Surah Al Fil, surah ke-105 dalam susunan mushaf, merupakan salah satu surah Makkiyah yang pendek namun padat makna, terdiri dari hanya lima ayat. Meskipun singkat, surah ini mengabadikan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Jazirah Arab, yang dikenal sebagai Tahun Gajah. Peristiwa ini tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah, tetapi juga sebagai bukti konkret akan perlindungan Ilahi terhadap Rumah Suci (Ka’bah) dan penegasan kekuasaan Allah yang mutlak di atas segala rencana manusia, betapapun besar kekuatan fisik dan teknologi yang mereka miliki saat itu.
Surah ini diturunkan di Makkah pada periode awal kenabian, berfungsi sebagai pengingat bagi kaum Quraisy dan Nabi Muhammad ﷺ tentang kebesaran Allah dan mukjizat yang terjadi di depan mata mereka sendiri, beberapa waktu sebelum kelahiran Nabi. Surah Al Fil adalah deklarasi ketuhanan yang disampaikan melalui kisah nyata; sebuah narasi tentang kehancuran total pasukan raksasa di hadapan pertolongan yang datang dari alam ghaib. Tafsir surah ini memerlukan penelusuran mendalam terhadap konteks sejarah, analisis linguistik kata perkata, dan penggalian hikmah teologis yang terkandung dalam setiap rangkaian kalimatnya.
Nama 'Al Fil' (Gajah) diambil dari penyebutan binatang tersebut dalam ayat pertama, yang merupakan inti dari peristiwa yang diceritakan. Ulama tafsir sepakat bahwa surah ini termasuk surah Makkiyah, diturunkan setelah surah Al Kafirun, meskipun sebagian riwayat menempatkannya lebih awal. Hal yang paling penting dari konteks kronologisnya adalah waktu kejadian yang diceritakan: Tahun Gajah, yaitu tahun di mana Nabi Muhammad ﷺ lahir. Peristiwa ini terjadi kurang lebih lima puluh hingga lima puluh lima hari sebelum kelahiran beliau.
Kisah ini begitu melekat dalam ingatan kolektif masyarakat Arab sehingga mereka menggunakan "Tahun Gajah" sebagai penanda kalender mereka, mengingat belum adanya kalender Islam yang resmi. Surah ini ditujukan kepada kaum Quraisy yang hidup pada masa Nabi, yang sebagian besar masih ingat atau mendengar langsung kesaksian tentang betapa dahsyatnya peristiwa tersebut. Allah menggunakan ingatan kolektif ini sebagai fondasi untuk menyampaikan kebenaran risalah.
Pihak yang menjadi subjek utama dalam surah ini adalah Abraha al-Ashram, gubernur Yaman (saat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aksum/Abyssinia). Abraha adalah seorang Kristen yang ambisius. Ia membangun sebuah katedral megah di Sana'a, Yaman, yang dikenal sebagai 'Al-Qullais'. Tujuannya adalah mengalihkan perhatian dan arus peziarahan bangsa Arab dari Ka'bah di Makkah menuju katedralnya, demi keuntungan ekonomi dan dominasi agama serta politik.
Ketika mendengar bahwa Ka'bah masih menjadi fokus utama pemujaan dan mengetahui ada upaya vandalisme terhadap katedralnya sebagai bentuk protes oleh seorang Arab, Abraha murka. Ia bersumpah akan menghancurkan Ka'bah hingga rata dengan tanah. Inilah yang mendorongnya memimpin ekspedisi militer besar-besaran, yang istimewanya, membawa serta beberapa gajah perang, yang merupakan simbol kekuatan militer tak tertandingi di Jazirah Arab saat itu. Gajah tersebut, yang paling terkenal bernama Mahmud, adalah makhluk yang belum pernah disaksikan oleh penduduk Makkah dalam konteks peperangan, sehingga menimbulkan kengerian luar biasa.
Ilustrasi simbolis Gajah (Al Fil) yang mewakili kekuatan militer Abraha.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
"Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?"
