenceng. Dalam konteks ini, kedatangan Abdul Qadir Jaelani di Baghdad bukanlah sekadar mencari ilmu, melainkan sebuah misi pemulihan spiritual dan moral. Beliau datang sebagai orang asing tanpa harta, siap menempuh kesulitan ekstrem demi mencapai puncak pengetahuan dan kesucian batin.
Masa-masa awal beliau di Baghdad adalah masa kemiskinan dan penempaan diri yang luar biasa keras. Dikisahkan bahwa beliau sering harus mencari makanan sisa atau berpuasa berhari-hari. Kesulitan material ini, alih-alih meruntuhkan semangatnya, justru menguatkan tekadnya untuk menempuh jalan zuhud dan tawakkul (berserah diri sepenuhnya kepada Allah). Ini adalah fondasi spiritual yang harus dibangun sebelum beliau siap menerima amanah besar sebagai pembimbing umat.
Setelah menamatkan studi hukum, hadis, dan ushuluddin di bawah bimbingan para ulama terkemuka Baghdad seperti Abu Said Mubarak bin Ali al-Mukharrimi, Syekh Abdul Qadir Jaelani tidak langsung terjun ke dunia dakwah. Beliau memilih untuk menjalani masa tirakat (mujahadah) dan latihan spiritual (riyadhah) yang sangat intensif, yang berlangsung selama lebih dari dua puluh lima tahun. Masa ini sering disebut sebagai periode pengasingan spiritual, di mana beliau menjauhi keramaian kota dan fokus pada penyucian jiwa.
Pengasingan ini dilakukan di gurun-gurun, reruntuhan, dan tempat-tempat terpencil di sekitar Baghdad. Tujuannya adalah memutuskan segala ikatan dengan duniawi, menaklukkan nafsu (nafs ammarah), dan mencapai kemurnian hati (qalb) yang total. Riyadhah yang beliau lakukan sangat ekstrem: puasa yang berkesinambungan (sawm al-dahr), shalat malam yang panjang, dan dzikir yang tak terhitung jumlahnya. Beliau hanya tidur sedikit, makan seadanya, dan selalu berada dalam kondisi waspada spiritual.
Dalam ajaran Sufi, periode pengasingan ini sangat krusial. Ini adalah waktu di mana sang salik (penempuh jalan) benar-benar diuji oleh Allah dengan berbagai cobaan dan godaan, baik dari syaitan maupun dari nafsunya sendiri. Kesabaran dan keteguhan beliau dalam menghadapi ujian ini adalah yang mengangkat derajat beliau, sebagaimana beliau sendiri mengajarkan bahwa tanpa kesulitan, tidak ada kemanisan makrifat yang dapat dirasakan.
Zuhud yang dipraktikkan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani bukanlah sekadar meninggalkan kekayaan, melainkan pembersihan hati dari ketergantungan kepada selain Allah. Konsep tawakkul menjadi inti dari seluruh perjuangan spiritualnya. Tawakkul yang murni berarti meyakini bahwa rezeki, bahaya, dan segala keputusan hanya berada di tangan Allah, sehingga hati tidak perlu merasa cemas atau bergantung pada makhluk.
Dalam Futuh al-Ghaib (Penyingkapan yang Gaib), salah satu karya terpentingnya, beliau menjelaskan bahwa tawakkul yang sejati melahirkan ketenangan batin yang absolut, karena seseorang telah melepaskan dirinya dari beban mengatur urusan duniawi. Ketika beliau akhirnya muncul kembali di hadapan publik, beliau telah mencapai derajat spiritual yang sangat tinggi, siap untuk membimbing umat manusia kembali kepada hakikat tauhid yang murni.
Periode penyepian ini berakhir ketika beliau berusia sekitar lima puluh tahun. Pada saat itulah beliau menerima isyarat ilahi untuk mulai berdakwah dan mengajar di Baghdad. Panggilan ini datang setelah gurunya, Syekh Abu Said Mubarak, menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan madrasahnya kepada Syekh Abdul Qadir Jaelani, mengakui bahwa muridnya telah melampaui kedudukan seorang ulama biasa, mencapai kedudukan seorang arif billah (orang yang mengenal Allah).
