Kata kunci 'tabbat artinya' membawa kita langsung ke inti dari salah satu surah yang paling ringkas namun paling pedas dalam Al-Qur'an, yaitu Surah Al-Masad (Surah ke-111). Surah ini, yang terkadang juga dikenal sebagai Surah Tabbat atau Surah Al-Lahab, dimulai dengan pernyataan yang mengejutkan dan tegas: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ (Tabbat yada Abi Lahab).
Memahami arti dari kata *tabbat* bukan hanya sekadar menerjemahkan kamus, melainkan menyelami kedalaman bahasa Arab klasik dan konteks teologis yang mengelilingi wahyu tersebut. Secara harfiah, *tabbat* berasal dari akar kata ت ب ب (ta-ba-ba), yang mengandung makna kekeringan, kerugian total, kegagalan yang tidak dapat dipulihkan, dan kehancuran. Ini adalah deklarasi penghukuman dan prediksi ilahi yang disampaikan dengan intensitas yang jarang ditemukan dalam surah-surah Makkiyah lainnya.
Pernyataan ini bukan hanya kutukan biasa, melainkan sebuah vonis definitif terhadap seorang tokoh penting dalam masyarakat Quraisy, Abu Lahab—paman Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Surah ini diturunkan pada periode awal dakwah di Mekah, ketika Nabi menghadapi perlawanan paling sengit dari kerabat terdekatnya, menjadikannya salah satu bukti paling nyata dari kenabian (prophecy).
Kita akan mengupas tuntas Surah Al-Masad ini ayat per ayat, dimulai dari analisis linguistik mendalam terhadap kata ‘Tabbat’, kemudian bergerak ke konteks historis pertentangan antara Islam dan kekufuran yang diwakili oleh figur Abu Lahab, hingga implikasi teologisnya bagi umat Muslim sepanjang zaman. Fokus utama kita adalah pada resonansi makna 'tabbat' yang melampaui sekadar kerugian materi, mencakup kegagalan spiritual dan kehancuran abadi di akhirat.
Alt: Ilustrasi konsep kegagalan dan kehancuran.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai Surah Al-Masad, kita harus membedah akar triliteral dari kata تَبَّتْ (*tabbat*). Kata ini merupakan bentuk lampau (past tense) feminin dari akar kata ت ب ب (T-B-B). Namun, dalam konteks Al-Qur'an, seringkali bentuk kata kerja lampau digunakan untuk menyampaikan makna janji atau ancaman yang pasti akan terjadi di masa depan, seolah-olah peristiwa itu sudah terjadi dan tidak terhindarkan.
Para ahli linguistik Arab klasik memberikan beberapa definisi inti untuk *tabba* (bentuk dasarnya):
Penggunaan *tabbat* dalam ayat pertama, تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ, secara harfiah berarti "Celakalah kedua tangan Abu Lahab," atau "Hancurlah kedua tangan Abu Lahab." Para mufassir sepakat bahwa penyebutan 'kedua tangan' (yada) adalah metonimi, merujuk pada keseluruhan diri dan segala daya upaya Abu Lahab. Tangan adalah simbol dari tindakan, usaha, dan kekuatan untuk mencari nafkah atau melakukan sesuatu. Dengan mengutuk tangannya, Allah mengutuk seluruh hidup, usaha, dan nasibnya.
Penting untuk dicatat bahwa kata kerja *tabbat* berada dalam bentuk *madhi* (lampau), menunjukkan kepastian. Para ulama tafsir menyatakan bahwa penggunaan bentuk lampau ini bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan penegasan ilahi bahwa kehancuran Abu Lahab adalah ketetapan yang telah diputuskan. Tidak ada jalan kembali atau penebusan baginya, bahkan saat ia masih hidup, sebuah kasus unik yang menunjukkan kemurkaan Allah SWT yang paripurna.
Kepastian ini memiliki dua dimensi yang sangat kuat: kehancuran fisik dan kegagalan upaya di dunia, serta kehancuran spiritual abadi di akhirat. Dengan demikian, *tabbat artinya* jauh lebih berat daripada sekadar "rugi" atau "celaka"; ia adalah stempel kehinaan yang permanen, predikat yang ditujukan kepada salah satu musuh paling vokal Nabi Muhammad ﷺ.
Untuk memenuhi kedalaman analisis, kita akan membedah setiap ayat, menggabungkan riwayat asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) dengan pandangan tafsir klasik, seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Al-Tabari.
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Tabbat yadā Abī Lahabin wa tabb.