(أَلَمْ تَرَ – Alam tara): Frasa ini adalah pertanyaan retoris yang kuat. Kata kerja ‘tara’ (melihat) di sini tidak selalu merujuk pada penglihatan mata secara fisik, tetapi lebih kepada pengamatan, pengetahuan yang pasti, atau pemahaman mendalam. Kepada Rasulullah ﷺ dan kaum Quraisy, Allah bertanya: ‘Tidakkah engkau tahu secara pasti, seolah-olah engkau menyaksikannya, bagaimana Tuhanmu melakukan tindakan luar biasa?’ Ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut begitu terkenal dan dampaknya begitu besar sehingga tidak ada seorang pun di Makkah yang bisa menyangkalnya.
(كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ – Kaifa fa'ala Rabbuka): Pertanyaan tentang ‘bagaimana’ (kaifa) menunjukkan bahwa fokus utama surah ini bukanlah pada apakah peristiwa itu terjadi (karena itu sudah pasti), melainkan pada metode dan kehebatan tindakan Allah. Penekanan pada ‘Rabbuka’ (Tuhanmu) menghubungkan keajaiban ini secara langsung dengan perlindungan Ilahi terhadap Rasul dan kota suci beliau, Makkah.
(بِأَصْحَابِ الْفِيلِ – Bi ashabil-fil): ‘Pasukan bergajah’. Frasa ini menamakan seluruh pasukan, bukan hanya pemimpinnya. Ini menegaskan bahwa kehancuran ditujukan kepada keseluruhan entitas yang sombong dan berani menantang kehormatan Ka'bah. Dalam tafsir Ibn Katsir dan At-Tabari, diceritakan detail bagaimana gajah-gajah tersebut menolak untuk bergerak menuju Ka'bah, berlutut, dan baru mau bergerak ketika diarahkan ke arah lain, yang merupakan mukjizat pertama dalam kisah ini.
Makna teologis dari ayat ini adalah penegasan terhadap sifat Rububiyyah (ketuhanan sebagai pengatur dan pemelihara) Allah. Allah adalah pelindung Makkah dan Ka'bah. Perlindungan ini dilakukan tanpa bantuan manusia, menunjukkan bahwa kesucian Ka'bah adalah urusan Allah, bukan semata-mata urusan penjaganya (Quraisy).
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
"Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) sia-sia?"
(أَلَمْ يَجْعَلْ – Alam yaj'al): Sekali lagi, pertanyaan retoris yang menegaskan. Ini berfungsi sebagai kesimpulan logis dari ayat pertama. Jika Allah telah bertindak, maka hasil tindakannya adalah menjadikan rencana Abraha gagal total.
(كَيْدَهُمْ – Kaidahum): Tipu daya, rencana jahat, atau makar. Kata ini mencerminkan bahwa meskipun Abraha datang dengan kekuatan militer terbuka, tujuannya—menghancurkan pusat spiritual Arab—adalah sebuah makar jahat dan penghinaan terhadap kesucian. Dalam pandangan Islam, pengerahan kekuatan besar untuk tujuan destruktif yang zalim dikategorikan sebagai makar.
(فِي تَضْلِيلٍ – Fii Tadhliil): Sia-sia, tersesat, atau hancur. Ini berarti Allah menjadikan seluruh persiapan militer, perencanaan logistik, dan pengerahan sumber daya yang Abraha habiskan menjadi kerugian yang menyesatkan. Rencana mereka tidak hanya gagal mencapai tujuan, tetapi juga membawa kehancuran total bagi mereka sendiri. Tafsir Ar-Razi menjelaskan bahwa *Tadhleel* di sini berarti 'dijauhkan dari target'. Pasukan itu tersesat dari tujuan yang mereka harapkan (penghancuran Ka'bah) menuju tujuan yang tidak mereka harapkan (kehancuran diri mereka sendiri).