Meskipun dikenal sebagai Bapak Sufi besar, Syekh Abdul Qadir Jaelani adalah seorang fuqaha (ahli fikih) yang sangat dihormati. Beliau secara resmi mengajar fikih, hadis, dan tafsir, seringkali memberikan fatwa (keputusan hukum) berdasarkan Mazhab Hanbali. Ini menunjukkan komitmennya yang teguh terhadap syariat dan sunnah Nabi ﷺ. Ketaatan beliau terhadap syariat menjadi ciri khas tariqahnya, yang dikenal tidak pernah memisahkan antara tasawuf (esoteris) dengan fikih (eksoteris).
Pada zamannya, Mazhab Hanbali sering dianggap sebagai mazhab yang paling ketat dan menghindari inovasi (bid’ah). Syekh Abdul Qadir Jaelani, dengan kedudukannya yang tinggi dalam mazhab ini, memberikan kontribusi besar dalam menghidupkan kembali semangat sunnah, sekaligus menyeimbangkannya dengan kedalaman spiritual. Beliau menunjukkan bahwa penegakan hukum Islam yang benar harus diiringi dengan penyucian hati yang dilakukan melalui jalan tasawuf.
Kontribusi fikihnya terutama terlihat dalam kitab Ghunyatut Thalibin (Kekayaan Para Pencari), di mana beliau membahas secara rinci berbagai aspek hukum Islam, mulai dari thaharah (bersuci) hingga muamalah (transaksi), dengan penekanan pada aspek kesucian batin dalam setiap ibadah yang dilakukan.
Salah satu pencapaian terbesar beliau adalah kemampuannya menyatukan Syariat (hukum formal) dengan Hakikat (realitas spiritual). Sebelum beliau, sering kali terjadi ketegangan antara fuqaha yang legalistik dan para sufi yang terkadang mengabaikan detail-detail hukum. Syekh Abdul Qadir Jaelani berulang kali menegaskan bahwa hakikat sejati tidak akan pernah bertentangan dengan syariat. Syariat adalah kapal, dan hakikat adalah lautan; seseorang tidak akan mencapai lautan tanpa menggunakan kapal yang kokoh.
Beliau menekankan bahwa setiap langkah menuju Allah harus diawali dengan ketaatan yang sempurna kepada perintah dan larangan-Nya. Dzikir tanpa shalat yang benar adalah sia-sia; zuhud tanpa integritas adalah penipuan. Ajaran ini sangat vital dalam membersihkan tasawuf dari elemen-elemen sinkretis atau bid’ah yang mulai muncul di berbagai wilayah Islam, mengembalikannya ke fondasi Quran dan Sunnah yang murni.
Penyelarasan ini membuat ajaran Qadiriyyah diterima secara luas oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk para ulama tradisional, karena ajarannya bersifat ortodoks dalam akidah dan fikih, namun revolusioner dalam pembinaan spiritual.
Setelah periode tirakatnya berakhir, Syekh Abdul Qadir Jaelani mulai mengajar dan berdakwah. Pada awalnya beliau mengajar di madrasah kecil, namun popularitas beliau meningkat dengan sangat cepat. Ceramah-ceramah beliau (Majlis) yang diadakan di Khaniqah (pusat Sufi) dan kemudian di lapangan terbuka, mampu menarik puluhan ribu orang, termasuk ulama, fuqaha, pemimpin militer, hingga orang awam, Yahudi, dan Nasrani.
Kekuatan khutbah beliau terletak pada ketulusan (ikhlas) dan keberanian beliau dalam menegur penguasa dan masyarakat atas kemaksiatan dan kelalaian mereka terhadap perintah agama. Beliau dikenal sebagai 'Singa Mimbar Baghdad' karena tidak gentar menyuarakan kebenaran, bahkan di hadapan Khalifah atau Wazir (menteri). Diceritakan bahwa ketika beliau berbicara, hati orang-orang bergetar, dan seringkali terjadi pertobatan massal; banyak yang mencukur jenggot mereka yang haram, mengembalikan harta curian, dan meninggalkan gaya hidup hedonis.
Kajian beliau tidak hanya fokus pada hukum, tetapi lebih banyak pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Beliau mengajarkan tentang bahaya riya (pamer), pentingnya syukur, sabar, dan menumbuhkan rasa takut (khawf) dan cinta (mahabbah) kepada Allah secara seimbang. Gaya dakwahnya adalah perpaduan antara keilmuan mendalam (syariat) dan pemahaman batin (hakikat).