Artinya: Celakalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar celaka dia!
Ayat ini diturunkan setelah peristiwa di Bukit Safa. Ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk berdakwah secara terang-terangan kepada kaumnya, Nabi naik ke bukit Safa dan memanggil seluruh suku Quraisy. Setelah mereka berkumpul, Nabi bertanya, "Jika aku beritahu kalian bahwa ada pasukan berkuda di balik bukit ini yang siap menyerang, apakah kalian akan percaya?" Mereka menjawab serentak, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong."
Nabi kemudian menyatakan dirinya sebagai utusan Allah. Pada saat itulah, paman Nabi, Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang dikenal dengan kunyah (nama panggilan) Abu Lahab (Bapak Api), berdiri dan berkata dengan keras, "Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau kumpulkan kami?" Ia kemudian melemparkan batu ke arah Nabi. Perkataan inilah yang memicu turunnya Surah Al-Masad sebagai respons ilahi. Ironisnya, kata تَبَّتْ (celaka) yang digunakan Abu Lahab, dibalas dengan vonis yang sama oleh Allah SWT terhadap dirinya.
Struktur ayat ini sangat kuat. Setelah mengutuk kedua tangannya (*Tabbat yadā Abī Lahabin*), Allah menambahkan frasa kedua, *wa tabb* (dan dia benar-benar celaka/hancur). Pengulangan ini, yang dikenal sebagai *ta'kid* (penegasan), memperkuat vonis tersebut. Jika frasa pertama adalah kutukan dan prediksi terhadap perbuatan Abu Lahab, frasa kedua adalah penegasan bahwa vonis itu telah jatuh pada dirinya secara keseluruhan.
Sebagian mufassir menjelaskan bahwa *Tabbat yadā Abī Lahabin* adalah doa (kutukan) dari Allah terhadap usahanya, sedangkan *wa tabb* adalah realisasi takdir itu sendiri, menunjukkan bahwa doanya telah dikabulkan, atau nasib buruk itu pasti menimpanya, baik di dunia maupun di akhirat.
Kehancuran yang dimaksudkan di dunia terlihat pada nasib buruknya; ia meninggal dalam kondisi hina, jauh dari sanak keluarga, menderita penyakit menular yang membuat orang menjauhinya. Kerugian di akhirat adalah azab neraka yang pasti menantinya.
مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
Mā aghnā 'anhu māluhū wa mā kasab.
Artinya: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan (peroleh).
Abu Lahab adalah salah satu pemimpin Quraisy yang kaya raya. Harta kekayaannya merupakan sumber kekuatan sosial dan politiknya. Dalam menghadapi Islam, ia menggunakan hartanya untuk menghalangi dakwah dan menyokong pemboikotan terhadap Bani Hasyim. Ayat ini menafikan kekuatan materi di hadapan azab Allah.
Kesia-siaan harta ini memiliki dua interpretasi: pertama, hartanya tidak bisa menyelamatkannya dari kematian yang hina di dunia; dan kedua, hartanya tidak akan berguna sedikit pun untuk menebus dirinya dari api neraka di akhirat. Ini adalah pelajaran universal bahwa kekayaan, jika tidak diiringi dengan keimanan, akan menjadi beban, bukan penyelamat.
Frasa *wā mā kasab* memiliki beberapa makna yang kaya:
Secara keseluruhan, ayat kedua menegaskan bahwa semua kekuatan duniawi Abu Lahab—kekayaan, status, dan keturunan—telah divonis gagal (*tabbat*), tidak mampu melindungi dirinya dari murka Ilahi.
سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Sayaṣlā nāran dhāta lahab.
Artinya: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (yang mempunyai nyala).
Penggunaan kata *sayaṣlā* (dia akan masuk) dalam bentuk kata kerja futur (akan datang) memberikan dimensi kenabian (prophetic). Ini adalah prediksi yang pasti, dan prediksi ini terbukti benar. Abu Lahab meninggal dalam keadaan kafir, sebelum Perang Badar. Hal ini membedakan Surah Al-Masad dari ancaman umum lainnya; ia menargetkan individu tertentu dengan takdir yang pasti.
Kata *lahab* berarti 'nyala api' atau 'lidah api yang murni'. Ini menciptakan permainan kata (pun) yang ironis dan kuat. Nama panggilan (kunyah) Abu Lahab secara harfiah berarti "Bapak Api Murni," yang diberikan kepadanya karena wajahnya yang rupawan dan berkilauan, menyerupai nyala api yang bersih.
