Tafsir Surat Al-Falaq Menurut Ibnu Katsir

Ilustrasi: Konsep Al-Falaq dan Perlindungan

Surat Al-Falaq adalah surat pendek namun sarat makna dalam Al-Qur'an. Memahami tafsirnya, terutama dari ulama terkemuka seperti Ibnu Katsir, memberikan kedalaman pengertian tentang keagungan dan tujuan surat ini.

Keutamaan dan Latar Belakang Surat Al-Falaq

Surat Al-Falaq, bersama dengan Surat An-Nās, merupakan dua surat yang disebut sebagai "Mu'awwidzatain" (dua surat perlindungan). Keduanya diturunkan di Mekkah (menurut pendapat mayoritas) sebagai bentuk perlindungan langsung dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dari berbagai keburukan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip berbagai hadits yang menjelaskan keutamaan kedua surat ini, termasuk bagaimana Rasulullah SAW sering membacanya untuk melindungi diri dari penyakit dan kejahatan.

Imam Muslim meriwayatkan dari Uqbah bin 'Amir radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tidakkah engkau perhatikan ayat-ayat yang diturunkan malam ini yang belum pernah terlihat seperti ini sebelumnya? Yaitu, qul a'udzu birabbil falaq dan qul a'udzu birabbin nas.'" Hadits ini menegaskan betapa istimewanya kedua surat ini sebagai anugerah ilahi untuk umat manusia.

Tafsir Ayat demi Ayat Menurut Ibnu Katsir

Ayat 1: قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang memelihara dan berkuasa)

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kata "Qul" (Katakanlah) merupakan perintah dari Allah kepada Nabi-Nya untuk menyampaikan perkataan ini kepada manusia. Perintah ini juga berlaku bagi setiap mukmin. Lafadz "A'udzu" berarti aku berlindung, memohon perlindungan, dan menjauhi sesuatu yang ditakuti.

Adapun makna "Rabbil Falaq" adalah Tuhan yang menciptakan fajar (pagi). Kata "Al-Falaq" diartikan sebagai sesuatu yang terbelah atau terpecah. Fajar adalah momen ketika kegelapan malam mulai terbelah dan berganti menjadi cahaya. Ini adalah bukti kekuasaan Allah SWT yang senantiasa menciptakan pergantian siang dan malam. Ibnu Katsir menekankan bahwa berlindung kepada Tuhan alam semesta adalah bentuk pengakuan kelemahan diri dan kekuatan mutlak Allah sebagai Pencipta dan Penguasa segala sesuatu.

Ayat 2: مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (dari kejahatan makhluk-makhluk-Nya)

Ayat ini merupakan permohonan perlindungan secara umum dari segala macam kejahatan yang diciptakan oleh Allah. Kejahatan ini mencakup segala sesuatu yang buruk dan membahayakan, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik.

Ibnu Katsir merinci, kejahatan yang dimaksud meliputi:

Dengan memohon perlindungan dari "segala kejahatan makhluk-Nya", seorang mukmin mengakui bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasaan Allah, termasuk kejahatan itu sendiri. Maka, perlindungan tertinggi adalah dari Sang Pencipta.

Ayat 3: وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita)

Ayat ini secara spesifik memohon perlindungan dari kejahatan yang terjadi pada malam hari. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa "Ghaasiq" adalah malam. Malam hari seringkali menjadi waktu di mana kejahatan lebih mudah terjadi karena minimnya cahaya dan pandangan. Pada kegelapan malam, para penjahat, binatang buas, dan kekuatan-kekuatan buruk lainnya lebih leluasa bergerak.

Perlindungan ini mencakup segala potensi bahaya yang mungkin muncul di malam hari, baik yang disengaja maupun tidak. Ini mengajarkan kita untuk selalu waspada dan memohon perlindungan Allah dalam setiap keadaan, terutama saat kegelapan melingkupi.

Ayat 4: وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (dan dari kejahatan wanita-wanita penghembus sihir yang meniup pada buhul-buhul)

Ayat ini secara khusus menyebutkan kejahatan sihir, yang seringkali dilakukan oleh wanita-wanita (meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh pria) yang meniupkan mantra-mantra ke dalam ikatan atau simpul (buhul). Ibnu Katsir mengutip pendapat bahwa ini merujuk pada tukang sihir yang menggunakan media buhul dan meniupkan nafasnya yang mengandung mantra-mantra ke dalamnya untuk mempengaruhi orang lain.

Sihir merupakan salah satu bentuk kejahatan yang sangat merusak dan telah ada sejak lama. Surat Al-Falaq memberikan peringatan dan perlindungan spesifik dari kejahatan ini, menegaskan bahwa hanya Allah yang mampu melindungi dari pengaruh buruk sihir.

Ayat 5: وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki)

Ayat terakhir dari Surat Al-Falaq ini memohon perlindungan dari sifat dengki (hasad). Hasad adalah rasa tidak senang melihat orang lain mendapatkan nikmat atau kebaikan, dan berharap nikmat tersebut hilang dari orang lain. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kedengkian adalah sifat tercela yang dapat mendorong seseorang untuk berbuat jahat, merencanakan keburukan, atau bahkan melancarkan sihir terhadap orang yang didengkinya.

Kedengkian bisa sangat berbahaya karena ia adalah sumber dari banyak kejahatan lainnya. Memohon perlindungan dari kedengkian berarti memohon agar hati kita terhindar dari sifat tersebut dan agar kita terlindungi dari orang-orang yang berpenyakit hati karena dengki.

Pelajaran Penting dari Tafsir Ibnu Katsir

Tafsir Surat Al-Falaq oleh Ibnu Katsir mengajarkan kita beberapa poin krusial:

Memahami tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat Al-Falaq bukan sekadar membaca makna, melainkan sebuah panduan untuk memperkuat keyakinan, meningkatkan kewaspadaan, dan mengokohkan hubungan kita dengan Allah SWT sebagai sumber segala perlindungan dan kebaikan.

🏠 Homepage