Intisari dari khutbah-khutbah beliau kemudian dikumpulkan menjadi kitab monumental, Al-Fath ar-Rabbani wa al-Fayd ar-Rahmani (Kemenangan Ilahi dan Curahan Rahmat Ilahi). Kitab ini adalah koleksi dari 62 khutbah yang disampaikan antara tahun 545 H dan 546 H. Membaca Al-Fath ar-Rabbani memberikan gambaran jelas tentang intensitas spiritual dan pesan moral yang beliau sampaikan.
Khutbah-khutbah ini berisi nasihat-nasihat praktis mengenai cara mencapai kedekatan dengan Allah. Beliau selalu memulai dengan prinsip-prinsip tauhid yang kokoh, diikuti dengan kritik tajam terhadap orang-orang yang mengaku berilmu namun hatinya kotor oleh ambisi duniawi. Al-Fath ar-Rabbani berfungsi sebagai peta jalan bagi setiap Muslim untuk membersihkan batin mereka dan menempatkan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup.
Salah satu tema utama yang berulang adalah pentingnya ketaatan terhadap hati nurani yang suci (sirr), yang merupakan tempat pandangan Allah. Beliau mendorong jamaahnya untuk tidak hanya fokus pada ritual luar, tetapi pada kualitas spiritual di balik ritual tersebut, memastikan bahwa setiap tindakan lahiriah didorong oleh niat (niyyah) yang murni hanya untuk Allah.
Ajaran Syekh Abdul Qadir Jaelani berpusat pada pemurnian Tauhid. Bagi beliau, Tauhid tidak hanya pengakuan lisan bahwa tiada Tuhan selain Allah, tetapi kesadaran batin yang total bahwa tidak ada yang berkuasa, memberi manfaat, atau mendatangkan kerugian kecuali Allah. Semua makhluk, termasuk diri sendiri, adalah alat semata. Tauhid sejati adalah melepaskan diri dari segala bentuk ketergantungan dan harapan kepada makhluk.
Jalan menuju Tauhid yang murni ini memerlukan apa yang dikenal dalam tasawuf sebagai fana’—secara harfiah berarti kepunahan atau kematian. Dalam konteks Syekh Abdul Qadir, fana bukan berarti lenyapnya wujud fisik, melainkan lenyapnya kesadaran diri (ego) dan keinginan pribadi yang bertentangan dengan kehendak Ilahi. Fana adalah ketika seorang salik benar-benar tunduk pada qadha' (ketetapan) dan qadar (takdir) Allah tanpa protes atau keluh kesah.
Setelah mencapai fana, hamba kemudian mencapai baqa’ billah (kekekalan bersama Allah), di mana tindakannya, perkataannya, dan kehendaknya selaras dengan kehendak Allah. Inilah puncak dari kewalian, di mana hamba menjadi cermin sempurna bagi sifat-sifat Ilahi (meskipun tetap sebagai hamba).
Tiga pilar utama etika spiritual dalam ajaran Qadiriyyah adalah Sabar, Syukur, dan Ridha. Syekh Abdul Qadir Jaelani mengajarkan bahwa hidup adalah serangkaian ujian yang harus dihadapi dengan kesabaran total (shabr). Sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam menjalankan ketaatan.
Syukur (syukr) adalah pengakuan atas segala nikmat, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Syekh menekankan bahwa hamba yang bersyukur adalah hamba yang menggunakan nikmat tersebut untuk ketaatan, bukan untuk hawa nafsu. Sementara itu, ridha (kerelaan) adalah tingkatan tertinggi, di mana hamba tidak hanya bersabar, tetapi juga merasa senang dan menerima sepenuhnya ketetapan Allah, baik itu berupa kesenangan maupun penderitaan.
Dalam Futuh al-Ghaib, beliau sering menegaskan: “Orang yang berakal adalah orang yang bersabar terhadap ketetapan Allah dan ridha terhadap hukum-Nya, karena ia tahu bahwa segala sesuatu telah ditentukan sejak dahulu kala.” Fokus pada tiga etika ini memastikan bahwa murid Qadiriyyah selalu berada dalam kerangka hukum Islam yang ketat, sekaligus menikmati ketenangan batin Sufi.
