Kisah sapi betina yang tercantum dalam Surah Al-Baqarah, mulai dari ayat 70 hingga ayat 90, merupakan salah satu narasi paling mendalam dan penuh makna dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat ini tidak hanya menceritakan sebuah peristiwa spesifik di masa Nabi Musa AS, tetapi juga memuat pelajaran universal tentang keimanan, kepatuhan, hakikat kebenaran, dan bagaimana respons terhadap perintah ilahi dapat membedakan antara mukmin sejati dan mereka yang masih ragu.
Kisah ini bermula ketika Bani Israil berada dalam kebingungan dan ketakutan pasca pembunuhan seorang kerabat kaya mereka. Tanpa diketahui siapa pelakunya, mereka mendatangi Nabi Musa AS untuk meminta petunjuk dari Allah SWT. Allah SWT memerintahkan Nabi Musa untuk menyuruh kaumnya menyembelih seekor sapi betina. Perintah ini terlihat sederhana, namun reaksi Bani Israil menunjukkan adanya keraguan dan keinginan untuk mencari jalan pintas atau meminimalkan usaha.
Alih-alih langsung melaksanakan perintah, Bani Israil justru mengajukan serangkaian pertanyaan yang semakin spesifik dan terkesan mempersulit diri sendiri. Dimulai dari pertanyaan tentang "sapi jenis apa" yang harus disembelih, kemudian berlanjut ke "warna sapi," hingga ke "spesifikasi usianya." Setiap kali Nabi Musa AS menjawab pertanyaan mereka dengan wahyu dari Allah SWT, mereka justru mencari alasan lain atau mengeraskan hati mereka. Ini mencerminkan sikap sebagian orang yang, meskipun mengaku beriman, memiliki kecenderungan untuk menunda-nunda, mencari celah, atau menguji batas perintah Tuhan.
"Mereka berkata, 'Mohonlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menjelaskan kepada kami apa (sifat) sapi betina itu.' Musa menjawab, 'Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak terlalu muda; pertengahan di antara (kedua usia) itu. Maka, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.'" (QS. Al-Baqarah: 68-69 - kutipan perkiraan makna)
Bahkan setelah diberikan jawaban yang semakin jelas, mereka masih bertanya, "Bagaimana kita tahu sapi yang ini?" dan "Sapi itu sama saja bagi kami; dan kami insya Allah akan mendapat petunjuk." Sikap ini menunjukkan betapa sulitnya menguji ketulusan iman seseorang ketika dihadapkan pada cobaan yang memerlukan pengorbanan dan ketaatan penuh.
Puncak dari rentetan pertanyaan ini adalah ketika Allah SWT memerintahkan agar sapi yang disembelih itu adalah sapi yang "tidak pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak menyirami tanaman, sehat dan tanpa cacat." Deskripsi yang sangat spesifik ini akhirnya memaksa mereka untuk benar-benar mencari sapi yang dimaksud. Hal ini bisa diartikan sebagai ujian untuk melihat sejauh mana mereka bersedia berusaha dan mencari kebenaran yang hakiki, bukan sekadar menjalankan perintah secara asal-asalan.
Setelah pencarian yang sulit, mereka akhirnya menemukan sapi yang sesuai dengan deskripsi tersebut. Ironisnya, sapi ini dimiliki oleh seorang anak yatim yang taat kepada orang tuanya. Ketika Bani Israil ingin membelinya, pemiliknya menolak dibayar dengan harga biasa dan meminta pembayaran dengan berat sapi tersebut dalam emas. Ini mengajarkan bahwa kebenaran dan solusi dari Allah seringkali datang melalui jalan yang tidak terduga dan memerlukan pengorbanan yang lebih besar.
Peristiwa yang paling ajaib terjadi setelah sapi itu disembelih. Nabi Musa AS diperintahkan untuk memukul mayat sapi tersebut dengan salah satu bagian tubuhnya (biasanya diartikan sebagai daging atau tulang). Ajaibnya, mayat sapi itu hidup kembali sejenak dan menunjuk kepada si pembunuh yang sebenarnya. Mukjizat ini menjadi bukti kebenaran Nabi Musa AS dan kekuasaan Allah SWT.
Pelajaran utama dari kisah ini adalah:
Kisah sapi betina dalam Al-Baqarah ayat 70-90 menjadi pengingat abadi bagi umat Islam tentang pentingnya tulus beribadah, patuh pada perintah Allah SWT, dan sabar dalam menghadapi cobaan. Respons kita terhadap perintah-Nya adalah cerminan dari kedalaman iman kita. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa bersemangat dalam mencari dan mengamalkan kebenaran, sebagaimana yang diajarkan dalam ayat-ayat mulia ini.