Ashabul Fil (Pasukan Gajah)
Surah Al-Fil (Gajah) menempati posisi yang unik dalam jajaran surah-surah pendek Al-Qur'an. Meskipun hanya terdiri dari lima ayat, surah ini membawa muatan sejarah, teologis, dan spiritual yang luar biasa padat. Surah ini bukan sekadar narasi masa lalu; ia adalah peringatan abadi, demonstrasi nyata dari kekuatan Ilahi, dan fondasi penting dalam konteks kenabian Muhammad ﷺ.
Peristiwa yang diceritakan dalam surah ini—penyerangan Ka'bah oleh pasukan Abraha, yang dikenal sebagai Ashabul Fil—merupakan titik balik krusial dalam sejarah Jazirah Arab. Peristiwa ini terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, sekitar 570 Masehi, yang oleh karenanya dikenal sebagai Tahun Gajah ('Âmul Fîl). Kisah ini mengukuhkan status Ka'bah sebagai Rumah Suci yang dilindungi secara supernatural oleh Allah, jauh sebelum Islam secara formal ditegakkan di Mekah.
Surah ini dinamakan Al-Fil, merujuk kepada gajah-gajah yang dibawa oleh Abraha, gubernur Yaman dari pihak kerajaan Habsyi (Etiopia), dalam usahanya menghancurkan Ka'bah di Mekah. Dalam tertib mushaf, ia berada di urutan ke-105.
Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa Surah Al-Fil adalah surah Makkiyah, diturunkan di Mekah sebelum hijrah. Indikasi utamanya adalah fokus surah ini pada kisah-kisah peringatan masa lalu dan penekanan pada Tauhid serta kuasa mutlak Allah, yang merupakan ciri khas surah-surah yang turun di awal masa kenabian, ketika tantangan terbesar adalah meyakinkan kaum musyrikin Mekah tentang kebenaran risalah dan kekuasaan Sang Pencipta.
Surah ini berfungsi sebagai pengantar visual bagi kaum Quraisy. Mereka semua adalah saksi mata, atau setidaknya anak-anak dari saksi mata, peristiwa mengerikan tersebut. Ketika Nabi Muhammad ﷺ membacakan surah ini, beliau tidak menceritakan dongeng, melainkan merujuk pada fakta sejarah yang paling signifikan dan traumatis bagi Mekah pada waktu itu. Tujuannya adalah untuk mengingatkan mereka bahwa Allah yang melindungi Rumah-Nya dari pasukan gajah Abraha adalah Allah yang sama yang kini mengutus rasul-Nya.
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Fil, kita harus menelusuri latar belakang historisnya yang kompleks. Peristiwa ini bukan hanya penyerangan militer; ia adalah konflik geopolitik, ekonomi, dan agama yang melibatkan kekuatan besar di wilayah Arab.
Abraha Al-Ashram adalah seorang jenderal yang kemudian menjadi gubernur Yaman, mewakili Raja Najashi dari Habsyi. Yaman pada saat itu memiliki posisi strategis dan ekonomi yang sangat penting.
Abraha memimpin pasukan yang sangat besar, dilengkapi dengan gajah-gajah perang, sesuatu yang belum pernah dilihat oleh orang Arab di Hijaz. Gajah-gajah ini dimaksudkan untuk menghancurkan dinding Ka'bah. Gajah yang memimpin pasukan, dan yang paling terkenal, diberi nama Mahmud.
Dalam perjalanan, Abraha mengalahkan suku-suku Arab yang mencoba menentangnya, seperti Dzu Nafr dan Nufail bin Habib Al-Khats'ami. Suku-suku ini ditawan, dan Nufail dipaksa menjadi penunjuk jalan bagi pasukan Abraha menuju Mekah.
Setibanya di perbatasan Mekah, pasukan Abraha menjarah harta benda penduduk Mekah, termasuk 200 unta milik Abdul Muttalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad ﷺ dan pemimpin Quraisy saat itu.
Abdul Muttalib menghadap Abraha. Pertemuan ini dicatat sebagai salah satu momen paling menakjubkan yang menunjukkan kehinaan duniawi di hadapan iman. Abraha terkejut melihat sosok bangsawan yang ia hormati, namun lebih terkejut lagi ketika Abdul Muttalib hanya menuntut unta-untanya dikembalikan, bukan keselamatan Ka'bah.