Lentera atau titik pusat, melambangkan panduan menuju pusat spiritual (Ma'rifah).
Salah satu kitab paling awal dan paling komprehensif yang dikaitkan dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani adalah Ghunyatut Thalibin li Thariq al-Haqq (Kekayaan Bagi Para Pencari Jalan Kebenaran). Kitab ini berfungsi sebagai ensiklopedia mini yang mencakup fikih Hanbali, ushuluddin (teologi), dan akhlak (etika) Sufi. Keistimewaan kitab ini adalah cara beliau menyajikan materi: dimulai dengan hukum yang paling mendasar, diikuti dengan diskusi tentang pentingnya kebersihan hati dalam melaksanakan hukum tersebut.
Dalam Ghunyah, beliau secara tegas menggarisbawahi pentingnya akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, menolak bid'ah dan penyimpangan. Beliau membahas rukun Islam dengan detail, tetapi juga menambahkan bab-bab panjang tentang keutamaan sabar, zuhud, dan bahaya hasad (iri hati). Kitab ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qadir Jaelani tidak hanya seorang sufi, tetapi juga seorang pembela garis depan ortodoksi Islam yang kokoh.
Pengaruh Ghunyatut Thalibin sangat besar, terutama di kalangan ulama yang ingin menggabungkan kedalaman spiritual dengan kehati-hatian dalam praktik hukum. Kitab ini menjadi bukti nyata bahwa Syekh Abdul Qadir Jaelani adalah jembatan antara dunia fikih dan dunia tasawuf.
Jika Ghunyatut Thalibin adalah panduan Syariat, maka Futuh al-Ghaib adalah kunci menuju Hakikat. Kitab ini terdiri dari 78 risalah pendek (maqalah) yang membahas rahasia batin, hubungan antara hamba dan Tuhan, takdir, dan berbagai tingkatan spiritual. Kitab ini sangat populer karena bahasanya yang lugas, namun mengandung makna yang sangat dalam.
Setiap risalah dalam Futuh al-Ghaib berfungsi sebagai nasihat langsung dari Syekh kepada muridnya mengenai cara menghadapi cobaan, bagaimana berkomunikasi dengan Allah dalam hati, dan bagaimana memastikan bahwa motivasi spiritual seseorang tetap murni. Beliau sangat kritis terhadap mereka yang hanya mementingkan tampilan luar Sufisme (pakaian, jargon) tanpa menempuh kesulitan tirakat batin yang sesungguhnya.
Inti pesan Futuh al-Ghaib adalah bahwa pengetahuan sejati (makrifat) datang setelah penyerahan diri total dan penolakan terhadap kehendak pribadi. Pintu menuju kegaiban hanya terbuka ketika hamba telah sepenuhnya berpaling dari dirinya sendiri menuju kehendak Allah. Kitab ini telah menjadi bacaan wajib bagi para salik di seluruh dunia selama berabad-abad.
Syekh Abdul Qadir Jaelani sering disebut sebagai Qutb (Pusat Spiritual) pada masanya, atau bahkan Ghawth (Penolong Universal). Dalam tradisi Sufi, kewalian (wilayah) adalah kedekatan khusus dengan Allah yang dicapai melalui ketaatan sempurna dan penyucian jiwa. Kewalian bukanlah gelar yang dicari, melainkan karunia yang diberikan Allah kepada hamba yang telah mencapai tingkat ikhlas yang tinggi.
Syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri jarang membicarakan karamah secara langsung, namun fokus pada bagaimana mencapai derajat kewalian melalui disiplin spiritual. Beliau mengajarkan bahwa karamah bukanlah tujuan, melainkan sekadar buah (hasil samping) dari ketaatan sejati. Karamah sejati, menurut beliau, adalah keteguhan dalam menjalankan perintah agama di tengah tantangan.
Meskipun Syekh menekankan pentingnya istiqamah (keteguhan), sejarah mencatat banyak karamah yang dinisbatkan kepada beliau, menunjukkan pengakuan umat Islam atas kedudukan spiritualnya. Kisah-kisah ini meliputi penyembuhan penyakit, mengetahui isi hati, berjalan di atas air, dan bahkan, menurut beberapa riwayat yang dipegang teguh oleh pengikut Qadiriyyah, menghidupkan kembali orang mati.