Ayat ini mengajarkan bahwa seberapa pun hebatnya rencana manusia yang bertujuan zalim, rencana Allah (tadbir Ilahi) selalu lebih unggul. Kekuatan material tidak dapat menandingi kehendak Tuhan.
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ
"Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung-burung yang berbondong-bondong (Ababil)."
(وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ – Wa Arsala alaihim): Dan Dia mengirimkan kepada mereka. Penggunaan kata ‘Arsala’ (mengirim) menekankan bahwa ini adalah tindakan aktif dan disengaja dari Allah. Hukuman itu bukanlah kebetulan alam, tetapi merupakan utusan khusus dari Tuhan.
(طَيْرًا – Thairan): Burung-burung. Hewan yang secara fisik lemah dan kecil, kontras total dengan gajah raksasa. Kontras ini adalah puncak dari mukjizat: kekuatan yang paling dahsyat dihancurkan oleh makhluk yang paling sederhana. Ini adalah metafora yang kuat tentang bahwa ukuran dan kekuatan fisik tidak menentukan hasil ketika kehendak Ilahi telah ditetapkan.
(أَبَابِيلَ – Ababil): Ini adalah kata kunci yang sangat penting dan telah menjadi subjek banyak pembahasan linguistik. Secara harfiah, ‘Ababil’ tidak merujuk pada jenis burung tertentu (seperti merpati atau elang), melainkan merujuk pada cara kemunculan mereka. Ini berarti ‘berbondong-bondong’, ‘berkelompok-kelompok’, atau ‘datang dari berbagai arah secara terus-menerus’. Imam Mujahid menafsirkan *Ababil* sebagai gerombolan yang datang secara berkelompok, sebagian mengikuti sebagian yang lain. Ini menunjukkan serangan yang terkoordinasi, masif, dan tak terhindarkan, seolah-olah setiap kelompok burung bertindak sebagai skuadron udara ilahi.
Ilustrasi simbolis Burung Ababil (gerombolan) dalam tafsir Surah Al Fil.
تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ
"Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar (Sijjil)."
(تَرْمِيهِم – Tarmiihim): Melempari mereka. Ini menunjukkan aksi menargetkan dan menyerang secara intensif. Burung-burung itu berfungsi sebagai mesin pelontar, membawa hukuman yang telah ditentukan Allah.
(بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ – Bi Hijaratin min Sijjil): Batu dari Sijjil. Inilah senjata penghancur yang unik. Kata *Sijjil* ditafsirkan oleh para ulama sebagai batu dari tanah liat yang telah dibakar atau dikeraskan (seperti tembikar atau batu bata yang keras). Tafsir klasik, seperti yang diungkapkan oleh Imam Al-Qurtubi, sering mengaitkan *Sijjil* dengan *Sijjin* (tempat catatan amal buruk) atau api neraka, menekankan bahwa batu-batu ini memiliki kualitas panas dan kehancuran yang supranatural, tidak seperti batu biasa.
Menurut beberapa riwayat, setiap burung membawa tiga batu: satu di paruhnya dan dua di cakarnya. Setiap batu itu tidak lebih besar dari kacang atau biji-bijian, namun kekuatannya luar biasa. Ibn Ishaq meriwayatkan bahwa batu-batu itu memiliki nama setiap orang yang menjadi targetnya, memastikan tidak ada yang terlewat. Batu-batu tersebut menembus tubuh tentara dan gajah, keluar dari sisi tubuh yang lain, menyebabkan penyakit mengerikan, demam, dan luka seperti cacar yang fatal—kemungkinan besar merupakan wabah yang dipicu oleh senjata Ilahi tersebut.
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ
"Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat atau ternak)."
(فَجَعَلَهُمْ – Faja'alahum): Lalu Dia menjadikan mereka. Ini adalah hasil akhir dari tindakan Ilahi. Perubahan status dari pasukan yang gagah menjadi sisa-sisa yang tak bernilai.
(كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ – Ka'asfin Ma'kuul): Seperti daun-daun/jerami yang dimakan (ternak/ulat). Ini adalah perumpamaan (simili) yang paling menghina dan merendahkan dalam surah ini. *Ashf* adalah daun atau jerami kering yang telah rontok. *Ma’kul* berarti dimakan, dikunyah, atau dirusak. Perumpamaan ini menggambarkan kehancuran total: fisik mereka hancur, tercerai-berai, dan tidak memiliki bentuk maupun fungsi. Mereka yang datang dengan kemegahan gajah raksasa berakhir seperti ampas sisa makanan yang tidak lagi berharga. Ini menegaskan kehinaan yang diderita oleh mereka yang sombong.
Para mufassir menekankan bahwa sisa-sisa pasukan Abraha yang berhasil melarikan diri pun tidak selamat; mereka meninggal dalam perjalanan kembali ke Yaman, tubuh mereka membusuk dan hancur, menjadi peringatan bagi siapa pun yang berani menantang kekuasaan Allah dan kesucian Baitullah.
Surah Al Fil dibuka dan diperkuat dengan penggunaan *Istifham Inkari* (pertanyaan retoris yang dimaksudkan untuk menolak atau menegaskan). Ayat 1 dan 2, "Alam tara..." dan "Alam yaj'al...", menciptakan suasana pengakuan yang tak terhindarkan. Pertanyaan ini memaksa pendengar untuk mengakui kebenaran peristiwa yang begitu nyata dalam sejarah mereka, sekaligus mengakui bahwa hanya Allah lah pelakunya. Ini adalah teknik balaghah (retorika) Al-Qur'an untuk memindahkan fokus dari sekadar narasi sejarah ke pengakuan teologis tentang Tauhid Rububiyyah.
1. Fil (الفيل): Meskipun kata ini merujuk pada gajah, dalam konteks ini, ia melambangkan keangkuhan kekuatan militer dan material yang dianggap tak terkalahkan oleh manusia di zaman itu. Penyebutan langsung nama hewan tersebut di awal surah segera memunculkan ingatan kolektif tentang kebesaran tantangan dan kebesaran mukjizat yang menghadapinya.
2. Kaid (كيد): Rencana atau tipu daya. Para linguis membedakan *Kaid* dari *Makr*. *Kaid* sering kali menyiratkan perencanaan yang penuh perhitungan untuk menjatuhkan lawan, yang memang dilakukan oleh Abraha dalam upaya mengalihkan peziarahan. Allah menghancurkan bukan hanya pasukan, tetapi esensi dari rencana jahat itu sendiri.
3. Tadhleel (تضليل): Akar kata Dhalala (tersesat). Ini tidak hanya berarti kegagalan, tetapi tersesatnya upaya dari tujuan yang diharapkan. Ibarat sebuah proyektil yang diluncurkan dengan tujuan A, tetapi justru menghancurkan peluncurnya sendiri. Ini adalah gambaran kegagalan yang memalukan dan memutarbalikkan.
4. Ababil (أَبَابِيلَ): Seperti yang dibahas, ini bukan nama spesies. Bentuknya menyiratkan *jam'u la jam'a lahu* (plural yang tidak memiliki bentuk tunggal yang jelas). Ini memberikan kesan jumlah yang tak terhitung, datang secara terus-menerus, dan menutupi langit, meningkatkan dimensi supranatural dari hukuman tersebut.
5. Asfin Ma’kul (عَصْفٍ مَّأْكُولٍ): Simili yang luar biasa efektif. Jerami yang dimakan menunjukkan sesuatu yang telah melalui proses penghancuran ganda: pertama, dimakan, dan kedua, dikeluarkan sebagai kotoran. Simili ini dipilih untuk menunjukkan kehinaan dan kekejian sisa-sisa pasukan tersebut, yang benar-benar tidak dapat dikenali lagi sebagai manusia atau tentara, melainkan hanya puing-puing organik yang menjijikkan.
