Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Falaq: Memohon Perlindungan dari Kejahatan

Surat Al-Falaq, surat ke-113 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu dari dua surat mu'awwidzatain (dua surat yang memohon perlindungan) yang diturunkan di Mekah. Surat ini, bersama dengan Surat An-Nas, memiliki keutamaan yang sangat besar sebagai pelindung dari berbagai keburukan dan kejahatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.

Imam Ibnu Katsir, dalam kitab tafsirnya yang monumental, Al-Qur'an Al-'Azhim, memberikan penjelasan mendalam mengenai makna setiap ayat dalam Surat Al-Falaq. Memahami tafsir ini sangat penting bagi seorang Muslim untuk dapat mengaplikasikan ajaran Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam memohon perlindungan kepada Allah SWT.

Makna dan Penafsiran Ayat-Ayat Surat Al-Falaq

Ayat 1: قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (Qul a'udzu birabbil falaq) - Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang Maha Pemelihara subuh,"

Ayat pertama ini memerintahkan Rasulullah SAW, dan melalui beliau, seluruh umat Muslim, untuk memohon perlindungan kepada Tuhan. Kata "Falaq" memiliki beberapa makna dalam tafsir. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa "Falaq" bisa berarti waktu subuh, yaitu terbelahnya kegelapan malam menjadi terang. Ini menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan yang menguasai waktu dan segala fenomena alam. "Falaq" juga bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang diciptakan Allah dan terbelah atau terpecah, seperti biji-bijian yang tumbuh dari tanah atau langit yang terbelah untuk menurunkan hujan.

Dalam konteks memohon perlindungan, kita berlindung kepada Tuhan yang menguasai permulaan segala sesuatu, yang mampu mengusir kegelapan dan mendatangkan cahaya. Ini adalah perlindungan dari segala bentuk kegelapan, kesesatan, dan keburukan.

Ayat 2: مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (Min syarri ma khalaq) - dari kejahatan makhluk-Nya,

Ayat kedua ini menjelaskan jenis perlindungan yang kita mohon. Kita berlindung dari kejahatan segala sesuatu yang diciptakan Allah. Ini mencakup kejahatan dari jin, manusia, binatang buas, maupun segala bentuk makhluk lain yang dapat menimbulkan mudharat. Ibnu Katsir menekankan bahwa kejahatan ini bisa berupa godaan syaitan, tipu daya musuh, penyakit, bencana, atau apa pun yang bersifat buruk dan merugikan.

Penting untuk dipahami bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk yang tampak baik dan buruk, namun tujuan penciptaan keburukan adalah sebagai ujian dan cobaan. Dengan berlindung kepada Allah, kita memohon agar dijauhkan dari keburukan tersebut atau diberi kekuatan untuk menghadapinya dengan sabar dan iman.

Ayat 3: وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (Wa min syarri ghasiqin idza waqab) - dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,

Ibnu Katsir menafsirkan "Ghasiq" sebagai malam. Kejahatan di malam hari seringkali lebih besar dan menakutkan karena kegelapan menyembunyikan bahaya dan memberikan ruang gerak bagi kejahatan. Pada malam hari, manusia cenderung lebih lemah dan rentan. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk berlindung dari kejahatan yang terjadi saat malam tiba dan kegelapannya menyeluruh.

Ini juga bisa diartikan sebagai perlindungan dari segala sesuatu yang menyelimuti dan menutupi, seperti kesyirikan yang menyelimuti hati atau kebohongan yang menyelimuti kebenaran.

Ayat 4: وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (Wa min syarrin naffathati fil 'uqad) - dan dari kejahatan wanita-wanita penyihir yang meniup pada buhul-buhul,

Ayat ini secara khusus menyebutkan kejahatan dari wanita-wanita penyihir yang meniup pada buhul-buhul (ikatan tali). Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ini merujuk pada praktik sihir, terutama yang dilakukan oleh para penyihir yang menggunakan mantra-mantra dan tiupan ke dalam ikatan tali untuk menyakiti atau mempengaruhi seseorang. Sihir adalah sesuatu yang nyata dan berbahaya, yang dilakukan dengan bantuan jin.

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menegaskan bahwa perlindungan dari sihir adalah penting. Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak hanya mengandalkan akal atau kekuatan fisik, tetapi juga untuk secara aktif memohon perlindungan Ilahi dari kejahatan-kejahatan gaib seperti sihir.

Ayat 5: وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (Wa min syarri hasidin idza hasad) - dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.

Ayat terakhir ini mengingatkan kita akan bahaya kedengkian (hasad). Kedengkian adalah penyakit hati yang berbahaya, di mana seseorang merasa tidak senang melihat nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, bahkan berharap nikmat itu hilang. Orang yang dengki bisa saja melancarkan kejahatan, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena dorongan rasa dengkinya.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kejahatan orang yang dengki bisa berupa celaan, fitnah, gosip, atau bahkan tindakan yang lebih ekstrem untuk merusak kebahagiaan atau kesuksesan orang lain. Perlindungan dari sifat dengki ini mencakup berlindung dari orang yang memiliki sifat tersebut dan juga dari sifat dengki dalam diri sendiri agar tidak menjadi orang yang menyebarkan kejahatan.

Keutamaan Surat Al-Falaq

Dalam hadis-hadis sahih, dijelaskan bahwa Surat Al-Falaq dan An-Nas merupakan bacaan yang sangat dianjurkan untuk dibaca setiap hari, terutama setelah shalat fardhu, sebelum tidur, dan ketika merasa terancam oleh sesuatu. Rasulullah SAW sendiri sering membaca kedua surat ini sebagai perlindungan.

"Rasulullah SAW bersabda: 'Wahai Uqbah bin 'Amir, maukah engkau aku ajari dua surat yang belum pernah diturunkan kepadaku sepertinya?' 'Tentu,' jawab Uqbah. Maka Rasulullah SAW membacakan: 'Qul a'udzu birabbil falaq' (Surat Al-Falaq) dan 'Qul a'udzu birabbin nas' (Surat An-Nas)." (HR. Muslim)

Tafsir Ibnu Katsir memberikan pemahaman yang kokoh tentang pentingnya surat ini sebagai benteng spiritual bagi setiap Muslim. Dengan memahami maknanya secara mendalam, kita dapat lebih khusyuk dalam membacanya dan merasakan keberkahan serta perlindungan dari Allah SWT dari segala macam keburukan.

🏠 Homepage