Karamah yang paling terkenal dan sering disebut adalah kisah tentang "Bapak Ular" (Ayah Kobra). Konon, suatu hari seekor ular besar melilitnya, dan beliau tetap tenang dalam dzikir. Ketika ular itu dilepaskan, ia berubah menjadi seorang ulama yang kemudian menjadi muridnya. Kisah-kisah ini, terlepas dari interpretasi harfiah atau simbolisnya, berfungsi untuk menegaskan otoritas spiritual Syekh Abdul Qadir Jaelani di mata masyarakat dan menunjukkan bahwa beliau adalah wali yang berada di bawah perlindungan Ilahi.
Penting untuk dicatat bahwa dalam ajaran Qadiriyyah, karamah tidak pernah dijadikan alasan untuk meninggalkan Syariat. Syekh selalu menekankan bahwa keajaiban terbesar adalah menjaga hati dari kesyirikan, riya, dan maksiat, serta konsisten dalam salat dan puasa.
Tariqah Qadiriyyah, meskipun tidak didirikan secara formal sebagai organisasi selama masa hidup Syekh—karena pada masa itu istilah tariqah masih merujuk pada metodologi spiritual—tetapi ajaran dan praktiknya kemudian dikodifikasi oleh para muridnya setelah beliau wafat. Tariqah ini menjadi salah satu dari Turuq al-Arba' (Empat Tarekat Utama) yang menjadi fondasi bagi semua tarekat Sufi yang muncul setelahnya.
Silsilah (rantai spiritual) Qadiriyyah memiliki jalur emas yang menghubungkan para syekh utama hingga Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan dari beliau, silsilah ini berlanjut melalui Syekh Junaid al-Baghdadi, Syekh Ma'ruf al-Karkhi, hingga akhirnya bersambung kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan puncaknya kepada Nabi Muhammad ﷺ. Silsilah ini memberikan legitimasi spiritual yang kuat bagi para pengikut Qadiriyyah di seluruh dunia.
Prinsip dasarnya adalah keselarasan mutlak dengan Syariat. Qadiriyyah menekankan pentingnya dzikir yang keras (jahr) atau lembut (khafi), tergantung pada kondisi murid, tetapi selalu fokus pada peningkatan tawakkul dan zuhud.
Dzikir dalam Qadiriyyah merupakan praktik inti. Meskipun terdapat variasi di cabang-cabang tariqah yang berbeda, dzikir utama selalu melibatkan pengulangan kalimat tauhid, La ilaha illallah, serta dzikir-dzikir spesifik lainnya (wird) yang diturunkan melalui silsilah syekh.
Beberapa praktik khas yang ditekankan dalam Qadiriyyah meliputi:
Struktur praktik ini dirancang untuk membimbing salik melalui tahap-tahap spiritual yang sistematis, dari permulaan (penghapusan dosa) hingga pencapaian makrifat (pengenalan Ilahi).
Tariqah Qadiriyyah adalah salah satu tariqah yang paling luas penyebarannya. Setelah wafatnya Syekh Abdul Qadir Jaelani, anak-anak dan cucu-cucu beliau membawa ajaran ini ke luar Baghdad. Putranya, Syekh Abdul Razzaq, dan cucunya, Syekh Abdul Salam, memainkan peran kunci dalam konsolidasi ajaran.
Penyebaran Qadiriyyah meliputi:
Keberhasilan penyebaran ini terletak pada fleksibilitas Qadiriyyah dalam beradaptasi dengan budaya lokal, selama prinsip tauhid dan syariat tetap dipegang teguh. Syekh Abdul Qadir Jaelani tidak hanya meninggalkan ajaran, tetapi sebuah gerakan global yang berpusat pada spiritualitas praktis.
Syekh Abdul Qadir Jaelani memainkan peran penting dalam transisi Sufisme. Beliau hidup pada masa di mana tasawuf mulai terlembagakan ke dalam tariqah-tariqah. Ajaran beliau menjadi cetak biru bagi banyak sufi besar yang datang setelahnya, termasuk Syekh Ahmad ar-Rifa'i dan Syekh Suhrawardi.