Struktur surah ini adalah karya balaghah yang sempurna karena kontrasnya yang ekstrem dan progresif:
Surah ini bergerak secara linear dan logis: Pertanyaan (Ayat 1) -> Penegasan Kegagalan Rencana (Ayat 2) -> Pengiriman Hukuman (Ayat 3) -> Mekanisme Hukuman (Ayat 4) -> Hasil Akhir yang Mutlak (Ayat 5).
Peristiwa Ashabul Fil adalah salah satu demonstrasi kekuasaan Allah yang paling jelas dalam sejarah Arab sebelum Islam. Jika Ka'bah dilindungi oleh kabilah Quraisy, mungkin orang akan mengatakan kemenangan itu adalah hasil strategi manusia. Namun, kehancuran itu terjadi ketika Quraisy, yang dipimpin oleh Abdul Muttalib, menyerahkan sepenuhnya urusan Baitullah kepada Pemiliknya.
Ketika Abraha mengambil unta-unta Abdul Muttalib, dan Abdul Muttalib hanya meminta untanya kembali, Abraha terkejut. Abdul Muttalib menjawab, "Aku adalah pemilik unta, dan Rumah itu memiliki Pemilik yang akan melindunginya." Jawaban ini adalah penyerahan total (*tawakkul*). Mukjizat yang terjadi berikutnya menjadi pengajaran fundamental tentang Tauhid Rububiyyah: Allah adalah Pengatur, Pemelihara, dan Pelindung alam semesta, yang tidak memerlukan bantuan manusia untuk menegakkan kehendak-Nya.
Surah ini menetapkan prinsip perlindungan Ilahi terhadap *Hurumat* (tempat-tempat suci). Ka'bah, sebagai Rumah Pertama yang didirikan untuk beribadah kepada Allah, memiliki kesucian yang tidak boleh dinodai. Serangan Abraha adalah penodaan paling serius, dan respons Allah menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap kesucian tempat ibadah memiliki konsekuensi yang langsung dan mengerikan.
Pelanggaran terhadap kesucian di dalam Ka'bah (seperti tindakan zalim atau pertumpahan darah) selalu dianggap sebagai dosa besar dalam syariat, dan kisah Al Fil menjadi dasar sejarah yang memperkuat hal ini.
Kisah ini adalah studi kasus tentang dampak dari *kibr* (kesombongan) dan *ujub* (kekaguman diri). Abraha memiliki kekayaan, teknologi (gajah), dan pasukan. Ia yakin bahwa tidak ada yang dapat menghentikannya. Kepercayaan diri yang berlebihan dan kesombongan ini adalah akar kehancurannya. Allah menghukumnya dengan cara yang paling tidak terduga dan paling memalukan—bukan melalui pasukan ksatria, tetapi melalui burung-burung kecil. Ini mengajarkan bahwa:
Setelah kehancuran pasukan Abraha, kedudukan suku Quraisy di mata bangsa Arab naik drastis. Mereka dianggap sebagai "Ahlullah" (Keluarga Allah) atau orang-orang yang dilindungi secara khusus oleh Tuhan. Ini memberikan mereka legitimasi dan otoritas besar. Peristiwa Al Fil menjamin keamanan jalur perdagangan Makkah dan memperkuat monopoli mereka atas ibadah haji, sebuah keuntungan yang dijelaskan dalam surah berikutnya, Surah Quraisy.
Kehancuran Abraha berarti stabilitas politik dan ekonomi bagi Makkah. Allah mengingatkan Quraisy bahwa kemakmuran mereka—yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan dagang dengan aman—adalah hasil langsung dari mukjizat perlindungan ini. Sayangnya, kaum Quraisy pada masa kenabian sering melupakan bahwa perlindungan itu datang dari Allah, bukan dari berhala-berhala mereka.
Korelasi antara Tahun Gajah dan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ (yang diyakini terjadi di tahun yang sama) sangat signifikan dari sudut pandang kenabian.