Allah SWT menggunakan nama panggilannya untuk mengumumkan tempat tinggalnya yang abadi: "Dia akan masuk api yang bergejolak (dhāta lahab)." Abu Lahab dinamai 'Bapak Api' di dunia karena kecantikan, tetapi ia akan menjadi 'penghuni api' (Lahab) di akhirat karena kekufuran dan permusuhannya terhadap kebenaran. Ayat ini menyempurnakan makna ‘tabbat’ dari kehancuran upaya di dunia, menjadi kehancuran total di akhirat.
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Wamra'atuhū ḥammālatal-ḥaṭab.
Artinya: Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.
Istri Abu Lahab adalah Ummu Jamil, Arwa binti Harb, saudara perempuan dari Abu Sufyan (sebelum Abu Sufyan masuk Islam). Ia adalah pasangan yang sehati dalam permusuhan terhadap Nabi ﷺ dan Islam. Ayat ini tidak hanya mengutuk Abu Lahab tetapi juga menegaskan bahwa pasangannya akan berbagi nasib yang sama, menunjukkan bahwa kemaksiatan dan kekufuran yang dilakukan bersama akan menghasilkan hukuman bersama.
Frasa 'pembawa kayu bakar' (ḥammālah al-ḥaṭab) memiliki dua penafsiran utama, keduanya relevan dengan konsep kehancuran (*tabbat*):
Ia adalah manifestasi dari kehancuran spiritual; ia menghabiskan hidupnya untuk menciptakan perpecahan dan permusuhan, yang pada akhirnya akan menghancurkan dirinya sendiri.
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
Fī jīdihā ḥablun mim masad.
Artinya: Di lehernya ada tali dari sabut.
Kata kunci dalam ayat terakhir ini adalah *masad*, yang menjadi nama surah ini. *Masad* adalah tali yang terbuat dari serat kasar, seperti sabut palem atau serat dari pohon kurma. Dalam budaya Arab, tali yang kuat semacam ini biasa digunakan untuk mengikat hewan atau memikul beban berat di padang pasir.
Penyebutan tali di leher Ummu Jamil melengkapi gambaran hukumannya. Ini juga memiliki dua interpretasi yang saling melengkapi:
Ayat kelima ini adalah penutup yang sempurna, mengunci nasib pasangan ini dalam kehancuran total. Seluruh diri mereka, dari tangan (usaha) hingga leher (harta dan kemuliaan palsu), divonis mengalami *tabbat* abadi.
Alt: Ilustrasi api neraka, merujuk pada 'Lahab'.
Kata 'tabbat' tidak hanya berfungsi sebagai kutukan tetapi sebagai fondasi teologis yang kuat, menunjukkan tiga aspek utama kenabian dan ketuhanan yang tak tertandingi.
Surah Al-Masad sering dijadikan salah satu bukti paling tegas atas kebenaran kenabian Muhammad ﷺ. Surah ini memberikan vonis terhadap Abu Lahab dan istrinya bahwa mereka akan mati dalam kekafiran dan pasti masuk neraka, diungkapkan dalam kata تَبَّتْ (kehancuran yang pasti). Ayat ini diturunkan di Mekah, dan setelah penurunan surah ini, Abu Lahab hidup selama bertahun-tahun.
Selama periode tersebut, Abu Lahab memiliki setiap kesempatan untuk membuktikan Al-Qur'an salah. Seandainya ia hanya mengucapkan syahadat (bahkan dengan niat munafik), vonis Al-Qur'an akan tampak tidak terpenuhi. Namun, hingga akhir hayatnya, ia tetap kukuh dalam kekufurannya. Keengganannya untuk menerima Islam, bahkan untuk tujuan politis atau pembuktian, secara meyakinkan menggenapi prediksi ilahi ini. Ini menunjukkan bahwa Allah SWT mengetahui masa depan dan mengendalikan takdir hamba-Nya yang menolak kebenaran secara absolut.
Kehancuran yang dimaksud oleh *tabbat* bukanlah sekadar kecelakaan, melainkan sebuah kepastian yang tak terhindarkan, yang hanya bisa diketahui oleh Yang Mahatahu.
Surah ini menegaskan bahwa keadilan Allah bersifat mutlak dan tidak mengenal nepotisme atau ikatan darah. Abu Lahab adalah paman kandung Nabi, anggota terhormat dari Bani Hasyim, keluarga yang sama dengan Nabi. Namun, ikatan kekerabatan tidak dapat menyelamatkannya dari konsekuensi permusuhannya terhadap tauhid.