Kontribusi terbesarnya adalah membuktikan bahwa kewalian sejati tidak membutuhkan penolakan terhadap ilmu-ilmu Islam formal. Beliau adalah wali yang juga seorang ahli hadis, seorang fuqaha, dan seorang da'i. Model ini menjamin bahwa Sufisme tetap berada dalam arus utama ortodoksi Islam, mencegah perpecahan total antara ulama zahir (hukum) dan ulama batin (spiritualitas).
Pengaruh beliau terlihat jelas dalam penekanan pada integritas moral dan tanggung jawab sosial. Beliau tidak hanya mengajarkan cara bermunajat, tetapi juga cara berinteraksi dengan masyarakat secara adil dan jujur, suatu pesan yang sangat dibutuhkan di Baghdad yang korup pada masa itu.
Syekh Abdul Qadir Jaelani wafat pada tahun 561 H (1166 M) pada usia 91 tahun dan dimakamkan di madrasahnya di Baghdad, yang kemudian dikenal sebagai Qadiriyya Khaniqah. Maqam (makam) beliau di Baghdad, yang terletak di kawasan Bab al-Syekh, telah menjadi pusat ziarah yang tak pernah sepi. Jutaan peziarah dari seluruh dunia mengunjungi makam beliau setiap tahun, menjadikannya salah satu tempat paling suci dalam tradisi Sufi.
Kompleks makam ini juga berfungsi sebagai madrasah dan perpustakaan, meneruskan tradisi keilmuan yang beliau rintis. Kehadiran fisik Maqam ini di Baghdad, meskipun kota itu telah mengalami banyak gejolak dan kehancuran, menjadi simbol ketahanan spiritual ajaran beliau. Bahkan di tengah konflik modern, makam ini tetap menjadi tempat yang damai dan sumber inspirasi bagi mereka yang mencari jalan kedekatan dengan Tuhan.
Meskipun Syekh Abdul Qadir Jaelani menjalani kehidupan spiritual yang sangat ketat, beliau juga menunaikan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga dan ayah. Beliau memiliki banyak putra dan putri. Tercatat, sebanyak empat puluh sembilan anak, dua puluh tujuh di antaranya adalah laki-laki, yang semuanya dididik untuk menjadi ulama dan penyebar dakwah. Ini menunjukkan bahwa spiritualitas sejati tidak menuntut penarikan diri total dari tanggung jawab sosial dan keluarga.
Pendidikan yang beliau berikan kepada anak-anaknya adalah perpaduan ketat antara ilmu syariat (fikih, hadis) dan ilmu hakikat (tasawuf). Anak-anak beliau kemudian menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Mesir, Syam (Suriah), hingga Persia, membawa serta obor ajaran Qadiriyyah. Penyebaran ajaran ini melalui jalur keturunan memastikan bahwa metodologi dan spiritualitas beliau diturunkan secara otentik.
Syekh Abdul Qadir Jaelani menekankan bahwa tugas seorang ayah adalah menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan iman anak. Beliau mengajarkan bahwa rezeki yang halal adalah kunci, karena makanan yang tidak halal akan mengeraskan hati dan menghalangi anak untuk menerima cahaya ilahi. Kehidupan keluarga beliau adalah representasi praktis dari ajaran-ajaran moral yang beliau sampaikan di mimbar.
Pola pendidikan ini menjadi warisan penting yang membedakan Qadiriyyah; ia tidak hanya menciptakan para syekh pertapa, tetapi juga ulama yang berinteraksi secara aktif di tengah masyarakat, mengurus keluarga, dan memberikan fatwa, sambil tetap mempertahankan puncak pencapaian spiritual.
Meskipun Syekh Abdul Qadir Jaelani dikenal dengan penekanan beliau pada khawf (rasa takut) terhadap Allah karena dosa, puncaknya ajaran beliau adalah mahabbah (cinta Ilahi). Rasa takut adalah pendorong awal yang menjauhkan hamba dari maksiat, namun cinta adalah penggerak sejati yang membawa hamba menuju Allah dengan kerinduan.
Dalam ajaran beliau, cinta ini bersifat timbal balik. Ketika hamba mencintai Allah melalui ketaatan dan pengorbanan, Allah membalas cinta itu dengan mendekatkan hamba dan menyingkapkan rahasia-rahasia-Nya. Cinta ini tidak dapat dicapai tanpa melalui tahapan-tahapan penyucian diri yang ketat.
Beliau sering menjelaskan bahwa tanda cinta sejati adalah pengorbanan. Hamba yang mencintai Allah akan dengan senang hati mengorbankan waktu tidurnya untuk shalat malam, mengorbankan hartanya untuk sedekah, dan mengorbankan nafsunya untuk menaati perintah. Cinta sejati menghilangkan beban ketaatan, menjadikannya kenikmatan. Inilah yang membedakan Sufi sejati dari hamba yang hanya beribadah karena kewajiban. Melalui mahabbah, segala kesulitan mujahadah menjadi ringan, bahkan terasa manis.
Konsep ini sangat penting karena menunjukkan keseimbangan antara aspek jalal (keagungan, yang menimbulkan rasa takut) dan aspek jamal (keindahan, yang menimbulkan cinta) dalam sifat-sifat Allah. Syekh Abdul Qadir Jaelani berhasil mengintegrasikan keduanya, menciptakan sebuah jalan spiritual yang seimbang, kuat secara hukum, dan kaya secara emosional.
Di era modern yang ditandai dengan materialisme dan kecemasan global, ajaran Syekh Abdul Qadir Jaelani tetap sangat relevan. Tiga aspek utamanya memiliki daya tarik kuat bagi masyarakat kontemporer:
Tariqah Qadiriyyah terus berkembang di berbagai belahan dunia, berfungsi sebagai benteng spiritual bagi jutaan Muslim yang mencari otentisitas iman di tengah tantangan zaman. Metode bimbingan guru spiritual (Syekh) dalam Qadiriyyah memastikan bahwa tradisi lisan dan rahasia spiritual tetap hidup, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menjaga api ajaran Syekh Abdul Qadir Jaelani tetap menyala.
Salah satu klaim paling besar yang terkait dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani adalah gelar Ghawth al-A’zam. Dalam terminologi Sufi, Ghawth adalah wali tertinggi yang memiliki peran spiritual sentral dalam kosmologi Islam, berfungsi sebagai "penolong" atau poros bumi. Meskipun Syekh sendiri dikenal rendah hati, riwayat-riwayat dari murid-muridnya dan wali-wali sezamannya mengukuhkan kedudukan beliau ini.
Kedudukan Ghawth ini bukan sekadar kehormatan, melainkan tanggung jawab spiritual yang sangat besar. Ini berarti bahwa beliau secara spiritual diamanahkan untuk menjadi perantara rahmat dan bimbingan bagi para wali lainnya dan umat secara keseluruhan. Pengakuan terhadap kedudukan ini memerlukan pemahaman mendalam tentang hierarki spiritual (Rijal al-Ghaib) dalam tasawuf.
Beberapa ulama dan syekh menafsirkan gelar Ghawth al-A'zam secara simbolis sebagai Wali yang ajarannya menjadi sumber rujukan terbesar bagi seluruh komunitas spiritual. Syekh Abdul Qadir Jaelani layak mendapatkan gelar ini karena ajaran beliau telah menjadi pondasi metodologi bagi hampir semua tariqah Sufi yang muncul setelah abad ke-12 Masehi.
Syekh Abdul Qadir Jaelani adalah pribadi yang langka, di mana ilmu lahiriah dan ilmu batiniah menyatu dalam kesempurnaan. Beliau tidak hanya meninggalkan kitab-kitab hukum yang detail, tetapi juga sebuah metodologi spiritual (Tariqah Qadiriyyah) yang memungkinkan hamba biasa menempuh perjalanan menuju makrifat Ilahi. Hidup beliau adalah cerminan dari kesabaran yang tak terhingga, zuhud yang total, dan integritas yang tak tergoyahkan.
Warisan beliau, yang terpatri dalam khutbah-khutbahnya yang berapi-api dan risalah-risalahnya yang mendalam, terus membimbing umat Islam di seluruh penjuru dunia. Beliau mengajarkan bahwa kunci kesuksesan di dunia dan akhirat adalah kembali kepada Allah, memurnikan tauhid, dan menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai teladan tertinggi. Hingga hari ini, nama beliau tetap disebut dengan penuh penghormatan, sebagai Sultan Para Wali, Ghawth al-A’zam, sumber cahaya spiritual abadi dari Baghdad.