Ketika Abraha bertanya mengapa ia hanya meminta untanya, Abdul Muttalib menjawab dengan kalimat yang legendaris: "Aku adalah pemilik unta-unta itu, dan Rumah (Ka'bah) itu memiliki Pemiliknya sendiri yang akan melindunginya." (Riwayat Ibnu Ishaq)
Setelah untanya dikembalikan, Abdul Muttalib kembali ke Mekah, memerintahkan penduduk Mekah mengungsi ke bukit-bukit di sekitar kota. Sebelum meninggalkan Ka'bah, ia memegang pintu Ka'bah dan berdoa memohon perlindungan Ilahi, sebuah doa yang mengandung makna penyerahan total.
Surah Al-Fil menggunakan bahasa yang lugas namun sarat makna, merangkum peristiwa epik dalam lima ayat saja. Kita akan mengkaji setiap kata untuk mengungkap kedalaman pesannya.
Inti ayat ini adalah mengingatkan audiens tentang keajaiban perlindungan Ilahi, menanamkan rasa takut dan kekaguman terhadap Kuasa Allah yang mampu menghancurkan teknologi perang tercanggih waktu itu dengan cara yang tak terduga.
Penghancuran *kaid* (tipu daya) adalah kunci. Sebelum hukuman fisik datang, kegagalan spiritual dan strategis sudah terjadi. Ini terwujud ketika gajah Mahmud, yang menjadi andalan, menolak maju menuju Ka'bah, tetapi mau berjalan ke arah lain. Keengganan gajah, menurut banyak mufassir, adalah bentuk pembatalan *kaid* oleh Allah.
Kehadiran burung-burung ini secara massal dan tak terduga adalah elemen mukjizat. Pasukan yang siap menghadapi perlawanan manusia sama sekali tidak siap menghadapi serangan udara dari makhluk yang dianggap remeh.
Apapun asal-usul pastinya, kesimpulan teologisnya adalah batu-batu itu memiliki sifat yang luar biasa destruktif. Dikisahkan bahwa setiap batu menargetkan satu prajurit, menembus perisai dan tubuh mereka, menyebabkan luka bakar dan penyakit mengerikan.
Perumpamaan ini sangat visual dan mengerikan. Daun atau jerami yang telah dimakan ulat atau dimakan ternak menjadi compang-camping, hancur, kering, dan tidak berguna. Ini menggambarkan kondisi akhir pasukan Abraha: tubuh mereka menjadi rusak total, internal maupun eksternal, seolah-olah mereka telah dicerna dan dimuntahkan. Perumpamaan ini juga menunjukkan betapa ringkihnya kekuatan manusia di hadapan kuasa alam yang dikendalikan oleh Allah, mengubah pasukan yang megah menjadi sisa-sisa organik yang menjijikkan.
Para ulama tafsir besar telah memberikan penafsiran mendalam yang berusaha menjelaskan aspek-aspek misterius dari Surah Al-Fil, khususnya mengenai sifat burung Ababil dan batu Sijjil. Penafsiran ini penting untuk mendapatkan pemahaman yang holistik, melampaui sekadar kisah historis.
Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam Jami' al-Bayan fokus pada aspek visual dan historis surah ini. Ath-Thabari mencatat bahwa peristiwa kehancuran itu terjadi sangat cepat setelah gajah-gajah menolak maju. Baginya, Sijjīl adalah batu dari api neraka (berdasarkan penafsiran Ibnu Abbas), yang menandakan hukuman ilahi yang tidak biasa. Ath-Thabari menekankan bahwa Al-Qur'an menggunakan perumpamaan 'Aṣfin Ma'kūl (daun dimakan ulat) karena dampak batunya bersifat membusukkan dan meluruhkan tubuh, bukan sekadar pukulan fisik biasa. Kisah ini adalah bukti historis yang tak terbantahkan oleh kaum Quraisy.
Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb (Kunci-kunci Hal Ghaib) membahas surah ini dari sudut pandang filosofis dan teologis yang mendalam. Ar-Razi melihat peristiwa Al-Fil sebagai bukti logis terkuat akan adanya Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Melindungi. Ia menyimpulkan:
Imam Ibnu Katsir mengintegrasikan riwayat-riwayat sejarah (sirah) dan hadis untuk memberikan detail kronologis. Ia mencatat bahwa hukuman itu meluas, bahkan Nufail bin Habib, penunjuk jalan Abraha, menyaksikan kehancuran tersebut dan mendendangkan syair tentang kematian Abraha. Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa batu Sijjīl adalah batu kecil yang mematikan, yang dampaknya menyebabkan penyakit mematikan seperti campak atau cacar air (smallpox), sehingga tubuh mereka menjadi rusak dan busuk seperti daun yang dimakan ulat. Inilah yang diyakini sebagian sejarawan sebagai salah satu wabah penyakit paling awal yang tercatat di Mekah.
Dalam kajian modern, muncul upaya untuk mencari penjelasan ilmiah atau alamiah di balik peristiwa yang tampak supernatural ini, tanpa menafikan aspek mukjizatnya yang fundamental. Pendekatan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan Allah dapat terwujud melalui sarana alamiah yang tidak terduga.
Salah satu hipotesis modern yang populer, yang sejalan dengan tafsir Ibnu Katsir tentang kondisi 'Aṣfin Ma'kūl, adalah bahwa burung-burung Ababil membawa virus atau bakteri mematikan. Batu Sijjīl mungkin berfungsi sebagai vektor penularan (pembawa) yang melukai kulit dan menyebarkan penyakit mematikan seperti cacar air atau penyakit serupa yang menyebabkan pembusukan tubuh dengan cepat. Mekanisme ini tetap merupakan mukjizat, karena: 1) Burung-burung itu datang tepat waktu dan dalam formasi yang terorganisir (*Abābīl*); 2) Efek penyakitnya sangat cepat dan selektif, hanya menyerang pasukan penyerang.
Beberapa peneliti modern berspekulasi bahwa batu Sijjīl mungkin adalah potongan meteorit yang jatuh. Karakteristik meteorit yang keras, kadang mengandung unsur yang tidak biasa, dan bisa menyebabkan luka bakar panas (jika menembus atmosfer) sesuai dengan deskripsi *tanah yang terbakar*. Meskipun hipotesis ini menarik, tafsir klasik menekankan bahwa batu itu membawa tanda hukuman dari Allah yang melebihi fenomena meteorit biasa.
Poin penting yang sering luput adalah mukjizat pertama: penolakan gajah Mahmud untuk bergerak. Dalam riwayat sirah, setiap kali gajah dihadapkan ke arah Ka'bah, ia berlutut dan menolak maju. Ketika dihadapkan ke Yaman atau arah lain, ia mau bergerak. Ini adalah demonstrasi bahwa makhluk hidup yang terhebat dalam pasukan Abraha pun tunduk pada perintah Allah untuk melindungi Rumah-Nya. Penolakan ini sudah cukup untuk menggagalkan rencana (kaidahum) sebelum kedatangan Ababil.
Perlindungan Allah atas Ka'bah
Surah Al-Fil menawarkan pelajaran abadi yang melampaui konteks historisnya. Pelajaran-pelajaran ini membentuk dasar pemahaman tentang kekuasaan Allah, kehinaan kesombongan, dan pentingnya Rumah Suci (Ka'bah).
Kisah ini adalah salah satu bukti paling jelas tentang kekuasaan mutlak Allah (Tauhid Rububiyah). Abraha memiliki kekuatan militer, teknologi (gajah), dan logistik. Kaum Quraisy di Mekah saat itu tidak memiliki apa-apa untuk melawan. Kehancuran Abraha membuktikan bahwa pertimbangan material (jumlah tentara, senjata) tidak berarti apa-apa jika berhadapan dengan kehendak Ilahi. Allah menggunakan makhluk paling lemah (burung kecil) dan elemen paling sederhana (batu) untuk menghancurkan makhluk terkuat (gajah) dan manusia yang paling arogan.
Abraha adalah representasi sempurna dari kesombongan atau istikhbar. Ia tidak hanya ingin menguasai, tetapi juga ingin menghapus simbol spiritual yang tidak ia bangun. Surah ini mengajarkan bahwa kesombongan, terutama yang berujung pada penyerangan terhadap agama atau tempat suci, akan dibalas dengan kehinaan yang cepat dan memalukan. Pasukannya yang agung diubah menjadi sampah ('Aṣfin Ma'kūl), sebuah hukuman yang sebanding dengan keangkuhan mereka.
Peristiwa ini menetapkan status Ka'bah sebagai tempat yang sangat mulia di mata Allah, bahkan pada masa jahiliah ketika Ka'bah dipenuhi berhala. Allah melindungi rumah-Nya meskipun yang menyembah di sana adalah musyrikin. Ini adalah penegasan bahwa Ka'bah adalah Baitullah (Rumah Allah) yang memiliki kekudusan tak tertandingi, yang dipersiapkan untuk kembali menjadi pusat Tauhid murni di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad ﷺ.
Peristiwa Al-Fil terjadi persis di tahun kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Mufassir melihat ini sebagai pembersihan panggung sejarah. Allah menghancurkan kekuatan yang paling mungkin mengancam keberlangsungan Mekah dan risalah Islam yang akan datang. Seolah-olah Allah berfirman: "Aku telah melindungi rumah ini dari ancaman luar (Abraha), dan Aku akan mengirimkan utusan di rumah ini untuk membersihkannya dari ancaman internal (berhala)." Kisah ini menjadi mukjizat pendahuluan yang memvalidasi kenabian yang akan datang.
Surah Al-Fil (105) dan Surah Quraisy (106) sering kali dianggap memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan beberapa mufassir terdahulu menganggapnya sebagai satu surah. Keterkaitan tematiknya sangat jelas:
Jika Surah Al-Fil adalah penegasan mengapa Allah pantas disembah (karena Dia melindungi mereka dari kehancuran), maka Surah Quraisy adalah penegasan bagaimana Allah memberkahi mereka (dengan keamanan dan penghidupan).
Allah mengingatkan kaum Quraisy bahwa Dia telah menghilangkan ketakutan terbesar mereka—invasi Abraha. Ini memberikan mereka rasa aman di tempat mereka tinggal. Perlindungan Ilahi menjamin kelangsungan hidup kaum Quraisy.
Sebagai balasan atas perlindungan tersebut, Allah memberikan Quraisy dua berkah besar: keamanan (sehingga perjalanan dagang mereka aman) dan rezeki. Surah Quraisy memerintahkan mereka menyembah Tuhan Rumah ini, yang telah memberi mereka makan dari kelaparan dan mengamankan mereka dari ketakutan.
Hubungan ini menunjukkan bahwa perlindungan Ka'bah oleh Allah bukanlah peristiwa tanpa tujuan, melainkan merupakan persiapan historis dan spiritual bagi risalah terakhir yang akan dibawa oleh cucu dari Abdul Muttalib, yang lahir di tahun yang sama dengan kehancuran Ashabul Fil.
Penggunaan kata dalam Al-Qur'an sangat presisi. Tiga kata dalam Surah Al-Fil menggambarkan intensitas dan kekhususan hukuman Ilahi:
Kata *Kaid* (tipu daya) sering digunakan untuk rencana jahat yang melibatkan muslihat. Dalam kasus ini, Abraha tidak hanya menggunakan kekuatan, tetapi juga muslihat untuk memindahkan pusat keagamaan. Allah menyebutnya *Kaid* karena niatnya berasal dari kesombongan, bukan dari penegakan kebenaran. Menghancurkan *Kaid* sebelum implementasi penuh menunjukkan bahwa Allah membatalkan niat, bukan sekadar membalas tindakan.
Jika Allah ingin menghancurkan mereka dengan gempa bumi atau badai, Dia bisa saja melakukannya. Namun, pemilihan burung *Abābīl* menunjukkan pelajaran penting tentang sumber kekuatan. Burung-burung itu datang dalam formasi yang teratur dan rapi, menggarisbawahi fakta bahwa alam semesta, dari makhluk terkecil hingga yang terbesar, beroperasi di bawah perintah Allah. Keteraturan mereka (makna dari *Abābīl*) menunjukkan bahwa ini adalah operasi yang terencana, bukan kebetulan alam.
Penggunaan kata Sijjīl, yang unik, menunjukkan bahwa hukuman itu bersifat spesifik dan ilahi. Batu tersebut memiliki karakteristik panas dan penghancur yang berbeda dari batu biasa. Ini memastikan bahwa tidak ada yang bisa mengklaim kehancuran pasukan Abraha disebabkan oleh faktor manusia atau senjata biasa. Batu yang kecil (sebesar kerikil) namun mematikan adalah penekanan bahwa kualitas ilahi lebih unggul daripada kuantitas duniawi.
Surah Al-Fil, dengan narasi singkat namun padat, berdiri sebagai monumen kekuasaan Allah. Ia adalah pengingat abadi bagi umat manusia di setiap zaman: bahwa kesombongan akan selalu dihancurkan, bahwa tidak ada kekuatan yang dapat menandingi perlindungan Ilahi, dan bahwa Allah adalah sebaik-baik Pelindung bagi Rumah-Nya dan bagi mereka yang berserah diri kepada-Nya.
Peristiwa Ashabul Fil menjadi bukti nyata sebelum turunnya wahyu kenabian bahwa Mekah bukanlah kota biasa, melainkan pusat spiritual yang tak tersentuh oleh kekuatan tirani manusia. Ini menegaskan kebenaran dan keagungan dari misi yang akan segera diemban oleh Rasulullah Muhammad ﷺ.