Peristiwa ini berfungsi sebagai pendahuluan atau 'pra-mukjizat' yang membersihkan panggung sejarah. Bayangkan jika Abraha berhasil menghancurkan Ka'bah. Rumah Suci itu akan hilang, dan fondasi kenabian yang akan datang (yang berpusat di Makkah) akan rusak. Allah memastikan bahwa Rumah Suci, yang akan menjadi kiblat umat Islam, tetap berdiri tegak sebelum Rasul terakhir dilahirkan.
Dengan kata lain, Allah telah memberikan bukti paling dramatis tentang perlindungan Ilahi di lokasi yang sama di mana Rasul-Nya akan memulai misinya. Ini memberikan otoritas dan bobot historis pada Makkah dan Bani Hasyim (keluarga Nabi).
Nabi Muhammad ﷺ tumbuh di tengah masyarakat yang pernah menyaksikan keajaiban ini. Ketika beliau mulai menyampaikan Al-Qur'an, yang salah satunya berisi Surah Al Fil, masyarakat tidak bisa menyangkal kebenarannya karena itu adalah fakta sejarah yang mereka saksikan. Ini menjadi salah satu bukti paling awal tentang kebenaran risalah, karena menceritakan kembali peristiwa masa lalu dengan detail dan makna teologis yang mendalam.
Menurut beberapa ahli tafsir dan sejarawan Islam, peristiwa Al Fil adalah batas antara era yang ditandai dengan intervensi langsung Allah untuk perlindungan fisik (seperti dalam kasus Ka'bah) dan era kenabian yang ditandai dengan intervensi melalui wahyu (Al-Qur'an). Setelah Al Fil, tidak ada lagi penghancuran massal musuh Islam melalui cara-cara supranatural hingga batas tertentu; pertarungan beralih ke arena intelektual dan jihad fisik yang dipimpin oleh Rasulullah sendiri.
Meskipun mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa *Ababil* merujuk pada burung-burung yang nyata dan unik, ada nuansa interpretasi yang patut dicermati:
1. Pandangan Literal (Jumhur Ulama): Tafsir Ath-Thabari, Ibn Katsir, dan Al-Qurtubi mendukung pandangan bahwa Ababil adalah burung-burung fisik yang diciptakan atau dimobilisasi secara khusus oleh Allah untuk misi tersebut. Mereka digambarkan memiliki penampilan yang aneh, seperti burung nasar dengan cakar anjing, atau bahkan makhluk kecil sejenis walet. Pandangan ini menekankan keajaiban dalam bentuk yang paling murni.
2. Pandangan Metaforis (Fenomena Alam): Beberapa penafsir modern dan orientalis, yang mencoba mencari penjelasan rasional, menyarankan bahwa *Ababil* mungkin merupakan metafora untuk wabah penyakit mematikan seperti cacar (*Judari*), yang dibawa oleh nyamuk, serangga, atau burung pembawa penyakit. Kehancuran yang digambarkan menyerupai efek cacar, di mana tubuh menjadi rusak seperti jerami yang dimakan. Namun, pandangan ini kurang didukung oleh konteks bahasa Arab klasik, di mana *Thairan* jelas merujuk pada burung, bukan serangga pembawa penyakit.
3. Pandangan Gabungan: Tafsir yang kuat adalah bahwa *Ababil* adalah burung fisik, tetapi batu *Sijjil* yang mereka jatuhkan membawa efek biokimia atau epidemiologis yang menghancurkan, mengakibatkan wabah yang melumpuhkan pasukan. Ini menjelaskan kecepatan kehancuran dan gejala yang mirip penyakit yang dilaporkan.
Inti dari tafsir adalah bahwa apa pun wujud fisiknya, Ababil adalah instrumen yang lemah di mata manusia, namun memiliki efektivitas yang mutlak karena diutus oleh Allah.