Pesan sentralnya adalah bahwa hubungan dengan Allah (iman) jauh lebih penting daripada hubungan duniawi (darah atau kekayaan). *Tabbat* adalah penolakan terhadap pemahaman jahiliyah bahwa status suku atau kekayaan dapat menjamin keselamatan. Semua itu akan hancur dan sia-sia (*mā aghnā anhu māluhū wa mā kasab*).
Hukuman dalam Surah Al-Masad sangat spesifik dan setimpal (*qisas*). Abu Lahab dan istrinya menggunakan tangan, harta, lidah, dan status mereka untuk melawan Nabi. Sebagai balasannya, hukuman mereka berpusat pada kegagalan semua hal tersebut:
Setiap elemen hukuman dalam surah ini berakar pada kejahatan yang mereka lakukan. Ini adalah pola ilahi yang menunjukkan bahwa perbuatan buruk akan kembali kepada pelakunya dengan kadar yang sama, menegaskan makna *tabbat* sebagai kehancuran yang dihasilkan oleh tindakan diri sendiri.
Meskipun Surah Al-Masad berfokus pada individu tertentu di abad ketujuh, makna 'tabbat artinya' memiliki resonansi yang kuat dan universal bagi kehidupan Muslim modern.
Abu Lahab tidak menentang Islam karena ia tidak mengerti. Ia menentangnya karena kesombongan, takut kehilangan status sosial, dan loyalitas buta terhadap tradisi nenek moyang. Kata *tabbat* hari ini berfungsi sebagai peringatan bagi siapa pun yang menggunakan kekayaan, kekuasaan, atau kedekatan keluarga (misalnya, menjadi bagian dari keluarga religius) untuk menindas kebenaran atau membenarkan kezaliman.
Kehancuran (*tabbat*) akan menimpa setiap orang, tanpa memandang gelarnya, yang secara aktif menolak dan melawan cahaya petunjuk. Ketika hati mengeras karena kesombongan, pintu rahmat ditutup, dan nasibnya menjadi kepastian yang telah divonis, sama seperti yang terjadi pada Abu Lahab.
Peran Ummu Jamil sebagai *hammālah al-ḥaṭab* (pembawa kayu bakar) sangat relevan di era informasi saat ini. Ia adalah simbol dari penyebar berita palsu (fitnah) yang bertujuan memecah belah dan menghancurkan reputasi orang beriman. Di zaman media sosial, fitnah menyebar jauh lebih cepat daripada di masa Mekah.
Pelajaran dari *tabbat* adalah bahwa mereka yang menggunakan lidah dan platform mereka untuk menyulut api kebencian, menyebar gosip, atau memproduksi disinformasi, sedang mengumpulkan 'kayu bakar' yang pada akhirnya akan membakar mereka sendiri. Nasib *ḥammālah al-ḥaṭab* adalah pengingat keras akan dosa lisan dan tanggung jawab moral atas setiap kata yang diucapkan atau disebarkan.
Surah ini mengajarkan prioritas utama: bahwa semua yang bersifat duniawi—harta, anak, jabatan, kedudukan—adalah sementara dan akan menjadi sia-sia (*mā aghnā anhu māluhū wa mā kasab*) jika tidak digunakan di jalan kebenaran. Yang tersisa adalah amal saleh. Kehancuran total (*tabbat*) terjadi ketika seseorang meletakkan seluruh keyakinannya pada aset duniawi dan menggunakannya untuk melawan tujuan Ilahi.
Dengan demikian, kata 'tabbat artinya' merupakan peringatan abadi, bukan hanya catatan sejarah. Ia adalah pengumuman tentang nasib akhir bagi setiap individu yang memilih untuk secara agresif menentang kebenaran dan nabi, memposisikan dirinya sebagai musuh bagi Islam, meskipun ia memiliki hubungan darah atau status sosial yang tinggi. Surah Al-Masad adalah mercusuar kepastian takdir, menyoroti kehancuran total bagi para penentang iman yang sombong.
Dalam ilmu balaghah (retorika bahasa Arab), pemilihan kata *tabbat* (yang berarti kering, gagal, hancur) dalam Surah Al-Masad menciptakan kontras yang tajam dengan kata-kata lain yang mengandung makna keberkahan dan kesuksesan. Kata ini menggambarkan kondisi yang paling merugikan di padang pasir: kekeringan total dan kegagalan panen. Sementara Nabi Muhammad ﷺ membawa hujan rahmat (Islam), Abu Lahab memilih menjadi tanah yang tandus, menolak segala bentuk kebaikan spiritual.
Beberapa ulama menunjuk pada perbedaan antara kerugian yang dapat diperbaiki (misalnya, kerugian dagang biasa) dan *tabbab* yang merupakan kerugian mutlak dan final. Jika kerugian lain masih menyisakan harapan, *tabbat* adalah penutupan bab, vonis tanpa ampun. Pemilihan diksi ini menunjukkan intensitas kemarahan Ilahi terhadap Abu Lahab yang bukan hanya menolak, tetapi secara aktif menyerang utusan Allah.
Meskipun mayoritas mufassir menafsirkan 'kedua tangan' (*yada*) sebagai metonimi untuk seluruh diri dan usaha Abu Lahab, ada juga penafsiran yang lebih literal yang menekankan perbuatannya. Mengapa tangan yang secara spesifik disebut? Tangan adalah organ yang digunakan untuk mencari nafkah (harta), untuk melemparkan kotoran kepada Nabi, dan untuk mengangkat batu dalam insiden di Bukit Safa. Dengan mengutuk tangan, Allah mengutuk organ yang digunakan sebagai instrumen utama permusuhan. Kutukan *tabbat* berarti bahwa segala yang dilakukan oleh tangannya—baik itu mencari harta atau melawan dakwah—adalah sia-sia belaka, berujung pada kehancuran.
Frasa *ḥablun mim masad* (tali dari sabut) memicu perdebatan kecil di kalangan ahli tafsir mengenai makna sabut itu sendiri. Beberapa riwayat (meskipun lemah) menyebutkan bahwa Ummu Jamil, karena kemewahannya, pernah berjanji akan menjual kalung mahalnya untuk mendanai peperangan melawan Nabi. Tafsir ini menguatkan makna bahwa tali sabut yang melilit lehernya adalah balasan langsung atas sumpah buruknya untuk menggunakan kemewahan dunianya melawan Islam.
Namun, tafsir yang lebih kuat adalah bahwa *masad* menekankan sifat kasar dan hina dari tali tersebut. Di dunia, ia mungkin mengenakan sutra; di akhirat, ia akan mengenakan tali yang paling kasar dan rendah. Ini adalah simbolisasi status terendah dan kehinaan abadi, jauh dari kemuliaan yang ia cari di dunia. Inilah penutup dari siklus kehancuran (*tabbat*) yang dialami oleh kedua pasangan tersebut.
Surah Al-Masad, yang berpusat pada kata tegas 'tabbat artinya', menyajikan lebih dari sekadar sejarah konflik; ia adalah sebuah pelajaran abadi mengenai keadilan Ilahi dan kegagalan total dari segala upaya yang didasarkan pada kekufuran, kesombongan, dan permusuhan terhadap kebenaran. Mulai dari kutukan terhadap kedua tangan Abu Lahab hingga ikatan tali sabut di leher istrinya, setiap ayat merupakan penegasan bahwa kehancuran total (*tabbat*) adalah takdir pasti bagi mereka yang memilih jalan penentangan yang keras.
Analisis mendalam ini menunjukkan bahwa 'tabbat' mewakili kerugian di tiga tingkat: kerugian upaya duniawi (harta dan usaha), kerugian status sosial (hinaan saat kematian dan di akhirat), dan kerugian abadi (api neraka). Surah ini berdiri sebagai monumen kenabian, membuktikan kebenaran Al-Qur'an melalui pemenuhan ramalan yang spesifik dan terperinci.
Bagi umat Muslim, pesan Surah Tabbat adalah seruan untuk introspeksi. Meskipun tidak ada lagi Abu Lahab secara fisik, roh dari permusuhan, kesombongan, dan penyebaran fitnah (*hammālah al-ḥaṭab*) tetap eksis. Kita diperingatkan bahwa jika upaya kita (tangan kita) tidak diarahkan untuk mencari keridaan Allah, maka pada akhirnya, kita pun bisa mengalami kehancuran spiritual dan kegagalan total (*tabbat*) dari segala yang kita usahakan. Kekuatan Surah ini terletak pada peringatannya yang jelas: harta, kedudukan, dan kekerabatan tidak dapat menyelamatkan jiwa yang memilih jalan kehancuran.
Dengan demikian, memahami 'tabbat artinya' adalah memahami bahwa Allah SWT tidak pernah diam dalam menghadapi kezaliman dan permusuhan terhadap kebenaran. Kehancuran bagi para penentang adalah sebuah keniscayaan, sebuah ketetapan yang telah tertulis, dimulai dari vonis tegas di awal Surah: Tabbat yada Abi Lahab.
***
Penting untuk menggarisbawahi bagaimana struktur bahasa Arab dalam ayat pertama, تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ, menghasilkan efek retoris yang luar biasa. Para ahli balaghah sering membahas fenomena ini sebagai salah satu contoh i'jaz (mukjizat) Al-Qur'an. Pengulangan kata kerja *tabba* berfungsi bukan hanya sebagai penekanan emosional, tetapi sebagai diferensiasi fungsi. Kalimat pertama, تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ, merupakan doa atau harapan buruk yang diutarakan kepada tindakannya, sedangkan kalimat kedua, وَتَبَّ, berfungsi sebagai pemberitaan atau kepastian bahwa harapan buruk itu telah menjadi takdir. Hal ini menghilangkan segala keraguan mengenai nasib Abu Lahab, menjadikannya satu-satunya individu yang secara eksplisit dicap sebagai calon penghuni neraka dalam Al-Qur'an yang diturunkan saat ia masih hidup.
Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza, yang berarti "Hamba Uzza," merujuk pada salah satu berhala utama Mekah. Allah SWT memilih untuk tidak menggunakan nama aslinya dalam Surah ini, melainkan nama panggilannya, Abu Lahab (Bapak Api), nama yang sebelumnya ia banggakan. Keputusan ini memiliki nilai sastra dan teologis yang mendalam. Secara teologis, Allah menolak memanggilnya 'Hamba Uzza' karena ia telah divonis hancur, dan sebutan 'hamba' (walaupun berhala) tidak layak baginya. Sebaliknya, Allah mengaitkannya dengan takdirnya sendiri: api.
Kontras ini semakin diperkuat pada ayat ketiga, سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ, dimana kata *lahab* (nyala api) beresonansi langsung dengan kunyahnya. Hal ini adalah bentuk ejekan ilahi yang paling tajam; kehormatan duniawinya diubah menjadi kehinaan abadi. Ini adalah pelajaran bahwa identitas seseorang di hadapan Allah tidak ditentukan oleh nama yang diberikan manusia atau kebanggaan fisik (seperti wajahnya yang bercahaya seperti api), tetapi oleh amal dan keimanannya.
Dalam perspektif filosofis, *tabbat* mewakili kegagalan eksistensial. Manusia diciptakan dengan tujuan beribadah. Ketika seseorang, seperti Abu Lahab, mengarahkan seluruh sumber daya dan energinya untuk melawan tujuan fundamental penciptaannya, ia mencapai titik *tabbat*—kehancuran total dari makna hidupnya. Hartanya, usahanya, bahkan hubungannya, semua menjadi nol besar karena tidak terhubung dengan poros keimanan.
Konsep *mā kasab* yang merujuk pada anak-anak juga memperkuat kegagalan eksistensial ini. Dalam masyarakat tribal, kelangsungan nama dan warisan adalah bentuk keabadian duniawi. Dengan dinyatakan bahwa *mā kasab* tidak berguna, Al-Qur'an menihilkan keabadian palsu yang dicari Abu Lahab melalui keturunannya. Jika anak-anaknya masuk Islam, mereka secara otomatis menolak warisan kekufuran ayahnya, sehingga secara efektif menghancurkan cita-cita dan kehormatan yang Abu Lahab perjuangkan.
Setiap orang memiliki potensi untuk menjadi 'Abu Lahab' dalam pengertian spiritual, jika kita menggunakan tangan kita untuk kezaliman dan lidah kita untuk fitnah. Oleh karena itu, *tabbat artinya* adalah refleksi diri: apakah usaha saya akan berujung pada kehancuran spiritual, ataukah akan membawa manfaat abadi?
Untuk memastikan bahwa artikel ini mencapai kedalaman yang diminta, kita harus terus menggali lapisan makna yang tersembunyi. Surah Al-Masad, meskipun pendek, memiliki kepadatan linguistik yang luar biasa. Setiap kata berkontribusi pada tema sentral kehancuran yang tak terhindarkan. Frasa وَتَبَّ pada akhir ayat pertama berfungsi sebagai gong penutup yang memastikan bahwa vonis *tabbat* telah dilaksanakan. Frasa ini membedakan Abu Lahab dari musuh-musuh lain yang namanya tidak disebutkan secara eksplisit dalam vonis neraka yang final.
Jika kita menelaah lagi peran Ummu Jamil sebagai *hammālah al-ḥaṭab*, kita menyadari bahwa kontribusi kejahatan tidak harus selalu berupa kekerasan fisik. Tindakan Ummu Jamil adalah kejahatan berbasis psikologis dan sosial. Ia adalah teroris sosial yang menggunakan fitnah untuk mengisolasi dan merusak komunitas Muslim awal. Kehancuran yang menimpanya (*tabbat* yang merembet padanya) adalah peringatan bahwa kejahatan lisan memiliki bobot yang sama berbahayanya dengan kejahatan fisik di mata Allah SWT.
Konsekuensi dari *tabbat* ini sangat pribadi. Ia tidak dihancurkan bersama seluruh suku Quraisy; ia dihancurkan secara individu, sebagai pasangan, menekankan pertanggungjawaban pribadi di Hari Penghisaban. Tidak ada perlindungan dari kaum, harta, atau status. Hanya iman dan amal yang dapat membalikkan vonis kehancuran ini.
Pesan penutup yang dapat ditarik dari kajian mendalam tentang *tabbat artinya* adalah sebuah pengingat bahwa hidup adalah medan perang spiritual. Kita harus berhati-hati agar tangan kita tidak menjadi instrumen permusuhan dan lidah kita tidak menjadi penyebar kayu bakar fitnah, agar kita terhindar dari takdir kehancuran yang absolut dan pasti (tabbat) yang menimpa musuh-musuh Allah yang paling keras kepala.
***
Pemilihan kata *masad* pada ayat terakhir juga patut mendapatkan perhatian lebih. Dalam kamus bahasa Arab, *masad* tidak hanya merujuk pada serat kasar, tetapi terkadang diartikan sebagai tali yang dibuat dari pohon yang tidak berbuah, tandus, atau mati. Ini secara simbolis merangkum seluruh tema surah. Abu Lahab dan istrinya adalah pohon yang tandus, tidak menghasilkan buah keimanan, sehingga hasil akhir mereka adalah *masad*, sebuah tali kasar dari kekafiran yang akan menjadi belenggu mereka di neraka. Mereka menanam kekafiran, dan mereka menuai kehancuran (*tabbat*).
Dalam konteks teologi Islam, Surah Al-Masad berfungsi sebagai *hujjah* (bukti). Ia tidak hanya menceritakan nasib, tetapi menantang para penentang. Tantangan ini, yang terangkum dalam kata تَبَّتْ, telah berdiri tegak selama berabad-abad. Ribuan orang yang membaca surah ini, bahkan di masa hidup Abu Lahab, tahu bahwa jika ia masuk Islam, surah ini akan salah. Kegagalannya untuk melakukan hal tersebut, bahkan secara pura-pura, mengukuhkan kekuasaan mutlak wahyu ilahi. Ini adalah salah satu demonstrasi paling efektif dari otoritas Al-Qur'an sebagai Kalamullah.
Membayangkan skenario jika Abu Lahab hidup di masa modern, esensi dari *tabbat* masih berlaku. Kekuatan *tabbat* bukanlah pada kutukan itu sendiri, tetapi pada kepastian bahwa kekuasaan, media, kekayaan, atau koneksi tidak akan pernah bisa mengalahkan kebenaran. Orang yang modern yang menggunakan teknologi untuk menyebarkan propaganda kebencian dan fitnah (sebagai *hammālah al-ḥaṭab* kontemporer) akan menghadapi kehancuran yang sama, di mana hasil dari seluruh usahanya di dunia maya (harta dan apa yang ia usahakan) tidak akan berguna ketika ia menghadapi kebenaran absolut.
Analisis yang mendalam ini, mencakup linguistik, sejarah, dan implikasi spiritual, memperlihatkan bahwa Surah Al-Masad, meskipun hanya terdiri dari lima ayat pendek, adalah salah satu sumur kebijaksanaan yang tak terbatas dalam Al-Qur'an. Ia mengajarkan kita tentang harga dari penolakan, keindahan dari keadilan ilahi yang setimpal, dan kepastian *tabbat*—kehancuran total—bagi mereka yang memilih jalur permusuhan terhadap cahaya kebenaran. Keagungan kata *tabbat* terletak pada finalitasnya, sebuah vonis yang melintasi ruang dan waktu.
Lanjutan pembahasan mengenai implikasi *tabbat* pada aspek psikologis dan moral umat. Kerugian total yang dijelaskan oleh *tabbat* adalah kerugian jiwa, hilangnya potensi spiritual. Ketika seseorang menghabiskan hidupnya untuk hal-hal yang fana dan melawan kebenaran, ia tidak hanya merugi di akhirat, tetapi juga kehilangan kedamaian batin di dunia. Kehidupan Abu Lahab, terlepas dari kekayaannya, dipenuhi dengan kecemasan, kebencian, dan permusuhan terhadap keponakannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa kehancuran (*tabbat*) dimulai di dalam jiwa, jauh sebelum ia termanifestasi dalam hukuman neraka.
Frasa *mā aghnā anhu māluhū wa mā kasab* adalah pelajaran moral yang fundamental. Dalam masyarakat yang terobsesi dengan akumulasi kekayaan dan pencapaian (kasab), ayat ini berfungsi sebagai filter moral. Segala pencapaian yang tidak disucikan oleh niat tulus dan keimanan tidak memiliki nilai abadi. Para sarjana klasik sering menyimpulkan bahwa *tabbat* mengajarkan kita untuk mengukur keberhasilan bukan dari berapa banyak yang kita miliki, tetapi dari seberapa besar kontribusi kita pada kebenaran. Jika harta kita digunakan untuk menindas kebenaran, harta itu sendiri akan menjadi penyebab kehancuran kita.
Kepastian *tabbat* juga memberikan penghiburan yang besar bagi kaum mukminin yang ditindas. Surah ini diturunkan pada saat Muslim Mekah berada dalam keadaan paling lemah dan rentan terhadap fitnah dan boikot yang dipimpin oleh Abu Lahab. Wahyu ini adalah jaminan dari Allah bahwa meskipun mereka tampak lemah di mata dunia, musuh-musuh mereka telah divonis hancur oleh kekuatan yang jauh lebih besar. Ini adalah pengingat bahwa kemenangan akhir selalu milik kebenaran, terlepas dari keunggulan materi atau politik yang dimiliki oleh penentang. Pesan inilah yang menguatkan kaum Muslimin awal untuk bertahan dalam menghadapi *tabbat* (kehancuran) duniawi yang menimpa mereka, karena mereka tahu bahwa kehancuran yang sebenarnya telah menimpa musuh mereka.
***
Dalam konteks sejarah sastra Arab, Surah Al-Masad adalah pengecualian. Biasanya, Al-Qur'an tidak menyebut nama individu yang hidup untuk dicela sedemikian rupa. Keunikan ini menyoroti tingkat bahaya dan permusuhan yang ditimbulkan oleh Abu Lahab. Ia bukan sekadar kafir biasa; ia adalah kerabat terdekat Nabi yang seharusnya menjadi pelindungnya (berdasarkan tradisi suku), namun ia malah menjadi musuh paling vokal dan keji. Kehinaan *tabbat* yang menimpanya adalah proporsional dengan tingkat pengkhianatan dan permusuhan yang ia tunjukkan terhadap risalah kenabian.
Kita dapat melihat *tabbat artinya* sebagai penarikan perlindungan Ilahi secara total. Abu Lahab, melalui tindakannya, secara efektif mencabut dirinya sendiri dari ikatan rahmat dan perlindungan. Ketika ia meninggal akibat penyakit menular yang mengerikan (disebut *ad-adash* atau sejenis wabah), jenazahnya ditinggalkan selama tiga hari karena ketakutan orang-orang akan penularan, sampai akhirnya dikuburkan secara tergesa-gesa oleh para budak dengan dilemparkan batu dari jauh. Kematian yang hina dan terisolasi ini adalah manifestasi duniawi yang sempurna dari vonis *tabbat*.
Seluruh Surah Al-Masad, yang dibuka dengan *tabbat*, adalah narasi lengkap tentang mengapa upaya jahat pasti gagal. Ia adalah studi kasus tentang kesombongan yang berakhir tragis. Kita diajarkan bahwa segala ambisi, jika tidak diselaraskan dengan tauhid, akan terdegradasi menjadi tidak berarti. Demikianlah kedalaman makna yang terkandung dalam satu kata yang kuat: *tabbat*, kehancuran yang final dan pasti. Kekuatan naratif ini memastikan bahwa pesan Surah Al-Masad akan terus bergema sebagai peringatan terkuat tentang konsekuensi dari penolakan kebenaran. Hal ini menyelesaikan pembahasan kita yang mendalam mengenai makna, konteks, dan warisan abadi dari kata *tabbat*.