Istilah *Sijjil* muncul di beberapa tempat dalam Al-Qur'an, selalu dalam konteks hukuman Ilahi (misalnya, penghancuran kaum Luth). Pengulangan istilah ini menunjukkan bahwa *Sijjil* adalah kategori khusus dari hukuman. Para penafsir menjelaskan bahwa ini mungkin gabungan dari bahasa Persia (Sang: batu) dan Arab (Jil: tanah liat), menyiratkan batu yang terbuat dari bahan bumi yang dibakar dan diperkeras oleh api Ilahi.
Fungsi teologis *Sijjil* adalah membedakannya dari batu biasa. Batu ini tidak hanya membunuh melalui benturan, tetapi juga membawa azab yang membakar dan merusak secara internal. Dengan demikian, kehancuran yang ditimbulkan bersifat ganda: fisik dan spiritual.
Meskipun Surah Al Fil menceritakan peristiwa yang terjadi ribuan tahun lalu, pesan-pesannya tetap relevan dalam menghadapi tantangan modern.
Di era modern, 'gajah' Abraha bisa dianalogikan sebagai kekuatan ekonomi, militer, atau politik yang hegemonik dan angkuh. Ketika umat merasa kecil atau lemah di hadapan kekuatan besar yang zalim, Surah Al Fil mengajarkan bahwa solusi bukanlah pada kekuatan balasan yang setara, melainkan pada keikhlasan dalam bertawakkul kepada Allah.
Kesombongan (seperti yang ditunjukkan Abraha) selalu mendahului kehancuran. Umat harus fokus pada perbaikan internal dan keimanan, meyakini bahwa Allah akan menggunakan cara-cara yang tak terduga (*Ababil* kontemporer) untuk menghancurkan rencana zalim yang paling matang sekalipun.
Bagi mereka yang memegang kekuasaan, surah ini adalah peringatan keras. Kekuasaan, jabatan, dan aset militer adalah pinjaman dari Allah. Jika digunakan untuk menindas yang lemah atau menyerang hal-hal suci (agama, hak asasi, moralitas), maka kehancuran akan datang. Penguasa harus selalu mengingat bahwa ada kekuatan yang jauh lebih tinggi dan lebih halus yang dapat meruntuhkan dinasti dan kekaisaran dalam sekejap.
Surah ini mengajarkan untuk tidak meremehkan apa pun yang datang dari Allah. Bantuan bisa datang melalui sarana yang paling tidak terduga dan paling sederhana. Dalam perjuangan sehari-hari, ketika menghadapi masalah yang terasa seperti 'gajah' raksasa, kita diingatkan bahwa 'burung-burung' kecil dari Allah (seperti ide cemerlang, pertolongan tak terduga dari orang asing, atau perubahan nasib yang tiba-tiba) dapat mengubah seluruh situasi.
Keyakinan ini menghasilkan optimisme, karena menunjukkan bahwa dalam persamaan kekuatan, faktor *gaj* (kekuatan ghaib) Allah adalah variabel paling dominan yang dapat mengubah hasil akhir apa pun.
Surah Al Fil menekankan pentingnya sejarah. Dengan membuka ayatnya dengan "Alam tara" (tidakkah kamu melihat/mengetahui), Allah memerintahkan kita untuk merenungkan peristiwa masa lalu. Sejarah bukanlah sekadar cerita usang, melainkan pelajaran abadi yang membuktikan janji Allah. Merenungkan kisah seperti Abraha memperkuat keimanan bahwa Allah setia pada janji-Nya untuk melindungi kebenaran dan menghancurkan kezaliman, meskipun kezaliman itu datang dalam bentuk yang paling mengintimidasi.
Secara keseluruhan, Surah Al Fil berfungsi sebagai mercusuar keimanan. Ia memancarkan cahaya yang menembus keangkuhan materialisme dan menempatkan kekuatan Ilahi di pusat realitas. Kisah Abraha adalah pengingat abadi bahwa kemuliaan sejati Ka'bah, Makkah, dan umat Islam tidak terletak pada benteng atau pasukan, tetapi pada keagungan Pemilik Baitullah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala.